Senin, September 29, 2008

Perjalanan menuju kesempurnaan

Memandangi Berti, Ubay, Ucup, dan belasan anak lain penderita cacat terlantar, lidah terasa kelu. Teman saya Dian bahkan mengusap air matanya yang mengalir begitu saja. Batin seperti di-'buzz' kenyataan bahwa ada 'dunia lain' yang berdampingan dengan dunia saya selama ini.

Mereka 'dibuang' oleh orang tua yang malu mempunyai anak cacat -- anak tidak sempurna menurut mereka. Sebagian lagi dititipkan karena orang tua mereka tidak mampu. Ada juga yang ditemukan entah di rumah sakit karena ditinggal 'kabur' orang tuanya, atau ditinggal sendirian di suatu tempat. Seorang kawan yang saya ceritakan bertanya, kenapa ya kok ada orangtua yang tega seperti itu kepada anaknya sendiri ?. Saya tidak pernah menjadi seperti mereka. Atau juga menjadi seperti orang tua mereka. Saya jawab, saya tidak tahu sampai kita sendiri bertanya langsung kepada orang tua mereka itu.

Berti seorang anak penderita hydrocephalus. Kepalanya sudah sangat besar. Pengasuhnya bilang, ia tidak mungkin lagi dioperasi karena otaknya juga sudah mengecil. Batok kepalanya juga sudah lembek. Ia seperti tinggal 'menunggu waktu'. Di tempat pembaringannya, ia seperti tertawa menikmati candaan teman saya Nanang yang hari itu ikut menghibur penghuni panti dengan permainan dan candaannya. Yang terlihat kasat mata menikmati hiburan Nanang adalah para mbak pengasuh anak-anak itu. Tapi saat Nanang menyanyikan lagu riang, saya masuk ke salah satu kamar dimana lima anak tergeletak tanpa daya. Salah satu anak perempuan saya lihat mengeluarkan suaranya, "aaaa ... aaaa ... aaaa", sambil kepalanya mendongak ke atas dan badannya kaku. Ia cuma mendengar sayup lagu dari dalam kamar, tapi sudah cukup membuat dia ikut gembira.

Ubay -- panggilan Nurbaiti, penderita kelainan otak, dengan wajah sangat sumringah dan berapi-api, berusaha keluar dari kamar dengan cara ngesot. Senti demi senti ia lewati. Saya kasihan dan ingin sekali membantu menggendongnya, tapi urung karena seperti ada suara di dalam benak saya yang mengatakan, "Prass ... mereka itu anak-anak sempurna ..". Saya menyaksikan bagaimana Ubay akhirnya sampai juga di sebelah Berti dan ikut menyaksikan aksi Nanang. Ia sampai di tempat tujuannya tanpa belas kasihan orang lain.

Sempurna ?. Sejenak saya guncang-guncang kata 'sempurna' untuk mereka, dan akhirnya saya memang menemukan bahwa mereka sempurna. Justru kita yang tidak sempurna. Ketakutan, rasa malu, memaksa keinginan bahwa anak itu harus 'sempurna' secara fisik, justru menunjukkan kelemahan kita. Seorang bayi ber-ras Tionghoa digendong oleh teman saya Mindar. Menurut pengasuhnya, ia ditinggal di panti itu karena orang tuanya malu 'hanya' karena anak itu sumbing. Bahkan, ibunya mau bunuh diri begitu melihat sang bayi berbibir sumbing. Siapa yang tidak sempurna ?

Kalau mereka sejak lahir hidup seperti itu, dan mereka tidak pernah merasakan apa yang dirasakan 'orang normal' seperti kita, lalu mereka menerima dan bersukacita dengan keadaan mereka, bukan itu hidup mereka yang sempurna ?. 'Ketidaksempurnaan' mereka justru panggilan untuk kita menjadi sempurna. Bukankah ini sendiri suatu kesempurnaan ?. Siapa yang akan banyak memproduksi dosa ? Mereka atau kita ?. Mereka hadir justru untuk membahagiakan kita. "Tunggu dulu....", mungkin anda bilang begitu. "Nyatanya banyak orang merasa kesusahan atas kehadiran mereka ?". Mungkin sama dengan ketika kita disajikan makanan terenak di dunia, lalu kita tidak menikmati makanan itu -- bahkan mengeluh -- karena bibir kita sariawan !. Jadi masalahnya bukan makanannya, tetapi diri kita sendiri yang sedang 'sakit'.

