Minggu, Oktober 11, 2009

Mendapatkan Apa Yang Kita Menjadi

Seorang gadis cantik yang saya kenal di sebuah pelatihan mengirim pesan BBM (Blackberry Messenger) yang mengabarkan akhirnya dia 'jadian' dengan seorang pria yang PDKT dengannya. Sebelumnya ia juga curhat dan 'minta petunjuk' bagaimana menghadapi kebingungannya menjawab 'proposal' lelaki tersebut. Ia bingung mau berkata iya atau menunda memberi jawaban karena ia belum 'yakin'. Ia masih diliputi 'parno' akibat pahitnya ujung hubungan cintanya dengan mantannya. Ia bilang, ia takut jatuh cinta karena takut memberi 'hati' kepada orang yang salah.

Gadis Cantik (GC) : "Semalam dia mengulangi lagi pertanyaannya yang kemarin, Pak ... Kebeneran atmosfir suasananya lagi mendukung ..."

Saya : "Pastinya ... sudah bisa menebak juga kan ?".

Sesaat sebelum ia akhirnya menjawab proposal sang pria, ia sempat BBM dengan saya sedang dibawa menuju suatu tempat yang romantis.

GC : "Hahaha, iya sih ..."

Saya : "Dia menggiring kamu masuk ke gelombang alfa lewat tempat dan suasana romantis, ditambah dengan sentuhan amigdala (emosi) lewat perilaku dan bahasa, sehinga sugesti masuk dan diterima pikiran bawah sadar karena reticular activating system (filter mental) kamu terbuka. Kamu tau kan pikiran bawah sadar sembilan kali lebih kuat daripada pikiran sadar, sehingga kalau ada konflik dengan pikiran sadar - logis dan kritis - kemungkinan besar pikiran bawah sadar (emosi) yang menang. Proses progressive induction sudah dia lakukan sejak lama. Dia berhasil melakukan pacing sehingga kemarin dia bisa melakukan leading ..Disamping itu dia tidak memaksa atau memojokkan kamu, dan yang paling penting, kamu juga suka sama dia akibat pacing dia ... Ahhhh ... kayak lagi kuliah aja nih..."."

GC : "Oooo gitu Pak teorinya ? .. hahahaha .. dan akhirnya aku ngikutin kemauannya ya Pak .. Padahal tadinya udah mau tetap bertahan untuk menunda jawaban. Masih mau 'take it slow' dulu..."

Saya : "How's your feeling ?.."
GC : "Masih nggak percaya .. finally I said yes ...."

Saya : "Itu menegaskan kerjaan pikiran bawah sadar ..."
GC : "Di satu sisi happy, di sisi lain bingung .. aku harus siap-siap jatuh cinta .. padahal aku takut jatuh cinta ..."

Saya : "Kalau kamu tanya ke pikiran bawah sadarmu, apa maksud baik ia memberi rasa takut jatuh cinta itu ..?"
GC : "Supaya aku terhindar dari rasa sakit karena jatuh cinta ..."

Saya : "Apa manfaat yang bisa kamu ambil dari rasa sakit karena jatuh cinta itu ...?"

Tadinya saya berharap, ia mengatakan agar dirinya lebih kuat dan terampil mengelola sebuah hubungan. Ternyata jawabannya sedikit meleset.

GC : "Aku jadi lebih hati-hati untuk jatuh cinta sama seseorang. Terlalu berhati-hati malah .."

Saya : "Apa yang terjadi pada diri kamu 10 tahun lagi jika selamanya kamu terlalu berhati-hati karena takut sakit jatuh cinta .. ?"
GC : "Mungkin 10 tahun lagi aku nggak bersama siapapun ... *nyadar mode on .."

Dia cerita kalau dengan 'mantan' terakhir dia pacaran delapan tahun dan berakhir dengan'tidak baik-baik'. Mantannya suka mengintit kemanapun GC pergi, mengintimidasi cowok-cowok yang dekat dengan GC, dan sempat mengancam yang 'nggak jelas'. Itu menyebabkan ia bilang paranoid.

Saya : "Jadi parno-nya kamu itu adalah takut apa ?" ..

Tadinya saya mengira ia 'parno' lebih dominan disebabkan karena takut pengalaman buruk itu terulang lagi. Tampaknya perkiraan saya meleset.

GC : "Aku jadi takut jatuh cinta, karena nggak percaya cowok, karena aku masih belum yakin ada yang namanya kesetiaan dalam relationship antara lawan jenis. Itu yang bikin aku putus dari mantan pacarku. Dia marah besar karena aku ketahuan jalan sama temen cowokku. Disamping karena menurutku dia posesif..."

Saya : "Apa mantan kamu pernah selingkuh ?"

GC : "Nggak pernah. Malah akunya ....karena jenuh. Selain itu, di sekelilingku banyak banget contoh kasus ketidaksetiaan .... Aku bahkan deket sama cowok-cowok yang 'in relationship'"

Saya ingin mengejar apakah ia melakukan generalisasi persepsi atas pengalaman ketidaksetiaan selama pacaran untuk saya bandingkan dengan ketidaksetiaan ketika berumah tangga yang belum pernah ia alami.

Saya : "Apa kamu pernah dekat dengan cowok yang sudah menikah ?"

GC : "Pernah ... sampai sekarang. Dia malah bilang perasaannya ke aku .. Tapi aku bisa mengendalikan perasaan. Aku bangun 'tembok'".

Saya : "Hmmm .. jadi kamu dikelilingi oleh pengalaman ketidaksetiaan ya .. makanya ada perasaan takut terjadi pada diri kamu nantinya ..."
GC : "Iya .. kayaknya sih gitu Pak .."

Saya : "Menurutmu, apa yang membuat pasangan menjadi setia .. ?"
GC : "Kalau dia sudah menemukan apa yang dia cari di diri pasangannya ..."

Saya : "Apa yang kamu cari .. ?"
GC : "Chemistry, saling respek, dan ketulusan .."

Saya : "Inget the law of attraction ... ?"
GC : "Inget ..."

Saya : "Like attract like .. pikiran kita akan menarik hal-hal yang serupa ..?"
GC : "Iya pak .."

Saya : "Inget rumus be-do-get .. ? Kita menDAPAT apa yang kita MENJADI ? ..."
GC : "Hmmm ... OK. I get the point ... "

Saya : "Cerdassssss..."
GC : "Makasih banyak ya Pak. You've opened my mind .."

Saya : "Sama-sama .. you've opened your own mind ..."
GC : "Mudah-mudahan aku bisa MENJADI seperti yang aku ingin DAPAT..."

Selanjutnya perbincangan ringan menjadi epilog kontak saya dengan dia hari itu ...***

Selasa, September 29, 2009

Siapa Bilang Anda Miskin ??!!!


Terinsipirasi cerita sahabat saya Melly Kiong tentang ilmu Bob Sadino, di sebuah kesempatan mengajar mahasiswa baru saya bertanya, “Siapa di antara anda yang merasa masih miskin ??” ….

Setelah terlihat ragu-ragu, beberapa orang mahasiswa mengacungkan tangan. Tindakan mereka diikuti oleh beberapa orang lainnya.

“Kalau begitu, siapa yang merasa kaya ?”. Hanya dua orang yang mengacung.

“Lha, berarti yang lain apa ??” … Para mahasiswa hanya tersenyum. Saya tahu mereka tidak mengacungkan tangan sebabnya cuma dua : bingung atau malu.

“Okeyyy .. sekarang kepada yang merasa miskin .. saya mau tanya … Karena anda mengaku miskin, dan karena saya kaya, seandainya saya kasih anda masing-masing 10 miliar rupiah, anda mau terima ?”, tanya saya.

“Beneran atau Cuma seandainya, Pak ?”, salah seorang mahasiswa iseng melontarkan pertanyaan.

“Jelas saja ini seandainya beneran ..”, jawab saya.

Sambil ragu-ragu saya serius atau main-main, mereka mengangguk sambil cengengesan.

“Eittt … no such a free lunch … tidak ada makan siang gratis … anda saya kasih 10 miliar tapi syarat dan ketentuan berlaku … Ada syaratnya …”, ujar saya.

“Apa Pak ?”, tanya mereka …

“Anda saya kasih 10 miliar tapi saya minta satu ruas buku kelingking anda buat saya … MAU ?..”, kata saya.

Mereka serempak bilang tidak mau sambil ada yang menggeleng.

“Hmmm … berarti harga kelingking anda lebih dari 10 miliar …. Okeyyy .. saya kasih harga 50 miliar … mau ???”, tanya saya lagi.

Mereka masih menggeleng.

“100 miliar ???” … tanya saya lagi.

Mereka masih menggeleng.

Jadi satu ruas buku kelingkin tangan anda harganya LEBIH DARI 100 miliar bukan ??? … Bagaimana dengan seluruh tubuh anda ?? … jadi siapa bilang anda miskin ???..”, saya cecar mereka secara provokatif dengan suara meninggi.

Untuk beberapa saat suasana kelas hening …Wajah mereka terpana.

Ketika kalimat “Siapa bilang kamu miskin ??!!” ini saya posting sebagai status facebook, salah seorang sahabat FB menjawab : … “Tuhan ! …”.

Senin, Agustus 31, 2009

Mempraktekkan Yang Diajarkan (Lagi)


Setelah merasa janggal dengan cara bicara saya sendiri saat menerima telepon, tiba-tiba kelopak mata kiri saya tidak bisa saya kedipkan. Otot pipi sebelah kiri kurang respon, dan ketika membuka mulut, bagian kiri mulut tidak seaktif otot mulut kanan. Saya segera dapat menenangkan diri. Hanya kecemasan kecil yang tersisa yang mendorong saya untuk mengirim SMS kepada isteri saya di Canberra 'call me'.

Singkat cerita, permintaan isteri saya segera memperkuat keputusan saya untuk ke rumah sakit setelah berbuka puasa. Di UGD, dokter yang memeriksa menyatakan saya kemungkinan kena mild stroke, berita yang tidak mengejutkan saya karena saya sudah menduga sebelumnya. Anehnya, mungkin karena unconscious competent, saya langsung acceptance dengan berita itu. Tapi dokter bilang, tunggu hasil CT Scan.

Di kamar perawatan, dokter Wicahya, neurologist yang memeriksa menyatakan saya tidak kena mild stroke, melainkan bell's palsy, yaitu kelumpuhan otot wajah akibat gangguan syaraf belakang terlinga. Saya belum pernah mendengar penyakit itu sebelumnya, sehingga tidak tahu, ini berita yang 'lebih melegakan' atau tidak. Tapi melihat cara dokter menjelaskan, saya menyimpulkan, penyakit ini 'jauh lebih baik' daripada kena mild stroke. Anehnya, saya tidak shock dengan keadaan ini, dan langsung menerima dengan ikhlas. Saya langsung menelpon Riri Artakusuma untuk menyampaikan berita ini kepada Mas Toto, Area Manager Smart FM yang menangani keberangkatan saya ke Banjarmasin dan Balikpapan untuk mengisi acara off-air charity, agar mengantisipasi pengganti saya. Saya juga berharap Smart FM mudah mendapat ganti pembicaranya. Belakangan, Mbak Diana Rosianti, Area Manager Smart FM Kalimantan mengabarkan mudah mendapat pengganti saya, yaitu Mas Iman Teguh Perdana. Saya juga memberitahu EO untuk membatalkan order pelatihan dan mengembalikan uang muka yang sudah diterima. Semua dilakukan dengan perasaan ikhlas dan enteng karena yakin rejeki saya akan dicukupkan oleh Tuhan dan ada proses 'penyeimbangan' kehidupan saya setelah itu.

Berita tersebar. Beberapa teman memberitahu teman atau kerabatnya, atau bahkan dia sendiri juga pernah terserang penyakit itu, dan sembuh. Ini membuat saya 'tidak sendiri'. Rupanya hanya dalam hitungan hari, penyakit yang sebelumnya tidak saya kenal, tiba-tiba karib di hadapan saya. Teman-teman saya, maupun teman-teman isteri saya, juga teman-teman ibu saya memberi berita bahwa dirinya, temannya, ayahnya, saudaranya, juga pernah kena. Ini aneh buat saya, karena sebelum kena bell's palsy, belum pernah sama sekali saya melihat orang bell's palsy, kecuali lumpuh karena stroke. Fenomena ini mirip ketika tiba-tiba saya naksir jenis mobil tertentu, tiba-tiba sepanjang jalan yang saya lalui mobil jenis itu 'ramai' saya lihat.

Saya berfokus pada menikmati proses penyembuhan karena saya tidak ingin mensugesti diri dengan 'ratapan-ratapan' dan pengibaan. Sayapun menyetel pikiran saya untuk 'biasa-biasa' saja.. Facebook-pun saya becandain. Status pertama saya setelah itu adalah 'alam menyediakan situasi untuk kita mempraktekkan apa yang kita ajarkan kepada orang lain'. Kalimat ini saya cuplik dari kapsul Mas Prie GS beberapa tahun silam.

Dalam perbincangan di telepon dengan teman yang menyapa lewat telepon, saya bilang kalau wajah saya sekarang seperti "Two Face" musuhnya Batman, cuma kalo two face asli separuh wajahnya jelek, separuh wajah saya malah mirip Tom Cruise. Kata isteri saya, sebelah lagi kayak Budi Anduk.

Ucapan, harapan, doa, saran, semangat, dan reframing-pun diberikan teman-teman saya lewat telepon, sms, facebook, BB, YM, dan email. Reframing yang paling banyak adalah terhapusnya dosa-dosa saya seperti rontoknya dedaunan, dan ujian untuk naik kelas. Mas Prie GS sendiri memberi kalimat yang 'kena' di 'peranakan' saya : "Ayo Gus, sembuh. Bismillah". SMS kedua beliau berbunyi "Ayo Sehat. Awakmu isih penting kanggo Indonesia. Insya Allah." (Ayo Sehat, dirimu masih penting untuk Indonesia. Insya Allah), jelas bahasa ketulusan yang menyetrum.

Bu Fanny Budiman sahabat saya dan isteri menulis komentar di status FB saya : 'Saya pernah dengar Pak Jansen mengatakan, berapa banyak orang yang punya kesempatan mengunjungi Alaska? Tidak banyak. Berapa banyak orang yg pernah mengalami stroke? Tidak semua orang. Hanya orang yang pernah mengalaminya yang bisa bercerita tentang hal tersebut. Jadi dinikamti dan disyukuri.... Berapa banyak orang... yg mengalami Bell's Palsy? Mas Pras adalah salah satunya yang nantinya bisa bercerita tentang hal tersebut."

Sayapun sering 'mengklarifikasi' wajah saya kepada mereka yang baru ketemu, supaya tidak salah sangka bahwa yang mereka lihat sebagai 'sinis' itu sebenarnya saya sedang tersenyum atau tertawa. Saya juga beberapa kali me-reframe teman yang tanya saya kena penyakit apa. Saya bilang, saya tidak kena penyakit, tapi mengalami keadaan yang belum pernah saya alami sebelumnya dan memerlukan treatment tertentu. Meskipun mungkin dalam hati mereka bilang, "ahhh, si Prass bisa aja menghibur diri..."

Terlebih dari semua itu, ini semua adalah bentuk kasih sayang Tuhan kepada saya, yang tidak perlu saya perjelas lebih jelas lagi, karena semua sudah jelas... Buktinya, kalau bukan bell's palsy ini, rasanya jauh dari mungkin teman-teman dan kolega tahu rumah saya (terimakasi tak terhingga dan doa kebaikan untuk anda yang sudah mendoakan dan menyemangati saya).

Karena bell's palsy ini pulalah isteri saya mempercepat dan memperpanjang liburannya dari Canberra. Sebelumnya, ia tak kuasa meminta izin pulang liburan lebih dari 4 minggu karena peraturan lembaga pemberi beasiswa. Tuhan mengabulkan doa saya dengan cara yang elegan .... ***

Jumat, Agustus 07, 2009

Obat Bingung


Pak FX Hadi Tjokrosusilo menutup laptopnya. Kami baru saja selesai berbincang soal materi pelatihan beliau di tempat klien saya dimana lembaga yang saya pimpin menjadi provider-nya, ketika Mbak Nancy Mokoginta bertanya, "Mas, kita nanti mau membicarakan apa ?". Saya jawab, "Nggak tahu Mbak, saya masih bingung ..".

Limabelas menit lagi jam tujuh malam. Itu adalah waktunya saya memulai siaran perdana "PROVOKASI" di Smart FM. Setelah 'mundur' hampir setahun untuk menjawab permintaan Mas Dedi Irawan dan Mas Toto untuk talkshow reguler di radio bisnis dengan jaringan stasiun terbesar di Indonesia, akhirnya saya berani juga berkomitmen waktu. Beberapa hari sebelumnya saya memang mencari-cari topik perdana apa yang cocok untuk 'memprovokasi' pendengar Smart FM seluruh Indonesia. Saya mencari masukan lewat facebook, obrolan santai dengan teman, observasi kemana-mana. Semuanya berujung kepada satu hal : bingung.

"Belum tahu Mbak, masih bingung ..", jawab saya.

Saya lihat wajah Mbak Nancy agak menegang. Saya tahu ia grogi, sama dengan saya. Bahkan untuk menentukan konsep talkshow saja, saya baru menemukan ide dua hari sebelum hari H., yaitu obrolan santai tektok antara saya dan Mbak Nancy sang host. Untuk content topik perdana, masih blank. Karena beberapa kali saya membayangkan blank untuk topik perdana, saya malah diserang gugup. Padahal 'belanda masih jauh'. Akhirnya mendingan tidak usah saya pikirkan sama sekali. Santai saja.

Tiba-tiba, seperti ada 'blink', saya langsung ngomong, "Nah, kalau begitu kita membahas soal bingung saja Mbak ..". Cling ! .. Wajah Mbak Nancy seperti terkena cipratan air yang dikepret dukun. "Pokoknya motto acara kita 'bebas, aktif, dan tidak terarah' ... hehehe .. ", imbuh saya. Belakangan, ia memang cerita bahwa apa yang saya pikirkan persis dengan apa yang ia pikirkan.

Setelah ziarah ke toilet sambil meregangkan otot menghilangkan perasaan gugup, saya memasuki ruang siaran dengan degup jantung yang ngebut. Saya nikmati saja kegugupan dan kebingungan ini dengan yakin pada satu keyakinan saya : apapun yang saya bicarakan, pasti ada manfaatnya.

Mbak Nancy berhasil membuka acara dengan sangat manis, karena kalimat pertamanya mengandung kata 'bingung'. Kuatlah konsep content acara perdana itu : bingung. Singkat cerita, kejujuran akan kebingungan ternyata membawa berkah. Listener yang bertanyapun banyak bicara soal bingung. Bahkan, penanya pertama mengaku bingung mau tanya apa.

Setelah bicara ngalor-ngidul yang kadang tidak terarah sebagaimana motto konsep acara ini, akhirnya di ujung talkshow ketemu juga learning point dari soal 'bingung' ini. Bahwa untuk menjadi tidak bingung, alias bingungnya hilang, tipsnya adalah : anggap saja tahu, lalu action saja. Nanti akan ketemu jawabannya.

Sehari sesudah talkshow, dalam briefing kepada mahasiswa yang hampir DO karena belum membuat thesis karena bingung mau menulis apa, saya membagi pengalaman dan tips di talkshow semalam soal mengatasi kebingungan.

Sebenarnya saya tidak mengada-ada. Karena justru tips mengatasi bingung itu sudah saya ujikan di talkshow perdana saya. Saya masuk ruang siaran dengan bingung, dan keluar ruang siaran sudah tidak bingung lagi. Sambil bingung, action saja, nanti keajaiban terjadi setelah itu.***

Selasa, Juli 14, 2009

Selesaikan berdua saja

"Kamu kok kayaknya mesra-mesra aja sama isterimu ? ... Nggak pernah konflik kayaknya ..", tanya teman saya.

"Siapa bilang ? ... pasti ada lah .. hanya saja semakin ke sini semakin mudah menyelesaikan konflik ..", jawab saya.

Cerita saya bertemu dan akhirnya menikah dengan isteri saya cukup unik -- bagi saya. Kami diperkenalkan oleh teman SMA. Saat itu saya masih kuliah di MM-UI, dan 'pas' kebetulan jomblo. Saya baru saja putus (lebih tepatnya diputusin) dengan seorang wanita yang menerima pinangan sahabat saya sendiri untuk menjadi isteri kedua sahabat saya itu.

Berbeda dengan kali sebelumnya, dimana kalau ada teman yang mau memperkenalkan saya, saya segera mengambil kuda-kuda dan persiapan yang membuat saya tampil prima. Dengan kata lain, saya akan jaim. Kali ini, saya sudah agak 'lelah' untuk jaim. Saya pikir, biarlah saya apa adanya, kalau frekuensinya atau rumus kimianya cocok, pasti terjadi reaksi. Kalau tidak, berpura-pura itu sangat melelahkan.

Kurang ajarnya, teman saya langsung meninggalkan kami berdua yang terpaku setelah saling diperkenalkan di Pasar Festival. Pandangan saya kali pertama mengirimkan gambaran yang mendorong self-talk keluar : 'hmm .. boleh juga nih ..". Setelah itu semuanya seperti mengalir begitu saja.

Seharian kami isi waktu dengan banyak berdiskusi. Hari kedua kami bertemu lagi dan obrolan kami mengarah kepada 'what if' .... Kami saling memberitahu definisi tentang cinta, hubungan, rumah tangga, masalah, konflik, dan seterusnya. Ternyata kok nyambung ... Akhirnya malam kedua kami bertemu, kami menyatakan 'jadian'. Alasannya, kalau visi sudah sama, buat apa lama-lama. Apalagi, lima hari lagi dia akan kembali ke California untuk kembali menyelesaikan masternya. Hari itu adalah minggu kedua dia liburan ke Jakarta.

Singkat cerita, long distance relationship setelah itu yang terjadi adalah mulai terkuaknya perbedaan-perbedaan, harapan-harapan, yang membuat situasi layak disebut 'konflik'. Mulai dari acceptance terhadap masa lalu kami masing-masing, menentukan konsep pertunangan dan pernikahan, sampai hal-hal kecil seperti nada yang kurang mesra karena kecapaian. Apalagi perbedaan waktu antara Indonesia dengan Amerika adalah siang dan malam.

Untung salah satu PR saya buat dia adalah "sebelum menikah, dia harus sudah khatam membaca buku Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey". Itu terjadi tahun 1997. Kami jadi melalui proses penyelesaian konflik dengan keyakinan bahwa yang terjadi adalah perbedaan paradigma dan persepsi akibat pengalaman masa lalu kami masing-masing, bermental berbagi, berusaha mengerti lebih dulu, dan sinergi kami nantinya justru akan kuat jika dibangun di atas perbedaan-perbedaan. Apa yang saya alami sesungguhnya itu memang tidak semulus kalau diceritakan di sini.

Setelah menikah, masih ada perbedaan soal kebiasaan hidup. Kadang-kadang dia ingin selalu bercerita soal masalahnya, saya pas juga punya masalah dan cenderung diam berpikir sendiri. Belum lagi kalau sms tidak cepat dibalas karena saya sedang mengerjakan sesuatu atau rapat. Anda pasti mengalaminya juga.

Proses itu kami lalui dan nikmati. Kami memrogram diri untuk tidak tergoda pada jalan pintas. Akhirnya sekarang, kami bukannya terbebas sama sekali dari masalah dan konflik, tetapi dengan cepat masalah itu kami selesaikan. Contoh yang jelas cukup 'berat' adalah ketika ia minta izin melanjutkan pendidikan S3 di Canberra Australia selama empat tahun, sementara kami belum memiliki anak, sementara usia kami sudah seputar kepala empat. Penyelesaian atas masalah itupun telah didapatkan.

Baru-baru saja, ia tiba-tiba meng-SMS saya merasa sedih setelah melihat foto yang saya upload ke facebook, dimana saya berfoto menggendong bayi seorang karyawati saya. Ia merasa saya sudah sangat menginginkan anak, tapi dia belum bisa 'memberinya'. Saya tidak membela diri atau menasehati untuk menggiring cara pandang dia (kembali) bahwa yang belum memberi kita anak bukan dia tetap Tuhan. Yang saya lakukan saat itu adalah segera menghapus kembali dan meminta maaf karena waktunya tidak tepat. Dia kebetulan memang akan menghadapi ujian terakhirnya. Saya perlu mendukungnya agar pikirannya fokus ke ujian. Itu lebih penting buat dia.

Ternyata, setelah saya runtut ke belakang, apa yang membuat kami sekarang lebih mudah saling mengerti dan cepat menyelesaikan masalah, maka jawabannya ketemu : kami selalu membicarakan masalah berdua saja, tidak ada orang lain. Memang untuk hal-hal yang berat, saya minta pendapat orang tua atau 'ahlinya'. Tapi bukan dalam semangat curhat, melainkan mencari suatu pandangan. Kami tidak melibatkan orang lain di dalam penyelesaian masalah kami. Hanya kami berdua.

Minggu, Juli 05, 2009

"L" Air Mental Fitness Center

"Mas, minta di lorong ya ..", pinta saya kepada petugas maskapai penerbangan "L" Air di konter check-in Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Suara saya yang mantap ditambah anggukan sang petugas membuat saya ayem mendapatkan posisi duduk yang saya inginkan.

Proses check-in berlangsung cepat. Saya menerima boarding pass dari secarik kertas putih dan melihat nomor kursi saya 19A, lalu langsung mengantonginya.

Waktu masih sejam lagi untuk boarding. Saya membawa buku NLP in Action karya Pak Wiwoho untuk me-refresh pengetahuan NLP saya. Sejak awal masuk ruang tunggu, saya punya feeling kali ini pesawat akan delay. Entah dari mana intuisi itu datang.

Benar ! ... Suara wanita yang lembut dan renyah mengabarkan pesawat ke Jakarta ditunda 1,5 jam. Untung buku Pak Wiwoho menemani saya. Saya segera keluar ruang tunggu, dan nongkrong di sebuah kafe sambil menyeruput teh poci.

Singkat cerita, setelah waktunya tiba, saya beranjak ke pesawat. Saya lihat label yang menempel di bagasi kabin, ternyata kursi saya ada di dekat jendela, bukan di lorong seperti yang saya minta. Meskipun sedikit kecewa, tapi karena boarding pass sudah tidak diubah lagi, saya menerima saja kenyataan ini. Sekali lagi, saya punya feeling tempat duduk saya sudah ada yang menempati. Benar ! ... Seorang bapak-bapak dengan wajah datar telah menduduki hak kursi saya.

"Bapak nomor berapa ?", tanya saya kepada bapak-bapak tadi.
"Saya di tengah, tapi saya sudah di sini, silakan ...", kata si bapak dengan wajah optimis sambil tangannya menyilakan saya duduk di posisi tengah yang seharusnya ia tempati.

Melihat adanya pelanggaran hak, amarah saya muncul. Bukannya minta izin, malah ngatur saya, begitu pikir saya. Persis seperti saya marah melihat mobil pribadi nyelonong di jalur busway dan menghalangi hak penumpang bus TransJakarta untuk cepat. Tapi kali itu ada mekanisme bawah sadar saya yang bekerja cepat memprogram saya untuk diam dan memasang wajah tidak senang saja. Hal ini karena posisi duduk pinggir jendela ataupun tengah sama-sama posisi yang tidak saya kehendaki semula. Lain halnya kalau yang direbut adalah kursi di pinggir lorong sebagaimana yang saya minta, maka saya mungkin lebih fight. Bagi bapak ini, menempati tempat saya bukanlah sesuatu yang 'masalah besar', bahkan mungkin tidak dia anggap salah. Saya bertekad, kalau bapak-bapak itu 'sok akrab', saya memutuskan akan tidak terlalu 'pacing'.

Saya kemudian tersadar untuk tidak larut dalam ketidaksenangan itu. Marah sih tetap marah, tapi ada suara yang mengatakan, siapa tahu posisi duduk di tengah itu lebih 'berkah'. Who knows? .. toh saya juga tidak memperjuangkan kursi 19A karena buat saya tidak terlalu 'worth'.

Brukkkk ! ... lha ? .. meja makan di belakang kursi depan saya terbuka. Ternyata kaitnya sudah kendor, sehingga beberapa kali saya lipat kembali tetap tidak bisa. Saya memanggil pramugari dan minta karet atau pengikat. Tunggu punya tunggu, apa yang saya minta tidak kunjung datang. Akhirnya, dengan semangat praja muda karana, dan memodel tokoh film "Mc Gyver", saya segera mencari-cari benda apa yang bisa saya gunakan untuk mengganjal meja lipat ini.

Aaaahh ..! .. saya lalu mengambil karton informasi berisi doa. Kartonnya tebal. Saya lipat tiga, lalu saya selipkan di antara kunci pengait, sehingga posisi karton terlipat itu seperti 'kepanjangan tangan' dari pengait. Problem had solved.

Sampai di Bandara Soekarno Hatta, saya berdiri di depan tempat pengambilan bagasi. Lama sekali barang-barang tidak kunjung muncul. Setelah lebih dari 15 menit, petugas "L" Air datang dan memberitahu bahwa barang masih di pesawat karena ada kesulitan membuka kompartemen. Setelah tigapuluh menit, akhirnya barang saya datang juga.

Hari itu saya sudah latihan beban di "L" Air mental fitness center. Ada rasa sakit dan lelah, tapi setelah itu mental saya merasa segar ...***

Minggu, Juni 21, 2009

25 Alasan Aku Berterimakasih Kepada Isteriku


1. Terimakasih untuk membuatkan aku susu atau teh
2. Terimakasih sudah membuatkan aku sop buntut, sop iga, tongseng, dan steak yang begitu enak
3. Terimakasih sudah mengantarkan aku ke dokter dan rumah sakit waktu aku sakit, bahkan sebelum kita menikah
4. Terimakasih sudah melindungi aku ketika aku diganggu dan dikejar wanita lain untuk dimiliki.
5. Terimakasih sudah mendengarkan aku ketika berkeluh kesah
6. Terimakasih sudah membelikan aku Blackberry
7. Terimakasih sudah membayar ongkos kursus-kursusku
8. Terimakasih sudah memberi ruang pribadi aku dan mengizinkan aku hang-out sama teman-temanku - bahkan dengan yang wanita sekalipun
9. Terimakasih telah menjaga rahasia-rahasiaku
10. Terimakasih sudah tetap menghormatiku meskipun gajimu jauh lebih besar dariku.
11. Terimakasih sudah menanggung biaya pengobatan almarhum ayahku
12. Terimakasih sudah memaafkan aku waktu lupa membelikan pesananmu
13. Terimakasih sudah menjadi ibu dari almarhum anak kita
14. Terimakasih sudah menerima aku apa adanya
15. Terimakasih untuk selalu mengingatkanku menaruh barang di tempatnya kembali
16. Terimakasih untuk cemburumu yang menyelamatkan aku
17. Terimakasih sudah mau menyupiri aku ketika aku kecapean nyupir
18. Terimakasih sudah mau mijetin aku dengan enak
19. Terimakasih mau beberapakali membayari tagihan kartu kreditku
20. Terimakasih kamu dandan cantik untukku
21. Terimakasih kamu selalu minta sholat berjemaah denganku
22. Terimakasih kamu menyayangi keluargaku dan menjadi teman dari teman-temanku
23. Terimakasih untuk hal-hal yang tidak bisa diceritakan di sini
24. Terimakasih kamu masih mencintai aku sampai sekarang
25. Terimakasih kamu masih punya banyak hal yang patut membuat aku berterimakasih

Yang diserahkan bukan jawabannya


Salah seorang dari 1.800 teman facebook mengirim pesan. Ia tanya nomor handphone saya. Ia ingin 'belajar menata pikiran dan hati'. Saya menduga, ini pasti urusan rumah tangga. Setelah beberapa hari tidak kunjung ditelepon juga, lalu saya mengirimkan pesan kalau agak kesulitan menghubungi saya, ia bisa menuliskan 'pengantar' atau 'mukaddimah' masalahnya lewat surat elektronik.

Ia menjawab, ia sudah bisa menata hati dan tegar. Suaminya sudah bercerita dari A sampai Z hubungannya dengan perempuan lain. Ia introspeksi dan minta maaf kepada suaminya karena banyak kekurangan. Ia bertahan karena ia yakin anak-anaknya pasti akan jadi orang besar. Ia bertahan demi kebahagiaan mereka.

Dari kalimat yang ia tulis, saya merasakan adanya keinsyafan dari teman saya itu untuk melihat ke depan. Sebagai peristiwa yang mengguncang emosi, mereka pasti butuh waktu untuk melalui proses recovery. Buktinya, waktu saya tawarkan suaminya ikut pelatihan saya di sebuah kota, ia bilang jangan dulu karena masih 'cooling down'. Sang perempuan lain itu masih berharap, katanya.

"Mas, betul tidak sih pikiranku ini, bahwa wanita sebaik apapun jika sudah menodai rumah tangga orang lain, apakah ia masih berstatus jadi wanita baik-baik lagi ?", tanya dia dalam perbincangan di yahoo messenger.

Keinsyafanpun akan diuji.

"Menurutmu, kalau kamu berada pada posisi perempuan itu bagaimana ?", tanya saya balik.

"Kami tidak akan melanjutkan, karena jika melanjutkan aku akan bahagia di atas penderitaan orang lain yang notabene keluarga lakiku sendiri, dimana lakiku berada bersama isterinya setiap hari. Itu bukan cinta, tapi keegoisan", kata teman saya itu.

Saya mafhum, setiap wanita yang berada posisi teman saya itu, menurut perkiraan saya jawabannya akan serupa. Itu adalah jawaban 'sadar'. Masalahnya, urusan cinta adalah urusan perasaan, sudah berada di wilayah 'bawah sadar' yang dalam satu sumber disebut punya kekuatan sembilan kali lebih kuat daripada wilayah 'sadar'.

Saya bilang, "Yang terjadi adalah ketidakberdayaan dua orang termasuk suamimu dalam mengendalikan perasaannya sendiri. Mereka dikendalikan oleh perasaan mereka sendiri."

Saya melanjutkan, "Lagipula, apakah berguna buatmu memikirkan perempuan itu ?. Mau baik-baik kek, atau sudah tidak baik-baik kek, kalau dipikirin apa ada manfaat positifnya buat recovery hubunganmu dengan suamimu ? Apa bukan yang penting buatmu itu adalah membuat suamimu 'kembali' hatinya kepada kamu ?"...

"Betul mas, aku akan menjadi wanita yang menjaga sikap dan mengerti keinginan suamiku..", katanya.

Saya lalu candain, "bukan cuma mengerti, tapi perlu juga 'dimengerti' .. Caranya dimengerti adalah menyatakan keinginan tanpa mendikte suami ..., nanti kapan-kapan kita bahas. Sekarang, apa yang kamu mau lakukan supaya menjalani 'jaga sikap' dan 'mengerti keinginan suami' itu dengan IKHLAS ?"

Jawabnya, "Tidak menuntut apapun darinya, yang penting aku melakukan apapun dengan tidak tebebani, dan bersyukur pada Tuhan. Tadinya aku berharap ini itu darinya, yaitu sholat, menutupi kekurangan keuangan atau ekonomi keluarga, karena belum ikhlas. Aku sering menangis dalam sholat, supaya bisa melewati ini semua dengan tegar..".

Saya bilang, "Menangis itu jangan-jangan karena kamu memikirkan apa yang TELAH dia lakukan dan apa yang telah terjadi ? ..."

Dia bilang, "Banyak hal yang membuat aku menangis. Yang telah dia lakukan, dan masa depan. Juga menangis karena mencintai Tuhan .. merasa Tuhan masih menyayangiku .. Aku hanya menyerahkan ujian ini kepada Allah SWT ... ".

Aku langsung menyela, "Lhoooooo .... lha wong Tuhan itu kasih ujian kepada kita untuk kita jawab, kok malah jawabannya diserahkan lagi ke Tuhan jawabannya ? ... Jangan belum apa-apa terus diserahkan kepadanya, seolah yang tanggungjawab adalah Tuhan. Ini namanya kita nggak bertanggungjawab. Tuhan itu akan mengubah keadaan kita kalau kita sendiri yang sudah usaha merubahnya. Kunci jawabannya itu sebenarnya sudah diturunkan Tuhan sekaligus besama dengan soalnya. Kita cuma tinggal disuruh mencari saja di sekitar kita. Nahh .. yang diserahkan kepada Tuhan itu hasilnya .. ponten-nya..."

Dia langsung bilang, "Tapi, kata suamiku, perasaan dia kepada perempuan itu karena campur tangan Tuhan .. tidak bisa dikendalikan sampai sekarang. Mereka masih tidak bisa mengendalikan perasaan itu ..".

"Hahahaha ... kata-kata suamimu itu hanyalah ketidakberdayaan dirinya mengendalikan perasaannya, lalu dia blame Tuhan. Tuhan ia kambinghitamkan ... Lagipula mau tahu masalahnya ? ... karena suamimu sudah bilang sendiri 'masih tidak bisa mengendalikan perasaan itu ..'. Sebenarnya bisa, hanya tinggal cari tahu caranya saja ...", jawab saya.

Saya melanjutkan, "Nahhh .. sekarang fokus saja kepada apa yang ada dalam kendali kamu. Bayangkan dengan jelas dan detail dalam pikiranmu setiap habis sholat, apa yang kamu inginkan akan terjadi pada dirimu, dirinya, dan rumah tanggamu. Lalu bayangkan dan rasakan sepertinya apa yang kamu inginkan itu telah terjadi ... Setelah itu bilang 'amiiiin'. Itu sudah doa .. Kalau ikhlas, Insya Allah terjadi."

Karena teman saya itu 'naga-naganya' tidak bisa lama-lama chatting dari warnet, saya langsung memberi saran, "Minta suamimu jadi imam sholat. Tapi mintanya bukan, 'ayo sholat dan imami aku ..', tapi nyatakan keinginanmu 'aku ingiin sekali sholat kali ini jadi makmum kamu ..'. Dan kalau itu dia lakukan, setelah itu ucapkan dengan lembut, 'terimakasih'. Sering-sering ucapkan 'terimakasih', nanti kan ada bedanya..."

"Thanks banget mas ..", katanya.

"Udah baca note-ku di facebook yang judulnya '25 alasan aku berterimakasih kepada isteriku' ?", tanya saya.

"Udah mas. Kamu hebat bisa mengucapkan terimakasih atas hal-hal kecil yang dilakukan isterimu. Suamiku belum .. Tapi aku tidak mengharapkan itu ..", kata teman saya itu ...

Kalimat teman saya ini jelas sekali menyiratkan kerinduan dan harapan dia bahwa suaminya memperhatikan dan berterimakasih terhadap hal-hal kecil yang ia lakukan juga untuk suaminya, meskipun dibungkus oleh kalimat penutup ego "tapi aku tidak mengharapkan itu ..".

Saya menjawab, "Yaa kamu tidak harus membuat note di facebook, atau menyerahkan surat ucapan terimakasih itu kepada suamimu. Tapi kalau kamu membuat 25 alasan kamu berterimakasih kepada suamimu, setidaknya akan memperkuat sinyal dan energi positifmu dalam menjalani proses recovery ini ...".

Tiba-tiba dia menghilang. Catatan di layar komputer, dia sign-off. Mungkin dia buru-buru sehingga belum sempat pamitan ...***

Selasa, Mei 26, 2009

Menafsirkan tafsir


Anjing, babi, monyet, kampret.

Itulah kata-kata yang saya tulis di status facebook. Apa yang melatari saya membuat status itu ? .. Hmm .. nanti saja saya jelaskan. Yang jelas, dalam hitungan detik ada bunyi 'krwenggg' di Blackberry saya. Itu tandanya ada notification di facebook. Setelah itu -- seperti yang saya duga -- suara itu lebih sering berbunyi lagi.

Komentar teman-teman jemaah alfesbukiyah sangat beragam-ragam.

"????? Lagi ngafal nama2 binatang, atau ..??" adalah komentar perdana yang muncul. Sang teman ini belum melakukan penyimpulan. Ia masih mengumpulkan informasi karena ia mafhum ada banyak kemungkinan maksud dari status saya tadi. Begitu juga komentar yang berbunyi, "Maksudnya Pak ?".

"nama2 binatang yang lucu deh kalo dibuat kartunnya..". Komentar ini meluncur dari seseorang yang tidak peduli apa maksud saya yang sebenarnya, tapi dia gunakan sebagai sumber daya untuk membangun image yang menyenangkan untuk dirinya.

"jd inget kapten haddock ...temennya tintin..;P". Teman saya ini langsung menghubungkan kata-kata saya dengan makian seorang tokoh kartun yang suka mengeluarkan sumpah serapah kalau sedang bete, tapi saya tidak tahu apakah teman saya itu yang dibayangkan adalah Kapten Haddock, atau saya yang sedang mengeluarkan sumpah serapah.

"ealaaaaahhhhh,,,, no koment dech". Ini komentar orang yang tidak menyangka ada kata-kata itu di status facebook.

"Kenapa pak? Wah.. Parah kata2nya..". Nah, ini sudah jelas 'tuduhannya', meskipun dibungkus dalam kalimat tanya, sebab dihubungkan dengan kalimat berikutnya. Kata-kata status saya yang netral kemudian dihakimi sebagai kata-kata parah plus diberi muatan emosi tertentu di dalamnya. Si kata-kata jadi terhakimi. Sama dengan flu babi yang menurut Departemen Kesehatan RI tidak ada hubungannya dengan babi. Makanya Depkes mengubah istilahnya menjadi swine flu. Kasihan babi namanya tercemar, begitusalah seorang direktur di Depkes.

"pasti abis serempetan ya?". Nah, ini sudah jelas menuduh bukan ?. Sudah tafsirnya tidak sama dengan kenyataannya (dalam bahasa subjektif, saya beri nama : keliru), malah dia menciptakan fiksi lainnya.

"Itu nama* hewan...(kcuali kampret)". Nah, ini awalnya benar, yaitu nama-nama hewan. tapi
ia belum tahu bahwa kampret itu adalah nama slank dari kelelawar.

"Cuman kampret yang di keluarga ku nggak ada??? kamu mau jadi ..kowe gelem jd keluarga ku??". Teman saya ini langsung menggunakan status saya sebagai sumber daya untuk bercanda, dan menurut saya ia cukup cerdas untuk bercanda. Tingkat berpikir yang lebih tinggi dalam humor.

"Pak Prasetya ini luar biasa, ternyata sangat mencintai binatang , bukan begitu pak?
try to Be positif ....". Ini adalah komentar teman yang menyodorkan proposal reframing kepada saya atau kepada dirinya sendiri, tapi terasa ada gambaran di pikirannya bahwa diri saya sedang 'negatif'.

Lalu apakah tafsir teman-teman saya itu dalam bentuk komentar benar atau salah ? ... Lha, saya ini malah sedang menafsirkan tafsir teman-teman saya. Sekali lagi, tafsir saya atas tafsir mereka-pun tidak luput dari ketidaksesuaian antara apa yang saya lihat di peta pikiran saya sendiri dengan peta pikiran mereka. Dengan kata lain, tidak jelas betul persepsi-persepsi yang terjadi berikutnya. Dan tindakan kita berasal dari persepsi-persepsi yang tidak jelas kebenarannya itu.

Yang benar, saya sedang 'iseng' ingin tahu respon teman-teman facebook kalau saya menulis nama-nama binatang yang menjadi 'carrier' penyakit, karena saya baru saja memberi pelatihan di Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Departemen Kesehatan RI.

Yang tahu maksud sebenarnya dari status itu hanyalah saya dan Tuhan, tapi hidup kita dibisingkan, di-tek-tok-an, dan diombang-ambingkan oleh pemahaman-pemahaman yang 'berayun-anyun', 'ngambang', fragile, kebenaran subjektif. Bayangkan persepsi-persepsi yang lahir, keyakinan-keyakinan yang terbentuk, dari hanya dengan membaca headline di koran, sepenggal kalimat yang diucapkan oleh acara gosip di televisi, bisik-bisik dari tetangga ?. Dan kita akan mengalami dari apa yang kita yakini, meskipun keyakinan itu terbangun dari ilusi yang fiktif.

Jadi, yang bikin hidup kita ribet siapa ? ***

Senin, Mei 18, 2009

Bukan Siapa, Tapi Apa

Selesai mengevaluasi kegiatan pelatihan untuk sebuah instansi pemerintah, pimpinan tim segera melaporkan kepada saya apa yang sudah dibicarakan. Di hadapan saya, wajah beliau tampak tidak terlalu ceria seperti biasanya. Saya sudah merasa, pasti ada kekurangan yang dianggap fatal.

Beliau menyampaikan bahwa tim lupa membagikan slayer kepada peserta pelatihan. Meskipun peserta tampak tidak terlalu peduli soal slayer, dan di lembar evaluasi pelatihan tidak kami temui sedikitpun peserta menyinggung soal slayer, tapi karena slayer sudah jadi bagian dari rencana tim kami, maka ketika kenyataannya tidak sama dengan rencananya, itu kami anggap masalah.

Apa itu namanya memperpanjang masalah ? .. Toh, klien juga tidak terlalu peduli. Oh, tidak ... Masalah ini sengaja kami permasalahkan karena berguna untuk melatih kecermatan tim kami nantinya dalam mengeksekusi rencana yang sudah dibuat matang. Jadi mempermasalahkan masalah ini masih bermanfaat.

Selama laporan lisan itu, saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya saja karena saya lihat proses evaluasi dan pembelajaran yang dilakukan sudah benar.

Seperti biasa, saya paling suka menindaklanjuti laporan apapun dengan mendatangi mereka yang terlibat dalam proses suatu kegiatan di lain waktu. Saya sengaja 'pasang badan' untuk menunggu dicurhati lagi, siapa tahu ada informasi yang belum saya dengar bisa muncul, sehingga menggenapkan pemahaman saya tentang apa yang sudah terjadi.

"Saya memperhatikan akhir-akhir ini master of training maupun training officer sudah tidak lagi memegang rundown dan check-list. Saya paham karena program ini sudah berkali-kali kita lakukan, jadi kita merasa hafal. Nyatanya, kemarin ada yang kelupaan kan ? .." kata saya menanggapi salah seorang staf saya yang akhirnya menyinggung lagi soal evaluasi pelatihan itu.

"Ya memang itu salahku ...", kata salah seorang anggota tim yang merasa 'bersalah' atas beberapa kekurangan yang terjadi.

"Oh, bukan ... kita tidak bicara soal siapa yang salah karena tidak bermanfaat untuk ke depannya. Semua orang bisa salah kok. Yang kita bicarakan adalah apa yang salah. Dengan tahu apa yang salah kita jadi tahu apa yang benar, dan semua orang bisa melakukan apa yang benar", timpal saya.

"Lagipula, yang kamu lakukan itu bagi saya bukan 'salah'. Sebenarnya kamu cuma tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu, sehingga hasil dan dampaknya seperti ini - sesuatu yang tidak kita inginkan. Itu saja ... Kita menjadi 'salah' kalau kita tidak tahu apa yang tidak sesuai dengan harapan itu, lalu tidak merencanakan tindakan yang ada dalam kendali kita yang akan mendekatkan hasil dan dampaknya kepada yang diinginkan ...", tambah saya. "Tapi menjadi salah pangkat tak terhingga kalau kita tidak melakukan tindakan yang sudah direncanakan untuk mencegah kejadian ini terulang kembali ...".

Ia kelihatan sedikit lega karena saya tidak menyalahkan dia. Kenapa saya tidak menyalahkan dia ? Karena dia sudah tahu apa yang telah dan tidak dia lakukan sehingga masalah itu terjadi. Saya juga menangkap nada dia waktu mengucapkan menunjukkan semangat belajar dari kesalahan untuk perbaikan ke depan. Lain halnya kalau misalkan staf saya itu tidak mau ikut bertanggungjawab alias ngeles, lalu membelokkan tanggungjawab kepada orang lain atau situasi lain. Ia bisa jadi 'makanan empuk' saya.

