Kamis, Desember 27, 2012

Makna Anti Lebay

"Atas dasar apa seseorang memutuskan menikah, Ayah?", itulah kalimat pertama dari seseorang di blackberry messenger saya.

Namanya Yaya. Ia tinggal di Banjarmasin. Ia memanggil saya 'Ayah' bukan karena ia anak kandung saya. Ia telah menganggap saya sebagai ayahnya. Pernah ia terbang dari Banjarmasin ke Jakarta dan menginap di rumah saya untuk mengikuti sebuah acara. Perkenalan pertama kami lewat twitter dan berlanjut ia membeli kedua buku saya.

"Hahahahahaa!", balas saya.

"Yaaah, diketawain .. Ya sudah deh, nyari jawaban sendiri aja", jawabnya.

"Lha tiap orang 'kan masing-masing beda dong...", jawab saya.

"Kalau buat saya sih, dasar seseorang memutuskan menikah adalah SIAP", imbuh saya.

Segera saya menjelaskan lebih lanjut, "Siap itu berarti termasuk siap menerima risiko dan menjalani keadaan terburuk karena ada faktor yang belum siap".

"Kalau begitu saya belum siap...", katanya.

"Mengapa?", tanya saya.

"Baru kenal sebulan diajak married... Takuuuuut", jawabnya.

"Hmmm, takut itu 'kan dapat disebabkan oleh 'sungguhan', bisa juga oleh 'anggapan'...", jawab saya.

"Dia wartawan, nasabahku...". Yaya memang bekerja di sebuah bank BUMN.

"Kalau kata hati belum siap, ya ikuti saja...", jawab saya.

"Yaya boleh latihan memberi 'meaning' yang sederhana dulu. Contohnya, waktu saya jatuh ke kolam, sempat bikin 'meaning' : wah, ini tandanya akan mendapat keberuntungan karena orang Jawa kalau mau menikah 'kan pakai siraman, mau puasa pakai 'padhusan', semua yang berhubungan dengan air. Jatuhku ke kolam ini juga berarti memberi kegembiraan buat teman-teman yang menertawakan saya. Kejadian ini juga sebagai cara Tuhan menegur saya supaya introspeksi jangan-jangan 'kesialan' ini akibat saya kurang amal, kuran sedekah, atau karena sombong... Saya akhirnya sampai pada penyederhanaan makna, bahwa jatuhnya saya ke kolam itu adalah karena saya tidak hati-hati. Titik. Nggak jadi lebay...", imbuh saya ditutup dengan simbol smiley.

Saya melanjutkan. "Jadi, kalau Yaya takut artinya belum siap. Butuh waktu untuk menyiapkan diri. Titik"

"Bagaimana dengan sebuah pengalaman atau peristiwa yang kuat di ingatan sebagai pengalaman buruk? Jadi kayak mental block gitu ya?. Mengubah maknanya 'kan susah karena sudah telanjur terbentuk sebagai pengalaman yang buruk", tanya ia lagi.

"Susah itu karena belum tahu caranya, belum terlatih. Mental block itu bermanfaat untuk lebih berhati-hati dan melakukan persiapan lebih matang."

"Sama kayak sakit yaaa...? Positifnya adalah cobaan Tuhan ... ujian supaya bisa bersabar dapat pahala, dan lupa bertanggungjawab untuk sehat kembali ...:-)) ... Pahaaaaam". Muncul tanda jempol dari Yaya.***


Minggu, Juli 29, 2012

Rokok Bukti Cinta?

Entah dari mana mulainya, tahu-tahu pembicaraan menyentuh kata 'rokok'. Saya kemudian bertanya kepada salah seorang kawan berjenis kelamin perempuan yang duduk di depan saya. "Eh, cowok baru kamu yang sekarang ngerokok nggak?".

"Iya...", katanya.

Setahu saya, cowok sebelumnya dari teman saya ini tidak merokok.

"Terus, kalau cowok kamu yang sekarang ngerokok, gimana perasaanmu?".