Hari itu -- di Yayasan Sayap Ibu -- rasanya bukan saya yang mengunjungi kehidupan mereka, tetapi mereka yang mengunjungi kehidupan saya. Saya bukan menyaksikan mereka, tetapi mereka seperti sedang menyaksikan pergolakan batin saya. Bahkan untuk berfoto bersama merekapun awalnya saya ragu. Jangan-jangan saya merasa seperti sedang plesir -- kunjungan wisata. Jangan-jangan nanti saya bercerita ke orang-orang dengan perasaan bangga telah melakukan bakti sosial kepada anak-anak cacat. Tuh buktinya, saya foto sama anak-anak cacat itu. Kalau saya melakukannya seperti itu, apa bedanya dengan ketika saya berfoto bersama mahluk tontonan?. Dan seandainya Tuhan yang melihat foto saya, maka jangan-jangan Tuhan akan bilang, "Tuh, ada orang sempurna berfoto bersama orang cacat.". Pas Tuhan bilang, "orang cacat", Dia menunjuk ke arah gambar saya. Meskipun saya juga beriman, atas kasih sayangNya, Dia memberi kesempatan saya untuk menyadari kecacatan saya, dan memberi kesempatan untuk saya bertransformasi menjadi manusia sempurna. Salah satunya, melalui anak-anak ini.

Riri Satria sahabat saya malah memprovokasi saya, "Bukannya ente menulis soal mereka di blog juga merupakan eksploitasi terhadap mereka ?". Saya ragu, jangan-jangan Riri benar. Meskipun akhirnya saya foto mereka juga, dan menulis blog ini, lebih didasari niat untuk sharing dari tacit knowledge saya memaknai suatu pengalaman -- meminjam istilah Riri. Siapa tahu berguna buat orang lain.

"Gila !... hidup gue berat banget .." ;
"Aduuuuh ...! Kenapa gue musti menderita kayak gini ?" ;

Waktu mengucapkan kalimat itu, kita sepertinya tidak melihat hadirnya keberuntungan di ruang benak kita. Padahal, sang keberuntungan telah hadir di ruang itu, cukup dengan bertanya kepada diri sendiri, "... dibandingkan apa ? ... dibandingkan siapa ?" ...***

Minggu, September 28, 2008

Suratku Tanggal 16 September 2000



Yang terhormat, ..............................

UCAPAN TERIMAKASIH


Assalaamu'alaikum wr.wb.

Tertanggal surat ini adalah satu bulan meninggalnya bayi pertama kami, Raihan Iman Nugroho, pada tanggal 16 Agustus 2000 serta sakit dan dirawatnya ibunya di RSPI. Atas penguatan dari sanak saudara dan handai tolan yang tidak putus-putusnya memberi nasihat dan doa, Insya Allah kami ikhlaskan kebersamaan kami dengan Raihan selama tujuh bulan di dalam kandungan. Kami sangat bersyukur telah diberi kebahagiaan selama tujuh bulan olehNya, sampai-sampai kami menganggap diambilNya kembali titipan anak kami oleh Yang PUnya itu sebagai bukan musibah yang mendukakan, melainkan sesuatu yang memang begitulah ketentuanNya terjadi.

Secara manusiawi kami sering merasa kangen dan terbayang-bayang dengan wajahnya yang tampan dan mirip ibu dan kakeknya. Dan ketika hal itu terjadi, kami merasa amat bahagia. Ia adalah kehidupan yang terbaik bagi kami. Raihan telah menyadarkan kami betapa besar cinta kasih ibu dan ayah kami ketika kami masih bayi dulu, betapa mereka begitu tulus dalam membesarkan diri kami, dan betapa berdosanya diri kami ketika kami mendurhakai mereka berdua.

