Minggu, Oktober 26, 2008

Dibangunin Kuntilanak


Senin pagi saya ada jadwal mengisi acara "Jakarta Pagi" di D Radio 103,4 FM. Saya menutup laptop saya persis jam 00.30. Saya ambil kuda-kuda untuk tidur, sambil memprogram di pikiran saya "Aku bangun jam lima kurang sepuluh". Saya katakan itu dalam hati sebanyak 6 kali sambil membayangkan sebuah jam dengan jarum pendek hampir menunjuk angka 5, jarum panjang di angka 10.

Entah mulai dari mana dan saat apa, tiba-tiba saya berada dalam setting lokasi di tengah hutan. Yang masih saya ingat, saya berada di lokasi itu setelah 'selamat' dari berpapasan dengan seorang 'zombie'. Mobil saya hentikan, dan saya melihat Ibu Miranty Abidin -- pemuka kehumasan Indonesia -- sedang duduk di sebuah bangku bambu. Ia memegang makanan, entah apa itu.

"Lagi ngapain, bu ?", sapa saya.

"Mau pulang ...", jawab bu Miranty tersenyum.

"Kalau begitu saya antar saja, bu ..", kata saya.

Kami berdua berjalan beriringan sambil ngobrol (isi obrolan sudah lupa). Kami memasuki jalan setapak di bawah rerimbunan pohon.

Tiba-tiba bu Miranty bilang, "Eh Pak Prass, saya pulang sendiri saja ke arah itu ...". Tangan bu Miranty menunjuk ke arah pohon-pohon yang rimbun. Saya heran, karena ke arah itu tidak ada jalan setapak.

"Lho, ke situ kan tidak ada jalan, bu ? ... Ibu pulang pakai apa ?", tanya saya heran.

"Terbang .....", kata bu Miranty.

Jantung saya berdegup keras. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Tiba-tiba bu Miranty berubah menjadi Kuntilanak ! .... lalu dengan cepat dia terbang menempel di pohon terdekat sambil tertawa, "hiii hihiii hihiiiii ....". Anehnya, saya sempat melihat kuntilanak itu memakai celana jeans.

Saya gragap terbangun.Suhu badan saya naik. Jantung berdegup dan kaos saya anyep kena keringat. Saya segera mengambil ponsel dan melihat di jamnya. Waktu menunjukkan pukul 04.47, atau 3 menit sebelum program 'alarm' yang saya tancapkan sebelum tidur berbunyi.

Waktu pengalaman ini saya ceritakan kepada isteri saya waktu chatting pada jam istirahat siang, ia bilang, "Hahahaa .. mungkin karena semalem kamu habis bunuh kecoa".

Kemunculan skenario mimpi seperti ini, kemungkinan inputnya macam-macam. Kemarin, sehari sebelum mimpi, isteri saya merekomendasikan facebook bu Miranty Abidin -- tokoh public relations Indonesia -- untuk di add (dan akhirnya memang saya add). Meskipun saya tergolong baru setahun ini bertatap muka dengan Bu Miranty, tapi nama dan reputasinya sudah saya kenal belasan tahun lalu. Bu Miranty juga sempat memberi komentar endorsement di buku perdana saya.

Malam hari sebelum tidur, saya memang berburu kecoa dengan Baygon di rumah saya dan dengan menyesal telah membunuh 58 ekor kecoa. Mimpi ini boleh jadi wujud perasaan bersalah karena melakukan pembunuhan itu (karena belum bisa menguasai 100% phobia saya terhadap kecoa -- meskipun saya sendiri seorang hypnotherapist). Atau kemungkinan lain, arwah-arwah kecoa itu melakukan konspirasi untuk membalas dendam dengan masuk lewat sosok 'zombie' di mimpi saya, hehehe.

Setidaknya, hari ini saya mendapat pengalaman untuk bangun pagi sesuai keinginan saya, dengan cara yang aneh ...***

Sabtu, Oktober 25, 2008

Hargai yang sudah 'hadir'


Di rapat dosen yang berlangsung, Pak Bambang Hermanto -- saat itu Sekretaris Program MM -- meminta para dosen agar memulai pelajarannya tepat waktu. Rupanya masih ada juga dosen yang memulai perkuliahannya molor.

Etos belajar-mengajar di MM-UI memang tinggi. Dosen yang evaluasi akhir pelajarannya mendapat ponten rendah dari mahasiswa, bisa-bisa catur wulan depan tidak mendapat penugasan lagi. Sebaliknya, kalau mahasiswa ada yang ketahuan nyontek, ngebet, dan segala bentuk cheating, niscaya namanya akan terpampang di papan pengumuman dan seluruh mata kuliah yang diambil pada cawu itu dinyatakan diskualifikasi. Itu dari sanksi formal. Belum dari sanksi informal. Waktu saya masih jadi mahasiswa di MM-UI, ada teman perantauan yang ketahuan bawa contekan waktu ujian. Sejak itu cawu berikutnya sampai lulus, dia dijauhi teman-teman. Kasihan memang, tapi salahnya sendiri.

Salah seorang dosen kemudian berargumen, "Bagaimana saya bisa memulai kuliah, kalau begitu saya datang tepat waktu mahasiswanya baru sedikit ?".

Saya yang tadinya ingin diam saja, tidak tahan juga untuk angkat bicara, "Saya hanya ingin sharing pengalaman yang saya lakukan, jadi Insya Allah ini bukan teori. Saya kalau mulai kuliah selalu tepat waktu, dan langsung mengabsen mahasiswa, biarpun hanya ada sedikit mahasiswa. Pengalaman saya, biasanya hanya satu-dua kali banyak yang terlambat, setelah itu minggu-minggu berikutnya mahasiswa sudah banyak sejak jam masuk kujliah. Pengalaman saya, tepat waktu atau tidaknya lebih ditentukan oleh dosennya".

Bukan cuma di MM-UI, dalam memberi training pun, kalau waktunya coffee break telah usai, saat masih banyak yang merokok di luar kelas, saya ambil mic dan berbicara kepada peserta training yang telah ada di tempat duduknya masing-masing, "Nah, bapak-bapak dan ibu-ibu ... untuk menghargai bapak dan ibu yang sudah tepat waktu masuk kelas lagi, maka saya akan mulai lanjutkan pelatihan kita. Jangan sampai Bapak dan Ibu yang sudah tepat waktu ini dikorbankan oleh mereka yang tidak tepat waktu ..."

Biasanya, pada rehat berikutnya, saatnya waktu masuk kelas tiba, peserta jauh lebih banyak yang sudah ada di dalam ruangan ...

Membangun kebiasaan itu awalnya memang tidak mudah. Ibarat mendorong mobil mogok, diperlukan energi besar di awal-awal. Tapi setelah mobil mulai bergerak sedikit, dan tetap konsisen mendorong, akhirnya mobil itu mulai berjalan, dan kalau sudah ketemu momentumnya, dengan satu tanganpun mobil itu bergerak.

Bagaimana dengan memulai rapat ?. Untuk melatih anggota organisasi memulai rapat tepat waktu, biasanya saya memulai rapat tepat waktu. Lalu ada absensi peserta rapat yang ada kolom 'jam kehadiran' yang harus diisi oleh peserta rapat. Satu-satunya anggota organisasi saya yang selalu datang sebelum jam rapat dimulai, adalah Pak Mustafa Dangkua. Beliau adalah mantan perwira polisi yang berpuluh-tahun berada di dunia pendidikan. Dalam soal disiplin, beliau adalah uswatun hasanah -- teladan yang baik.

Nah, kalau ada peserta rapat datang terlambat menanyakan atau mengulangi topik yang telah disinggung saat dia belum hadir, itulah saat-saat 'menyenangkan' buat saya untuk 'ngerjain' dia....***

Kamis, Oktober 23, 2008

Diprovokasi Sama Kambing (2 - habis ahh)


Gara-gara saya menulis 'tanda-tanda gangguan pikiran berlanjut' di tulisan sebelumnya (Diprovokasi sama Kambing), gangguan pikiran itu benar-benar berlanjut terus. Barangkali ini gara-gara Pak Wandi tidak memberi jawaban apapun atas jawaban saya sebelumnya. Ia hanya terkekeh. Entah mengapa efek domino yang ditimbulkan oleh provokasi Pak Wandi benar-benar luar biasa. Mungkin saya masih penasaran apa sih jawaban yang ada di peta pikiran Pak Wandi.

Ternyata bukan hanya saya yang terganggu, sahabat saya Dedi -- gitaris NAFF, juga terganggu. Buktinya dia juga memberi komentar di tulisan pertama tersebut. Kata Dedi, untung Ismail dan Ishak sama-sama selamat. Kalau tidak, kita sebagai anak cowok sudah disembelih sama bapak kita. Makanya mendingan kambing saja yang disembelih.

