Selasa, Mei 26, 2009

Menafsirkan tafsir


Anjing, babi, monyet, kampret.

Itulah kata-kata yang saya tulis di status facebook. Apa yang melatari saya membuat status itu ? .. Hmm .. nanti saja saya jelaskan. Yang jelas, dalam hitungan detik ada bunyi 'krwenggg' di Blackberry saya. Itu tandanya ada notification di facebook. Setelah itu -- seperti yang saya duga -- suara itu lebih sering berbunyi lagi.

Komentar teman-teman jemaah alfesbukiyah sangat beragam-ragam.

"????? Lagi ngafal nama2 binatang, atau ..??" adalah komentar perdana yang muncul. Sang teman ini belum melakukan penyimpulan. Ia masih mengumpulkan informasi karena ia mafhum ada banyak kemungkinan maksud dari status saya tadi. Begitu juga komentar yang berbunyi, "Maksudnya Pak ?".

"nama2 binatang yang lucu deh kalo dibuat kartunnya..". Komentar ini meluncur dari seseorang yang tidak peduli apa maksud saya yang sebenarnya, tapi dia gunakan sebagai sumber daya untuk membangun image yang menyenangkan untuk dirinya.

"jd inget kapten haddock ...temennya tintin..;P". Teman saya ini langsung menghubungkan kata-kata saya dengan makian seorang tokoh kartun yang suka mengeluarkan sumpah serapah kalau sedang bete, tapi saya tidak tahu apakah teman saya itu yang dibayangkan adalah Kapten Haddock, atau saya yang sedang mengeluarkan sumpah serapah.

"ealaaaaahhhhh,,,, no koment dech". Ini komentar orang yang tidak menyangka ada kata-kata itu di status facebook.

"Kenapa pak? Wah.. Parah kata2nya..". Nah, ini sudah jelas 'tuduhannya', meskipun dibungkus dalam kalimat tanya, sebab dihubungkan dengan kalimat berikutnya. Kata-kata status saya yang netral kemudian dihakimi sebagai kata-kata parah plus diberi muatan emosi tertentu di dalamnya. Si kata-kata jadi terhakimi. Sama dengan flu babi yang menurut Departemen Kesehatan RI tidak ada hubungannya dengan babi. Makanya Depkes mengubah istilahnya menjadi swine flu. Kasihan babi namanya tercemar, begitusalah seorang direktur di Depkes.

"pasti abis serempetan ya?". Nah, ini sudah jelas menuduh bukan ?. Sudah tafsirnya tidak sama dengan kenyataannya (dalam bahasa subjektif, saya beri nama : keliru), malah dia menciptakan fiksi lainnya.

"Itu nama* hewan...(kcuali kampret)". Nah, ini awalnya benar, yaitu nama-nama hewan. tapi
ia belum tahu bahwa kampret itu adalah nama slank dari kelelawar.

"Cuman kampret yang di keluarga ku nggak ada??? kamu mau jadi ..kowe gelem jd keluarga ku??". Teman saya ini langsung menggunakan status saya sebagai sumber daya untuk bercanda, dan menurut saya ia cukup cerdas untuk bercanda. Tingkat berpikir yang lebih tinggi dalam humor.

"Pak Prasetya ini luar biasa, ternyata sangat mencintai binatang , bukan begitu pak?
try to Be positif ....". Ini adalah komentar teman yang menyodorkan proposal reframing kepada saya atau kepada dirinya sendiri, tapi terasa ada gambaran di pikirannya bahwa diri saya sedang 'negatif'.

Lalu apakah tafsir teman-teman saya itu dalam bentuk komentar benar atau salah ? ... Lha, saya ini malah sedang menafsirkan tafsir teman-teman saya. Sekali lagi, tafsir saya atas tafsir mereka-pun tidak luput dari ketidaksesuaian antara apa yang saya lihat di peta pikiran saya sendiri dengan peta pikiran mereka. Dengan kata lain, tidak jelas betul persepsi-persepsi yang terjadi berikutnya. Dan tindakan kita berasal dari persepsi-persepsi yang tidak jelas kebenarannya itu.

Yang benar, saya sedang 'iseng' ingin tahu respon teman-teman facebook kalau saya menulis nama-nama binatang yang menjadi 'carrier' penyakit, karena saya baru saja memberi pelatihan di Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Departemen Kesehatan RI.

Yang tahu maksud sebenarnya dari status itu hanyalah saya dan Tuhan, tapi hidup kita dibisingkan, di-tek-tok-an, dan diombang-ambingkan oleh pemahaman-pemahaman yang 'berayun-anyun', 'ngambang', fragile, kebenaran subjektif. Bayangkan persepsi-persepsi yang lahir, keyakinan-keyakinan yang terbentuk, dari hanya dengan membaca headline di koran, sepenggal kalimat yang diucapkan oleh acara gosip di televisi, bisik-bisik dari tetangga ?. Dan kita akan mengalami dari apa yang kita yakini, meskipun keyakinan itu terbangun dari ilusi yang fiktif.

Jadi, yang bikin hidup kita ribet siapa ? ***

Senin, Mei 18, 2009

Bukan Siapa, Tapi Apa

Selesai mengevaluasi kegiatan pelatihan untuk sebuah instansi pemerintah, pimpinan tim segera melaporkan kepada saya apa yang sudah dibicarakan. Di hadapan saya, wajah beliau tampak tidak terlalu ceria seperti biasanya. Saya sudah merasa, pasti ada kekurangan yang dianggap fatal.

Beliau menyampaikan bahwa tim lupa membagikan slayer kepada peserta pelatihan. Meskipun peserta tampak tidak terlalu peduli soal slayer, dan di lembar evaluasi pelatihan tidak kami temui sedikitpun peserta menyinggung soal slayer, tapi karena slayer sudah jadi bagian dari rencana tim kami, maka ketika kenyataannya tidak sama dengan rencananya, itu kami anggap masalah.

Apa itu namanya memperpanjang masalah ? .. Toh, klien juga tidak terlalu peduli. Oh, tidak ... Masalah ini sengaja kami permasalahkan karena berguna untuk melatih kecermatan tim kami nantinya dalam mengeksekusi rencana yang sudah dibuat matang. Jadi mempermasalahkan masalah ini masih bermanfaat.

Selama laporan lisan itu, saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya saja karena saya lihat proses evaluasi dan pembelajaran yang dilakukan sudah benar.

Seperti biasa, saya paling suka menindaklanjuti laporan apapun dengan mendatangi mereka yang terlibat dalam proses suatu kegiatan di lain waktu. Saya sengaja 'pasang badan' untuk menunggu dicurhati lagi, siapa tahu ada informasi yang belum saya dengar bisa muncul, sehingga menggenapkan pemahaman saya tentang apa yang sudah terjadi.

"Saya memperhatikan akhir-akhir ini master of training maupun training officer sudah tidak lagi memegang rundown dan check-list. Saya paham karena program ini sudah berkali-kali kita lakukan, jadi kita merasa hafal. Nyatanya, kemarin ada yang kelupaan kan ? .." kata saya menanggapi salah seorang staf saya yang akhirnya menyinggung lagi soal evaluasi pelatihan itu.

"Ya memang itu salahku ...", kata salah seorang anggota tim yang merasa 'bersalah' atas beberapa kekurangan yang terjadi.

"Oh, bukan ... kita tidak bicara soal siapa yang salah karena tidak bermanfaat untuk ke depannya. Semua orang bisa salah kok. Yang kita bicarakan adalah apa yang salah. Dengan tahu apa yang salah kita jadi tahu apa yang benar, dan semua orang bisa melakukan apa yang benar", timpal saya.

"Lagipula, yang kamu lakukan itu bagi saya bukan 'salah'. Sebenarnya kamu cuma tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu, sehingga hasil dan dampaknya seperti ini - sesuatu yang tidak kita inginkan. Itu saja ... Kita menjadi 'salah' kalau kita tidak tahu apa yang tidak sesuai dengan harapan itu, lalu tidak merencanakan tindakan yang ada dalam kendali kita yang akan mendekatkan hasil dan dampaknya kepada yang diinginkan ...", tambah saya. "Tapi menjadi salah pangkat tak terhingga kalau kita tidak melakukan tindakan yang sudah direncanakan untuk mencegah kejadian ini terulang kembali ...".

Ia kelihatan sedikit lega karena saya tidak menyalahkan dia. Kenapa saya tidak menyalahkan dia ? Karena dia sudah tahu apa yang telah dan tidak dia lakukan sehingga masalah itu terjadi. Saya juga menangkap nada dia waktu mengucapkan menunjukkan semangat belajar dari kesalahan untuk perbaikan ke depan. Lain halnya kalau misalkan staf saya itu tidak mau ikut bertanggungjawab alias ngeles, lalu membelokkan tanggungjawab kepada orang lain atau situasi lain. Ia bisa jadi 'makanan empuk' saya.

"Yang sudah terjadi toh tidak bisa kita ubah. Ya sudah, yang penting bagaimana kita membuat klien kita yang mungkin kecewa bisa senang dan percaya lagi. Lalu ke depannya, kita kembali ke standard operating procedure untuk membaca rundown dan melakukan recheck bersama sebelum kegiatan dimulai ..." ***