"Yang sudah terjadi toh tidak bisa kita ubah. Ya sudah, yang penting bagaimana kita membuat klien kita yang mungkin kecewa bisa senang dan percaya lagi. Lalu ke depannya, kita kembali ke standard operating procedure untuk membaca rundown dan melakukan recheck bersama sebelum kegiatan dimulai ..." ***

Kamis, April 09, 2009

Malu

Pelajaran dibuka dengan mendengarkan siaran ABC News. Hari itu adalah minggu kedua saya berada di Canberra - Australia. Dengan tertatih-tatih, kelas akhirnya berhasil paham isi berita radio pemerintah Australia itu karena aksen penyiar yang sangat 'melelahkan' untuk didengar. Berita kali itu adalah tentang people smuggling (penyelundupan manusia) ke Australia. Pelakunya adalah orang dari Indonesia, Afghanistan, dan Srilanka. Indonesia disebut pertamakali.

Di kelas itu, guru saya orang Australia kelahiran Jerman, sementara teman-teman sekelas saya orang Cina, Jepang, Korea, dan Perancis. Orang Indonesia cuma saya sendiri.

Dalam beberapa diskusi di kelas, saya merasakan alur pembicaraan sangat fokus kepada masalah dan menghindari menilai orang. Kami membicarakan the crime, bukan the criminal (pelaku). Beda dengan sewaktu saya terlibat dalam beberapa diskusi di Indonesia, peserta mudah sekali terjebak kepada 'menghakimi' pelaku, sehingga yang muncul seringkali perdebatan siapa yang salah siapa yang benar, bukan bagaimana solusinya dan apa yang perlu diperbaiki.

Sebagai orang yang lahir, besar, hidup di Indonesia, tiba-tiba saya disergap perasaan malu. Memang sih tidak ada mata yang melihat ke arah saya ketika nama Indonesia tersebut dalam diskusi itu, tapi rasa itu muncul.

Ketika masalah ini menjadi ide status saya di facebook, seorang teman lama mengomentari, 'kenapa musti malu ?'. Awalnya saya merasa aneh dengan pertanyaan ini, karena saya merasa rasa malu itu bagian dari nilai-nilai nasionalisme saya. Saya merasa, kita diminta untuk memperbaki segala sesuatu itu dari yang terdekat. Saya merasa Indonesia adalah 'keluarga', sehingga ketika anggota keluarga melakukan perbuatan yang melanggar hak 'keluarga' lain, kita perlu peduli untuk memperbaiki 'keluarga' sendiri.

Tapi setelah memikirkan lagi komentar teman saya itu, saya lantas melihat dia juga benar. Kenapa harus merasa malu ? .. Bukankah kejahatan atau kebaikan apapun dilakukan oleh individu lintas suku, agama, ras, kebangsaan, kelompok, dan sebagainya. Perzinahan juga pernah dilakukan oleh anggota sebuah organisasi keagamaan di Indonesia yang kerap melakukan penyisiran warung remang-remang dan 'pembelaan' terhadap Islam. Hanya saja, anggota itu segera dihukum. Itu artinya, perbuatan dilakukan oleh individu, bisa dari kelompok dan bangsa apapun.

Teman saya itu juga memprovokasi mengapa di kelas saya tidak mengungkapkan 'perbuatan' orang Australia di Bali soal penyelundupan heroin, fedofilia, dan sebagainya. Tentu saja saya tidak akan mengungkapkan ini di kelas, karena itu sama saja saya mencari gara-gara dan menunjukkan 'level' reaksi saya dalam diskusi. Prinsip saya, apapun perbuatan orang berkebangsaan lain di negara kita, seyogyanya kita tidak melakukan kejahatan apapun di negeri sendiri, apalagi di negeri orang lain.

Komentar teman saya itu punya makna filosofis yang tinggi - bahwa manusia berbagai bangsa itu sama - egaliter -, dimana tidak berarti suatu kejahatan yang dilakukan seseorang serta merta merendahkan atau meninggikan bangsanya, melainkan tanggungjawab orang itu sendiri di hadapan Tuhan dan manusia lainnya -- termasuk di hadapan bangsanya sendiri.

Meski begitu, saya tetap memilih untuk malu.Teman saya Irma Renata ikut memberi komentar, "beruntunglah orang-orang yang masih memiliki rasa malu". Saya setuju dengan Irma. Bagi saya, selama ada rasa malu, masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan negeri yang saya cintai ini. Rasa malu ini memberi memberi manfaat buat saya untuk berpikir dan merencanakan apa yang perlu dilakukan di masa depan agar saya, keluarga, lingkungan dan bangsa kita benar-benar menjadi warga dunia yang baik dan mulia. ***

Selasa, Maret 03, 2009

Mind Management


Meskipun saya tahu sinetron itu adalah sansak omelan saya kalau cerita dan adegannya jauh dari masuk akal, setiap menonton sinetron di bagian akhir setiap episode, kalau saya 'terlarut' dengan cerita sebelumnya, pasti ada perasaan 'halahhhhh ... bersambung lagi ..'. Rasanya ingin segera tahu nasib si protagonis yang teraniaya, atau apa yang akan dilakukan oleh sang antagonis itu terhadap si teraniaya tadi. Kalau ceritanya seru dan 'nanggung', maka 'penderitaan' karena tidak dapat memuaskan keinginan sang pikiran terhadap jawaban menjadi makin terperi.

Lain waktu saya menyaksikan bagaimana emosi sepupu saya diaduk-aduk keras oleh sebuah sinetron. Ia 'mendiskusikan' nasib si tokoh-tokoh di sinetron itu dengan ibu saya. Sebenarnya lebih tepatnya 'bergunjing''.

"Iiih .. rasain tuh si anu, jahat sih .."
"Harusnya dia bongkar aja rahasianya, biar ketauan kedoknya .."

Saya merasakan seolah-olah apa yang dibincangkan mereka adalah nasib orang-orang yang 'dekat' dengan mereka. Seolah-olah orang yang dibicarakan itu tetangga mereka. Seolah-olah cerita dan orang-orang itu NYATA. Padahal, apa yang mereka bicarakan adalah 'barang' fiktif. Pikiran tidak membedakan mana kenyataan mana fiksi. Ketika emosi terlibat, maka apa yang seseorang 'lihat' bisa masuk ke memorinya lebih dalam dan permanen, memprogram cara berpikir dia. Lihatlah kedua kalimat yang keluar dari mulut mereka yang menunjukkan pola berpikir dia terhadap (atau malah akibat) sinetron tadi. Tidak ada nilai-nilai memaafkan menyikapi kesalahan sang antagonis -- sebagaimana keluhuran budi yang diharapkan oleh Sang Pencipta untuk menjadi manusia mulia.

Kebanyakan hidup kita menderita oleh pikiran kita sendiri -- oleh keinginan kita sendiri. Saya pernah menyaksikan ekspresi kecewa maha berat dari seorang peserta kuis, karena dia gagal mendapatkan ratusan juga rupiah dan 'jatuh' ke titik aman ketiga yang nilainya puluhan juta rupiah. Padahal, dia datang ke studio itu tanpa mengeluarkan sepeserpun -- ya ada sih, ongkos transportasi plus modal beli baju dan dandan-- lalu mendapatkan puluhan juta rupiah, tapi masih kecewa dan menderita juga !.

Suatu hari saya berada di tengah rombongan teman-teman kantor yang sedang piknik ke daerah Garut. Bis berhenti di depan sederet toko jaket kulit. Karena seluruh penumpang turun, sayapun ikut turun. Saya tiba di sebuah kios yang memajang jaket-jaket kulit yang ciamik. Pandangan saya tertuju ke sebuah jaket yang membuat saya langsung tergiur memilikinya.

"Berapa nih a' ...?" tanya saya.
"Empat ratus ribu", sodor si aa' penjual.
"Wah, duaratus limapuluh ya" ... tawar saya.
"Nggak bisa a', tigaratuslimapuluh ...."

Saya tetap bertahan di angka 250 ribu. Sementara, si aa terus menurunkan offering price-nya. Sampai akhirnya si aa mematok final price Rp 285 ribu, dan saya di posisi Rp 260 ribu.

"Jadi nggak boleh 260 ribu nih ?", tanya saya tegas.

"Wah, nggak bisa deh a, terakhir 285", kata si penjual.

Akhirnya saya ngeloyor pergi menuju bis. Menjelang keberangkatan ke Jakarta, teman saya Slamet Sudarsono yang sedari tadi bersama saya tampak tidak habis pikir dengan tindakan saya, lalu mencoba memprovokasi saya.

"Mas, nggak jadi ngambil jaketnya ?", tanya Mas Slamet.

"Nggak .. dia nggak mau 260, mintanya 285", kata saya.

"Nggak nyesel mas ? .. cuma tinggal 25 ribu lagi lho .. di Jakarta harganya bisa 350-an".

"Nggak ..", jawab saya.

"Kok nggak nyesel ?", tanya dia keheranan.

"Gampang ... hilangkan saja keinginan beli jaket ..", jawab saya datar.

"Lho, kok gitu ?", tanya dia lagi.

"Tadi saya tidak punya keinginan untuk beli jaket, lalu lihat ada jaket bagus, lalu seketika muncul keinginan memiliki jaket itu. Kalau keinginan itu tidak tercapai, ya tinggal dihilangkan saja seolah-olah seperti sedia kala, belum lihat jaket. Itu karena berarti jaket bukanlah sesuatu yang prioritas dan urgent karena tidak ada dalam rencana saya. Kalau saya menyesal, lalu terbayang-bayang si jaket, maka hidup saya setelah itu dibikin menderita bayangan 'seandainya saya punya jaket'. .. Saya beli jaket itu untuk membuat saya bahagia. Sekarang kalau saya bisa mengontrol pikiran saya sendiri, keinginan saya sendiri, lalu saya berhasil menyembuhkan 'kekurangan' saya akan want -- bukan need -- lalu saya bahagia tanpa jaket itu, apa bedanya ? ***

Jumat, Februari 20, 2009

Anak Nakal

Seorang pendengar Smart FM mengirimkan email dan curhat, bahwa ia sewaktu kecil sangat dikekang oleh orang tua. Ia menderita bronchitis, tapi sekarang sudah sembuh. Oleh orangtuanya ia dilarang kemana-mana. Bahkan hanya untuk ke warung yang jaraknya empat blok dari rumahnya. Karena terkekang, akhirnya ia 'sengaja' berontak. Ia sudah merokok kelas 4 SD, dan minum minuman keras sepulang sekolah waktu SMP. Ia menamai dirinya anak nakal (ia menuliskannya dengan tegas, bahwa "sekarang saya nakal"). Ia lantas mengeluh kenapa orangtuanya begitu. Cara orangtuanya mendidik itulah yang membuat ia menjadi seperti ini. Ia bilang tidak akan nakal lagi kalau orang tuanya juga mengubah gaya mendidiknya.

Ayah Edy sang narasumber yang pakar pendidikan anak dan kecerdasan holistik itu menerangkan bahwa motif orangtua mendidik si anak ini sudah benar. Hanya memang orangtua perlulah mengikuti perkembangan zaman untuk menyesuaikan cara dan pendekatan kepada anak dalam mendidiknya. Lumayan dapat inspirasi untuk bekal saya jika menghadapi situasi serupa.

Di dalam mobil, saya berkhayal, seandainya anak itu bertanya kepada saya, maka saya akan memulai 'provokasi' saya dengan bertanya : "Apa maksud baik dari orangtuanya melarang sana-sini ?". Ini sama dengan Ayah Edy.

"Menurut 'bunga' (nama samaran yang saya pinjam dari koran Warta Kota atau Pos Kota kalau menyamarkan nama seorang perempuan) apa maksud baik orang tua melarang Bunga ke sana-sini ?"

"Apa artinya maksud baik itu buat Bunga ?"

"Dengan tujuan baik itu, apa yang akan terjadi terhadap bunga ?"

"Kira-kira apa yang akan Bunga lakukan seandainya tujuan baik itu benar-benar terjadi ? Apakah Bunga akan marah kepada orang tua Bunga ? atau berterimakasih ?"

"Ternyata Bunga punya keinginan sendiri bukan ? Apa yang sudah Bunga lakukan agar orang tua tahu, memahami, dan mendukung keinginan Bunga ?"

