Menurut sebagian besar ‘ulama’ bisnis dan manajemen, untuk bisa mencapai keempat-empatnya harus dimulai dari bagaimana memuaskan dan me-loyal-kan konsumennya. Karena konsumen yang loyal sebagai sumber pendapatan akan memperkuat ‘pundi-pundi’ perusahaan yang pada akhirnya akan memberi kesejahteraan kepada karyawan maupun investor.
Tapi bagaimana membuat konsumen puas dan loyal ? Stephen R. Covey dalam bukunya “The Seven Habits of Highly Effective People” menyebutkan “Anda harus memperlakukan karyawan anda persis seperti anda menginginkan ia memperlakukan pelanggan terbaik anda”.
Dalam sebuah pendidikan di Yogyakarta enam tahun silam, salah seorang peserta, bertanya, “Apa yang dimaksud dengan loyalitas karyawan ?”. Saya memaklumi beliau mengatakan begitu karena doktrin ‘loyal’, ‘ikhlas’ dan ‘ibadah’ akhir-akhir itu begitu gencar dikumandangkan oleh pihak manajemen. Saya menerangkannya justru dengan pengertian loyalitas konsumen. Bahwa konsumen yang loyal dihasilkan dari konsumen yang puas. Tapi konsumen yang puas saja tidak menjamin ia menjadi loyal. Mungkin saja ada seseorang yang puas menginap di suatu hotel, tetapi karena ada hotel lain yang menawarkan konsep yang ‘berbeda’, maka ia tergoda untuk berpindah ke hotel lain itu. Ia bukannya tidak puas dengan hotel lama, tetapi kebetulan ada hotel ‘baru’ yang menawarkan value yang lebih baik. Jadi untuk membuat konsumen loyal, ia harus terus disenangkan dengan ‘perceived value’ yang lebih ‘pas’ dibandingkan pesaing hingga ia menjadi loyal bahkan menjadi ‘advocate’ bagi perusahaan. Value disini tentu saja bukan terbatas pada benefit yang bersifat fisik dan material, tetapi termasuk yang bersifat emosional.
Begitu juga karyawan yang loyal, harus dimulai dari karyawan yang puas. Karena kepuasan ini letaknya di dalam ‘hati’, maka loyalitas tidak bisa disuruh atau diminta. Loyalitas harus diciptakan. Berikan mereka ‘value’ yang pas. Dan mengukur loyalitas dengan indikator tingkat drop-out karyawan tidak sepenuhnya tepat, karena kemungkinan mereka tidak mau hengkang dari perusahaan justru karena takut bersaing atau karena memang tidak laku di pasar tenaga kerja. Kalau mau mendapatkan informasi mengenai tingkat loyalitas karyawan di perusahaan, riset sumber daya manusia untuk mengukur tingkat kepuasan dan loyalitas perlu diadakan.
Membangun loyalitas karyawan juga harus diikuti dengan membangun kompetensi karyawan. Kalau karyawan loyal tetapi tidak tahu dan terampil bagaimana caranya melayani dan memuaskan konsumen, perusahaan juga rugi.
Dalam era learning organization, tanggungjawab untuk mengembangkan manusia di dalam perusahaan bukan hanya terletak di tangan perusahaan. Karyawan juga bertanggungjawab. Perusahaan memandang karyawan sebagai konstituen inti penggerak perusahaan yang harus terus menerus dikembangkan melalui human investment, karyawan memandang perusahaan sebagai ‘ladang’ untuk ditanami melalui produktivitas, sehingga ia bisa ‘menuai’ kesejahteraan lahir batin. Tetapi masing-masing tidak perlu saling menuduh mana yang harus duluan. Harus sama-sama. Ini seperti telur dan ayam. Cukuplah kita berpikir kalau punya telur bagaimana supaya telur itu menetas dan menjadi ayam yang sehat, dan kalau punya ayam bagaimana ayam itu kita buat sehat sehingga menghasilkan telur yang banyak namun bagus...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar