Minggu, Desember 21, 2008

Berani Salah


Seperti biasa, kalau saya mengajar, saya menghindari memulai kuliah dengan definisi yang saya sodorkan langsung kepada mereka. Kalau saya jadi mahasiswa, biasanya langsung bete, apalagi seandainya saya mahasiswa sore yang sudah bekerja. Bagi saya, biarlah mahasiswa sendiri yang memberi definisi dari pengalaman mereka 'bermain-main' dengan pembicaraan yang membicarakan hidup mereka itu.

Kali itu saya memberi kuliah tentang Teknik Presentasi. Saya bertanya, kalau anda mendengar tentang 'p r e s e n t a s i', apa yang terlintas dalam pikiran ?. Selain kata-kata 'menjelaskan', 'ide', 'gagasan', 'produk', 'menjual', 'depan umum', 'sistematis', 'paham', 'action', juga muncul 'deg-degan', 'blank', 'grogi', 'takut salah'. Sudah tentu perasaan ini muncul dari pengalaman mereka kalau presentasi.

Saya tiba pada giliran menyoroti 'takut salah'. Saya tanya, "Apa akibatnya takut salah ?"
Mahasiswa : "Ya jadi salah beneran, Pak."
Saya : "Naaah .. itu dia kan ? ... Salah kan pasti terjadi bagi setiap orang yang 'baru' memulai sesuatu kan ?. Jadi SALAH adalah pasti terjadi. Tinggal kita mau menghadapinya dengan TAKUT atau BERANI saja ... Trus apa manfaatnya BERANI menghadapi salah ?"
Mahasiswa : (terdiam sejenak) ... "Jadi belajar dari kesalahan Pak".
Saya : "Anda jadi makin pinter kan ? Anda jadi tahu cara-cara yang ditempuh sehingga akhirnya menjadi salah ..."
Mahasiwa : "Betul, Pak".
Saya : "Berarti anda dapat ilmu kan dari berani menghadapi salah ?. Sekarang apa ruginya BERANI menghadapi salah ?"
Mahasiswa : (diam sejenak) ..."Tidak ada, Pak.."
Saya : "Apa ruginya TAKUT menghadapi salah ?"
Mahasiswa : "Tidak dapat pelajaran ... jadinya gitu-gitu aja, Pak... Nggak maju-maju .."
Saya : "Apa manfaatnya TAKUT menghadapi salah ?"
Mahasiswa : (diam lagi sejenak) .. "nggak ada, Pak.."
Saya : "Nahhh .. kalau lebih banyak manfaatnya kalau BERANI menghadapi salah, dan banyak ruginya kalau TAKUT menghadapi salah, ... lalu anda pilih TAKUT menghadapi salah atau BERANI menghadapi salah ?"
Mahasiswa : "BERANI menghadapi salah, Pak".

Ketika saya bertanya pertanyaan yang sama soal bagaimana menyikapi kesalahan-kesalahan dalam bekerja kepada sekitar 40-an karyawan ketika memberi 'provokasi' di bengkel Setya Jaya Motor di Jatiwaringin , Pak Warto seorang teknisi berkata, "Pak ... menurut saya kalau dalam pekerjaan kita boleh BERANI menghadapi salah ... tapi dalam beribadah kepada Allah kita harus TAKUT menghadapi salah .."***

Sabtu, November 22, 2008

Makin deh...


Ini cerita waktu saya masih takut bukan main sama kecoa. Karena saya bermusuhan dengan kecoa, otomatis segala yang terkait dengan kecoa masuk ke dalam daftar hitam saya. Radar mental saya aktifkan 24 jam dan alarm akan berbunyi ketika radar mental menangkap tanda-tanda yang mendekati musuh saya itu. Tanda-tanda itu bisa gambar, suara, bau.

Suatu malam saya nongkrong makan nasi goreng bersama teman-teman. Tiba-tiba saya mencium bau musuh saya itu.

"hmmm .. ada kecoa nih ...", kata saya.

Teman yang tidak takut dengan kecoa heran kenapa saya bisa tahu kalau di sekitar saya ada kecoa.

Benar saja, dari jarak 3 meteran, tampak sesosok kecoa sedang mengendap-endap di pinggir got. Maklum, saya nongkrong di Amigos (Agak minggir got sedikit). Sungutnya bergoyang-goyang. Saya tidak tahu dia sedang apa, tapi buat saya dia sedang 'meledek' saya.

Saya kembali meneruskan suapan nasi goreng berjubah suwiran ayam dan bermahkota telur ceplok setengah matang -- tentu dengan level kewaspadaan yang meningkat.

Tiba-tiba .... wushhhhhh ... ada 'sesuatu' yang 'terbang' dari atas menuju bawah, dan ketika benda itu tepat di samping pipi kanan saya ...... zeeeeppppppp .... tangan saya refleks men-smash benda itu. Saya mengira itu kecoa terbang. Akibatnya, tangan kiri saya yang memegang piring nasi berguncang keras, dan nasi-nasi berceceran di lantai. Teman-teman langsung menoleh ke arah saya. Saya terengah-engah kaget.

Begitu tahu benda yang saya smash itu adalah daun kering yang jatuh dari pohon, teman-teman yang tahu soal phobia saya langsung tertawa berbonus nyela.

Suatu ketika saya habis nonton film horor, dimana di film tadi tokoh sentralnya adalah kuntilanak. Saya masuk kamar mandi dan mengambil air wudhu. Tiba-tiba, entah karena tersenggol atau apa, kepala shower jatuh, dan dalam sepersekian detik saya loncat mengambil kuda-kuda silat !. Saya mengira ada serangan kuntilanak. Padahal, sebelum-sebelumnya, kalau ada benda jatuh, reaksi saya tidak terlalu theatrical.

Ketika kita takut terhadap atau kepada sesuatu, sebenarnya tanpa sadar fokus perhatian kita kepada hal yang kita takutkan tadi makin besar. Tanpa sadar kita makin sadar akan hal tadi. Segala yang terasosiasi dengan apa yang kita takutkan itu menjadi 'dekat' dengan perhatian kita. Akibatnya, justru ketakutan itu makin nyata dan hadir dalam kehidupan kita.

Seorang teman yang kuper (kurang perhatian) sehingga dia sering caper (cari perhatian) mengirim SMS kepada saya. Dia tanya apa saya tersinggung atau marah karena beberapa SMS 'caper'nya tidak saya jawab. Saya jawab, tidak. Kalau marah saya pasti bilang, tidak diam.

Lalu dia melanjutkan, "Aku paling takut konflik dan berusaha menghindari konflik. Aku nggak mau berantem".

Dia tidak sadar, bahwa justru mindset semacam itu nyatanya membawa dia sering berada dalam keadaan konflik. Kenapa bisa begitu ? Konflik adalah salah satu 'mahluk' ciptaan manusia yang akan terus ada selama kita berhubungan dengan orang lain. Konflik itu netral. Konflik itu hanyalah situasi perbedaan pikiran antara satu orang dengan orang lain. Pikiran mewujud menjadi tindakan dan hasil.

Sama dengan saya yang tidak bisa menolak kehadiran kecoa. Kecoa pasti ada, tinggal bagaimana kita bersikap tenang dan bertindak agar kecoa itu pergi (pergi dalam keadaan hidup atau mati, hehehe). Kita tidak bisa menolak kehadiran konflik. Yang bisa kita lakukan dalam kendali kita adalah bersikap tenang, dan mencari cara menyelesaikannya. Itu saja. Judulnya adalah berani. Berani menerima konflik dan menyelesaikan konflik.

Nah, ketika teman saya itu tidak mau ada konflik, sementara selama hidup dia pasti bertemu konflik, bukankah itu sudah konflik itu sendiri? Jadi konflik itu dia ciptakan sendiri.

"Ah, ngomong doang... memangnya kamu sudah bisa tenang kalau didatangi kecoa ?" Mungkin itu pertanyaan anda kepada saya.

Saya jawab,"alhamdulillah ... belum".***

Sabtu, November 15, 2008

Yakin Aja (by. Inna Indryani)


November 12th, 2008 by ladyfi06


Selasa tanggal 11 November 2008 ada acara wisuda Mahasiswa S1 STIE Dharma Bumiputera yang notabene nya saya menjadi MC…ga lucu kan kalo mbak MC nya berambut gondrong dan awut-awutan (secara rambut ku kruwel binti ikal plus suara cempreng lagi)…hehehe, yup suara ku emang terlalu melengking sedemikian sehingga kalo mau jadi MC masih rada-rada ga pede sama suara sendiri…dibandingkan dengan mbak-mbak MC yang biasa kita liat diacara-acara resmi…
Akhirnya dapet deh salon baru di pinggir jalan….pekerjanya mayoritas laki-laki kemayu yang lihai sekali memangkas rambut wanita…
Sedang asyik-asyiknya memangkas rambut saya, sang pemangkas rambut diajak ngobrol sama temannya :
Temannya : Mas, kita kan disini baru ya…udah gitu disini sepi lagi…
Gimana kalo salon kita ga laku ya?
Sang Pemangkas : Hus…hindari berpikiran kayak gitu…
Pikirkan kita sedang melayani buanyak tamu…
Bayangkan antrian tamu yang menunggu jasa kita…
Yakin aja lagi kita pasti mampu memuaskan pelanggan dengan keterampilan kita
Sehingga salon kita laku, jadinya kita semangat kerja…
Temannya : Yah kalo yakin doang mah gampang, tapi kenyataannya kan disini sepi
Sang Pemangkas : Nah kan udah gampang tuh yakin…sekarang mantabkan keyakinan ditambah dengan hati yang ikhlas..betul ga?
Temannya : hahaha…bisa aja lu, dapet darimana tuh kata-kata…
Sang Pemangkas : hehehe…ada aja…
Ups…disaat hati lagi ga pede sama suara sendiri, tiba-tiba dikasih pelajaran yang ga disangka-sangka…yup…kita harus yakin dengan kemampuan kita sehingga mampu memuaskan pelanggan…yup…yakin…
Yakin jadi MC nanti…hehehe…
Tapi ngomong-ngomong, tukang pangkas rambut dapet dari mana ya kata-kata kayak gitu…apa karena dia suka buka website http://www.provokasi-prass.blogspot.com…atau juga dia sering dengerin Smart FM….hehehe…

Sabtu, November 08, 2008

Dari bayangan jadi beneran (kisah cukur)

Sudah beberapa hari saya agak bingung memikirkan bagaimana saya memperindah penampilan kepala saya, alias cukur. Ini bukan karena Dede sahabat saya di Ksatria Atma Mahakam (alumni Pramuka SMA 6) mengatakan kepada isteri saya bahwa saya 'lagi cakep-cakepnya', tapi memang karena sudah tiga minggu rambut saya tidak dipangkas. Maklum, model rambut semi plontos kayak punya saya ini daur hidupnya lebih pendek daripada model panjang sepuluh tahun yang lalu.

Tiga hari ini saya agak hectic memikirkan dan menangani beberapa pekerjaan di kantor, termasuk acceptance karena ada dua program pendidikan dan pelatihan yang tertunda gara-gara dari 18 dan 14 hari durasi diklat yang saya ajukan, dipangkas hanya tinggal 5 dan 4 hari. Saya tidak mau ribut dulu karena saya tahu akar masalahnya adalah belum adanya dialog langsung antara pihak saya dan direksi yang memutuskan untuk 'sambung-pikir' alias memahami konsep masing-masing, jadi saya juga tidak tahu outcome apa yang diinginkan oleh Direksi dengan 5 dan 4 hari.

