Selasa, Februari 19, 2008

Jadi Wong Cilik Tidak Usah Sombong

”Selamat siang Pak. Nanti saya lewat kantor Bapak. Boleh saya mampir ? Sibuk tidak ? Saya bawa oleh-oleh dari Solo”, begitu bunyi SMS seorang teman yang pernah saya bantu memecahkan persoalannya.

Saya balas SMS dia, mohon maaf saya sedang melayat dan baru kembali menjelang sore.

Ia kemudian bertanya lagi, kapan kira-kira ia bisa datang ke kantor saya. Saya membuka agenda elektronik di ponsel, dan menemukan jadwal saya memang penuh dua hari ke depan. Semuanya high priority. Kemudian menjawab dia bisa datang tiga hari lagi.

Ia lalu mengirim sms balasan, ”Terimakasih Bapak Ketua atas kelonggaran waktunya untuk saya ’kawulo alit’ seperti saya, yang cuma ’sales’”.

Ia memang bekerja di induk perusahaan saya sebagai agen asuransi jiwa. Saya tahu, SMS balasan itu cuma bercanda. Namun begitu, mumpung ada kesempatan, saya lantas memprovokasi dia dengan mengolah kalimat SMS terakhirnya.

Setidaknya ada tiga hal yang menarik perhatian saya. Pertama, dia senang karena mendapat waktu dari saya. Ini normal-normal saja. Kedua, kata ’cuma sales’ (pekerjaan seorang agen asuransi adalah menjual asuransi) cukup mengusik saya karena itu berarti meletakkan profesi agen/sales pada posisi yang ’cuma’ alias tidak besar nilainya. Padahal, di luar negeri profesi ini dijuluki ’holy angel’ (malaikat suci) dan termasuk profesi berpenghasilan tertinggi.

Ketiga, dia memberi label dirinya sendiri kawulo alit alias wong cilik yang berarti dia telah menempatkan posisi dia inferior terhadap saya. Apalagi waktu mengucapkan disertai perasaan ’rendah’. Itu berarti dia telah memutuskan nasibnya sendiri, yaitu menjadi wong cilik.

Kalau seseorang sudah memutuskan di bawah sadarnya menjadi wong cilik, keputusan itu menjadi blueprint mental dimana segala tindakannya ujung-ujungnya mengarahkan nasibnya sesuai dengan blueprint mental tadi, yaitu wong cilik. Terus, Kapan jadi ’wong gede’-nya ?

Kalimat itu saja sudah cukup kuat membentuk tindakan dan nasib kita. Apalagi kalau label yang kita berikan sendiri kepada diri kita kita omongkan ke publik. ”Aku ini wong cilik lho ..” ; ”Hidup wong cilik! ..”, ”Partainya wong cilik” ... Maka sempurna sudah nasib kita tetap jadi ’wong cilik’. Kok bisa begitu ? Karena begitu kita omongkan, keluhkan, gosipkan, bahkan diskusikan, dia tanpa disadari bisa masuk ke gerbang keyakinan (belief), bahwa memang saya ini orang kecil. Padahal, kita akan mengalami apa yang kita yakini. Pernahkan anda akhirnya beli mobil atau punya rumah atau naik haji meskipun gaji anda di atas kertas tidak mencukupi ? Itu hasil dari keyakinan dan fokus.

Lebih ’parah’ lagi, seringkali status wong cilik ini kemudian dijadikan identitas, tameng, dan berubah menjadi baju kesombongan. Lho, bagaimana kesombongan wong cilik itu ? Yaitu dengan membedakan diri dari orang yang dianggapnya ’wong gede’ (orang besar). Kalau merasa ’tersinggung’ dengan ’wong gede’ lalu berkata ”reseh nih orang, mentang-mentang orang kaya...”.

Wong cilik yang ’sombong’ juga seringkali menempatkan diri ’berseberangan’ dengan ’wong gede’, ditambah menggunjing ’wong gede’. Kalau ada ’wong gede’ mau ikut bergabung, dicurigai dan kadang-kadang ditambah prasangka ”wah, mau pamer apa orang ini ?”.

Lho, itu ’kan cuma ‘oknum’. Begitu biasanya pembelaan mereka yang merasa dirinya beridentitas dan berkeyakinan ’wong cilik’. Saya setuju.