Hikmah dan kesembuhan yang Allah berikan kepada kami tentu tidak lepas dari keberadaan Bapak/Ibu/Saudaraku yang kami rasakan begitu tulus memberi perhatian, simpati, doa, nasihat, dukungan, dan bantuan dalam berbagai bentuk kepada kami. Kunjungan, telepon, tegur sapa, dan salam Bapak/Ibu/Saudaraku telah membuat kami merasa tidak sendiri dan terus-menerus berada dalam kesadaran untuk tetap tegar, tabah, dan ikhlas menerima ujian ini. Kami merasakan cinta Ilahi yang mengalir bersama cinta Bapak/Ibu/Saudaraku.

Untuk semua yang telah Bapak/Ibu/Saudaraku berikan, kami menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Kami juga mohon maaf atas kekhilafan kami selama ini yang barangkali telah merepotkan atau mengganggu Bapak/Ibu/Saudaraku.

Semoga Allah memberi kebaikan yang lebih besar kepada kita semua atas cinta kasih yang telah Bapak/Ibu/Saudaraku berikan. Amin.

Jakarta, 16 September 2000
Wassalaam,
Prasetya M. Brata
Moekti Prasetiani Soejachmoen

Rabu, September 24, 2008

(K)iman yang teguh


Dua jam lagi mendekati bedug maghrib. Jam kantor sudah usai. Saya berencana menjemput isteri ke bandara yang akan mendarat jam 19.40. Itu berarti saya buka puasa di kantor saja, lalu nanti kalau sudah ta'jil, sholat maghrib, dan makan ala kadarnya, saya meluncur ke Cengkareng. Saya lalu berencana untuk memesan makanan buka puasa. Saya menuju pantry dan bertemu dengan Kiman sang OB, Ja'i sang OB juga, dan Pak Iman pengemudi mobil dinas saya. Kiman dan Ja'i adalah office boy di kantor saya yang disekolahkan di STIE Dharma Bumiputera tanpa biaya. Artinya, beasiswa dari yayasan yang saya pimpin. Saya pernah memantau hasil prestasi akademik mereka, dan hasilnya memang lumayan bagus. Beasiswa menjadi tidak sia-sia. Saya hari ini tidak melihat Tommy, sang OB yang lebih junior.

Kiman yang bernama lengkap Sukiman adalah sosok office boy yang cukup mendapat perhatian saya dan lingkungan. Ketika 'ditemukan' oleh pengurus yayasan, dia masih menjadi 'kenek' yang membantu pembangunan gedung dimana lembaga ini berada. Ia kemudian 'diambil' menjadi office boy oleh pengurus yayasan sebelum saya.

Dalam setiap staff meeting yang saya pimpin, saya dan teman-teman sering dicengangkan dengan komentar, ide, jawaban, yang bagi saya tidak sesuai dengan 'level'nya. Saya lihat dia lebih 'mature' dari usianya. Mungkin berkat pengalaman hidupnya yang keras. Saya banyak belajar dari pikiran-pikiran Kiman yang jujur. Semangat belajarnya juga tinggi. Ketika saya baru masuk menjabat sebagai Ketua Yayasan, Kiman masih menyelesaikan ujian persamaan SMA-nya. Sekarang dia sudah mahasiswa semester V. Itulah yang membuat akhirnya ia saya pilih untuk memberi testimonial/endorsement di buku PROVOKASI saya.

Kiman, Tommy, dan Ja'i mengalami perkembangan kepribadian dan karakter yang signifikan. Ja'i yang dulu saya pergoki berwajah datar tanpa senyum dengan mata 'rendah diri', sekarang beda. Ia sekarang lebih necis, sumringah, dan cukup 'berisi'. Kegemarannya latihan futsal menjadi nilai tambah tersendiri, apalagi dia menjadi salah satu andalan tim kampusnya. Tommy sama. Ia punya semangat belajar yang tinggi, komentar spontan yang segar, dan tekun. Hasil kerjanya memuaskan. Toilet yang menjadi tanggungjawabnya sekarang paling sering kinclong dan harum. Pernah dia saya tanya, apa visinya dalam pekerjaan ?, ia menjawab "menjadikan toilet kita seperti toilet hotel bintang lima" ... Alamaaakkk ... luar biasa !!! ..