"Ya sebenernya aku pengennya dia nggak ngerokok. Tapi kan aku jadian sama dia udah dalam keadaan dia ngerokok, ya aku terima dia apa adanya...", jawab dia.

"Lalu, apa keinginanmu yang terdalam?", tanyaku.

"Ya pengennya dia nggak ngerokok...".

"Aku pengen tahu apa yang ada di pikiranmu tentang bahayanya merokok..."

"Merokok merusak kesehatan. Bisa membahayakan jantung dan janin."

"Mengapa kamu pengen dia nggak merokok?"

"Kehidupan yang lebih sehat sekarang dan di masa depan nanti, terutama kalau udah punya anak"

"Yakin?"

"Yakin !"

"Orang ngerokok hidupnya berkah nggak?"

"Selama tidak mengganggu orang lain kan hidupnya berkah"

"Orang ngerokok mengganggu orang lain nggak?"

"Hmmm ... Ya iya sih ..."

"Apa yang dicari orang ngerokok?"

"Kenikmatan kali..."

"Kenikmatan buat siapa?"

"Ya buat dirinya ..."

"Kenikmatan juga buat orang yang ada di dekatnya?"

"Ya pasti nggak lah ... keganggu sama bau dan asap..."

"Berarti orang yang merokok peduli dengan orang lain? Trus kalau orang nggak peduli sama orang lain namanya apa?"

"Egois .... Hmm, tapi kan dia bisa merokok di tempat lain atau smoking area?"

"Apakah orang merokok itu mencintai tubuh yang diamanahkan Tuhan?"

"Hmmm ... menurutku tidak..."

"Mengapa?"

"Karena dia sudah meracuni tubuhnya sendiri...Tapi dia sudah kecanduan, susah dihentikan..."

"Dia kecanduan rokok, atau kecanduan perasaan yang ditimbulkan akibat merokok?"

"Maksudmu? Aku belum ngerti..."

"Apa yang dia dapatkan dari merokok?"

"Ya itu, kenikmatan, kesenangan, ketenangan.."

"Tapi dia tahu dampak dan bahaya merokok?"

"Ya tau lah..."

"Dia tahu bahayanya merokok terhadap perokok pasif, kamu, anak-anakmu nanti?"

"Sepertinya tau lah ..."

"Berarti yang dia cari dan kejar kenikmatan rasanya itu kan? Dan itu dia lakukan dengan cara meracuni tubuhnya sendiri. Dia lebih ngebela perasaannya daripada pikirannya.  Itu bukan mendzalimi diri sendiri ya?"

"Hmmm ... "

"Bagaimana mungkin dia akan mencintai kamu kalau sama dirinya sendiri nggak mencintai?"

"Trus, aku musti gimana dong?"

"Kamu maunya dia ngerokok nggak?"

"Ya pengennya nggak ngerokok..."

"Ya minta aja dia nggak ngerokok..."

"Nanti dia marah..."

"Dia mencintai kamu?"

"Iya..."

"Kalau dia mencintaimu, kok dia akan marah dengan permintaanmu? Kalau dia sampai marah dengan keinginanmu ini, artinya dia mencintai kamu, atau mencintai nafsunya sendiri?"

"..............."

"Kamu siap dan bersedia hidup dengan orang seperti itu?"

"................"

"Kalau kamu membiarkan dia merokok, sementara kamu inginnya dia tidak merokok demi kebaikan semuanya sekarang dan masa depan, lalu karena kamu takut dia marah kamu tidak mau menyampaikan permintaanmu itu, itu berarti kamu telah memutuskan untuk diam, maka nanti kalau ada apa-apa kamu bertanggungjawab juga. Ciri orang bertanggungjawab adalah tidak mengeluh setelah keputusan itu, dan kamu tinggal pertanggungjawabkan saja keputusanmu itu di hadapanNya nanti...".

"..............." ***

Senin, Maret 05, 2012

I Hate That Smile

Tahu-tahu saya sudah berada di tengah perbincangan beberapa teman mengenai seseorang. Saya sadar berada dalam pusaran gosip. Mereka membicarakan orang yang sama.

A : "Dulu gue pernah berantem sama dia gara-gara dia ngomong bla...bla...bla...
B : "Gue pertama kali ketemu dia bawaannya udah nggak cocok. Kemistri-nya lain"
C : "Maunya menang sendiri, pinter sendiri..."
D : "Ngeliat senyumnya aja bawaannya udah nyebelin dan bikin sepet mata...".
A, B, C : "Hahahaaa, benerrrr....".

Saya juga mengenal orang yang dibicarakan ini. Saya bukannya tidak paham apa yang mereka pikirkan dan rasakan, karena saya pernah punya pikiran dan perasaan yang sama. Hahaha. Dalam satu waktu, saya pernah membicarakan kebaikan orang ini dan justru malah mendapat komentar sinis dari beberapa orang yang punya 'bad experience' dengan orang ini. 

Ketika cerita non-fiksi ini saya jadikan status facebook : "Ada orang yang dari senyumnya saja sudah nyebelin dan bikin mata sepet... tapi perhatikan lebih dalam... dialah yang akan memberimu lebih banyak pelajaran...", beragam komentar dan reply berdatangan, antara lain :

"Pelajaran agar tidak menjadi orang yang nyebelin kayak orang itu ya pak ?"

"Gimana memperhatikan lebih dalam? Ngeliatnya aja sudah bikin sebel..."

"Pelajaran tentang arti sebuah kesabaran..."

"Semakin dalam semakin sebel tau pak..."

"Kata Azis Gagap, jangan liat casingnya, tapi liat kemampuannya :-D"

Ada komentar lucu dari teman saya Nandra F. Piliang, "Semakin dalam semakin mau tak gampar mas..". Saya lantas menimpali, "Nah, nanti kan akan semakin dapat pelajaran ... coba aja mas". Dia lalu membalas, "Bukan pelajaran mas, tapi malah dia menghajar balik...". Saya bilang, "Lha ya itu maksud saya, dia memberi pelajaran...". Nandra : "Asem...".

Komentar dari teman muda Krisna Dwipayana cukup tajam : ".. atau jangan-jangan orang itu mirip kita, Pak? Bisa aja 'kan kita nggak sadar sedang 'bercermin' pas melihat orang itu? Atau mungkin juga 'persepsi' kita saja kalau orang tersebut mukanya kayak gitu. Apalagi kalau misal kita membawa 'emosi' dalam melihat orang itu...". Komentar ini menarik karena sepertinya ia mengerti tentang cara manusia memberi penilaian. Sayapun membalas, "itulah pelajaran besar dari melihat orang itu, bukan?... Ternyata yang mendapat manfaat adalah diri sendiri karena tahu pelajaran untuk berubah memperbaiki diri lebih baik lagi..."

Ketika ada yang berkomentar, "Gimana mau memperhatikan lebih dalam? Ngeliatnya aja sudah bikin sebel...", saya membalas : "Makin sebel berarti makin dapat feedback tentang kualitas emosi kita sendiri bukan?. Dari situ kita mendapat cermin untuk bertumbuh, bukan?".

Ketika kita suka atau tidak suka kepada seseorang, sebenarnya yang kita sukai atau tidak sukai bukan orang itu sebagai realitas, melainkan gambaran pikiran kita mengenai orang itulah yang membuat kita suka atau tidak suka. Gambaran dalam pikiran tersusun dari serangkaian gambar-suara-rasa, yang ketika berada di layar pikiran saja sudah mengalami bias akibat kondisi panca indera dan filter mental yang bernama distorsi, generalisasi, dan penghapusan. Pemberian arti terhadap apa yang hadir dalam layar pikiran kita berdasarkan referensi kita terhadap nilai-nilai yang kita anut sebelumnya, dan pengalaman masa lalu yang sama atau mirip-mirip, yang dihubung-hubungkan. Padahal masa lalu itu komponen manusia yang terlibat, durasi waktu, tempat dan suasananya sudah berbeda dengan kejadian yang ada di depan kita saat ini.  Dengan demikian penilaian terhadap seseorang sebenarnya tidak menggambarkan 'nilai' orang itu, melainkan 'kemampuan' kita dalam memberi nilai. 

Jelasnya, jika seseorang mengatakan orang lain 'jelek' kepada wajah kita, maka bukan wajah kita yang jelek, melainkan kompetensi orang itu menyebabkan proses berpikir di dalam kepalanya menghasilkan gambaran wajah kita yang dalam layar pikirannya dikategorikan sebagai 'jelek'. Lebih jelas lagi begini. Tuhan itu Maha Sempurna, menciptakan dengan cara yang sempurna, dan ciptaannya pasti sempurna. Jika wajah anda yang sempurna ini dibilang jelek oleh seseorang, maka jelek itu menggambarkan kemampuan orang itu dalam 'melihat' ciptaan Tuhan. Jadi anda tenang saja. Tapi kalau wajah atau senyum kita sampai menimbulkan emosi negatif pada seseorang, misalnya sebel, marah, bete, maka kita perlu waspada, jangan-jangan ada kelakuan kita di masa lalu yang dihubungkan oleh orang itu dalam pikirannya dengan wajah atau senyum kita. Meskipun tidak menutup kemungkinan orang itu sedang menghubungkan gambaran wajah atau senyum kita dengan kelakuan orang lain yang memiliki kemiripan atribut dengan kita, tetapi tetap bermanfaat jika kita introspeksi, jangan-jangan ada hal-hal yang kita lakukan menyinggung dan menganiaya orang lain.  

Tanpa dinyana, sahabat saya Nong membuat note yang isinya 'menjawab' alias meluaskan lagi sudut pandang dengan mengatakan : sebetulnya, menurut saya, senyum yang bikin BETE itu awalnya dari hati yang selalu BETE.

Tetapi yang paling indah saat ini adalah saya mendapat hipotesis adanya hubungan antara cara berpikir, kelakuan, dan cara senyum. Bikin penasaran saja. Sementara saya belum mendapat kebenaran empiriknya, lebih baik saya mulai menjaga perkataan dan kelakuan biar orang lain tidak berbuat dosa karena ngerumpi-in hal-hal buruk tentang saya. "Kalau senyum saya bagaimana Pak?", tanya seorang teman facebook yang cantik. Keganjenan saya langsung terbit dan menjawab, "Senyummu bikin pria galau...".***

Selasa, Januari 10, 2012

Salah Benci

Bermula dari status yang saya tulis di facebook "Yang kamu benci itu dirinya atau perbuatannya?", tidak berapa lama seorang sahabat memberi komentar, "dua-duanya".


Saya lantas menimpali, "Mengapa dirimu membenci dirinya ?... Bukankah kamu pernah menyukainya, dan nanti mungkin saja menyukainya lagi jika ia minta maaf dan mengubah perbuatannya... sementara perbuatannya mungkin tidak akan pernah kamu sukai selamanya... :))".


Komentar berikutnya muncul dari sahabat 'setia' saya di facebook -- sebut saja namanya Eka. Katanya "Pertama benci pada perbuatannya... Setelah dia minta maaf untuk yang pertama kali, saya masih benci perbuatannya, bukan orangnya. Terulang lagi, dia minta maaf lagi utk yang kedua kalinya, sayapun masih membenci perbuatannya, belum orangnya. Terulang untuk yang ketiga kalinya, dia minta maaf untuk yang ketiga kalinya juga, saya tetap membenci perbuatannya dan tidak bisa membenci orangnya. Terulang untuk yang keempat kalinya, dia minta maaf untuk yg keempat kalinya, lagi-lagi saya benci pada perbuatannya, dan saya akhirnya benci... pada diri saya sendiri!".

Selanjutnya, terjadilah dialog antara saya dan Eka.

Saya : "Mbak Eka, apa yang diperbuat oleh diri sendiri sehingga mbak Eka membenci diri sendiri ?".

Eka : "Karena untuk masalah yang satu ini saya tidak bisa berpikir objektif... Diri saya terlalu menggunakan perasaan dalam merenungkan permasalahan... sampai akhirnya tembus ke angka empat kali kesempatan tadi. Empat kali kesempatan berarti sakitnya jg empat kali lipat.  Seandainya saya lebih banyak menggunakan logika pasti tidak sampai di angka empat. Mungkin hanya sampai angka dua atau dua setengah.   Inilah kelemahan saya yag membuat saya jadi benci pada diri sendiri."

Saya : "Jadi karena mbak Eka terlalu pakai perasaan ya?... memang sih, masalah itu kalau mau selesai bukan dirasain, tapi dipikirin, seperti kata mbak eka 'pakai logika'... Nah, Mbak Eka mengatakan ini sebagai kelemahan mbak Eka, lantas yang mbak Eka benci itu diri mbak Eka atau kelemahan mbak eka ?"

Eka : "Lha, masalahnya kelemahan itu ada dalam diri saya. Kepriben...?"

Saya : "Mbak Eka itu sebenarnya membenci diri sendiri, atau membenci kelemahan mbak eka ? ... Apa yang terjadi ketika kita membenci diri sendiri ? ... mungkinkah orang lain akan menyukai diri kita sementara kita sendiri membenci diri sendiri ? ... Jadi ini masalah diri mbak Eka, atau hanya masalah kemampuan atau kompetensi saja? Siapa yang dapat mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan? ... bukankah diri mbak Eka? .. Lalu kalau diri mbak Eka punya potensi untuk mengubah kelemahan menjadi kekuatan, mengapa mbak Eka membenci diri mbak Eka ? ... Untuk tujuan apa mbak Eka membenci diri mbak Eka sendiri ?"

Jeda sejenak.

Eka : "Intisarinya (halah) saya perlu lebih mengeksplor potensi diri untuk merubah kelemahan menjadi kekuatan agar perasaan benci pada diri sendiri pergi jauh-jauh dari diri saya. Gitu ya, Pak Pras... :)"

Saya : "Dengan pengetahuan ini, apa yg akan mbak Eka lakukan? Apa keputusan mbak Eka?"

Eka : "Ehmmm... Saya memutuskan, saya tidak akan membenci diri sendiri lagi dan (berusaha) mensyukuri kelemahan saya sebagai anugrah karena kelemahan ini bisa diubah menjadi kekuatan. Ini keputusan saya, Pak Pras... :))". Matur sembah nuwun ingkang katah untuk "terapi diri" kilatnya, Pak Pras. Saya akan selalu ingat pelajaran singkat yang sangat berarti dari Pak Pras ini."

Saya : "Hehehe ... sama-sama mbak. Bagaimana perasaan mbak Eka setelah memutuskan hal tersebut? Sekarang tinggal memikirkan bagaimana CARA mengubah kelemahan itu lalu MEMBANGUN kekuatan untuk tidak lagi tidak berdaya, tetapi menjadi BERDAYA, sehingga mbak Eka mampu menentukan dan menjalankan apa yang diinginkan."


Eka : "Jujur aja ada rasa plong di hati saya, Pak Pras.  Untuk saat ini cara yang terpikir adalah : dalam menghadapi permasalahan, untuk hal-hal tertentu, saya harus menyeimbangkan antara perasaan dan logika. Mudah-mudahan cara ini bisa membantu saya mengubah kelemahan menjadi sebuah kekuatan diri, dan membuat saya mampu menentukan serta menjalankan suatu keputusan yang bisa saya pertanggungjawabkan pada diri sendiri.


Saya : "Jadi kejadian empat kali ini ada manfaatnya kah?"


Eka : "Sangat, Pak Pras... Setidaknya empat kali ini menjadi salah satu guru kehidupan saya..... Empat kali ini memberi saya banyak pelajaran hidup yang belum tentu didapat oleh orang lain.  Saya bisa menarik benang merah dari kejadian empat kali ini, bahwa dengan niat dan potensi yang ada pada diri, sebuah kelemahan bisa diubah menjadi kekuatan diri. Matur sembah nuwun sekali lagi, P. Pras."


Saya : "Terimakasih sama-sama mbak. Wah, saya malah yang banyak belajar dari sini ..." ***