Inilah akibat kita memandang orang sebagai human doing. Artinya, kita membeda-bedakan orang berdasarkan tampilan dan perbuatannya. Ohh ini orang kaya, silakan duduk di depan .. Ohh ini orang miskin, silakan duduk di belakang. Ohh ini karyawan berprestasi, silakan duduk di VIP. Karyawan biasa, duduk di festival. Salahkah ? untuk konteks tertentu tidak salah asal dipandang sebagai ’permainan belaka’. Hitung-hitung memberi ’hiburan’ kepada mereka yang berbuat sesuatu yang dihargai oleh masyarakat atau komunitas setempat. Toh, status itu tidak bakal langgeng.

Memandang orang sebagai human being agak beda. Yang ia ‘anggap’ dan lihat adalah kemakhlukannya, kemanusiaannya. Bahwa yang ada di hadapan kita adalah mahluk ciptaan Dia. ada ruh-Nya di dalamnya. Kalau kita melihat Dia di balik dia, tentu kita akan menghargai dan menghormati dia. Rasanya sama dengan ketika anda baru punya bayi atau keponakan baru. Ketika kita gendong bayinya, lalu sang bayi pipis, apakah kita marah ? Kemungkinan besar tidak. Kebahagiaan akan kehadiran ‘being’ mengalahkan ‘doing’ sang bayi.

Sebaliknya, memandang diri juga sebagai human being dulu, bukan human doing. Artinya, kalau kita jadi petinggi, sarjana, top sales, star employee, tidak usah petentang-petenteng. Jabatan dan label itu tidak lama. Tidak usah sok tinggi sehingga tidak mau melakukan tugas-tugas ‘rendah’.

“Jadi kawulo alit jangan sombong lho, dengan menyebut-nyebut diri kawulo alit dan membedakan diri dengan kawulo ‘ageng’, hehehehe”, begitu SMS balasan saya kepada Bu Nyai -- sebutan saya untuk teman saya itu.

Dia lalu menjawab, “Hehehe ..... sampai tidak bisa berkata- kata ...”***

Kamis, Februari 14, 2008

Melampiaskan kemarahan atau memperbaiki ?

Teman saya Danny Tumbelaka ingin tahu pendapat saya, haruskan perbuatan seseorang di-cap salah-benar, atau, ia berada dalam ’kuasa gelap’ atau ‘kuasa terang’ ?.

Saya bilang, ketika kita menemukan seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan norma umum masyarakat, pertamakali yang perlu kita lakukan adalah tidak memberi label apapun dulu. Label akan mempengaruhi perasaan kita, dan perasaan kita membajak akal pikiran jernih. Lagipula, kalau kita beri label, itu label-nya siapa ? siapa yang antagonis dan siapa yang protagonis itu tergantung siapa yang memberi label. Lha, buat para maling, polisi itu antagonis.

Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan kepada perilaku ’negatif’ adalah : ’apa maksud positif di balik perilakunya ?’. (Sekali lagi, negatif di sini buat kita lho, soalnya perbuatan polisi mengejar-kejar maling adalah perbuatan negatif bagi para maling).

Katakanlah seorang maling, apa maksud positifnya ? Ia ingin memberi makan dirinya, isteri dan anaknya. Cuma saja, caranya merugikan dan tidak sesuai dengan kesepakatan umum. Saya tidak mengatakan caranya salah. Saya juga mengatakan kesepakatan umum karena norma masyarakat bersifat kontekstual. Di Jawa, seseorang yang sedang dimarahi ayahnya dianggap sopan jika menunduk. Di Padang, justru dianggap tidak sopan, karena dianggap sopan jika si anak memandang wajah ayahnya.

Seseorang mengambil pilihan terbaik pada setiap situasi yang dihadapinya saat itu. Seorang pencuri menganggap mencuri adalah pilihan terbaik pada situasi dirinya dan lingkungannya pada saat itu. Nah, disinilah tugas kita menunjukkan pilihan-pilihan lain. Kita sodorkan kepada yang bersangkutan pilihan-pilihan yang mungkin saja selama ini dia tidak lihat atau sadari. Biarlah ia sendiri yang mengambil pilihan itu. Ketika pilihan lengkap dengan konsekuensinya sudah dipilihnya, Ia lantas mengalami perpindahan jalan hidup yang tidak ditempuhnya selama ini.