Sore itu, di pantry, saya bilang ke Kiman, "Man, ini bau apa ya ?"
Kiman : "Bau batagor, Pak".
Saya : "Lho, dimana ?"
Jai : "di luar Pak."
Saya : "Loh, baunya sampai di sini ya ?. Ngomong-ngomong, untuk buka puasa nanti saya dapat jatah dari dosen, atau saya musti bayar sendiri ?"
Kiman : "Bayar sendiri Pak, kan bapak hari ini nggak ngajar .."

Saya tersenyum puas. Di STIE Dharma Bumiputera tempat dimana semester ini saya mengajar, dosen yang mengajar dapat jatah kolak dan batagor atau siomay. Kebetulan hari ini saya tidak mengajar. Saya adalah orang nomor satu di lembaga yang sudah berusia lebih dari 46 tahun ini. Kiman adalah office boy. Dia berani bilang, saya musti bayar sendiri karena saya memang tidak punya jatah, karena saya memang tidak mengajar hari ini ....

Saya bangga kepada mereka. Mudah-mudahan karakter mereka makin kuat, dan siapapun nanti pimpinan lembaga ini setelah saya, mereka tetap teguh dan berani mengatakan apa yang menjadi hak dan kebenaran.

Saya : "Seporsi batagor berapa ?"
Kiman : "limaribu, Pak"
Saya : "Nih Man, 20 ribu, beli buat kita berempat ya ..."***

Minggu, September 21, 2008

Bersatu kita runtuh, bercerai kita kawin lagi


Dari pengalaman 'membantu' teman-teman yang punya masalah, ada tiga orang perempuan yang berkonsultasi dengan saya soal masalah rumah tangganya. Bagaimana hasilnya ? Setelah saya 'tangani', ketiga perempuan itu cerai semua.

Ketika ini saya ceritakan kepada teman-teman alumni PATIK-UPN "Veteran" Jakarta di suatu petang menjelang buka puasa, teman-teman perempuan langsung riuh. "Waaaaah, kalau gitu jangan sampai deh kita konsultasi sama Prass .., ntar kita cerai ... hehehehehe ...".

Supaya tidak salah sangka, saya lalu menjelaskan kalau selama ini saya hanya mendengarkan, memahami, lalu 'memanjangkan' penglihatan 'klien'. Saya tidak mengarahkan mereka 'rujuk' atau 'bercerai'. Itu pilihan mereka sendiri. Saya mengatakan kita punya potensi untuk bahagia di setiap situasi. Kalau mereka bercerai, mereka punya potensi untuk bahagia. Kalau mereka tidak bercerai dan kembali membina rumah tangga lebih harmonis, mereka juga punya potensi untuk bahagia. Tapi saya juga menganjurkan mereka tidak mengatakan bahwa sudah kehendak Tuhan perceraian itu terjadi, sebagaimana yang sering kita dengar kalau ada artis cerai diwawancarai infotainment. Perceraian sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Lho, bukankah jodoh di tangan Tuhan ?.

Sekarang begini, anda sepaham bukan dengan ajaran agama yang mengatakan bahwa perceraian adalah sesuatu yang dibenci Tuhan meskipun halal ?. Nah, apakah logis Tuhan melakukan apa yang dibencinya sendiri ?. Ya saya juga tidak tahu, karena itu hak prerogatif Tuhan untuk melakukan segalanya. Tapi perceraian itu tidak ujug-ujug. Ada rentetan peristiwa dan reaksi dari peristiwa itu yang berkelanjutan, berulang, lalu tibalah pada ketidakberdayaan atau ketidakmauan masing-masing 'pelaku' menemukan arti lain (lihat tulisan sebelumnya yang berjudul "Kita sendiri yang memilih"). Bahwa, setiap masalah adalah anugerah, yaitu kesempatan untuk membesarkan otot-otot psikologis. Kesempatan untuk lebih pandai. Kesempatan untuk lebih mengenal dan memahami. Setiap masalah adalah feeback sekaligus ilmu. Memang sih sakit, tapi itu kalau kita 'tenggelam' di dalam masalah. Kalau kita 'mi'raj', keluar dari genangan masalah, naik ke atas, akan melihat masalah menjadi sepotong game puzzle -- kecil. Masalah berarti kita dipercaya Tuhan dengan soal serumit itu untuk kita cari jawabannya, daripada dikasih masalah cetek yang berarti level kita juga masih TK.