"Dengan cara yang sudah pernah Bunga lakukan, orang tua tidak setuju ? .. Lalu, apa yang belum pernah Bunga lakukan untuk membuat orang tua setuju dengan ikhlas ?"

"Kalau Bunga menyebut diri 'nakal', memangnya yang disebut 'nakal' itu seperti apa ?

"Lalu bagi Bunga, yang disebut "baik" itu seperti apa ?"

"Kalau sekarang ini Bunga menjadi apa yang Bunga sebut sebagai 'nakal', apakah ini keputusan Bunga sendiri atau keputusan orang tua Bunga sehingga Bunga menjadi 'nakal' ?

"Kalau ini akibat orang tua, sekarang seandainya orang tua Bunga sudah tiada ... mereka sudah meninggal, sehingga mereka tidak bisa melarang-larang Bunga lagi, apakah Bunga tetap memutuskan untuk 'nakal' seperti saat ini ? ... Apakah 'nakal' ini yang benar-benar Bunga mau ?

"Jadi 'nakal'nya Bunga itu keputusan Bunga atau orangtua Bunga ? Mereka yang memutuskan atau yang mempengaruhi ?"

"Jadi yang memutuskan Bunga bukan ?"

"Berarti, Bunga jugalah yang punya kuasa untuk memutuskan Bunga menjadi anak 'baik' ?"

"Dengan nakalnya Bunga seperti saat ini, kira-kira tiga tahun lagi Bunga menjadi orang yang seperti apa ? .. Lima tahun lagi seperti apa ? ... Apakah itu yang Bunga mau ?

"Kalau Bunga menganggap masalahnya dimulai dari orang tua .. okelah ... berarti mereka bermasalah .. mereka tentu butuh bantuan untuk memecahkan masalah mereka bukan ? .. Siapa yang bisa menolong masalah mereka ? ...

"Kalau Bunga menganggap mereka sendirilah yang bisa menolong dirinya sendiri, maka mereka juga melihat Bunga bermasalah dengan 'nakal'nya Bunga saat ini, sehingga mereka menganggap Bungalah yang bisa menyelesaikan masalah Bunga sendiri, bukan ?"

"Okelah, kalaupun Bunga tetap menganggap mereka bermasalah, maka nyatanya mereka sampai sekarang tetap belum bisa berubah ... berarti masalah mereka tetap ada sampai sekarang ... So, maukah Bunga menolong mereka memecahkan masalah mereka ? " ...

"Menurut Bunga, apa yang Bunga perlu lakukan untuk menolong mereka agar mengubah gaya mendidik mereka sehingga apa yang Bunga inginkan terwujud ?"

"Apakah orang yang bermasalah bisa ditolong oleh orang yang bermasalah juga ? Bisakah maling disadarkan dan diubah perilakunya oleh maling juga ?"

"Berarti, supaya Bunga bisa menolong mereka yang bermasalah, Bunga perlu jadi seperti apa?"

"Lalu, apa saja yang perlu Bunga lakukan agar Bunga sanggup untuk menolong orang tua Bunga yang bermasalah itu ?"

Wah, ... namanya juga menghayal, bisa susah disetop pertanyaan-pertanyaan lanjutannya ...***

Gratisan bisa sukses ?


"Bozz ... seminar ente ada biayanya nggak ?", salah seorang kawan bertanya.
"Ya ada lah ...", jawab saya.
"Wahhh ... ntar aja kalo udah gratis yeee", katanya.

Seorang kawan lainnya juga bilang dalam sms-nya, "Ama temen gratis dong ...".
"Diskon 100% ya bro' ..", sms lainnya masuk.

Itu adalah sebagian dari lebih banyak lagi orang yang saya kenal berharap (dan meminta) mereka bisa mengikuti workshop saya tanpa bayar.

Sebagai binatang ekonomi, permintaan-permintaan itu tentu wajar-wajar saja. Doktrin pelajaran Ekop (Ekonomi dan Koperasi) masa SMP dan SMA adalah 'manfaat maksimal, pengorbanan minimal'. Kalau teman-teman saya tadi malah 'pengorbanan maksimal, tanpa pengorbanan sama sekali'. Bagi saya lebih wajar lagi karena dalam kamus saya, itulah ciri-ciri orang yang tidak sukses.


Buat mereka yang menyadari adanya keinginan sukses (dan apa yang ada dalam alam pikir bawah sadarnya, itu yang akan mewujud menjadi kenyataan), mereka juga tahu menyadari akan keikhlasan untuk berkorban. Sukses itu dengan pengorbanan. Jer basuki mowo beo. Tidak ada suatu sukses-pun tanpa pengorbanan.

Ketika issue peminta gratis ini saya bincangkan dengan Pak Hari Subagya, trainer yang saat itu ilmunya sedang saya 'download', Pak Hari biasanya mengatakan "Bayar aja penuh dulu, nanti saya kembalikan 100%".

Saya bilang ke Pak Hari, bahwa saya telah menjawab permintaan gratis itu dengan, "Saya bukannya tidak bisa memberi gratis, tapi tidak mau. Kalau saya mau beri gratis, saya akan beri karena saya mau, bukan karena ada yang minta. Saya ingin anda sukses. Ada nggak sih orang sukses tanpa pengorbanan ?. Uang yang anda bayarkan untuk mendapat ilmu itu hanyalah simbol dari besarnya pengorbanan anda. Makin kuat keinginan anda sukses, makin sanggup anda membayar harganya. Kalau anda membayar, maka proses menanam ada dalam genggaman anda. Buah sukses yang dihasilkan sepenuhnya hak anda. Tapi kalau anda ingin buah tapi tidak mau menanam, maka pohon kesuksesan tidak berada di genggaman anda. Kesuksesan tidak berada dalam kontrol anda. Anda menunggu belas kasihan dari orang lain yang punya buah agar mau berbagi untuk anda". Panjang bukan khotbah saya lewat sms ini ?

Lain waktu, saya berbalas comment di facebook dengan provokator bangkotan Prie GS. Yang saya sukai dari Mas Prie adalah bahasanya yang benar-benar lugas dan mantap. Pernah ia menulis status, dia menyukai sambal buatan sang isteri karena pedasnya brutal. Ia menamakan sambal itu dengan 'sambal iblis'.

"Mas, mbok aku dikirimi bukunya, biar pinter", katanya.

Saya yang sudah lama mengagumi Mas Prie lalu memanfaatkan momen ini untuk melakukan manuver politik agar bisa bertemu langsung dengan beliau dan tukar-tukar pendapat (siapa tau bisa juga tukar pendapatan). Tapi pelajaran yang saya dapat adalah bahwa politik praktis yang rumit-rumit itu kalah oleh kesederhanaan esensial. Saya menjawab :

"Wah, lha wong saya ini justru belajar dari Mas Prie. Pak Fachri saja bilang kalau saya ini Mas Prie versi muda (mohon kata 'muda' ini diterima dengan ikhlas). Jadi siapa sebenarnya yang jadi gurunya ? Sebaiknya ijab kabul penyerahan buku ini pas Mas Prie lagi di Jakarta saja, sambil kongkow-kongkow minum teh (karena saya tidak ngopi)".
Mas Prie langsung membalas lagi, "Alahhh, sampeyan itu cuma diminta ngirim buku kok banyak alasan .." ***

Sabtu, Februari 07, 2009

Terampil itu menghindarkan dosa


Saya memberi tanda lampu dim kepada mobil di depan yang berjalan sangat lambat. Jalan dua jalur itu justru sebelah kiri lebih cepat daripada kanan. Padahal, kelaziman etika berlalu lintas, jalur kanan mustinya lebih cepat karena dipakai untuk menyalib. Karena sudah telanjur menyandang 'gelar' sebagai 'Mind Provocateur', sekalian saja saya jalankan 'identitas' saya itu.

Saya masih mengambil posisi di belakang sedan silver tadi. Beberapa mobil di belakang saya sudah dari tadi pindah ke jalur kiri dan tancap gas mendahului kami. Kembali jari tengah dan telunjuk saya menekan gagang lampu dim. Berkali-kali saya dim tetap tidak mau minggir. "Gila nih orang, kagak ngarti apa kalo jalur kanan buat cepat ?", kata saya dalam hati. Kalimat itu langsung diproses oleh otak saya dengan menghubungkannya ke memori yang berisi image pengalaman dan hal-hal yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif. Dalam sepersekian detik, respon yang muncul tanpa intervensi kesadaran saya itu adalah makian 'geblekkkk', tapi dalam hati.

Saya melongok ke arah lebih depan. Jarak antara sedan ini dengan mobil depannya sangat jauh. "Busetttt .. orang ini bisa nyetir nggak sih ??" ... Gambaran dan kata-kata ini memicu kembali munculnya berbagai perasaan jengkel, lantas terakumulasi. Saya menekan klakson beberapa kali. Pada tekanan klakson terakhir, bunyi klakson mobil saya sudah ada muatan emosi marah. Bukan bunyi klakson persahabatan lagi. Sesuai dengan prosedur defense driving, setelah 'puas' mengintimidasi pengemudi sedan silver itu (persisnya hopeless), saya menoleh ke spion dalam, menghidupkan lampu sein kiri, melihat ke arah spion kiri, dan menyalib sedan silver itu dari kiri dan bergegas meninggalkan mobil 'terkutuk' itu. Saya melihat dari spion, jarak saya dengan mobil itu semakin jauh. Di belakang mobil itu masih banyak 'korban' kelambanan mobil itu.

Apakah saya berhasil memprovokasi mobil itu ? ... Sama sekali tidak. Mobil itu tidak beringsut sedikitpun baik jalur maupun kecepatannya. Yang terprovokasi adalah saya sendiri. Kemungkinan besar saya berdosa karena 'kalah' terbajak oleh emosi, sehingga melontarkan makian-makian dalam pikiran saya sendiri. Saya mengalami 'mental disorder' tadi.

Tapi apakah kekalahan saya itu merugikan ? .. Tidak bermanfaat ?. Kalau saya diam-diam saja, saya tentu saja rugi total. Maka, saya share kepada anda, bahwa berjalan di jalur paling kanan dengan kecepatan yang lebih lambat dari jalur kiri amat sangat menyusahkan orang lain.

"Sebentar .. anda harus tahu dong masalahnya kenapa orang itu ada di jalur kanan ..., nggak boleh berprasangka apa-apa dulu ... siapa tau dia mengira orang bisa bebas menyalib dia dari jalur kiri. Atau dia belum terampil mengemudi, jadi takut ngebut, atau dia bawa anak kecil sehingga jalannya pelan-pelan, atau apapun itu ... Lagipula kamu maki dia juga dia nggak dengar .. kamunya bisa berdosa memaki orang lain ... ?", mungkin anda bilang begitu.

Ooo .. jadi maksudnya saya disuruh 'biarin aja' ? .. Hmmm ... mungkin sekali saya berdosa ... Tapi buat apa saya perlu tahu kenapa orang itu lambat di jalur kanan ? Sama dengan buat apa saya perlu tahu kenapa seseorang korupsi. Kalaupun sudah dapat alasannya, tetap saja orang itu korupsi. Korupsi itu salah. Berjalan lambat di jalur kanan dalam konteks keadaan lalulintas yang seperti saya alami tadi itu salah.

Jadi dengan berusaha memahami, berempati -- atau kalau orang-orang NLP bilang perlu dilakukan reframing --, itu membuat saya jadi permisif dengan perilaku berkendara tadi ? Lain kali kalau ada kejadian serupa, saya cuekin mobil itu dan salib saja dari kiri. .... Kalau semua orang permisif, membiarkan perilaku seperti itu, kapan negeri ini jadi tertib dan berkah ?

Seandainya dia ternyata tidak tahu bahwa berjalan lambat di jalur kanan itu salah, pertanyaan saya, bagaimana caranya dia dapat SIM ? Bukankah sebelum ujian SIM seharusnya dia sudah baca-baca buku aturan dan etika berlalu lintas ? Kalau dia tidak tahu, itu sendiri sudah salah. SIM 'nembak' ? ... Ya mbok kalau 'nembak' -- yang berarti berhutang kompetensi -- dibayar dengan cara belajar lalu lintas setelah 'nembak' itu. Ngono yo ngono, ning ojo ngono orang Jawa bilang. Tidak terampil mengemudi kendaraan ? Pengemudi baru ? ...

Saya jadi dapat insight baru, bahwa ternyata kalau saya menerampilkan diri dalam hal apapun, selain saya 'selamat' mencapai tujuan, juga tidak mengganggu orang lain. Bayangkan kalau saya ini seekor kuda yang menarik sebuah kereta kencana bersama-sama sembilan teman-teman kuda lainnya, maka kecepatan kereta kencana bukan ditentukan oleh kuda yang paling cepat, tapi oleh kuda yang paling lambat. Nah, kalau kalau yang paling lambat itu saya, berarti gara-gara saya, kecepatan kereta kencana jadi lambat. Kuda yang harusnya cepat jadi frustrasi harus menyesuaikan kecepatannya dengan kemampuan berlari saya. Sebaliknya, kalau kesembilan kuda lainnya terampil berlari cepat, memaksa untuk berlari cepat dan mengabaikan saya, maka saya akhirnya seperti 'terseret-seret' dan 'numpang' power kuda-kuda lain. Bisa-bisa saya mati terseret. Apapun itu, ujung-ujungnya kecepatan kereta kencana tidak optimal. Inilah yang mungkin mendasari ajaran di defense driving, bahwa kalau kita mengemudi kendaraan di jalan yang lebarnya sulit untuk membuat mobil lain menyalib, maka hendaknya kecepatan mobil kita sama dengan kecepatan rata-rata kendaraan-kendaraan di depan. Jangan karena egois merasa punya power yang bersumber dari apapun, atau memakai 'name tag' sunday driver, lalu mengorbankan kepentingan orang lain.

Ya ya ya ... Rupanya, kalau saya terampil mengemudi, maka saya telah berjasa juga menghindarkan orang lain terjerumus dalam dosa karena memaki saya ...***

Kamis, Januari 22, 2009

Sebaliknya ...


Umumnya pelatihan angkatan kedua akan lebih dari angkatan pertama. Pengalaman menyelenggarakan pelatihan angkatan pertama memberi pelajaran dan koreksi. Entah lebih padat materinya, lebih baik metodenya, lebih berkualitas training delivery-nya, lebih baik penyelenggaraannya. Tapi kali ini manajemen klien memutuskan pelatihan kaderisasi tingkat pegawai dikurangi waktunya cukup banyak, sehingga kalau batch pertama 14 hari, angkatan kedua hanya 10 hari, atas nama efisiensi. Akibatnya, ada materi yang diterima oleh angkatan pertama, tapi tidak diterima oleh angkatan kedua. Maklum, pejabat yang memutuskan pendidikan angkatan kedua baru.

Saya kemudian menghentikan mempermasalahkan keputusan ini, karena ini keputusan klien yang harus dihormati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tugas saya adalah menyelenggarakan rencana dan program pendidikan ini dengan usaha terbaik dalam lingkup batasan dan sumber daya yang tersedia. Masalahnya, peserta pendidikan angkatan kedua sudah banyak berinteraksi dengan alumni pendidikan angkatan pertama. Peserta angkatan kedua sudah 'panas' dikompori oleh alumni angkatan pertama dengan cerita-cerita keseruan diklat angkatan pertama. Mereka mengalami ini dan itu yang langsung jadi referensi sekaligus membangun ekspektasi di kalangan peserta angkatan kedua.

Ketika memimpin sessi induksi, tanda-tanda 'protes' mulai muncul dari angkatan kedua. Mereka melihat jadwal pelatihan dan mempertanyakan mengapa mereka tidak menerima materi ini dan itu, dan mengapa angkatan mereka 'cuma' sekian hari. Saya tahu materi yang 'hilang' justru amat powerful membentuk perilaku mereka karena menggunakan metode tutorial --- tapi justru dihilangkan oleh klien. Saat itu saya tentu tidak mungkin menyalahkan manajemen klien dan ikut mempertanyakan hal itu di forum tadi. Jelas tidak etis. Saya cuma bilang, "Kalau angkatan pertama 14 hari, lalu angkatan anda cuma 10 hari tapi dituntut punya kualitas seperti angkatan pertama, lalu siapa sebenarnya yang lebih baik ? Siapa yang lebih tangguh ?". Mereka saat itu lantas tampak tenang dengan 'pencerahan' yang saya lemparkan lewat pertanyaan tadi. Saya tidak tahu apakah ini pencerahan, atau manipulasi persepsi. Saya juga tidak tahu apakah mereka mendapat 'insight', atau hanya nrimo karena mereka mafhum lembaga saya cuma menyelenggarakan dan tidak bisa memutuskan mengubah program.

Saya dan tim-pun tetap melaksanakan program pendidikan kaderisasi tadi dengan semangat 'liat aja nanti .. nanti juga nyesel'. Benar saja ... masukan dan saran dari saya, tim, dan peserta sendiri kepada manajemen klien akhirnya membuat klien memutuskan memperpanjang waktu pendidikan. Akhirnya angkatan pertama dan angkatan kedua seimbang juga. Rupanya melihat sisi positif dan manfaat dari situasi yang tidak sama dengan harapan, acceptance, lalu khlas dalam perjalanannya, ternyata justru mendekatkan kepada apa yang menjadi intensi awal saya.

"Aku tadi berhasil memprovokasi Galuh", kata isteri saya saat chatting di YM.

Galuh adalah teman isteri saya yang saat ini sama-sama belajar di Canberra.

"Kenapa ?", tanya saya.

"Tadinya dia masih ngerasa minder sama mahasiswa yang sekolah dengan biaya sendiri, bukan beasiswa. Aku bilang aja justru kita yang dapat beasiswa harusnya bangga, karena kemampuan kitalah sehingga ada yang percaya dan berani investasi AUS$ 200,000 ke diri kita", kata isteri saya.

"Terus, respon Galuh ?", tanya saya.

"Dia bilang, i never think that way ...".

Dalam hati saya mengagumi soulmate saya itu dalam memberi arti. Dia bisa menunjukkan wilayah blankspot pikiran temannya.

Sebaliknya, seandainya saya berada pada posisi mahasiswa yang dibiayai orang tua, maka saya akan bilang, "Saya bukannya tidak mampu mendapat beasiswa. Saya bangga, saya bisa memberi kesempatan kepada orang lain untuk mendapat beasiswa yang jatahnya memang terbatas itu. Saya bangga kepada orang tua saya yang berkorban begitu besar untuk kesuksesan saya ..."

Dari manapun berasal, semua itu rejeki dari Allah. Ujungnya, kita mendapat pendidikan. Jadi, buat apa merasa kalah, kecil, kurang, atau justru menang, besar, lebih terhadap keadaan orang lain yang berbeda dengan kita...yang penting nantinya bekal pendidikan itu mau dipakai buat apa.

Peserta pendidikan angkatan pertama mendapat pahala karena memberi pengalaman kepada penyelenggara sehingga memperbaiki penyelenggaraan angkatan kedua. Mahasiswa yang membayar sekolah sendiri memberi pahala kepada penerima beasiswa melalui pemberian kesempatan -- kalau semua keadaan diterima dan ditujukan untuk mencari keridhoanNya. Kita mendapat apa yang kita niatkan, dengan catatan : asal dilakukan.***


***


...***

Minggu, Januari 18, 2009

Alfie


"Ya Allah, saat kami menengadahkan tangan, menundukkan kepala dan hati kami, kami segera menyadari bahwa kami ini makhluk yang lemah di hadapanMu yang memerlukan pertolongan senantiasa dariMu.

Kami segera menyadari, kami berada pada tempat dan waktu yg atas izinMulah ini semua terwujud. Engkau berikan kami kebahagiaan karena salah satu dari kerabat kami, Alfie Hujiansyah dan Poppy Purbasari telah Kau persatukan dalam bahtera rumah tangga. Ini menyadarkan kami juga bahwa dua keluarga besar telah Engkau persatukan untuk saling bersilaturahim, berbagi, memberi nilai dan mendukung satu sama lain.

Untuk itu tidak ada hal yangg dapat kami ungkapkan kecuali bersyukur dan berterimakasih kepadaMu ya Allah.

Ya Allah ya Tuhan yang Maha Segala... Alfie dan Poppy memiliki cita-cita menjadikan rumahtangga mereka sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun untuk menuju ke cita-cita itu, mereka harus memperjuangkannya. Untuk itu kami memohon kiranya Engkau berikan kesadaran dan kekuatan dalam perjalanan mereka mencapai cita-cita mereka, dan kekuatan dalam ikhlas dan mensyukuri setiap keadaan yang Kau berikan kepada mereka, sehingga bukan hanya mereka bahagia saat mencapai cita-citanya, tetapi lebih dari itu, mereka bahagia dalam perjalanannya. Mereka mencapai cita-cita DENGAN bahagia.

Ya Allah, mohon kuatkan dan beri petunjuk kepada kami dalam menafsirkan, memaknai, mengartikan segala masalah yang kami hadapi dengan arti yang Engkau harapkan, bahwa masalah adalah anugerah dariMu untuk menjadikan otot mental, emosi, dan jiwa kami menjadi kuat dan besar. Ujian menjadikan kami naik ke kelas yang lebih tinggi lagi.

Bantulah kami menjadi diri yang berkuasa atas tubuh, pikiran, perasaan, tindakan dan nasib kami. Kami sadar bahwa nasib kami saat ini adalah hasil pilihan kami di masa lalu, dan nasib kami di masa depan adalah hasil dari pilihan kami saat ini. Sebagaimana Engkau telah sabdakan, Engkau tidak akan mengubah nasib kami kecuali kami sendiri yang mengubahnya. Untuk itu bantulah kami dengan petunjukMu ketika kami perlu memilih pikiran dan tindakan kami, agar senantiasa selaras dan sebangun dengan peta kehidupan yang telah Engkau tetapkan dalam ayat-ayatMu

Mohon beri petunjuk agar kami terhindar dari nada-nada yang membawa perpecahan, dan suara-suara yang mengakibatkan perselisihan, baik pada diri kami, keluarga kami, bangsa kami dan seluruh bangsa-bangsa di dunia ini senantiasa dalam damai.

Ampunilah kami, orang tua kami, dan pemimpin-pemimpin kami. Semoga seluruh tindakan kami selama ini Engkau ampuni jika salah, dan Engkau ridhoi jika menurutMu benar.

Akhirnya serahkan diri kami, keluarga kami dan bangsa kami kpdMu untuk kau limpahi rahmat" ...

Ini adalah penggalan doa yang saya tulis di blackberry dan saya lantunkan di resepsi pernikahan adik ipar saya, Alfie -- dengan Poppy. Script itu saya buat hanya 10 menit sebelum resepsi dimulai, padahal request Alfie ke saya tiga hari yang lalu.

Ketika Ruri adik isteri saya anfal beberapa hari sebelum wafatnya, di kamar perawatan di hadapan kerabat-kerabat, Alfie menangis. Ia tidak tega melihat penderitaan Ruri. Jarang sekali saya melihat seorang suami menangisi isterinya. Ketika Ruri akhirnya menghadap Sang Khalik, dalam beberapa kesempatan Alfie rajin mengunjungi makam Ruri.

Beberapa kali isteri saya mem-forward surat-surat elektronik Alfie yang menceritakan perkembangan kehidupannya beserta dua puterinya yang masih anak-anak dan batita. Sebagian besar berisi kerisauan, kebingungan, 'penderitaan' dia dalam mengatur hidupnya yang berubah itu. Ia harus pergi keluar kota selama beberapa hari, sementara anak-anaknya perlu diurus ini-itu, supir keluar, kenangan-kenangan bersama Ruri yang muncul, dan seabrek persoalan lain. Sementara oleh kantornya, beberapa waktu mendatang ada kemungkinan ia ditempatkan di luar negeri dalam kurun waktu yang lama.

Empat bulan berlalu, akhirnya ia dihubungkan oleh staf kantornya kepada seseorang yang bernama Poppy. Yang menarik, setelah Poppy nyambung dengan anak-anak Alfie, Poppy kemudian diperkenalkan pertama kali justru kepada keluarga kami. Ia dibawa ke rumah ibu mertua saya, dan mengajak kakak ipar dan saya dan isteri berkenalan.