Seseorang lebih ’hidup’ jika menempuh pilihan yang diambil oleh dirinya sendiri. Ia lebih memiliki komitmen. Ia memiliki ruang lebih luas untuk menerima risiko yang tidak mengenakkan sebagai dampak dari pilihannya. Ia memiliki dorongan lebih kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya.

So, jika kita menemukan koruptor, pencopet, pembunuh, penipu, pemerkosa, dan semua ’spesies’ perilaku antagonis (antagonis ’kan menurut kita, lha buat para maling, polisi itu antagonis), lalu sebaiknya kita bagaimana ? Nah, disinilah niat kita dipertanyakan, apakah kita ingin menghukum mereka (yang berarti sakit hati dan kemarahan kita terlampiaskan), atau kita ingin mereka menempuh jalan yang sesuai dengan apa yang kita yakini benar dan bermanfaat. Sekali lagi, kalau mau memperpanjang ’urusan’ ini, silakan tanya : benar dan bermanfaat menurut siapa ? ***

Selasa, Februari 12, 2008

Ujian Praktek

Saya duduk di Singosari Longue Bandara Juanda Surabaya. Jam menunjukkan waktu lima menit lewat dari jam pesawat Batavia Air seharusnya terbang ke Yogyakarta. Saya masih berbincang dengan Pak Has, seorang dokter sekaligus polisi yang akan pulang ke Mataram. ketika tiba-tiba terdengar announcement pesawat yang saya naiki delay hampir 2 jam hingga Pk. 18. 45.

Masih bersama Pak Has, ketika jam di dinding menunjukkan waktu 18.45, belum terdengar pemberitahuan naik pesawat. Jam 19 ... Jam 20 ... Jam 21 ... belum juga ada pemberitahuan apa-apa.

Pk. 21.25 ... tiba-tiba terdengar merdu, "Perhatian perhatian, penumpang Batavia Air dengan nomor penerbangan sekian-sekian, dengan tujuan Yogyakarta, dipersilakan memasuki ruang tunggu keberangkatan 1 dan 2...".

Saya langsung bangkit dengan bersemangat. Setelah tubuh dan barang-barang melewati X-Ray, saya duduk sejenak di bangku panjang dekat pintu keberangkatan 1. Ketika arah pandangan tertuju ke luar ruang tunggu, tiba-tiba saya melihat dua orang pilot dan empat pramugari cantik yang tadi sama-sama duduk di Singosari Longue, berjalan berbalik arah. Saya sudah punya feeling kurang enak.

Benar saja. Penerbangan ke Yogya dengan Batavia Air cancelled, dan baru akan berangkat besok jam 6 pagi. Karuan saja para penumpang ngamuk. Protes dan baku urat leher pun terjadi. Saya masih berada di bangku panjang memandangi mereka, dengan sesekali mendekat dan duduk lagi. Karena alasan teknik, akhirnya penumpang bisa menerima. Kami berangkat menuju hotel untuk diinapkan beberapa jam.

Jam 6.30 pagi pesawat Batavia Air menuju Yogyakarta-pun terbang. Di dalam pesawat saya mengulangi refleksi atas kejadian ini. Ini persis dengan cerita budayawan Prie GS di sebuah stasiun radio di Jakarta, bahwa alam menuntut seseorang untuk membuktikan apa-apa yang dikatakannya. Memang saya dua hari di Surabaya memberi pelatihan yang salah satu isinya mengajarkan bagaimana menyikapi suatu kesialan. Alam meminta saya untuk membuktikan apa yang saya ajarkan dengan memberikan soal praktek. Saya tidak tahu apakah saya lulus atau tidak dari ujian praktek ini. Kalaupun kali ini 'ge-er' lulus, saya merasa nilai saya dikatrol. Tapi saya berterimakasih kepada Tuhan, karena diberi kesempatan untuk latihan walk the talk ...***

Sabtu, Februari 02, 2008

Cari Muka

"Tuh .. kelompok pencari muka ..", ujar seorang teman di sebuah resepsi pernikahan, dengan muka dan pandangan dilempar ke arah sekelompok pejabat di sebuah perusahaan yang mengelilingi seorang petinggi di perusahaan itu. Setiap ada pendatang baru di kelompok itu, terlebih dahulu menyalami sang petinggi sambil badan menunduk, wajah tersenyum lebar, bahkan saya lihat ada yang 'hampir' mencium tangan sang petinggi itu.