Rupanya, giringan dari saya justru membuat teman-teman perempuan saya itu makin mantap dan percaya diri untuk bercerai. Ya sudah, itu pilihan mereka, dan mereka yang akan menjalaninya.

Cerai tidak selamanya buruk. Bercerai bisa menggenapkan ilmu hidup masing-masing. Mereka menjadi lebih insyaf dan matang. Bisa juga bercerai diperlukan kalau salah satu sudah nyata-nyata terdzalimi secara fisik, atau pemimpin rumah tangga tidak bertanggungjawab menafkahi keluarganya. Selebihnya, karena saya tidak pernah bercerai dan ingin rumah tangga saya harmonis lestari, saya cukupkan khotbah ini sampai disini. Kalau diteruskan nanti ngaco. Yang jelas, dari tiga perempuan teman saya itu, dua di antaranya sudah menikah lagi, lalu cerai lagi, dan menikah lagi untuk yang ketigakalinya...***

Kita sendiri yang memilih


Sebenarnya sudah lama saya menahan untuk tidak menulis cerita ini di blog ini. Bukan apa-apa. Cerita ini saya dengar dari Gede Prama bertahun-tahun silam, dan dalam beberapa kesempatan mendengar talk show di radio yang menampilkan narasumber paten, cerita ini diulang-ulang. Dalam pikiran saya, cerita ini mungkin sudah terkenal. Tapi yang bikin saya heran, setiap kali saya tanya peserta training, mereka hampir tidak pernah mendengar. Kalaupun ada, paling satu-dua saja. Inilah yang membuat saya akhirnya memutuskan sekarang menulis cerita ini. Semoga pahala dari kebaikan cerita ini mengalir kepada narasumber-narasumber sebelumnya, khususnya Pak Gede Prama, sang penutur kejernihan Indonesia.

Cerita ini tentang 'tahi sapi'. Pernah dengar ? Begini, suatu pagi anda bangun pagi dan ingin keluar rumah menghirup udara segar. Seminggu sebelumnya anda begitu sibuk dan hari itu anda beruntung tidak ada acara apa-apa. Begitu anda melewati pintu kamar tamu, sejenak anda berdiri di beranda depan, tiba-tiba anda mencium bau tidak sedap. Anda mencari-cari bau apa itu, dan menemukan di pojok teras depan rumah anda, ada karung berisi tahi sapi, ada label pengirimnya, yaitu nama tetangga di ujung jalan. Tetangga itu memang jarang berkomunikasi dengan anda, malah boleh dikatakan 'cuek'. Tidak ada hujan tidak ada angin, di teras rumah anda ada tahi sapi, padahal anda ingin merasakan fresh-nya udara pagi. Bagaimana perasaan anda ?. Boleh jadi anda marah karena pagi-pagi sudah ada orang yang cari perkara, lalu anda menyeret karung tahi sapi itu ke rumah sang pengirim. Anda panggil dia keluar, dan begitu dia keluar anda damprat. Apa hasilnya ? Permusuhan.

Tetangga sebelah rumah anda, punya nasib yang sama. Begitu ia keluar rumah pagi itu, di teras rumah dia ada sekarung tahi sapi dengan pengirim yang sama, yaitu tetangga ujung jalan. Tetangga sebelah rumah anda diam sejenak, dan melihat ke halaman rumahnya. Ia bergumam dalam hati, "Wah, sekarang musim kemarau, pohon-pohon dan tanamanku kering. Wah, tahi sapi ini bagus sekali buat pupuk. Baik sekali tetangga ujung jalan, pagi-pagi sudah kasih hadiah yang aku perlukan...". Seandainya anda menjadi tetangga sebelah rumah anda, kalau anda berpikir seperti itu, bagaimana perasaan anda ? Mungkin anda senang. Apa yang akan anda lakukan ? Mungkin minta tolong isteri membuatkan opor ayam. Lalu dengan rantang, anda datang ke rumah tetangga ujung jalan, dan memberi rantang tadi ke dia sambil mengucapkan terimakasih. Apa hasilnya ? Persahabatan.

