Jumat, November 16, 2007

Terhubung

Seorang kawan merasa risih, karena beberapa kali saya menyebut-nyebut orang yang suka nyatut pembelian barang kantor dengan cara minta kuitansi kosong, lalu suka nyalib antrian lalulintas dari kiri, menabras lampu merah, suka masuk ke jalur busway padahal jalan lengang, itu orang yang punya scarcity mentallity -- mental kekurangan -- alias mental orang miskin.

"Prass, eloe jangan suka ngomong gitu lah... Kasian orang miskin, ntar kalo ada orang ketemu orang miskin terus orang itu bawaannya nggak seneng aja ke orang miskin itu ... kan nggak semua orang miskin tukang nyatut, nggak tertib lalulintas, nggak masuk ke jalur busway ... " Begitu kata kawan saya itu. Katanya saya bisa mendiskreditkan orang miskin.

Sepintas, komentar dan nasihat kawan saya itu tampak 'kurang positif'. Sepintas. Tapi buat saya ada benarnya lho. Ini terkait dengan cara pikiran bekerja, terutama bawah sadar. Pikiran bekerja dengan cara menghubung-hubungkan suatu fakta yang tertangkap panca indera dan tersimpan di memori, lalu bermakna tergantung program berpikir dan pengalaman sebelumnya. Kalau anda melihat orang pakai kacamata hitam memegang tongkat dekat WC umum, kemungkinan di pikiran anda langsung dihubungkan dengan 'orang buta'. Padahal belum tentu lho. Siapa tahu dia sedang memegang tongkat orang buta asli yang sedang masuk toilet.

Apalagi yang dihubungkan adalah perasaan ke perasaan. Maksud saya begini, ketika mendengar kata 'nyatut', 'nyodok antrian', 'curi jalan', perasaan anda bagaimana ? Ada perasaan nggak seneng ya ? (kecuali anda memang pelaku atau pelopor nyatut dan nyodok antrian). Terus kalau mendengar 'miskin', juga perasaan yang muncul bukan perasaan yang positif. Bisa kasihan, bisa trauma (terutama jika anda mantan orang melarat). Jadi perasaan-perasaan itu saya bikin simbolnya dengan kata : nyatut, nyodok, nyuri, miskin. Kalau di layar komputer namanya icon. Ketika saya hubungkan antara icon dengan icon tadi, bisa terhubunglah perasaan yang diwakili oleh kedua icon itu. Ketika saya menghubungkan antara perilaku nyatut, nyodok antrian, curi jalan, dengan mental orang miskin, boleh jadi kata 'mental' terabaikan atau tidak diperhatikan. Efeknya bisa bolak-balik. Inilah 'bodoh'nya pikiran bawah sadar .. (Btw, lain kali saya akan jelaskan pikiran bawah sadar itu sangat cerdas, sekaligus bodoh). Kalau icon itu kita klik, maka programnya bekerja. Kalau kata-kata simbolis tadi diucapkan, maka perasaan-perasaan yang ada dibalik dan di sekitar simbol itu -- baik yang terhubung langsung atau tidak langsung, akan muncul.

Inilah yang terjadi ketika saya 'merasakan' adanya perubahan sikap dari sebagian kecil kolega saya yang tiba-tiba lebih 'berhati-hati' kepada saya, gara-gara saya menerima permintaan 'lawan politik' mereka menjadi panitia pernikahan puterinya. Padahal, saya ini orang yang netral dan (merasa) profesional. Siapapun yang butuh bantuan saya, dengan senang hati saya layani semampu saya. Tapi saya sih ikhlas saja. Saya teringat pesan Covey "Siapa diri kita apa adanya berkomunikasi lebih fasih daripada apa yang kita ucapkan dan kita lakukan ...". Semua tergantung niat.

Oh ya, mari kita kembali ke wilayah 'pikiran sadar'. Saya jelaskan sedikit, mental orang miskin itu tidak ada hubungannya dengan keadaan kekurangan materi seseorang. Orang yang berkelimpahan harta bisa punya mental orang miskin kalau merasa kurang terus. Ketika kita mencap seseorang sebagai orang miskin, itu adalah orang miskin menurut ukuran kita. Tapi bisa jadi orang itu tidak merasa miskin. Justru dia merasa kaya karena merasa cukup dengan apa yang dimilikinya ... Maka orang miskin itu punya mental orang kaya ...

Tidak ada komentar: