Kamis, Desember 23, 2010

Tanggungjawab Siapa ?


Di sebuah pelatihan saya sedang bicara soal tanggungjawab.

“Bapak dan Ibu, sekarang kalau saya katakan begini : Bapak dan Ibu ANJING … Bagaimana perasaan Bapak dan Ibu ?”, ujar saya.

Saya melihat peserta pelatihan sebagian kentara sekali berubah roman wajah.

“Ya marah lah pak ! “
“Tersinggung ..”
“Jengkel !”

Begitu beberapa jawaban mereka.

“Lantas, perasaan-perasaan itu merupakan tanggungjawab siapa ?”, tanya saya.

Mereka terdiam. Saya tahu mereka sedang berpikir untuk menimpakan tanggungjawab perasaan tersebut kepada diri sendiri. Tapi perkiraan saya meleset.

“Pak, saya marah Bapak bilang begitu ke saya,” ujar seorang ibu.

“Ibu setuju kata-kata saya bahwa ibu adalah anjing ?”, Tanya saya tersenyum.

“Ya tidak setuju dong, Pak,” jawab dia.

“Lha, kalau tidak setuju, kenapa marah ? Hehehe …”, jawab saya dan disambung gelak tawa peserta lainnya.

Dengan spidol di tangan, saya lantas menggambar sebuah bentuk di kertas flipchart.

“Bapak dan ibu … saya menggambar apa ?”, Tanya saya.

“Kucing !”
“Anjing !”
“Macan !”
“Kucing kurus !”
“Anak macan !”

Begitu jawaban-jawaban mereka.

“Bapak dan ibu yakin kalau jawaban yang bapak  dan ibu berikan masing-masing itu BENAR ?”, Tanya saya.

“Yakin !!! ..”, jawab peserta.

Karena saya menggambar hanya satu bentuk, lalu saya jadi bingung nih, realitas yang benarnya gambar ini gambar apa sih ? Kucing, anjing, atau macan ?”, Tanya saya lagi.

Peserta masing-masing menyebutkan gambar yang benar adalah jawaban mereka, lengkap dengan argumennya.

Setelah cukup bereksperimen dengan mental mereka, saya lantas berkata, “Pak, bu, yang bapak dan ibu sebutkan tadi dan dianggap benar adalah realitas internal bapak-ibu sendiri. Realitas eksternalnya saya ini menggambar garis-garis !”.

Mereka diam sambil bingung.

“Saya hanya menggambar garis-garis. Itu realitas eksternalnya. Lantas bapak dan ibu memberi ARTI kepada gambar garis-garis itu berdasarkan pengalaman masa lalu Bapak-Ibu bahwa gambar garis-garis itu adalah kucing, anjing, macan, dan seterusnya, “ jelas saya.

“Jadi, sebuah gambar, suara, kata, tidak akan ada artinya apa-apa sampai kita sendiri memberi ARTI kepadanya. Nah, kalau begitu, saat saya bilang “ANJING” tadi, sebenarnya saya apa sih ?”, lanjut saya bertanya.

“Binatang, Pak !”, jawab seorang bapak.

“Bukan ! … it’s just a voice. Itu tadi cuma sebuah suara saja … Lantas bapak dan ibu memberi arti kepada suara tadi sebagai binatang. Pikiran tidak berhenti di situ. Otak bapak-ibu kemudian membuat pikiran tentang pikiran sebelumnya. Bapak ibu lalu memberi arti lagi kepada soal binatang tadi dengan ‘penghinaan’. Bapak dan ibu memberi arti kata-kata saya adalah penghinaan. Saya sedang menghina, makanya Bapak dan Ibu marah, jengkel, tersinggung, “ jelas saya.

Sebelum sempat mereka bereaksi, saya melanjutkan, “Nah, ketika saya bilang ‘anjing’, siapa yang memberi arti ?”, Tanya saya.

“Saya sendiri …”, jawab mereka.

“Lantas kalau dari arti yang diberikan oleh anda sendiri tadi menimbulkan perasaan tertentu, maka perasaan tertentu itu tanggungjawab siapa ?”, Tanya saya.

“Saya sendiri ..”, jawab mereka.

“Tapi Pak, kalau ternyata orang itu memang mau menghina saya, apa saya harus diam saja ?”, interupsi salah seorang peserta.

“Apa tujuan orang itu menghina anda ?”, Tanya saya.
“Agar saya jatuh …”, jawabnya.

Saya kemudian menimpali, “Nah, kalau setelah penghinaan itu lantas anda jatuh, pertanyaan saya, siapa yang mengizinkan anda jatuh ?” …***