Ketika acara lamaran, Ibu mertua dan kami juga diajak. Selesai acara lamaran, Alfie dan anak-anak langsung mendatangi makam Ruri. Saya lihat Alfie menangis di depan makam Ruri. Saya tidak tahu benar atau tidak, tapi dalam pikiran saya, seolah-olah Alfie berkata dalam hati, "Bun .. alhamdulillah sudah ada yang meneruskan perjuanganmu .. ada yang ikhlas mau mengasihi anak-anak kita .. kamu tetap ada di hati kami sampai kapanpun ..."

Akhirnya Alfie menikah dengan Poppy hampir lima bulan setelah wafatnya Ruri. Yang mendampingi Alfie saat berada di pelaminan adalah ayahnya dan ibu mertua saya, bukan isteri ayahnya (ibu kandung Alfie sudah wafat).

"Denger-denger Alfie udah nikah lagi ya ? ... cepet banget ya ? ... belom juga kering tanah makamnya Ruri ...", begitu sebuah komentar dari seorang teman yang kenal dengan Ruri. Saya memang sudah merasa pertanyaan ini bakal muncul entah dari siapa.

Saya pikir, seandainya orang itu berada pada posisi Alfie, maka empat bulan hidup dalam kesendirian dengan berbagai kepelikan untuk mempertahankan hidup lahir batin seperti yang dialami Alfie, bukanlah waktu yang singkat. Tidak ada alasan untuk menunda hadirnya ibu pengganti untuk Abit dan Fira -- anak Alfie -- keponakan saya -- untuk mendapatkan kasih sayang seorang bunda, karena saya merasa keluaga yang baru ini tidak akan menghapus keberadaan Ruri dalam sejarah kehidupan mereka. Ruri adalah hal yang terbaik buat Alfie dan anak-anaknya, dan Poppy adalah hal yang terbaik berikutnya untuk mereka. Life must go on.

Di ujung resepsi pernikahan, seorang sepupu ipar berbisik kepada saya, "Saya banyak belajar dari keluarga Soejachmoen. Ibu begitu tegar (waktu Ruri meninggal, dan waktu mendampingi Alfie di pelaminan). Saya lihat ia menyeka pipinya. Matanya berlinang.***

Kamis, Januari 15, 2009

Jangan cuma menuntut dosen enak


"Kecuali anda, anda, dan anda -- saya menunjuk ke tiga orang mahasiswa karena sedari tadi mereka aktif menjawab dan bertanya -- saya ingin bertanya kepada yang lain", ujar saya.

"Bagaimana pendapat Anda mengenai (bla bla bla) ...... ?"
".............................", hening.
"Anda (saya menatap kepada seorang mahasiswi) ... bagaimana menurut anda ?"
" ...........................", sepi.
"Anda (saya mempersilakan mahasiswi lainnya) .. bagaimana menurut anda ?"
" ............................", sunyi.

"Apakah anda paham dengan maksud pertanyaan saya ?"

Para mahasiswa sebagian besar mengangguk.

"Kalau begitu saya bertanya dengan cara lain. Kalau ....(bla bla bla) .. bagaimana tindakan anda ?".
" ...................................", hening.

Saya segera mengakhiri sessi tadi karena memang waktu pelajaran habis. Emosi saya membajak pikiran saya. Saya perlu mengumpulkan power untuk kembali berkuasa atas perasaan saya sendiri.

Cukup lama saya duduk terdiam sambil introspeksi, apa yang membuat kali itu mahasiswa tidak menunjukkan keaktifan sama sekali. Apakah cara saya menerangkan yang 'ketinggian', atau justru 'terlalu cetek', atau ada 'pengkondisian' sedemikian rupa oleh pengajar dan metode belajar materi lain sehingga mahasiswa terprogram menjadi enggan bicara ? ... Sewaktu saya menjelaskan materi sih mereka 'trance' dan dari kalibrasi saya cukup 'menikmati'. Tapi pas ditanya, ibarat menggali sumur, saya ketemu dengan bebatuan cadas.

"Lha, supaya jelas tanya dong kepada mereka kenapa mereka begitu ?". Sebuah suara terdengar di telinga mental. Yaa bagaimana saya tahu apa yang ada di pikiran mereka, lha wong waktu saya tanya "apa yang terjadi yang anda rasakan yang membuat anda tidak menjawab pertanyaan saya ?", itu saja mereka diam.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering dicurhati mahasiswa, kalau dosen ini atau dosen itu mengajarnya tidak enak. Yang kurang ini lah, yang terlalu itu lah. Biasanya, saya meneruskan informasi ini kepada pihak yang berwenang untuk mengevaluasi kinerja dosen.

Kalau mahasiswa punya tempat dan saluran untuk komplain dosennya tidak enak, lalu sekarang kalau saya mau komplain mahasiswanya tidak enak, saya harus kemana ?

"Lho, ya mahasiswa kan sudah membayar, jadi dosen yang tanggungjawab untuk melayani mereka mendapat ilmu dengan cara yang mereka senangi. Kan mereka customer ..", mungkin seseorang menyanggah saya seperti itu. Kalau ibarat dosen itu penjual dan mahasiswa adalah pembeli, 'kan W. Clement Stone sudah bilang, "Penjualan itu tergantung pada sikap penjualnya, bukan pada sikap prospek".

Hehehe, saya cuma berpikir, itu cara pandang jual beli -- transaksional. Customer model seperti itu tujuannya untuk 'mengkonsumsi' barang yang kita jual. Saya memilih pemahaman bahwa belajar bukanlah mengkonsumsi. Belajar adalah memproduksi. Belajar adalah transformasi. Belajar adalah berubah. Mereka datang ke kampus untuk mendapat ilmu bukan untuk dikonsumsi -- apalagi sampai tuwok kata orang Jawa --, melainkan untuk direproduksi menjadi pengetahuan, gagasan, dan rencana tindakan. Lebih jauh lagi, mereka belajar untuk menjadi apa dan bagaimana. Dosen tugasnya memfasilitasi mereka memproduksi apa yang mereka butuhkan dan bertransformasi menjadi apa yang mereka inginkan. Jadi, kalau mereka tidak mau difasilitasi, ya sudah, itu tanggungjawab mereka sendiri.

Kalau saya jadi mahasiswa, kalau saya menuntut harus mendapat dosen yang enak, maka saya juga mengharuskan diri saya sendiri menjadi menjadi mahasiswa yang enak.

"Alaaah, pakai sok proaktif ala seven habits. Emang dulu waktu kamu masih mahasiswa, mikirnya kayak gitu ? Itu kan karena sekarang kamu lagi bete gara-gara kelakuan mahasiswa itu tadi kan. Lagipula, mereka sadar nggak tujuan mereka belajar?. Mereka paham nggak kalau belajar itu mereproduksi dan bertransformasi ?", sang suara bilang begitu.

Keengganan atau penolakan seseorang, penyebabnya pasti karena belum terciptanya 'hubungan' yang baik. Saya menduga, masalahnya adalah mereka masih tidak merasa nyaman untuk bicara. Kalau saja saya bisa menciptakan suasana dan 'cuaca' yang membuat mereka nyaman bicara, tentu kejadiannya tidak seperti yang saya alami tadi. "Resistance indicates the lack of rapport", begitu Judith de Lozier mengajarkan.

Yang pasti di ujung perenungan, saya menetapkan yang salah adalah cara komunikasi saya yang tidak manjur untuk membuat para mahasiswa 'bicara', lalu memutuskan yang perlu memperbaiki diri adalah diri saya sendiri, dengan menemukan cara jitu bagaimana membuat mereka nanti mau 'bicara'. Satu lagi, saya berasumsi para mahasiswa itu hanya belum terbiasa saja. Maklum, mungkin selama SMA, ibarat koper, isi otak mereka diisi oleh tumpukan-tumpukan materi yang dijejalkan oleh pekerja pendidikan yang sedang mengejar pemenuhan target silabus. Saya bilang 'pekerja pendidikan' karena di kacamata saya berbeda dengan 'guru'. Sama dengan saya membedakan pekerja seni dan seniman. Saya bisa merasakan mana yang transaksional, dan mana yang transformasional.

Lamunan saya pecah karena sekretaris saya Inna masuk ruangan membawa segelas kopi ginseng panas.

"Pap, kopi ... dari Bang Daus ..."
"Sruuppppp ..... hmmm .... makasih, Na."...***

Selasa, Januari 06, 2009

Pelan-pelan lah ...

Sebagai biker baru, kalau ada yang mengajak touring, saya langsung sambut dengan gumbira (tidak sekedar gembira). Saking getolnya, saya ikut memprovokasi teman-teman kantor untuk ikut touring.

"Lu, ikut nggak ke Ujung Genteng ?", tanya saya kepada Lulu.
"Nggak, Pak..", jawab Lulu.

Teman saya Supri dan Defit langsung teriak, "Nhaaaaa .... kita tanya-tanya Pak ...". Defit adalah orang yang pernah jadi 'korban' provokasi saya sehingga dia akhirnya ikut touring ke Sumedang walaupun awalnya tidak mau ikut.

"Apa yang membuat Lulu nggak ikut ?", kejar saya.
"Nggak berani, Pak", kata Lulu.
"Nggak berani karena apa ?", tanya saya lagi.
"Karena belum pernah naik motor jauh ..", kata Lulu memelas.
"Jadi nggak berani karena belum pernah naik motor jauh ? Kalau begitu, begitu nanti pernah naik motor jauh, jadinya berani kan ?"
Lulu diam saja, sambil mikir jawaban untuk 'ngeles', tapi tidak dapat-dapat.

Berikutnya Viva mendekat mengambil air minum di dispenser.

"Va .. ikut touring ke Ujung Genteng ?", tanya saya.

Viva agak 'bengong' sebentar kebingungan saya tanya begitu. "Nhaaaa, sini deh kita ngobrol-ngobrol dulu ..."

Supri dan Defit cengengesan.

"Ikut kan ?", tanya saya.
"Asik sih ya ? .. tapi ... Nggak ahhhh .. takut ...", kata dia
"Sekarang kalau ada skala dari 1 sampai 10, maka skor kemungkinan loe ikut touring ada di angka brapa ?", tanya saya.
"Lima ...", jawab Viva.
"Takut apa ?", kejar saya lagi
"Ngebut ...", kata dia dengan muka merinding.
"Artinya kalau kita tidak ngebut, Viva ikut ?", tanya saya.
"Kita nggak ngebut kok, cuma jalan dengan kecepatan sama ..." jelas Supri dan Defit.
"Jalannya siang ya ? ... item panas matahari ...", sergah Viva.
Saya lalu nyamber, "Ehhh .. eloe kan liat gue nggak item abis dari Sumedang ? .. Soalnya pake sunblock 50'... Kalau ada pelindung sinar matahari yang mujarab kayak ini, eloe ikut ?"
"Ntar tidurnya dimane ?", katanya dengan logat sedikit Arab.
"Ya kita nanti sewa cottage tidur rame-rame ...".

Saya lalu menunjukkan daftar nama yang cukup panjang yang rencananya akan ikut touring. Sementara Supri membuka internet, lalu memperlihatkan foto-foto lokasi Ujung Genteng hasil pencarian google gambar.

"Tuhhh, liat .. eloe bakal liat ini pemandangan bagus banget ... sunset dan sunrise di pantai .. pokoknya asik dehhh", kata Supri.

Saya lihat Viva sudah lebih 'positif'. Saya tanya dia, "Va, sekarang dari 1 sampai 10, angka kemungkinan loe ikut di brapa ?"
"Tujuh ...", kata Viva.
"Apa yang diperlukan sehingga angkanya jadi 9 ?", tanya saya
"Izin orang tua ?", tanya Viva.
"Gampang laaaah, kan nanti bisa ada surat dari Pak Prass ..", kata Supri.
"Yo'i"... kata saya.

Keesokannya, saya tanya Viva, angkanya ternyata masih tetap tujuh. Sementara itu, angka Lulu terakhir yang tadinya 5 sekarang 6. Tidak apa-apa, wong masih dua minggu lagi, masih banyak kesempatan memprovokasi mereka. Optimis kok, soalnya kata Supri, Viva sudah mulai tanya-tanya kalau touring musti bawa baju berapa ...***