Sekarang kita lihat. Tahi sapinya sama bukan ? yang satu merasa bete, yang satu lagi merasa senang ? Yang satu menyeret-nyeret karung tahi sapi ke tetangga ujung jalan, sementara yang satu lagi membuat opor ayam ? Yang satu hasilnya permusuhan, yang satu lagi persahabatan. Masalahnya ada dimana ? Di tahi sapi ? Bukan!. Masalahnya bukan di tahi sapi, melainkan di bagaimana pikiran anda melihat -- menganggap -- memaknai -- menafsirkan -- mengartikan tahi sapi itu sebagai apa. Kalau anda mengartikan -- melihat -- tahi sapi itu sebagai penghinaan, OTOMATIS anda merasa marah (perasaan negatif), OTOMATIS anda melakukan tindakan destruktif -- anarkis (nyeret-nyeret tahi sapi dan mendamprat), OTOMATIS hasilnya kerugian -- mudharat. Kalau anda menafsirkan tahi sapi itu sebagai hadiah/anugerah, OTOMATIS perasaan anda positif -- senang, OTOMATIS yang anda lakukan konstruktif (bikin opor ayam), OTOMATIS hasilnya persahabatan. Jadi, biang keladi hasil yang anda dapatkan adalah terletak di pikiran anda sendiri, yaitu bagaimana anda mengARTIkan suatu kejadian. Respon kita bukan berasal dari kejadiannya (stimulus), tetapi dari tafsir kita sendiri terhadap kejadian itu.

Di sini terlihat ada rumus : ARTI menentukan PERASAAN, lalu menentukan TINDAKAN, lalu menentukan HASILnya. What you see is what you feel is what you do is what you get. Kalau program worksheet LOTUS jaman dulu ada istilah WYSWYG .. what you see is what you get.

Sekali lagi ya. PIKIRAN (ARTI) --> PERASAAN --> TINDAKAN --> HASIL

Di sini tampak sebenarnya kita punya KEBEBASAN MEMILIH arti. Kita sendirilah yang membuat diri kita tidak bebas dengan membiarkan kita OTOMATIS terikat untuk memilih suatu arti berdasarkan pengalaman masa lalu, doktrin lingkungan, mitos-mitos, teori-teori lama, dan seterusnya. Kalau ditolak prospek, berARTI gagal. Kalau diputusin cinta berARTI kalah. Padahal kalau ditolak prospek anda dapat banyak ilmu. Kalau anda mengartikan stimulus (kejadian) seperti itu, bagaimana perasaan anda ? .. lalu apa yang akan anda lakukan ? .. dan kira-kira apa hasilnya ?

Kalau diputusin cinta bisa jadi berarti anda diselamatkan. Kalau belum dipromosi jabatan, jangan-jangan berarti anda diselamatkan dan diberi kesempatan memperbesar otot kompetensi, sikap, dan motivasi, biar nanti jabatan jadi anugerah, bukan penderitaan karena anda ditertawakan lingkungan. Kalau duit anda tiba-tiba habis untuk biaya pengobatan, mungkin sekali berarti Tuhan Maha Baik Maha Sayang. Wong Dia tahu anda perlu berobat, anda dikasih dulu duitnya. Bukankah Tuhan melakukan performance appraisal kepada kita berdasarkan personal record dari Malaikat Raqib dan Atid adalah bukan berapa banyak harta yang dikumpulkan ? Tapi dari mana harta tadi dan dipergunakan untuk apa ?. Banyaknya harta tidak menambah aktiva pada neraca pahala-dosa.

Kalau di Islam, ayat pertama dari Al-Qur'an adalah "Iqra, bismirobbikalladzi kholaq". Artinya, "Bacalah ! dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan". Artinya, kalau mau selamat dunia akhirat, waktu kita membaca -- melihat -- mengartikan -- pakai saja sudut pandang Sang Pencipta dunia ini.

Lha kok malah kultum ? .... Wallahu a'lam. Hanya Tuhan yang Maha Tahu dan Maha Benar... ***

Rabu, September 17, 2008

Magang Dulu


Ketika memimpin review implementasi training saya yang sudah saya berikan sebulan lebih yang lalu di sebuah perusahaan sekuritas, salah seorang peserta review bercerita, bahwa ia 'bangkit' dan termotivasi saat membaca buku 'PROVOKASI' yang saya tulis. Sebelumnya ia memang tidak suka membaca. Tapi 'bara api' itu cuma bertahan seminggu. Berbagai kepelikan pekerjaan dia membuat ia kembali 'down'. Suara 'sumbang' dari orang-orang sekitar yang mengatakan ia 'terlalu' cepat naik pangkat, kegagalan-kegagalan dan kesulitan dalam mencapai target 'margin', adalah sebagian dari 'ion-ion negatif', begitu istilah dia.

Saya hampir saja 'berceramah' soal motivasi dari luar versus motivasi dari dalam. Tapi saya urung memberi 'kuliah' itu karena saya kemudian melihat apa yang dialaminya juga terjadi pada orang lain.

Saya bilang, "Membaca buku itu ibarat belajar teori. Meskipun buku PROVOKASI saya sebagian besar merupakan dokumentasi dari 'praktek' yang saya lakukan, tapi buat orang lain yang membaca tetaplah jadi teori sampai ia sendiri mempraktekkannya. Ketika ada keinginan untuk merubah 'nasib' setelah mempelajari 'teori' tadi, maka Tuhan memberikan kesempatan untuk 'magang' dengan cara memberi situasi yang 'pas' untuk kita mempraktekkan apa yang kita pelajari tadi. Ibarat mau jago main golf, setelah baca bukunya, apakah bisa langsung mahir di lapangan ?. Pastinya kita driving dulu lima ribu bola, lalu turun ke lapangan lengkap dengan tantangan dan kesulitan sana-sini. Waktu driving kemungkinan di awal-awal otot dada kita sakit, tangan lecet, merasa malu kalau mukul meleset -- padahal tidak ada yang menertawai. Kalau kita tidak tahan waktu driving ataupun turun ke lapangan pertama kali, ya mana bisa kita jadi jagoan golf ?".

Dari 'kalibrasi' saya, ia mulai 'tersulut'. Saya melanjutkan, "So, you are the right track. Anda sudah berada di jalur yang benar, karena semua orang juga mengalami hal ini. Welcome to the world, dimana tidak ada yang namanya mau mempraktekkan suatu ilmu langsung berhasil dan jago. Kalau kita tidak tahan dengan tahap ini, ya sudah ... kita tidak akan naik ke 'maqom' lebih tinggi. Kita tidak makin besar 'otot'nya. Kalau di wacana agama, ini sejenis dengan ayat yang menyatakan 'tidak dikatakan seseorang beriman sebelum ia diuji'.

Sayup-sayup saya mendengar ada peserta yang berbisik kepada temannya, "tuh, jadi sekarang kita sedang magang ...".

Di dalam mobil on the way pulang dari acara itu, masuk sebuah SMS dari isteri saya di Canberra.

"Haduuuuuh mau bikin presentasi kok males banget yak. Besok ketemu Mas Budy jam 10 :-("

Saya balas :

"Hehehe ... sambil kamu males, bikin presentasi aja ..."

Dia balas lagi :

"Hwa hahahaha ... kamu makin lucu aja ya sekarang" ***

Minggu, September 07, 2008

Anak Tangga Bernama Kesalahan

Pagi itu memang intention saya bisa tampil di televisi terwujud. Tiga tahun lalu, saya pernah tampil di Metro TV bersama James F. Sundah dalam acara Midnight Live dengan komentar seragam dari para teman dan saudara yang menonton : ... kok kamu tegang banget sih ?.

Di lokasi shooting di Gelora Bung Karno saya mengalami 'shock' kecil di awal-awal. Pertama, itu acara live yang dalam 'aturan' saya mustilah perfect. Kedua, saya baru tahu di lokasi kalau saya disandingkan bareng Andrie Wongso, motivator no. 1 di Indonesia. Keberuntungan yang 'menakutkan'. Untunglah saya punya 'modal' sedikit. Pengalaman memberi training ribuan orang, dan beberapa kali on air di stasiun radio membuat saya makin bisa mengelola 'state'. Meskipun akhirnya ketika acara live itu running saya merasa 'mantap' dan in the mood, ternyata tidak luput dari kesalahan-kesalahan.

"Tadi kamu duduknya terlalu santai, jadinya kurang enak dilihat ..", kata kakak ipar saya memberi komentar atas penampilan live saya di TV One tadi pagi. Komentar ini diamini oleh kawan lama saya Titik. SMS dari teman baru saya Ciekciek lain lagi : "pakaiannya kayak mau ujian negara". Kalau ibu saya bilang begini : "kamu kayak sombong ...". Salah sebuah SMS bahkan meminta 'maaf' dulu ketika memberi masukan kepada saya. Padahal, semua kritik tadi saya terima dengan senang.

Waktu pertamakali siaran di radio, di awal-awal tegang. Saya demam corong. Setelah saya putar ulang rekaman siaran tadi, saya sendiri mikir, pendengar tanya apa saya jawabnya kemana .. nggak nyambung. Siaran kedua, sang GM radio tersebut memberi masukan, kalau saya sedang bicara di depan mik, kepala jangan goyang-goyang, tapi tetap manteng di corong itu supaya power-nya 'lurus'. Kalau kepala geleng-geleng, pendengar tidak merasa saya sedang berbicara kepada mereka. Ooo gitu toh ? ... maklum, terbiasa di kelas pelatihan yang full gerak.

Selalu ada kesalahan dan kekurangan di kali pertama. Karena kesalahan itulah, sekarang saya jauh lebih rileks dan lancar kalau berbicara di depan corong radio. Kesalahan pertama rupanya merupakan anak tangga yang harus dipijak agar bisa 'naik' ke tangga berikutnya. Ibarat panggung yang tinggi, untuk bisa berada di atas panggung tadi, menginjak anak tangga pertama adalah suatu keniscayaan. Tidak bisa tidak. Ya bisa sih, kalau punya ilmu meringankan tubuh lalu dari 'daratan' langsung loncat ke atas panggung.

Salah seorang staf saya di awal-awal kepemimpinan saya termasuk orang yang dianggap 'bermasalah' oleh lingkungan kerja. Kalau dia melakukan sesuatu tidak sesuai dengan harapannya -- misalnya salah, atau dikritik orang lain -- dia bisa menangis sejadi-jadinya di sebuah pojok ruang kosong. Sebaliknya, kalau ketika dia memberi training peserta 'kagum', dia amat sangat sumringah sambil re-play lagi komentar-komentar orang yang memujinya. Di awal-awal, yang terjadi hampir setiap hari kesalahan-kesalahan dia. Staf yang satu lagi punya etos kerja yang masih lemah. Orang bilang, dia malas dan ogah-ogahan. Ketika beberapa orang kunci di lembaga saya menyarankan saya tidak memakai mereka lagi karena dianggap tidak 'performed', saya cuma bilang, "Kalau dia kita kembalikan ke perusahaan induk, dan yang satunya lagi kita PHK, lalu siapa yang akan memintarkan mereka ?". Suatu keputusan yang tidak populer dari kacamata bisnis.

Kini, staf saya sudah banyak 'bisanya'. Kalau dikritik orang, dia tidak lagi down berat. Sebaliknya, dia sudah menyadari kalau dipuji, tidak limbung dan tetap waspada. Dia bahkan beberapa kali mendatangkan proyek bagi lembaga yang saya pimpin. Buah dari kesabaran yang panjang didasari keyakinan seseorang akan berubah menjadi baik kalau dia MAU. Staf saya itu, Cut Saraswati, membuktikannya.. Meskipun tetap ada juga kekurangan yang perlu ditambal sana-sini, tapi 'maqom'-nya sudah naik lebih tinggi. Sedangkan staf saya yang satu lagi sudah lama mengundurkan diri karena tidak 'tahan' dengan 'gojlokan' saya. Dia memilih jalannya sendiri.

Dikritik, diberi masukan, dikomentari pedas, ibaratnya adalah rasa sakit ketika kita sedang latihan beban di gym. Tapi rasa sakit itulah yang bikin otot kita jadi besar dan kuat. Tanpa menerima dengan ikhlas rasa sakit itu, kita akan menghindari tindakan-tindakan yang membuat sakit itu, sehingga kita tidak pernah jadi besar. Rupanya cara untuk mengatasi rasa takut menghadapi sesuatu yang baru adalah : jalani saja ...***