Ketika menulis blog ini, saya sedang menunggu ibu saya belanja di Pasar Ciputat. Ini hari Minggu. Besok Senin saya punya agenda seabrek, mulai dari rencana siaran langsung di D-FM, rekaman kapsul 'Provokasi' di Smart FM, dan gladiresik wisuda, dimana saya perlu turun langsung memberi 'roh' dan memastikan lagu "Menjelang" yang saya buat tahun 1986 bisa dinyanyikan dengan 'soul' yang pas oleh Paduan Suara. Hari Selasa-nya adalah wisuda sarjana STIE Dharma Bumiputera dimana saya akan memberi pidato selaku Ketua Yayasan. Itu berarti kebutuhan untuk berambut rapi memang sudah mendesak.

Di rumah sebelum berangkat, saya berharap, sembari menunggu ibu saya menelusuri pasar, mudah-mudahan ada barber shop yang buka, meskipun saya agak ragu karena masih terlalu pagi. Hanya saat inilah waktu untuk saya bercukur, karena siangnya saya kondangan walimatussafaar Pak Harsanto, lalu doa bersama untuk sahabat saya Yoyok-Padmono di rumah Ical, dan malamnya kondangan mantan mahasiswa bimbingan saya Danang.

Di Pasar Ciputat, saya parkir di sebuah tempat mirip pertokoan. Saya parkir di depan deretan toko yang masih tutup. Saya online sebentar dan tiba-tiba 'terusik' oleh aktivitas pemilik toko di depan mobil saya parkir membuka rolling door tokonya. Saya masih meneruskan chatting saya dengan isteri saya, Uwie, Chandi, dan Mira. Begitu saya 'tersadar', saya melihat ke arah toko yang sudah siap kunjung. Ternyata itu bukan toko, tapi tempat Pangkas Rambut !

Problem solved! Thought becomes thing. Oh ya, biasanya saya bercukur di beberapa tempat, nuansanya Nyunda Pisan karena juru pangkasnya berasal dari Jawa Barat seputar Tasikmalaya. Baru kali ini saya dipangkas dengan ambience bahasa dan logat Padang karena ternyata juru pangkasnya dari Sumatera Barat...***

Kamis, November 06, 2008

Lontoooooong


"Ini semua gara-gara Yasmin !!! .... awas ... tunggu pembalasanku ... akan aku buat hidupmu menderita selamanya ...!", geram seorang 'tante' yang gagal untuk merebut posisi enak di kehidupan 'Alfino'.

"Hehhhhh !! .. ngapain kamu masih di sini ?? .. kamu itu pembawa sial ! .. cepet sana keluar ! .."

Klik ... pindah ke stasiun sebelah...

"Mumpung ibunya pergi .... anak itu bisa aku manfaatkan buat mengemis ... aku bakal dapet banyak duit ... iiihihihihiiii .."

Klik .. pindah ke stasiun sebelah...

"Hehhhhh!!! ... Carissa ...Kamu anak kampung ! ... tidak pantas kamu hidup bersama Mario !"

Klik .. pindah ke stasiun sebelah

"Kalau dia hamil, itu karena gue di jebak ! .... Eh, Son, denger ya .... gue tidak akan bertanggungjawab !" ...

Klik ... pindah ke stasiun lain setelah 1 jam.

"Hmmm ... kalian semua bodoh ! .... lihat, .. sebentar lagi perusahaan itu akan jatuh ke tanganku ..."

Toloooooooonggggg .... ibuku dan mungkin ibu-ibu lain di Indonesia ini menikmati tayangan sinetron Indonesia kayak gini ....***

Selasa, November 04, 2008

Etika Berkendara for bikers


Sudah lama saya ingin memposting artikel yang saya 'copy' dari blog lain. Memang ada sih tulisan isteri atau keponakan yang saya pajang di blog ini, tapi kali ini saya dapat tulisan yang pas sama 'soul' saya saat ini, yaitu topik yang saya ingin kampanyekan ke publik. Karena sekarang saya biker penunggang Yamaha Scorpio ala Touring, saya ambil artikel dari blog Jakarta Owners Yamaha Scorpio.

Etika Berkendaraan

Walau sehari-hari naek motor, kadang-kadang kite ‘apes’ dan terpaksa naik mobil. Eh.., pas di belakang kemudi banyak biker kadang ngeselin. Mereka nyemplak motor, lagaknya jalanan milik moyangnya. Padahal kalau kegebok, bikerlah yang cedera paling besar. Iyalah.

Nah, biar kita nggak ngeselin dan terhindar dari celaka, nggak salah menyimak tips hasil rangkuman pengalaman.

HINDARI PELAN TAPI DI TENGAH JALAN

Ini sering terjadi. Mereka adem ayem aje jalan pelan di tengah jalan. Pengemudi mobil bakal kesulitan melewatinya. Apalagi kalau mereka lagi tanggung ngebejek gas.

Biker paham etika harusnya ngerti kalau mau pelan, ya minggir. Supaya kagak jadi handicap pengendara mobil.

WAJIB KASIH TANDA SEBELUM BELOK

Di belakang kemudi mobil, sopir sering bertanya. Nih, motor mau belok ape lempeng. Soalnya dia ngambil posisi di tengah jalan dan di depannya ada pertigaan atau gang.

Nggak sabar, dia ngambil keputusan dan langsung nyusul. Eeh.., tiba-tiba bikernya belok dan jeedaaar! Mobil menghantam motor. Atau motor nyamperin mobil.

Ini akibat biker cuek mau belok. Tanpa sein atau kode tangan. Enak aje dia belok, nggak sadar di belakangnya mobil melaju kencang. Ente wajib melihat ke belakang, kasih tanda kalau mau belok. Jadinya, sopir kagak bingung dan bisa mengantisipasi manuver sobat.

JANGAN NYUSUL MOBIL SEENAK UDELE DEWE

Biasanya terjadi saat lalu lintas lambat merayap alias semimacet. Mobil terpaksa pasrah dalam antrean, sedangkan motor leluasa selimpat-selimpet di antara moncong dan pantat mobil.

Sering terjadi, biker memotong antrean dari kiri ke kanan atau sebaliknya dengan jarak tipis banget. Kalau tiba-tiba mobil menambah kecepatan, bisa dipastikan menabrak motor karena jarak sempit tadi. Kalau toh nggak terjadi tabrakan, sopir biasanya kaget dan mengumpat, ”Sialan!”

Idealnya, penyemplak memperhitungkan betul kalau mau ‘menggunting’. Perkirakan jarak aman atau saat mobil betul-betul berhenti.

KELUAR GANG JANGAN KAYAK TIKUS GOT

Tikus keluar dari got, tanpa tengok kiri-kanan. Biker jangan begitu dong! Pernah kejadian, seorang rekan lagi nyopir mobil dalam kecepatan tinggi, langsung banting setir. Gara-gara motor keluar gang ke jalan gede seenak udele dewe. “Gue kaget. Akibatnya, mobil terguling dan salah satu keluarga gue luka parah,” cerita Faisal Mahbub yang kala itu ada acara ke luar kota.

Ini bener-bener dosa biker. Dalam situasi lain mungkin sopir nggak sempat menghindar dan melabrak biker slonong boy tadi. Prediksi betul kondisi lalu lintas sebelum gabung ke jalur besar.

JANGAN KELEWAT DEKET MOBIL DI STOPAN

Persis lampu merah, sampeyan harus waspada. Nggak sadar, kaki penyemplak nangkring di ban depan mobil.

Lampu ijo nyala, mobil jalan dan menggilas kaki penyemplak motor. Serem, orang itu marah-marah sambil ngegedor kaca mobil.

Ayo salah siapa? Kenapa nyimpen kaki dekat sama ban mobil. Waspada dong!

BE GENTLEMAN KALAU NYENGGOL MOBIL

Macet, buru-buru… ente pasti selimpetan. Biasanya, setang motor nggak sengaja melabrak spion mobil. Payah banget kalau biker langsung kabur atau belagak bego. Harusnya gentleman dong… Dekati sopir dan minta maaf.

Kalau dimaki-maki, ya risiko!

KIAT BALIK ARAH

Mau balik arah pada jalan dengan pemisah jalur, ada kiatnya. Sipnya, semua bodi motor masuk ke pemisah jalan tadi dengan posisi nyerong. Dengan begitu pantat dan moncong motor kagak ada yang nongol. Otomatis, kecil kemungkinan dihantam mobil dari belakang atau depan. Dengan posisi seperti itu pengemudi mobil nggak terhalang.

Praktekkan dulu, baru bilang bener


Di penghujung pelatihan, di hadapan sahabat-sahabat anggota Ksatria Atma Mahakam (alumni Pramuka SMA 6 Jakarta) yang menjadi peserta pelatihan, saya mengatakan, jangan bilang semua yang saya ajarkan itu benar, sebelum dipraktekkan sendiri. Selama belum dibuktikan, semua 'ajaran' saya hanyalah teori belaka.

Ke-19 sahabat saya : Aji '87, Widi '87, No '87 (dan isteri), Nifa '86, Dede '88, Ita '88, Nday'83, Dhani (dan suami), Mbak Ati (dan suami), Ade '89, Sofyan '89, Nelwin '88, Ima '89, Dian '89, Misbah '87, dan Hari '92, selama dua hari di Cimacan saya 'turunkan' ilmu tentang hipnosis untuk membantu diri dan orang lain, serta bagaimana menggunakan kekuatan pikiran bawah sadar untuk mencapai apa yang diinginkan.

Pelatihan kali itu sangat berkesan dan memuaskan saya. Suasana belajar begitu alami dan menyenangkan, persis seperti kalau kami berkumpul sejak aktif Pramuka semasa SMA yang penuh canda-tawa, tapi mereka mau melakukan latihan-latihan dengan serius. Saya bilang, dalam latihan ini banyak-banyak bikin salah, dan jangan terlalu serius. If you get serious, you get stupid, begitu doktrin sebagai neurosemanticist yang saya pegang.

Keesokannya, Nifa mengirimkan SMS melaporkan hasil 'praktek' yang ia lakukan. Laporan Nifa disempurnakan lewat emailnya dengan isinya begini.

Monday, November 3, 2008 4:04 AM
From:
To: "pmbrata@yahoo.com"
Pras, gw hr ini mulai mempraktekan 'law of attraction',td pagi gw mau ketanah abang, gw parkir mobil di pasaraya, keluar dr pasaraya gw liat ada 3 p19, kopaja arah tanah abang, gw datangi,ctp semuanya jalan, lalu dlm hati gw bicara, kalo sampai deket lampu merah pasaraya tdk ada p19, gw naik busway, begitu dilampu merah tiba2 berenti p19, langsung gw naik, stlh duduk gw liat jam, jam 10.17, gw kembali bicara dlm hati, gw sampe tanah abang dlm wkt 30mnt, begitu gw turun dr kopaja gw liat jam gw jam 10.48, pulang dr tanah abang gw naik kopaja lg ke arah pasaraya, langit gelap, begitu sampai dpn bunderan HI hujan deras, gw kembali bicara dlm hati, sampai pasaraya hujan berenti, begitu sampai disebrang pasaraya memang bener2 berhenti ujannya, gw agak takjub dgn kekuatan pikiran gw, krn sdh jam 11.35, gw kudu jemput ponakan2 di AlAzhar Kemang, kembali gw bicara dlm hati, menuju kemang lancar dan dpt parkir didkt pintu masuk anak2, Alhamdulillah semua itu terjadi, kembali gw takjub. Barusan gw memberi obat ke ponakan gw, si radhya, dia panas, biasanya kalo dia minum obat tdk pernah mau untuk menghabiskan air minumnya, td gw kembali bicara dlm hati, hasilnya dia minum obat dan menghabiskan segelas air minumnya. Bener ya kalo kita ikhlas, positif dan yakin, Insya Allah terjadi, terima kasih pras untuk berbagi ilmunya.....

Hari berikutnya, Dede mengirim SMS :

Mlm ini gw mikir n visualkan perjalanan adik gw dr melawai mnuju rempoa. Gw hrs nunggu dia di tempt makan gintung. Hslnya, gak jauh meleset, gw sms dia n bilang dia udah nyampe per4an pdk pinang arah deplu. Dia ada di bundaran sekolah bhakti mulya. Amazing. Berarti gw hrs fokus in 41 days get premi 150jt. Pasti gw dapet !

Kalau yang ini SMS dari Nong, 'manajer' saya untuk urusan promosi buku.

Intermezo : Tadi pagi menjelang siang brangkat ke kantor baru nyadar ga bawa dompet. Cuma ada 2500 pas di kantong buat ongkos ke kantor aja. Akhirnya mikir : 'gue beruntung dpt makan siang gratis 'n pulang dianterin ampe gang depan kosan'. Nyampe kantor ternyata lagi pada masak. Aku ditanya dah makan belum ? kujawab 'belum'. Alhamdulillah diajak makan. Trus barusan pulang dianter Fajar pake motornya ampe dpn gang kos. Alhamdulillah, hari ini sukses bermodalkan rumus intention, visualisasi, doa, ikhlas 'n pasrah, hehehehe ...

Betapa hebatnya pikiran kita ... dan ... betapa maha hebatnya DIA Yang Telah Menciptakan pikiran kita ... Tapi, ada juga yang tidak bisa membedakan antara pikiran dan Pencipta Pikiran, dengan menyebut definisi energi dengan definisi Tuhan itu sama ... ***

Sampai Kapan ?


Di sebuah malam, saya sedang berbicara di forum penyamaan persepsi dan harapan antara peserta pelatihan dan saya selaku trainer, ketika Nelwin, salah seorang peserta menyampaikan sharing. Jumat malam itu hingga minggu sore saya bakal mengajar 19 orang teman sesama alumni Pramuka SMA Jakarta tentang hypnosis. Saya sangat bergairah untuk memberi pelatihan karena disamping nostalgia duapuluhan tahun lalu, hajatan ini merupakan pelaksanaan dari komitmen saya untuk memberi pelatihan gratis dua kali setahun.

Setelah melakukan percobaan 'memanjangkan tangan' melalui proses visualisasi, Nelwin tidak mengalami perubahan apa-apa pada tangannya. Saya jelaskan, ada empat kemungkinan mengapa visualisasi tidak berefek. Pertama, sulit konsentrasi. Kedua, kritis -- mikir -- ragu. Ketiga, menolak perintah -- ngeyel. Keempat, ketiduran.

"Prass, tangan gue nggak berubah apa mungkin disebabkan karena gue skeptis karena dari dulu gue nggak terlalu percaya yang soal beginian", kata Nelwin.

Nelwin memang mencirikan profesional yang sukses dalam dunia kerja. Ia lulusan FEUI dan MBA di Inggris yang sudah lama berada pada posisi pimpinan puncak sebuah perusahaan sekuritas besar di Indonesia. Orang seperti Nelwin memiliki self-esteem dan kepercayaan tinggi terhadap dirinya sendiri. Kalau tidak, mana mungkin ia sukses. Saya melihat ia termasuk kelompok kedua, yaitu kritis, dimana keputusan perubahan harus berasal dari dirinya sendiri. Saya pikir, sugesti yang efektif adalah sugesti dari dirinya sendiri.

Dengan semangat 'membantu seseorang untuk membantu dirinya sendiri', saya lalu bertanya, "Win, sampai kapan eloe skeptis ?".

Saya lalu diam, tidak memberi nasihat atau petunjuk apapun. Saya melanjutkan perbincangan dengan para peserta dan tanpa saya ketahui, rupanya Nelwin melakukan percobaan sendiri memanjangkan tangan. Tiba-tiba dia menyela pembicaraan saya.

"Prass, sekarang tangan gue berubah ...". Dia menunjukkan tangannya kepada saya dan forum.

Rupanya pertanyaan mindlines saya mustajab. Pertanyaan itu menyebabkan ia tampak sadar dengan apa yang sedang diyakininya, dan akhirnya memutuskan tidak ada salahnya meninggalkan sang skeptis untuk mau melakukan sesuatu yang siapa tahu mendatangkan manfaat. Ia memutuskan sendiri untuk mau melakukan, dan akhirnya ia berhasil bisa. Jadi ia bukannya tidak bisa 'memanjangkan' tangan, tapi tidak mau. Begitu mau, ia bisa.

Thanks Win ... eloe udah ngasih pelajaran buat 'kita-kita' tentang keputusan untuk berubah yang berhasil.

Ketika cerita ini sampai di isteri saya, di Yahoo Messenger, ia bilang :

Uti: hehehe jangan2 kalo aku ga skeptis aku juga bisa ya
prass_sahabatku: heheheh ..
prass_sahabatku: TENTUUUUUUU ...***

Minggu, Oktober 26, 2008

Dibangunin Kuntilanak


Senin pagi saya ada jadwal mengisi acara "Jakarta Pagi" di D Radio 103,4 FM. Saya menutup laptop saya persis jam 00.30. Saya ambil kuda-kuda untuk tidur, sambil memprogram di pikiran saya "Aku bangun jam lima kurang sepuluh". Saya katakan itu dalam hati sebanyak 6 kali sambil membayangkan sebuah jam dengan jarum pendek hampir menunjuk angka 5, jarum panjang di angka 10.

Entah mulai dari mana dan saat apa, tiba-tiba saya berada dalam setting lokasi di tengah hutan. Yang masih saya ingat, saya berada di lokasi itu setelah 'selamat' dari berpapasan dengan seorang 'zombie'. Mobil saya hentikan, dan saya melihat Ibu Miranty Abidin -- pemuka kehumasan Indonesia -- sedang duduk di sebuah bangku bambu. Ia memegang makanan, entah apa itu.

"Lagi ngapain, bu ?", sapa saya.

"Mau pulang ...", jawab bu Miranty tersenyum.

"Kalau begitu saya antar saja, bu ..", kata saya.

Kami berdua berjalan beriringan sambil ngobrol (isi obrolan sudah lupa). Kami memasuki jalan setapak di bawah rerimbunan pohon.

Tiba-tiba bu Miranty bilang, "Eh Pak Prass, saya pulang sendiri saja ke arah itu ...". Tangan bu Miranty menunjuk ke arah pohon-pohon yang rimbun. Saya heran, karena ke arah itu tidak ada jalan setapak.

"Lho, ke situ kan tidak ada jalan, bu ? ... Ibu pulang pakai apa ?", tanya saya heran.

"Terbang .....", kata bu Miranty.

Jantung saya berdegup keras. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba bu Miranty berubah menjadi Kuntilanak ! .... lalu dengan cepat dia terbang menempel di pohon terdekat sambil tertawa, "hiii hihiii hihiiiii ....". Anehnya, saya sempat melihat kuntilanak itu memakai celana jeans.

Saya gragap terbangun.Suhu badan saya naik. Jantung berdegup dan kaos saya anyep kena keringat. Saya segera mengambil ponsel dan melihat di jamnya. Waktu menunjukkan pukul 04.47, atau 3 menit sebelum program 'alarm' yang saya tancapkan sebelum tidur berbunyi.

Waktu pengalaman ini saya ceritakan kepada isteri saya waktu chatting pada jam istirahat siang, ia bilang, "Hahahaa .. mungkin karena semalem kamu habis bunuh kecoa".

Kemunculan skenario mimpi seperti ini, kemungkinan inputnya macam-macam. Kemarin, sehari sebelum mimpi, isteri saya merekomendasikan facebook bu Miranty Abidin -- tokoh public relations Indonesia -- untuk di add (dan akhirnya memang saya add). Meskipun saya tergolong baru setahun ini bertatap muka dengan Bu Miranty, tapi nama dan reputasinya sudah saya kenal belasan tahun lalu. Bu Miranty juga sempat memberi komentar endorsement di buku perdana saya.

Malam hari sebelum tidur, saya memang berburu kecoa dengan Baygon di rumah saya dan dengan menyesal telah membunuh 58 ekor kecoa. Mimpi ini boleh jadi wujud perasaan bersalah karena melakukan pembunuhan itu (karena belum bisa menguasai 100% phobia saya terhadap kecoa -- meskipun saya sendiri seorang hypnotherapist). Atau kemungkinan lain, arwah-arwah kecoa itu melakukan konspirasi untuk membalas dendam dengan masuk lewat sosok 'zombie' di mimpi saya, hehehe.

Setidaknya, hari ini saya mendapat pengalaman untuk bangun pagi sesuai keinginan saya, dengan cara yang aneh ...***

Sabtu, Oktober 25, 2008

Hargai yang sudah 'hadir'


Di rapat dosen yang berlangsung, Pak Bambang Hermanto -- saat itu Sekretaris Program MM -- meminta para dosen agar memulai pelajarannya tepat waktu. Rupanya masih ada juga dosen yang memulai perkuliahannya molor.

Etos belajar-mengajar di MM-UI memang tinggi. Dosen yang evaluasi akhir pelajarannya mendapat ponten rendah dari mahasiswa, bisa-bisa catur wulan depan tidak mendapat penugasan lagi. Sebaliknya, kalau mahasiswa ada yang ketahuan nyontek, ngebet, dan segala bentuk cheating, niscaya namanya akan terpampang di papan pengumuman dan seluruh mata kuliah yang diambil pada cawu itu dinyatakan diskualifikasi. Itu dari sanksi formal. Belum dari sanksi informal. Waktu saya masih jadi mahasiswa di MM-UI, ada teman perantauan yang ketahuan bawa contekan waktu ujian. Sejak itu cawu berikutnya sampai lulus, dia dijauhi teman-teman. Kasihan memang, tapi salahnya sendiri.

Salah seorang dosen kemudian berargumen, "Bagaimana saya bisa memulai kuliah, kalau begitu saya datang tepat waktu mahasiswanya baru sedikit ?".

Saya yang tadinya ingin diam saja, tidak tahan juga untuk angkat bicara, "Saya hanya ingin sharing pengalaman yang saya lakukan, jadi Insya Allah ini bukan teori. Saya kalau mulai kuliah selalu tepat waktu, dan langsung mengabsen mahasiswa, biarpun hanya ada sedikit mahasiswa. Pengalaman saya, biasanya hanya satu-dua kali banyak yang terlambat, setelah itu minggu-minggu berikutnya mahasiswa sudah banyak sejak jam masuk kujliah. Pengalaman saya, tepat waktu atau tidaknya lebih ditentukan oleh dosennya".

Bukan cuma di MM-UI, dalam memberi training pun, kalau waktunya coffee break telah usai, saat masih banyak yang merokok di luar kelas, saya ambil mic dan berbicara kepada peserta training yang telah ada di tempat duduknya masing-masing, "Nah, bapak-bapak dan ibu-ibu ... untuk menghargai bapak dan ibu yang sudah tepat waktu masuk kelas lagi, maka saya akan mulai lanjutkan pelatihan kita. Jangan sampai Bapak dan Ibu yang sudah tepat waktu ini dikorbankan oleh mereka yang tidak tepat waktu ..."

Biasanya, pada rehat berikutnya, saatnya waktu masuk kelas tiba, peserta jauh lebih banyak yang sudah ada di dalam ruangan ...

Membangun kebiasaan itu awalnya memang tidak mudah. Ibarat mendorong mobil mogok, diperlukan energi besar di awal-awal. Tapi setelah mobil mulai bergerak sedikit, dan tetap konsisen mendorong, akhirnya mobil itu mulai berjalan, dan kalau sudah ketemu momentumnya, dengan satu tanganpun mobil itu bergerak.

Bagaimana dengan memulai rapat ?. Untuk melatih anggota organisasi memulai rapat tepat waktu, biasanya saya memulai rapat tepat waktu. Lalu ada absensi peserta rapat yang ada kolom 'jam kehadiran' yang harus diisi oleh peserta rapat. Satu-satunya anggota organisasi saya yang selalu datang sebelum jam rapat dimulai, adalah Pak Mustafa Dangkua. Beliau adalah mantan perwira polisi yang berpuluh-tahun berada di dunia pendidikan. Dalam soal disiplin, beliau adalah uswatun hasanah -- teladan yang baik.

Nah, kalau ada peserta rapat datang terlambat menanyakan atau mengulangi topik yang telah disinggung saat dia belum hadir, itulah saat-saat 'menyenangkan' buat saya untuk 'ngerjain' dia....***

Kamis, Oktober 23, 2008

Diprovokasi Sama Kambing (2 - habis ahh)


Gara-gara saya menulis 'tanda-tanda gangguan pikiran berlanjut' di tulisan sebelumnya (Diprovokasi sama Kambing), gangguan pikiran itu benar-benar berlanjut terus. Barangkali ini gara-gara Pak Wandi tidak memberi jawaban apapun atas jawaban saya sebelumnya. Ia hanya terkekeh. Entah mengapa efek domino yang ditimbulkan oleh provokasi Pak Wandi benar-benar luar biasa. Mungkin saya masih penasaran apa sih jawaban yang ada di peta pikiran Pak Wandi.

Ternyata bukan hanya saya yang terganggu, sahabat saya Dedi -- gitaris NAFF, juga terganggu. Buktinya dia juga memberi komentar di tulisan pertama tersebut. Kata Dedi, untung Ismail dan Ishak sama-sama selamat. Kalau tidak, kita sebagai anak cowok sudah disembelih sama bapak kita. Makanya mendingan kambing saja yang disembelih.

Saya langsung tersengat dengan komentar ini. Bagaimana tidak , berbulan-bulan pikiran itu tidak pernah nyangkut di pikiran saya. Brilian !!! ...

Merasa mendapat jawaban yang top, saya langsung meng-sms Pak Wandi dengan perasaan bangga layaknya seorang yang baru pulang mendapatkan harta karun tersembunyi. "Pak .. saya nemu jawaban lagi soal kambing ..", bunyi SMS saya. Saya lalu melanjutkan isi SMS dengan jawaban ala Dedi.

Yang ditunggu-tunggu tiba. Jawaban Pak Wandi : "Ha ha ha gak nyambung. Yang jelas Allah sebenarnya nggak serius, wong Dia juga dah tahu semuanya".

Kali ini saya tersengat lagi. Tapi kali ini bukan tersengat raket anti nyamuk, saya tersengat SUTET !!! .. Maksudnya Pak Wandi, Allah 'tidak serius' memberi perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail (atau Ishaq menurut umat Kristiani), dan Allah juga tahu Ibrahim akan melaksanakan perintahNya, dan Allah toh akhirnya akan menukar Ismail (atau Ishaq) dengan kambing kibas juga.

Jawaban Pak Wandi ini (dan juga tafsir kemungkinan yang saya kembangkan sendiri) beberapa bulan ini tidak pernah nongol di pikiran saya, padahal jawaban itu simpel dan 'dekat'. Pikiran Pak Wandi itu bukannya tidak pernah bersemayam di pikiran saya, buktinya saya langsung merasa 'akrab' dengan jawaban itu, melainkan saya yang pakai 'lampu sorot' untuk memilih sosok -sosok pikiran yang 'muda' dan 'kinclong', sampai mengabaikan sosok pikiran yang 'tua'. Ahhh .. kalimat ini saja tandanya saya njelimet. Singkat kata : tidak kepikiran alias lupa!.

Cukup ... cukup Pak Wandi ... Tapi rasanya tidak bisa cukup ... saya telanjur berpikir, lalu kalau Allah sudah tahu ujung-ujungnya akan 'mengorbankan' kambing, lalu buat apa Allah 'melalui jalan' menguji Ibrahim ? Atau dalam bungkus bahasa Pak Wandi 'tidak serius' ? Atau kalaumau pakai istilah provokatif ala saya, buat apa Allah 'ngerjain' Ibrahim ?

Karena provokasi berikutnya ini tidak lagi soal kambing, Pak Wandi ... anda harus ikut bertanggungjawab. ***

Selasa, Oktober 21, 2008

Syukuri yang 'hadir', bukan merisaukan yang 'tidak hadir'


Kalau sebelumnya saya menulis kisah Pak Husni, seorang pemandu wisata yang terus saja bercerita menghibur penumpang bus meskipun hanya sepasang mata yang memandangnya, kali ini saya disuruh membuktikannya sendiri.

Di perjalanan menuju Bandung, Nong -- 'manajer' saya -- menerima telepon yang isinya meminta kesediaan saya untuk melanjutkan talkshow pada acara yang digelar oleh manajemen Bandung Super Mal (BSM). Kalau jam 4 sore saya ngomong di toko buku Gramedia BSM, jam 7 malam dijadwalkan manggung di foodcourt. Ya, foodcourt!. Karena awalnya di pikiran saya cuma menimbang sekalian jalan, dan setelah diperhitungkan paling-paling jam delapan sudah bisa kembali ke Jakarta, saya mengiyakan.

Talkshow di toko buku belum pernah saya alami sebelumnya. Di TB Gramedia BSM Bandung itu, saya disiapkan standing banner di depan toko yang mempromosikan acara itu, lalu voice over propaganda kepada para pengunjung pemberitahuan adanya talkshow, backdrop dari digital printing dan standing banner, dengan meja kecil dan LCD projector. Ada sekitar 10 kursi disediakan untuk pengunjung. Ketika waktunya tiba, saya yang awalnya sedikit bingung mau mulai dari mana, akhirnya nyerocos dengan lancar juga. Bagaimana tidak bingung, inilah kali pertama saya bicara dikelilingi oleh orang-orang yang sebagian besar asyik melakukan kegiatannya sendiri melihat-lihat dan memilih buku. Dengan kata lain, dicuekin sebagian orang.

Singkat cerita, setelah 'sukses' memprovokasi TB Gramedia (ini kata teman-teman saya lho) karena saya berfokus dan bersyukur kepada mereka yang duduk di hadapan saya dan berdiri mengelilingi saya, daripada mengkhawatirkan mereka yang mencueki saya, maka saya beristirahat sejenak di samping tumpukan dus buku. Sambil minum teh kotak, saya tanya kepada Nong yang sudah survey tempat di foodcourt.

"Nong, tempatnya ada kursi khusus kayak di toko buku ini atau benar-benar audience duduk di tempat masing-masing sambil makan ?", tanya saya.

"Di tempat masing-masing sambil makan", jawab Nong.

Eng ing eng ... wajah saya langsung serius. Saya sedang mempersiapkan mental yang lebih teguh lagi.

Benar saja. Begitu datang, saya menemukan stage-nya kecil di antara meja kursi makan seperti biasa. Sound system kurang power dan hanya satu speaker, bukan dipasang mengelilingi ruangan. Saya langsung menurunkan harapan saya atas reaksi audience. Ketika announcer atau host acara itu memulai pengantarnya, saya perhatikan seluruh audience asyik dengan makanan masing-masing atau asyik ngobrol dengan pasangan atau teman-temannya. Ketika mic berada di tangan saya, saya membayangkan seolah-olah seluruh audience memperhatikan saya. Saya gunakan juga kalimat-kalimat pacing-leading, seperti, "Sambil anda menyantap makanan anda dan menghirup minuman anda, anda dapat mendengarkan saya menyampaikan ... bla bla bla ...", sekedar untuk meningkatkan 'sedikit' sugesti.

Alhasil, memang ada beberapa orang yang sewaktu-waktu melemparkan perhatian kepada saya, tapi mereka kemudian meneruskan kegiatan pribadinya itu. Sayapun, sesekali mempersilakan mereka sambil makan. Yang mengejutkan, awalnya saya tidak berharap ada yang merespon ocehan saya di sessi tanya-jawab, tau-tau ada juga yang mengacungkan tangan. Bapak ini kemudian berkata melalui mic, "Saya baru kali ini menemukan ada orang ceramah jualan buku di depan orang yang sedang makan di foodcourt ..... ".

Menanggapi statement Bapak ini, saya kemudian menjelaskan, "Kalau dihitung dengan kalkulasi matematis manusia, mungkin saya dibilang gila, kok mau-maunya ngomong sendirian dicuekin sama banyak orang. Tapi saya sedang menjalankan tugas (dari manajemen BSM). Niatnya adalah membagi ilmu, dan kalkulasinya esoteris. Saya tidak menyerahkan kuasa kepada perilaku para pengunjung foodcourt ini untuk menentukan semangat dan performance saya untuk tetap membagi ilmu ini, meskipun hanya satu orang yang memperhatikan. Tugas saya bicara, dan saya sedang menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya." Bapak itupun tersenyum mengangguk-angguk.

Ketika sessi saya berakhir dan saya berpamitan pulang, Nong bergumam,"Good job ...!".***

Rabu, Oktober 15, 2008

Dedikasi Seorang Guru (1)


Bermula dari brosur penawaran clinical hypnotherapy workshop, saya mengenal dr. Arya Hasanuddin, SH, SpKJ. Ia adalah ketua Indonesian Society of Hypnosis. Awalnya saya penasaran mengapa workshop hypnotherapy I sehari biayanya cukup tinggi. Setelah dijelaskan, rupanya biaya itu adalah untuk pembimbingan dr. Arya selama dua tahun. Dr. Arya menjelaskan, ia terpaksa 'turun gunung' untuk melatih hypnotherapy kepada non-dokter dan psikiater karena ia prihatin maraknya penawaran workshop hypnotherapy yang "sehari langsung jadi". Ia lalu menayangkan iklan hypnotherapy yang sering dimuat di Kompas yang menampilkan pula instrukturnya berpakaian hitam. Kata dr. Arya, iklan inilah yang membuatnya geram.

Terapi hipnosis ini menyangkut pikiran dan jiwa manusia, jadi kalau ditangani secara serampangan, bisa fatal akibatnya. Ia menemukan seorang 'bekas' pasien hypnotherapy yang akhirnya malah harus ditangani secara psikiatri karena mendapat hypnotherapy yang menurut dr. Arya salah blas. Hypnotherapy haruslah memenuhi kaidah-kaidah sebuah terapi klinis, dimana perlu dilakukan assessment dan diagnosis mendalam terhadap masalah, lalu teknik terapi yang sesuai, dan treatment pasca terapi. Hypnotherapist juga harus menguasai tentang otak dan fungsinya, serta tipe-tipe kepribadian dan ciri-cirinya. Setelah hypnotherapist melakukan assessment dan diagnosis, maka baru dilakukan proses terapi yang disesuaikan dengan kasus/masalah dan tipe kepribadian klien. Jadi, hypnotherapy tidak bisa diajarkan hanya sehari lalu dilepas. Itulah sebabnya, dr. Arya akan membimbing peserta workshop ini selama dua tahun.

Saya termasuk orang yang beruntung mendapat bimbingan dr. Arya. Menurut beliau, dari belasan 'murid', hanya saya yang 'jadi'. Katanya saya punya bakat dan kemampuan yang baik. Bahkan, beliau sempat 'menurunkan' kepada saya sebuah teknik khusus yang beliau berpesan 'jangan dikasih tau orang lain, itu hanya untuk kita'. Kalau dipandang dari sudut bisnis, jangan-jangan ibarat CocaCola, itu adalah rahasia 'sirup' yang menjadi inti produk minuman berkarbonat itu. Tapi saya menafsirkan jangan sampai teknik itu jatuh kepada orang yang salah. Setelah teknik itu saya terapkan kepada dua orang klien, ternyata memang 'ampuh'.

Bersama dr. Arya pulalah, saya mengetahui bahwa banyak mitos, klenik dan praktek perdukunan yang hanya 'tipu daya'. Urusan dukun adalah urusan sugesti. Banyak dukun pakai ilmu sulap. Bahkan di Kompas sempat diulas bagaimana teknik memasukkan jarum ke dalam telur. Tidak ada yang namanya kesurupan itu roh jahat masuk, karena yang terjadi adalah fenomena traditional hypnosis yang terang secara ilmiah. Masih banyak tabir yang dibuka oleh dr. Arya yang ujung-ujungnya memintarkan masyarakat.

Maka, ketika membuka harian Kompas yang memberitakan dr. Arya tewas bersama sopirnya di sebuah hotel di Semarang, saya kaget bukan kepalang. Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun. Saya ingat, konsultasi terakhir saya adalah ketika saya bertanya bagaimana mengatasi problem Kyla -- puteri Ira Maya Sopha -- yang ketakutan dihantui 'suatu bayangan' di rumahnya. Pertemuan terakhir dengan beliau adalah pertemuan tidak sengaja di bandara Soekarno Hatta sebulan sebelum berita Kompas itu muncul. Waktu itu saya dan isteri mau ke Semarang, beliau juga, tapi lain flight. Itulah kali pertama dan terakhir isteri saya bertemu dengan dr. Arya.

Cerita latar terbunuhnya dr. Arya macam-macam. Ada yang bilang urusan bisnis, urusan klenik, urusan politik (beliau adalah anggota tim pemeriksa kejiwaan caleg di Semarang). Latar belakang itu kemudian mengerucut kepada satu berita : dr. Arya minta didatangkan jin oleh dua orang 'ahli'. Kalau berhasil orang itu akan dibayar 40 juta. (lihat "Dedikasi Seorang Guru 2"). Sebagian orang bingung, kok dr. Arya yang sangat ilmiah dan rasional itu main-main soal klenik ?. Ada teman yang bilang, jangan percaya pada pengakuan pembunuh. Ada juga teman saya Pak Widyarso yang 'membuka' kemungkinan memang dr. Arya bertransaksi jin. Saya katakan, saya membuka celah untuk semua kemungkinan, termasuk split personality yang dilemparkan skenarionya oleh Pak Wid.

Tapi semua itu masih map, belum reality. Selama reality-nya belum terungkap, karena saya tahu konteks yang dibuat beliau (setidaknya kepada saya), maka lebih bermanfaat jika saya memilih pemahaman : Itulah dedikasi dr. Arya sehingga ia ingin mengeksplorasi lebih dalam soal klenik dan membuktikan bahwa 'ahli' mendatangkan jin itu cuma tipu daya saja meski usaha beliau ini harus dibayar dengan nyawanya sendiri...***

Dedikasi Seorang Guru (2)

http://health.groups.yahoo.com/ group/pdskji_sub/message/137

SEMARANG- Setelah mengejar secara intensif, tewasnya dokter Arya Hasanuddin (44) dan sopirnya, Sudarto (27), dapat diungkap petugas gabungan Resmob Polwiltabes Semarang dan Polresta Semarang Selatan. Dua orang tersangka ditangkap di dua tempat terpisah.

Keduanya adalah Srigogo Anggoro (41), warga Kampung Cerewet, Kelurahan Duren Jaya, Bekasi Timur, dan Achmad Sukandar (47). Warga Wisma Jaya Jalan Kusuma Selatan Aren Jaya, RT 8 RW 3, Bekasi Timur.

Tersangka Anggoro terpaksa ditembak kaki kirinya karena berusaha kabur dalam sebuah penggerebekan yang dipimpin Kanit Resmob Polwiltabes Semarang AKP Yahya R Lihu, di rumahnya, Kamis (4/9) sekitar pukul 03.30.

Penangkapan tersangka utama yang merencanakan dan membunuh psikiater kondang dan sopirnya itu, setelah polisi membekuk Achmad Sukandar.

Sukandar dibekuk petugas yang terdiri atas dua tim yakni Aiptu Janadi, Bripka Sugeng, Briptu Andik, Iptu Hengki, Aiptu Suherman, Bripka Hariyanto, dan Briptu Dwi Yudi, di Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (3/9) sekitar pukul 23.30.

Keduanya lantas dibawa ke Semarang untuk menjalani pemeriksaan. Mereka tiba di Mapolwiltabes Semarang sekitar pukul 21.00. Kepada polisi, Sukandar dan Anggoro menuturkan, pembunuhan itu lantaran keduanya ingin menguasai harta korban.

Kejadian itu berlangsung di kamar 902 Hotel sAlam Indah Semarang. Kali pertama, pelaku menghabisi Sudarto dengan cara menjerat leher dengan kawat. Selanjutnya, pelaku membekap dokter Arya dengan bantal hingga korban kehabisan napas.

Sebelum melakukan aksi tersebut, pelaku memberikan minuman kopi yang telah dicampur dengan obat antimabuk. Sebanyak 20 butir obat antimabuk di masukan ke dalam minuman tersebut.

”Dari hasil pemeriksaan sementara, tersangka mengaku telah mengambil barang-barang milik korban dengan cara kekerasan. Tindak kejahatan itu dilatarbelakangi masalah ekonomi,” ungkap Kasat Reskrim Polwiltabes Semarang AKBP Agus Rohmat SIK SH MHum didampingi Kapolresta Semarang Selatan AKBP Drs Guruh Ahmad Fadiyanto MH saat menggelar pengungkapan kasus tersebut, Kamis (4/9).

Membagi Hasil

Uang sebanyak Rp 60 juta, sebuah cincin emas, dua ponsel, sebuah handycam, pulpen, dan tas milik korban disikat tersangka. Keduanya membagi hasil kejahatan itu. Sukandar mendapatkan bagian Rp 37 juta, handycam, pulpen, dan tas. Sedangkan Anggoro memperoleh Rp 23 juta, dua cincin emas, dan dua ponsel.

Hasil kejahatan itu, oleh Anggoro dibelikan sebuah mobil Daihatsu Feroza B-1166-ZQ, yang kini disita polisi sebagai barang bukti.
Dituturkan oleh Agus Rohmat, tersangka menjanjikan dapat mendatangkan jin dalam sebuah transaksi ritual di Hotel Alam Indah.

”Dokter Arya meminta bantuan tersangka untuk memanggil jin. Untuk transaksi ritual tersebut, tersangka meminta bayaran Rp 70 juta. Namun korban menawar dan disepakati menjadi Rp 40 juta. Pada saat peristiwa pembunuhan itu, korban membawa uang Rp 60 juta.''

Setelah terjadi kesepakatan, mereka lantas bertemu pada 30 Agustus. Kedua tersangka meluncur ke Semarang dari Bekasi. Setelah berpindah penginapan karena gagal melakukan ritual memanggil jin, mereka pindah ke Hotel Alam Indah.

Di situlah korban dibunuh dengan cara diberi minuman yang dicampur obat antimabuk dan dibekap hingga tewas. ”Saya jengkel karena dia (Arya-red) menghina dan akan menginjak-injak saya kalau tidak bisa mendatangkan jin. Bahkan dia mengancam akan memotong alat kelamin saya,” ujar Anggoro. (H21,H40, H23-60)

Senin, Oktober 13, 2008

Diprovokasi Sama Kambing


Pak Wandi S. Brata, Pimpinan Gramedia Pustaka Utama tempat buku saya diterbitkan, memang grand-masternya provokasi pikiran. Bagaimana tidak, sampai sekarang saya masih saja memikirkan 'tantangan' dari Pak Wandi berupa sebuah pertanyaan yang meskipun Pak Wandi saya kira tidak menunggu jawaban saya, tapi saya perlu mencari jawabannya untuk saya sendiri.

Pak Wandi mendatangi kehidupan saya dengan menumpang hukum daya tarik -- the law of attraction -- yang menurut penyumbang definisi hukum ini dirumuskan sebagai 'like attract like' -- bahwa sesuatu itu akan menarik sesuatu yang serupa dengannya. Gara-gara intention saya untuk bisa menerbitkan buku di Gramedia (itupun diprovokasi oleh Andrias Harefa juga), saya dipertemukan atas inisiatif Bang Andri kepada Pak Wandi. Pak Wandi-lah yang memutuskan buku ini terbit hanya dalam 2 (dua) jam. Jadi dimana 'like attract like'-nya ?

Pertama, Pak Wandi dan saya punya nama belakang yang sama, yaitu Brata. Kalau ada orang yang baca perjanjian penerbitan buku antara saya dengan Gramedia, di halaman terakhir ditandatangani oleh Wandi S. Brata dan Prasetya M. Brata, sehingga bisa-bisa orang menuduh Pak Wandi mengikat kontrak dengan 'sedulur'-nya sendiri. Kedua, saya menyukai filsafat, Pak Wandi pendidikan masternya filsafat. Ketiga, Pak Wandi juga menerbitkan buku yang bangunan, gaya, dan isinya mirip buku saya, tapi bukunya jauh lebih dalam. Ibarat kata, konsep bangunan saya minimalis, Pak Wandi aristokrat, tapi bentuk bangunan dan kandungan perabotnya mirip.

What a small world ..., begitu yang sering diucapkan isteri saya kalau bertemu dengan kenalan baru yang kenal dengan orang dekatnya. Begitu juga ketika saya ngobrol dengan sahabat lama saya Fransiscus Herbayu, dia kenal baik dengan Pak Wandi. Ternyata Pak Wandi adalah pamongnya waktu sekolah di sekolah kepasturan. Belakangan, Bayu dan Pak Wandi check-out dari dunia kepasturan dan sekarang menjadi 'orang biasa'.

Lalu provokasinya bagaimana ?. Begini, menurut Riri Artakusuma, penyiar Radio Smart 95.9 FM, ada dua kapsul saya yang menjadi favorit smart listeners. Judulnya "Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa" dan "Ismail dan Ishaq".

Ceritanya, Pak Wandi pas mendengar kapsul "Ismail dan Ishaq". Di Islam yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah Ismail. Di Kristen yang akan disembelih oleh Ibrahim adalah Ishaq. Ketika ditanyakan kepada Gus Dur mana yang benar, Gus Dur menjawab, "Gitu aja kok repot, yang penting dua-duanya selamat". Selesai mendengar kapsul ini, Pak Wandi lalu meng-SMS saya. Ia bilang baru saja mendengar kapsul saya di radio. Lalu ia mengirimkan SMS lanjutan, "Coba berpikir ke tingkat yang lebih tinggi lagi, gara-gara Ismail dan Ishaq selamat, sekarang kambing dan keturunannya jadi korban".

SMS ini menghantui saya selama dua bulanan ini. Pada kesempatan bersilaturahmi ke rumah Prof. Jalaluddin Rakhmat di bilangan Jeruk Purut, saya lalu minta 'bocoran' jawaban kepada Kang Jalal. Kang Jalal terkekeh dan menjawab, "Kambing yang dipelihara itu nasibnya hampir semua berakhir dengan disembelih. Nah, lebih baik disembelih untuk qurban daripada untuk yang lain ...".

Sewaktu saya menelpon Pak Wandi untuk memberi jawaban ini (tentu saja Pak Wandi tidak menyangka saya masih mengalami 'gangguan pikiran' akibat pertanyaannya), Pak Wandi cuma ketawa tulus. Ia tidak membenarkan apapun, sehingga saya juga tidak tahu apakah jawaban ini sama dengan jawaban yang telah ada di perpustakaan wisdom Pak Wandi ... Mendingan saya bertanya langsung saja kepada kambing, apakah ia ikhlas atau tidak jadi korban. Ini juga sudah tanda-tanda saya mengalami gangguan pikiran berlanjut .. ***

Senin, September 29, 2008

Perjalanan menuju kesempurnaan

Memandangi Berti, Ubay, Ucup, dan belasan anak lain penderita cacat terlantar, lidah terasa kelu. Teman saya Dian bahkan mengusap air matanya yang mengalir begitu saja. Batin seperti di-'buzz' kenyataan bahwa ada 'dunia lain' yang berdampingan dengan dunia saya selama ini.

Mereka 'dibuang' oleh orang tua yang malu mempunyai anak cacat -- anak tidak sempurna menurut mereka. Sebagian lagi dititipkan karena orang tua mereka tidak mampu. Ada juga yang ditemukan entah di rumah sakit karena ditinggal 'kabur' orang tuanya, atau ditinggal sendirian di suatu tempat. Seorang kawan yang saya ceritakan bertanya, kenapa ya kok ada orangtua yang tega seperti itu kepada anaknya sendiri ?. Saya tidak pernah menjadi seperti mereka. Atau juga menjadi seperti orang tua mereka. Saya jawab, saya tidak tahu sampai kita sendiri bertanya langsung kepada orang tua mereka itu.

Berti seorang anak penderita hydrocephalus. Kepalanya sudah sangat besar. Pengasuhnya bilang, ia tidak mungkin lagi dioperasi karena otaknya juga sudah mengecil. Batok kepalanya juga sudah lembek. Ia seperti tinggal 'menunggu waktu'. Di tempat pembaringannya, ia seperti tertawa menikmati candaan teman saya Nanang yang hari itu ikut menghibur penghuni panti dengan permainan dan candaannya. Yang terlihat kasat mata menikmati hiburan Nanang adalah para mbak pengasuh anak-anak itu. Tapi saat Nanang menyanyikan lagu riang, saya masuk ke salah satu kamar dimana lima anak tergeletak tanpa daya. Salah satu anak perempuan saya lihat mengeluarkan suaranya, "aaaa ... aaaa ... aaaa", sambil kepalanya mendongak ke atas dan badannya kaku. Ia cuma mendengar sayup lagu dari dalam kamar, tapi sudah cukup membuat dia ikut gembira.

Ubay -- panggilan Nurbaiti, penderita kelainan otak, dengan wajah sangat sumringah dan berapi-api, berusaha keluar dari kamar dengan cara ngesot. Senti demi senti ia lewati. Saya kasihan dan ingin sekali membantu menggendongnya, tapi urung karena seperti ada suara di dalam benak saya yang mengatakan, "Prass ... mereka itu anak-anak sempurna ..". Saya menyaksikan bagaimana Ubay akhirnya sampai juga di sebelah Berti dan ikut menyaksikan aksi Nanang. Ia sampai di tempat tujuannya tanpa belas kasihan orang lain.

Sempurna ?. Sejenak saya guncang-guncang kata 'sempurna' untuk mereka, dan akhirnya saya memang menemukan bahwa mereka sempurna. Justru kita yang tidak sempurna. Ketakutan, rasa malu, memaksa keinginan bahwa anak itu harus 'sempurna' secara fisik, justru menunjukkan kelemahan kita. Seorang bayi ber-ras Tionghoa digendong oleh teman saya Mindar. Menurut pengasuhnya, ia ditinggal di panti itu karena orang tuanya malu 'hanya' karena anak itu sumbing. Bahkan, ibunya mau bunuh diri begitu melihat sang bayi berbibir sumbing. Siapa yang tidak sempurna ?

Kalau mereka sejak lahir hidup seperti itu, dan mereka tidak pernah merasakan apa yang dirasakan 'orang normal' seperti kita, lalu mereka menerima dan bersukacita dengan keadaan mereka, bukan itu hidup mereka yang sempurna ?. 'Ketidaksempurnaan' mereka justru panggilan untuk kita menjadi sempurna. Bukankah ini sendiri suatu kesempurnaan ?. Siapa yang akan banyak memproduksi dosa ? Mereka atau kita ?. Mereka hadir justru untuk membahagiakan kita. "Tunggu dulu....", mungkin anda bilang begitu. "Nyatanya banyak orang merasa kesusahan atas kehadiran mereka ?". Mungkin sama dengan ketika kita disajikan makanan terenak di dunia, lalu kita tidak menikmati makanan itu -- bahkan mengeluh -- karena bibir kita sariawan !. Jadi masalahnya bukan makanannya, tetapi diri kita sendiri yang sedang 'sakit'.

Hari itu -- di Yayasan Sayap Ibu -- rasanya bukan saya yang mengunjungi kehidupan mereka, tetapi mereka yang mengunjungi kehidupan saya. Saya bukan menyaksikan mereka, tetapi mereka seperti sedang menyaksikan pergolakan batin saya. Bahkan untuk berfoto bersama merekapun awalnya saya ragu. Jangan-jangan saya merasa seperti sedang plesir -- kunjungan wisata. Jangan-jangan nanti saya bercerita ke orang-orang dengan perasaan bangga telah melakukan bakti sosial kepada anak-anak cacat. Tuh buktinya, saya foto sama anak-anak cacat itu. Kalau saya melakukannya seperti itu, apa bedanya dengan ketika saya berfoto bersama mahluk tontonan?. Dan seandainya Tuhan yang melihat foto saya, maka jangan-jangan Tuhan akan bilang, "Tuh, ada orang sempurna berfoto bersama orang cacat.". Pas Tuhan bilang, "orang cacat", Dia menunjuk ke arah gambar saya. Meskipun saya juga beriman, atas kasih sayangNya, Dia memberi kesempatan saya untuk menyadari kecacatan saya, dan memberi kesempatan untuk saya bertransformasi menjadi manusia sempurna. Salah satunya, melalui anak-anak ini.

Riri Satria sahabat saya malah memprovokasi saya, "Bukannya ente menulis soal mereka di blog juga merupakan eksploitasi terhadap mereka ?". Saya ragu, jangan-jangan Riri benar. Meskipun akhirnya saya foto mereka juga, dan menulis blog ini, lebih didasari niat untuk sharing dari tacit knowledge saya memaknai suatu pengalaman -- meminjam istilah Riri. Siapa tahu berguna buat orang lain.

"Gila !... hidup gue berat banget .." ;
"Aduuuuh ...! Kenapa gue musti menderita kayak gini ?" ;

Waktu mengucapkan kalimat itu, kita sepertinya tidak melihat hadirnya keberuntungan di ruang benak kita. Padahal, sang keberuntungan telah hadir di ruang itu, cukup dengan bertanya kepada diri sendiri, "... dibandingkan apa ? ... dibandingkan siapa ?" ...***

Minggu, September 28, 2008

Suratku Tanggal 16 September 2000



Yang terhormat, ..............................

UCAPAN TERIMAKASIH


Assalaamu'alaikum wr.wb.

Tertanggal surat ini adalah satu bulan meninggalnya bayi pertama kami, Raihan Iman Nugroho, pada tanggal 16 Agustus 2000 serta sakit dan dirawatnya ibunya di RSPI. Atas penguatan dari sanak saudara dan handai tolan yang tidak putus-putusnya memberi nasihat dan doa, Insya Allah kami ikhlaskan kebersamaan kami dengan Raihan selama tujuh bulan di dalam kandungan. Kami sangat bersyukur telah diberi kebahagiaan selama tujuh bulan olehNya, sampai-sampai kami menganggap diambilNya kembali titipan anak kami oleh Yang PUnya itu sebagai bukan musibah yang mendukakan, melainkan sesuatu yang memang begitulah ketentuanNya terjadi.

Secara manusiawi kami sering merasa kangen dan terbayang-bayang dengan wajahnya yang tampan dan mirip ibu dan kakeknya. Dan ketika hal itu terjadi, kami merasa amat bahagia. Ia adalah kehidupan yang terbaik bagi kami. Raihan telah menyadarkan kami betapa besar cinta kasih ibu dan ayah kami ketika kami masih bayi dulu, betapa mereka begitu tulus dalam membesarkan diri kami, dan betapa berdosanya diri kami ketika kami mendurhakai mereka berdua.

Hikmah dan kesembuhan yang Allah berikan kepada kami tentu tidak lepas dari keberadaan Bapak/Ibu/Saudaraku yang kami rasakan begitu tulus memberi perhatian, simpati, doa, nasihat, dukungan, dan bantuan dalam berbagai bentuk kepada kami. Kunjungan, telepon, tegur sapa, dan salam Bapak/Ibu/Saudaraku telah membuat kami merasa tidak sendiri dan terus-menerus berada dalam kesadaran untuk tetap tegar, tabah, dan ikhlas menerima ujian ini. Kami merasakan cinta Ilahi yang mengalir bersama cinta Bapak/Ibu/Saudaraku.

Untuk semua yang telah Bapak/Ibu/Saudaraku berikan, kami menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Kami juga mohon maaf atas kekhilafan kami selama ini yang barangkali telah merepotkan atau mengganggu Bapak/Ibu/Saudaraku.

Semoga Allah memberi kebaikan yang lebih besar kepada kita semua atas cinta kasih yang telah Bapak/Ibu/Saudaraku berikan. Amin.

Jakarta, 16 September 2000
Wassalaam,
Prasetya M. Brata
Moekti Prasetiani Soejachmoen

Rabu, September 24, 2008

(K)iman yang teguh


Dua jam lagi mendekati bedug maghrib. Jam kantor sudah usai. Saya berencana menjemput isteri ke bandara yang akan mendarat jam 19.40. Itu berarti saya buka puasa di kantor saja, lalu nanti kalau sudah ta'jil, sholat maghrib, dan makan ala kadarnya, saya meluncur ke Cengkareng. Saya lalu berencana untuk memesan makanan buka puasa. Saya menuju pantry dan bertemu dengan Kiman sang OB, Ja'i sang OB juga, dan Pak Iman pengemudi mobil dinas saya. Kiman dan Ja'i adalah office boy di kantor saya yang disekolahkan di STIE Dharma Bumiputera tanpa biaya. Artinya, beasiswa dari yayasan yang saya pimpin. Saya pernah memantau hasil prestasi akademik mereka, dan hasilnya memang lumayan bagus. Beasiswa menjadi tidak sia-sia. Saya hari ini tidak melihat Tommy, sang OB yang lebih junior.

Kiman yang bernama lengkap Sukiman adalah sosok office boy yang cukup mendapat perhatian saya dan lingkungan. Ketika 'ditemukan' oleh pengurus yayasan, dia masih menjadi 'kenek' yang membantu pembangunan gedung dimana lembaga ini berada. Ia kemudian 'diambil' menjadi office boy oleh pengurus yayasan sebelum saya.

Dalam setiap staff meeting yang saya pimpin, saya dan teman-teman sering dicengangkan dengan komentar, ide, jawaban, yang bagi saya tidak sesuai dengan 'level'nya. Saya lihat dia lebih 'mature' dari usianya. Mungkin berkat pengalaman hidupnya yang keras. Saya banyak belajar dari pikiran-pikiran Kiman yang jujur. Semangat belajarnya juga tinggi. Ketika saya baru masuk menjabat sebagai Ketua Yayasan, Kiman masih menyelesaikan ujian persamaan SMA-nya. Sekarang dia sudah mahasiswa semester V. Itulah yang membuat akhirnya ia saya pilih untuk memberi testimonial/endorsement di buku PROVOKASI saya.

Kiman, Tommy, dan Ja'i mengalami perkembangan kepribadian dan karakter yang signifikan. Ja'i yang dulu saya pergoki berwajah datar tanpa senyum dengan mata 'rendah diri', sekarang beda. Ia sekarang lebih necis, sumringah, dan cukup 'berisi'. Kegemarannya latihan futsal menjadi nilai tambah tersendiri, apalagi dia menjadi salah satu andalan tim kampusnya. Tommy sama. Ia punya semangat belajar yang tinggi, komentar spontan yang segar, dan tekun. Hasil kerjanya memuaskan. Toilet yang menjadi tanggungjawabnya sekarang paling sering kinclong dan harum. Pernah dia saya tanya, apa visinya dalam pekerjaan ?, ia menjawab "menjadikan toilet kita seperti toilet hotel bintang lima" ... Alamaaakkk ... luar biasa !!! ..

Sore itu, di pantry, saya bilang ke Kiman, "Man, ini bau apa ya ?"
Kiman : "Bau batagor, Pak".
Saya : "Lho, dimana ?"
Jai : "di luar Pak."
Saya : "Loh, baunya sampai di sini ya ?. Ngomong-ngomong, untuk buka puasa nanti saya dapat jatah dari dosen, atau saya musti bayar sendiri ?"
Kiman : "Bayar sendiri Pak, kan bapak hari ini nggak ngajar .."

Saya tersenyum puas. Di STIE Dharma Bumiputera tempat dimana semester ini saya mengajar, dosen yang mengajar dapat jatah kolak dan batagor atau siomay. Kebetulan hari ini saya tidak mengajar. Saya adalah orang nomor satu di lembaga yang sudah berusia lebih dari 46 tahun ini. Kiman adalah office boy. Dia berani bilang, saya musti bayar sendiri karena saya memang tidak punya jatah, karena saya memang tidak mengajar hari ini ....

Saya bangga kepada mereka. Mudah-mudahan karakter mereka makin kuat, dan siapapun nanti pimpinan lembaga ini setelah saya, mereka tetap teguh dan berani mengatakan apa yang menjadi hak dan kebenaran.

Saya : "Seporsi batagor berapa ?"
Kiman : "limaribu, Pak"
Saya : "Nih Man, 20 ribu, beli buat kita berempat ya ..."***

Minggu, September 21, 2008

Bersatu kita runtuh, bercerai kita kawin lagi


Dari pengalaman 'membantu' teman-teman yang punya masalah, ada tiga orang perempuan yang berkonsultasi dengan saya soal masalah rumah tangganya. Bagaimana hasilnya ? Setelah saya 'tangani', ketiga perempuan itu cerai semua.

Ketika ini saya ceritakan kepada teman-teman alumni PATIK-UPN "Veteran" Jakarta di suatu petang menjelang buka puasa, teman-teman perempuan langsung riuh. "Waaaaah, kalau gitu jangan sampai deh kita konsultasi sama Prass .., ntar kita cerai ... hehehehehe ...".

Supaya tidak salah sangka, saya lalu menjelaskan kalau selama ini saya hanya mendengarkan, memahami, lalu 'memanjangkan' penglihatan 'klien'. Saya tidak mengarahkan mereka 'rujuk' atau 'bercerai'. Itu pilihan mereka sendiri. Saya mengatakan kita punya potensi untuk bahagia di setiap situasi. Kalau mereka bercerai, mereka punya potensi untuk bahagia. Kalau mereka tidak bercerai dan kembali membina rumah tangga lebih harmonis, mereka juga punya potensi untuk bahagia. Tapi saya juga menganjurkan mereka tidak mengatakan bahwa sudah kehendak Tuhan perceraian itu terjadi, sebagaimana yang sering kita dengar kalau ada artis cerai diwawancarai infotainment. Perceraian sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Lho, bukankah jodoh di tangan Tuhan ?.

Sekarang begini, anda sepaham bukan dengan ajaran agama yang mengatakan bahwa perceraian adalah sesuatu yang dibenci Tuhan meskipun halal ?. Nah, apakah logis Tuhan melakukan apa yang dibencinya sendiri ?. Ya saya juga tidak tahu, karena itu hak prerogatif Tuhan untuk melakukan segalanya. Tapi perceraian itu tidak ujug-ujug. Ada rentetan peristiwa dan reaksi dari peristiwa itu yang berkelanjutan, berulang, lalu tibalah pada ketidakberdayaan atau ketidakmauan masing-masing 'pelaku' menemukan arti lain (lihat tulisan sebelumnya yang berjudul "Kita sendiri yang memilih"). Bahwa, setiap masalah adalah anugerah, yaitu kesempatan untuk membesarkan otot-otot psikologis. Kesempatan untuk lebih pandai. Kesempatan untuk lebih mengenal dan memahami. Setiap masalah adalah feeback sekaligus ilmu. Memang sih sakit, tapi itu kalau kita 'tenggelam' di dalam masalah. Kalau kita 'mi'raj', keluar dari genangan masalah, naik ke atas, akan melihat masalah menjadi sepotong game puzzle -- kecil. Masalah berarti kita dipercaya Tuhan dengan soal serumit itu untuk kita cari jawabannya, daripada dikasih masalah cetek yang berarti level kita juga masih TK.

Rupanya, giringan dari saya justru membuat teman-teman perempuan saya itu makin mantap dan percaya diri untuk bercerai. Ya sudah, itu pilihan mereka, dan mereka yang akan menjalaninya.

Cerai tidak selamanya buruk. Bercerai bisa menggenapkan ilmu hidup masing-masing. Mereka menjadi lebih insyaf dan matang. Bisa juga bercerai diperlukan kalau salah satu sudah nyata-nyata terdzalimi secara fisik, atau pemimpin rumah tangga tidak bertanggungjawab menafkahi keluarganya. Selebihnya, karena saya tidak pernah bercerai dan ingin rumah tangga saya harmonis lestari, saya cukupkan khotbah ini sampai disini. Kalau diteruskan nanti ngaco. Yang jelas, dari tiga perempuan teman saya itu, dua di antaranya sudah menikah lagi, lalu cerai lagi, dan menikah lagi untuk yang ketigakalinya...***

Kita sendiri yang memilih


Sebenarnya sudah lama saya menahan untuk tidak menulis cerita ini di blog ini. Bukan apa-apa. Cerita ini saya dengar dari Gede Prama bertahun-tahun silam, dan dalam beberapa kesempatan mendengar talk show di radio yang menampilkan narasumber paten, cerita ini diulang-ulang. Dalam pikiran saya, cerita ini mungkin sudah terkenal. Tapi yang bikin saya heran, setiap kali saya tanya peserta training, mereka hampir tidak pernah mendengar. Kalaupun ada, paling satu-dua saja. Inilah yang membuat saya akhirnya memutuskan sekarang menulis cerita ini. Semoga pahala dari kebaikan cerita ini mengalir kepada narasumber-narasumber sebelumnya, khususnya Pak Gede Prama, sang penutur kejernihan Indonesia.

Cerita ini tentang 'tahi sapi'. Pernah dengar ? Begini, suatu pagi anda bangun pagi dan ingin keluar rumah menghirup udara segar. Seminggu sebelumnya anda begitu sibuk dan hari itu anda beruntung tidak ada acara apa-apa. Begitu anda melewati pintu kamar tamu, sejenak anda berdiri di beranda depan, tiba-tiba anda mencium bau tidak sedap. Anda mencari-cari bau apa itu, dan menemukan di pojok teras depan rumah anda, ada karung berisi tahi sapi, ada label pengirimnya, yaitu nama tetangga di ujung jalan. Tetangga itu memang jarang berkomunikasi dengan anda, malah boleh dikatakan 'cuek'. Tidak ada hujan tidak ada angin, di teras rumah anda ada tahi sapi, padahal anda ingin merasakan fresh-nya udara pagi. Bagaimana perasaan anda ?. Boleh jadi anda marah karena pagi-pagi sudah ada orang yang cari perkara, lalu anda menyeret karung tahi sapi itu ke rumah sang pengirim. Anda panggil dia keluar, dan begitu dia keluar anda damprat. Apa hasilnya ? Permusuhan.

Tetangga sebelah rumah anda, punya nasib yang sama. Begitu ia keluar rumah pagi itu, di teras rumah dia ada sekarung tahi sapi dengan pengirim yang sama, yaitu tetangga ujung jalan. Tetangga sebelah rumah anda diam sejenak, dan melihat ke halaman rumahnya. Ia bergumam dalam hati, "Wah, sekarang musim kemarau, pohon-pohon dan tanamanku kering. Wah, tahi sapi ini bagus sekali buat pupuk. Baik sekali tetangga ujung jalan, pagi-pagi sudah kasih hadiah yang aku perlukan...". Seandainya anda menjadi tetangga sebelah rumah anda, kalau anda berpikir seperti itu, bagaimana perasaan anda ? Mungkin anda senang. Apa yang akan anda lakukan ? Mungkin minta tolong isteri membuatkan opor ayam. Lalu dengan rantang, anda datang ke rumah tetangga ujung jalan, dan memberi rantang tadi ke dia sambil mengucapkan terimakasih. Apa hasilnya ? Persahabatan.

Sekarang kita lihat. Tahi sapinya sama bukan ? yang satu merasa bete, yang satu lagi merasa senang ? Yang satu menyeret-nyeret karung tahi sapi ke tetangga ujung jalan, sementara yang satu lagi membuat opor ayam ? Yang satu hasilnya permusuhan, yang satu lagi persahabatan. Masalahnya ada dimana ? Di tahi sapi ? Bukan!. Masalahnya bukan di tahi sapi, melainkan di bagaimana pikiran anda melihat -- menganggap -- memaknai -- menafsirkan -- mengartikan tahi sapi itu sebagai apa. Kalau anda mengartikan -- melihat -- tahi sapi itu sebagai penghinaan, OTOMATIS anda merasa marah (perasaan negatif), OTOMATIS anda melakukan tindakan destruktif -- anarkis (nyeret-nyeret tahi sapi dan mendamprat), OTOMATIS hasilnya kerugian -- mudharat. Kalau anda menafsirkan tahi sapi itu sebagai hadiah/anugerah, OTOMATIS perasaan anda positif -- senang, OTOMATIS yang anda lakukan konstruktif (bikin opor ayam), OTOMATIS hasilnya persahabatan. Jadi, biang keladi hasil yang anda dapatkan adalah terletak di pikiran anda sendiri, yaitu bagaimana anda mengARTIkan suatu kejadian. Respon kita bukan berasal dari kejadiannya (stimulus), tetapi dari tafsir kita sendiri terhadap kejadian itu.

Di sini terlihat ada rumus : ARTI menentukan PERASAAN, lalu menentukan TINDAKAN, lalu menentukan HASILnya. What you see is what you feel is what you do is what you get. Kalau program worksheet LOTUS jaman dulu ada istilah WYSWYG .. what you see is what you get.

Sekali lagi ya. PIKIRAN (ARTI) --> PERASAAN --> TINDAKAN --> HASIL

Di sini tampak sebenarnya kita punya KEBEBASAN MEMILIH arti. Kita sendirilah yang membuat diri kita tidak bebas dengan membiarkan kita OTOMATIS terikat untuk memilih suatu arti berdasarkan pengalaman masa lalu, doktrin lingkungan, mitos-mitos, teori-teori lama, dan seterusnya. Kalau ditolak prospek, berARTI gagal. Kalau diputusin cinta berARTI kalah. Padahal kalau ditolak prospek anda dapat banyak ilmu. Kalau anda mengartikan stimulus (kejadian) seperti itu, bagaimana perasaan anda ? .. lalu apa yang akan anda lakukan ? .. dan kira-kira apa hasilnya ?

Kalau diputusin cinta bisa jadi berarti anda diselamatkan. Kalau belum dipromosi jabatan, jangan-jangan berarti anda diselamatkan dan diberi kesempatan memperbesar otot kompetensi, sikap, dan motivasi, biar nanti jabatan jadi anugerah, bukan penderitaan karena anda ditertawakan lingkungan. Kalau duit anda tiba-tiba habis untuk biaya pengobatan, mungkin sekali berarti Tuhan Maha Baik Maha Sayang. Wong Dia tahu anda perlu berobat, anda dikasih dulu duitnya. Bukankah Tuhan melakukan performance appraisal kepada kita berdasarkan personal record dari Malaikat Raqib dan Atid adalah bukan berapa banyak harta yang dikumpulkan ? Tapi dari mana harta tadi dan dipergunakan untuk apa ?. Banyaknya harta tidak menambah aktiva pada neraca pahala-dosa.

Kalau di Islam, ayat pertama dari Al-Qur'an adalah "Iqra, bismirobbikalladzi kholaq". Artinya, "Bacalah ! dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan". Artinya, kalau mau selamat dunia akhirat, waktu kita membaca -- melihat -- mengartikan -- pakai saja sudut pandang Sang Pencipta dunia ini.

Lha kok malah kultum ? .... Wallahu a'lam. Hanya Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Benar... ***

Rabu, September 17, 2008

Magang Dulu


Ketika memimpin review implementasi training saya yang sudah saya berikan sebulan lebih yang lalu di sebuah perusahaan sekuritas, salah seorang peserta review bercerita, bahwa ia 'bangkit' dan termotivasi saat membaca buku 'PROVOKASI' yang saya tulis. Sebelumnya ia memang tidak suka membaca. Tapi 'bara api' itu cuma bertahan seminggu. Berbagai kepelikan pekerjaan dia membuat ia kembali 'down'. Suara 'sumbang' dari orang-orang sekitar yang mengatakan ia 'terlalu' cepat naik pangkat, kegagalan-kegagalan dan kesulitan dalam mencapai target 'margin', adalah sebagian dari 'ion-ion negatif', begitu istilah dia.

Saya hampir saja 'berceramah' soal motivasi dari luar versus motivasi dari dalam. Tapi saya urung memberi 'kuliah' itu karena saya kemudian melihat apa yang dialaminya juga terjadi pada orang lain.

Saya bilang, "Membaca buku itu ibarat belajar teori. Meskipun buku PROVOKASI saya sebagian besar merupakan dokumentasi dari 'praktek' yang saya lakukan, tapi buat orang lain yang membaca tetaplah jadi teori sampai ia sendiri mempraktekkannya. Ketika ada keinginan untuk merubah 'nasib' setelah mempelajari 'teori' tadi, maka Tuhan memberikan kesempatan untuk 'magang' dengan cara memberi situasi yang 'pas' untuk kita mempraktekkan apa yang kita pelajari tadi. Ibarat mau jago main golf, setelah baca bukunya, apakah bisa langsung mahir di lapangan ?. Pastinya kita driving dulu lima ribu bola, lalu turun ke lapangan lengkap dengan tantangan dan kesulitan sana-sini. Waktu driving kemungkinan di awal-awal otot dada kita sakit, tangan lecet, merasa malu kalau mukul meleset -- padahal tidak ada yang menertawai. Kalau kita tidak tahan waktu driving ataupun turun ke lapangan pertama kali, ya mana bisa kita jadi jagoan golf ?".

Dari 'kalibrasi' saya, ia mulai 'tersulut'. Saya melanjutkan, "So, you are the right track. Anda sudah berada di jalur yang benar, karena semua orang juga mengalami hal ini. Welcome to the world, dimana tidak ada yang namanya mau mempraktekkan suatu ilmu langsung berhasil dan jago. Kalau kita tidak tahan dengan tahap ini, ya sudah ... kita tidak akan naik ke 'maqom' lebih tinggi. Kita tidak makin besar 'otot'nya. Kalau di wacana agama, ini sejenis dengan ayat yang menyatakan 'tidak dikatakan seseorang beriman sebelum ia diuji'.

Sayup-sayup saya mendengar ada peserta yang berbisik kepada temannya, "tuh, jadi sekarang kita sedang magang ...".

Di dalam mobil on the way pulang dari acara itu, masuk sebuah SMS dari isteri saya di Canberra.

"Haduuuuuh mau bikin presentasi kok males banget yak. Besok ketemu Mas Budy jam 10 :-("

Saya balas :

"Hehehe ... sambil kamu males, bikin presentasi aja ..."

Dia balas lagi :

"Hwa hahahaha ... kamu makin lucu aja ya sekarang" ***

Minggu, September 07, 2008

Anak Tangga Bernama Kesalahan

Pagi itu memang intention saya bisa tampil di televisi terwujud. Tiga tahun lalu, saya pernah tampil di Metro TV bersama James F. Sundah dalam acara Midnight Live dengan komentar seragam dari para teman dan saudara yang menonton : ... kok kamu tegang banget sih ?.

Di lokasi shooting di Gelora Bung Karno saya mengalami 'shock' kecil di awal-awal. Pertama, itu acara live yang dalam 'aturan' saya mustilah perfect. Kedua, saya baru tahu di lokasi kalau saya disandingkan bareng Andrie Wongso, motivator no. 1 di Indonesia. Keberuntungan yang 'menakutkan'. Untunglah saya punya 'modal' sedikit. Pengalaman memberi training ribuan orang, dan beberapa kali on air di stasiun radio membuat saya makin bisa mengelola 'state'. Meskipun akhirnya ketika acara live itu running saya merasa 'mantap' dan in the mood, ternyata tidak luput dari kesalahan-kesalahan.

"Tadi kamu duduknya terlalu santai, jadinya kurang enak dilihat ..", kata kakak ipar saya memberi komentar atas penampilan live saya di TV One tadi pagi. Komentar ini diamini oleh kawan lama saya Titik. SMS dari teman baru saya Ciekciek lain lagi : "pakaiannya kayak mau ujian negara". Kalau ibu saya bilang begini : "kamu kayak sombong ...". Salah sebuah SMS bahkan meminta 'maaf' dulu ketika memberi masukan kepada saya. Padahal, semua kritik tadi saya terima dengan senang.

Waktu pertamakali siaran di radio, di awal-awal tegang. Saya demam corong. Setelah saya putar ulang rekaman siaran tadi, saya sendiri mikir, pendengar tanya apa saya jawabnya kemana .. nggak nyambung. Siaran kedua, sang GM radio tersebut memberi masukan, kalau saya sedang bicara di depan mik, kepala jangan goyang-goyang, tapi tetap manteng di corong itu supaya power-nya 'lurus'. Kalau kepala geleng-geleng, pendengar tidak merasa saya sedang berbicara kepada mereka. Ooo gitu toh ? ... maklum, terbiasa di kelas pelatihan yang full gerak.

Selalu ada kesalahan dan kekurangan di kali pertama. Karena kesalahan itulah, sekarang saya jauh lebih rileks dan lancar kalau berbicara di depan corong radio. Kesalahan pertama rupanya merupakan anak tangga yang harus dipijak agar bisa 'naik' ke tangga berikutnya. Ibarat panggung yang tinggi, untuk bisa berada di atas panggung tadi, menginjak anak tangga pertama adalah suatu keniscayaan. Tidak bisa tidak. Ya bisa sih, kalau punya ilmu meringankan tubuh lalu dari 'daratan' langsung loncat ke atas panggung.

Salah seorang staf saya di awal-awal kepemimpinan saya termasuk orang yang dianggap 'bermasalah' oleh lingkungan kerja. Kalau dia melakukan sesuatu tidak sesuai dengan harapannya -- misalnya salah, atau dikritik orang lain -- dia bisa menangis sejadi-jadinya di sebuah pojok ruang kosong. Sebaliknya, kalau ketika dia memberi training peserta 'kagum', dia amat sangat sumringah sambil re-play lagi komentar-komentar orang yang memujinya. Di awal-awal, yang terjadi hampir setiap hari kesalahan-kesalahan dia. Staf yang satu lagi punya etos kerja yang masih lemah. Orang bilang, dia malas dan ogah-ogahan. Ketika beberapa orang kunci di lembaga saya menyarankan saya tidak memakai mereka lagi karena dianggap tidak 'performed', saya cuma bilang, "Kalau dia kita kembalikan ke perusahaan induk, dan yang satunya lagi kita PHK, lalu siapa yang akan memintarkan mereka ?". Suatu keputusan yang tidak populer dari kacamata bisnis.

Kini, staf saya sudah banyak 'bisanya'. Kalau dikritik orang, dia tidak lagi down berat. Sebaliknya, dia sudah menyadari kalau dipuji, tidak limbung dan tetap waspada. Dia bahkan beberapa kali mendatangkan proyek bagi lembaga yang saya pimpin. Buah dari kesabaran yang panjang didasari keyakinan seseorang akan berubah menjadi baik kalau dia MAU. Staf saya itu, Cut Saraswati, membuktikannya.. Meskipun tetap ada juga kekurangan yang perlu ditambal sana-sini, tapi 'maqom'-nya sudah naik lebih tinggi. Sedangkan staf saya yang satu lagi sudah lama mengundurkan diri karena tidak 'tahan' dengan 'gojlokan' saya. Dia memilih jalannya sendiri.

Dikritik, diberi masukan, dikomentari pedas, ibaratnya adalah rasa sakit ketika kita sedang latihan beban di gym. Tapi rasa sakit itulah yang bikin otot kita jadi besar dan kuat. Tanpa menerima dengan ikhlas rasa sakit itu, kita akan menghindari tindakan-tindakan yang membuat sakit itu, sehingga kita tidak pernah jadi besar. Rupanya cara untuk mengatasi rasa takut menghadapi sesuatu yang baru adalah : jalani saja ...***