Tampaknya kata 'pencari muka' bagi teman saya tadi bukanlah kata yang memiliki cita rasa positif. Saya tidak tahu apakah teman saya sinis dengan kelompok petinggi itu karena dia tidak bisa 'masuk' ke kelompok itu alias sirik, atau karena di melakukan generalisasi atas kelakuan satu dua orang di kelompok itu yang cium tangan. Melihat konteks siapa yang terlibat dan forum terjadinya 'cium tangan', maka saya juga sependapat mencium tangan sang petinggi di depan umum tadi memang kurang pantas.

Namun begitu, saya juga maklum kalau teman saya mengatakan begitu. Karena tidak jauh dari tempat berdirinya Sang Petinggi, berdiri juga mantan petinggi yang sekian tahun lalu ia menempati posisi yang sama dengan Sang Petinggi. Ia juga pernah dikerubuti seperti Sang Petinggi. Kali ini ia hanya didampingi oleh seseorang yang bercakap-cakap dengannya.

Saya tidak ingin menilai apa-apa terhadap para pengerubut Sang Petinggi. Itu berarti saya mengadili mereka menurut undang-undang saya sendiri. Lagipula, kalau mereka melakukan itu so what ? Mereka sedang mempertontonkan jatidiri mereka sendiri di ranah publik. Setidaknya fenomena itu memberi pelajaran bahwa ketika suatu saat saya jadi Sang Petinggi, ingatlah bahwa jabatan saya bukan kepemilikan yang kekal. Apalagi ada pembandingnya, yaitu Mantan Petinggi. Jadi kalau dikerubuti orang tidak usah ge-er.

Bagi saya, pemandangan tadi wajar-wajar saja di dunia bisnis. Cari muka bukanlah hal buruk. Ia netral-netral saja. Menjadi baik jika cari muka lahir dari niat untuk menjalin silaturahmi. Kata Tuhan, silaturahmi memperpanjang umur dan rejeki. Ini tentu antitesis dari teori motivasi Abraham Maslow, dimana seseorang melewati piramida kebutuhan, mulai dari kebutuhan fisiologis (rejeki ada di sini), lantas kebutuhan keamanan, baru kebutuhan sosial (silaturahmi ada di sini), dan seterusnya. Artinya menurut Maslow, seseorang baru bersilaturahmi (social needs) setelah memenuhi kebutuhan fisiologis. Ini kan berbeda dengan teori Tuhan bahwa setelah silaturahmi, maka rejeki akan datang. (Belakangan menurut sebuah buku, di akhir hayatnya, Maslow mengoreksi sendiri teorinya, dimana seharusnya piramidanya terbalik).

Cari muka yang protagonis ini, akan berbeda dengan cari muka yang antagonis, meskipun tampakan luarnya bisa sama. Cari muka protagonis berangkat dari mindset 'kaya'. Paradigmanya memberi. Ia menundukkan badan, meraih tangan Sang Petinggi, bersalaman dengan mantap, senyum tulus, mengirimkan suatu 'cinta' dan 'salam' kepada Sang Petinggi, memandang Sang Petinggi sebagai human being, berbagi waktu dengan tamu lainnya. Cari muka antagonis berangkat dari mindset 'miskin'. Paradigmanya meminta/mengemis. Ia menundukkan badan bahkan mencium tangan, senyum mengumpan, mengirimkan suatu 'harapan' bisa diperhatikan terus oleh Sang Petinggi, memandang Sang Petinggi sebagai human doing, dan ingin berlama-lama dengan Sang Petinggi layaknya pacar yang posesif.

Sekali lagi, ini 'undang-undang' di peta pikiran saya sendiri yang akan saya berlakukan buat diri sendiri. Siapa yang tahu ketika seseorang yang mencium tangan Sang Petinggi, adalah ekspresi penghormatan dan pemuliaan bagi Sang Petinggi, yang lahir dari paradigma memberi ? Who knows ?. By the way, teman saya yang komentar barusan tidak tahu, bahwa lima menit yang lalu saya juga menyalami sang petinggi dan 'parkir' sejenak di kelompok itu.

Nah, kalau yang satu ini dampak dari risiko jabatan. Teman saya yang lain - Mas Riyaji - dulu waktu bekerja di Bagian Hubungan Masyarakat sering dikatain 'pencari muka'. Kebetulan dia adalah fotografer yang kerjanya memang mencari muka-muka orang untuk difoto ...***