Saya langsung tersengat dengan komentar ini. Bagaimana tidak , berbulan-bulan pikiran itu tidak pernah nyangkut di pikiran saya. Brilian !!! ...

Merasa mendapat jawaban yang top, saya langsung meng-sms Pak Wandi dengan perasaan bangga layaknya seorang yang baru pulang mendapatkan harta karun tersembunyi. "Pak .. saya nemu jawaban lagi soal kambing ..", bunyi SMS saya. Saya lalu melanjutkan isi SMS dengan jawaban ala Dedi.

Yang ditunggu-tunggu tiba. Jawaban Pak Wandi : "Ha ha ha gak nyambung. Yang jelas Allah sebenarnya nggak serius, wong Dia juga dah tahu semuanya".

Kali ini saya tersengat lagi. Tapi kali ini bukan tersengat raket anti nyamuk, saya tersengat SUTET !!! .. Maksudnya Pak Wandi, Allah 'tidak serius' memberi perintah kepada Ibrahim untuk menyembelih Ismail (atau Ishaq menurut umat Kristiani), dan Allah juga tahu Ibrahim akan melaksanakan perintahNya, dan Allah toh akhirnya akan menukar Ismail (atau Ishaq) dengan kambing kibas juga.

Jawaban Pak Wandi ini (dan juga tafsir kemungkinan yang saya kembangkan sendiri) beberapa bulan ini tidak pernah nongol di pikiran saya, padahal jawaban itu simpel dan 'dekat'. Pikiran Pak Wandi itu bukannya tidak pernah bersemayam di pikiran saya, buktinya saya langsung merasa 'akrab' dengan jawaban itu, melainkan saya yang pakai 'lampu sorot' untuk memilih sosok -sosok pikiran yang 'muda' dan 'kinclong', sampai mengabaikan sosok pikiran yang 'tua'. Ahhh .. kalimat ini saja tandanya saya njelimet. Singkat kata : tidak kepikiran alias lupa!.

Cukup ... cukup Pak Wandi ... Tapi rasanya tidak bisa cukup ... saya telanjur berpikir, lalu kalau Allah sudah tahu ujung-ujungnya akan 'mengorbankan' kambing, lalu buat apa Allah 'melalui jalan' menguji Ibrahim ? Atau dalam bungkus bahasa Pak Wandi 'tidak serius' ? Atau kalaumau pakai istilah provokatif ala saya, buat apa Allah 'ngerjain' Ibrahim ?

Karena provokasi berikutnya ini tidak lagi soal kambing, Pak Wandi ... anda harus ikut bertanggungjawab. ***

Selasa, Oktober 21, 2008

Syukuri yang 'hadir', bukan merisaukan yang 'tidak hadir'


Kalau sebelumnya saya menulis kisah Pak Husni, seorang pemandu wisata yang terus saja bercerita menghibur penumpang bus meskipun hanya sepasang mata yang memandangnya, kali ini saya disuruh membuktikannya sendiri.

Di perjalanan menuju Bandung, Nong -- 'manajer' saya -- menerima telepon yang isinya meminta kesediaan saya untuk melanjutkan talkshow pada acara yang digelar oleh manajemen Bandung Super Mal (BSM). Kalau jam 4 sore saya ngomong di toko buku Gramedia BSM, jam 7 malam dijadwalkan manggung di foodcourt. Ya, foodcourt!. Karena awalnya di pikiran saya cuma menimbang sekalian jalan, dan setelah diperhitungkan paling-paling jam delapan sudah bisa kembali ke Jakarta, saya mengiyakan.

Talkshow di toko buku belum pernah saya alami sebelumnya. Di TB Gramedia BSM Bandung itu, saya disiapkan standing banner di depan toko yang mempromosikan acara itu, lalu voice over propaganda kepada para pengunjung pemberitahuan adanya talkshow, backdrop dari digital printing dan standing banner, dengan meja kecil dan LCD projector. Ada sekitar 10 kursi disediakan untuk pengunjung. Ketika waktunya tiba, saya yang awalnya sedikit bingung mau mulai dari mana, akhirnya nyerocos dengan lancar juga. Bagaimana tidak bingung, inilah kali pertama saya bicara dikelilingi oleh orang-orang yang sebagian besar asyik melakukan kegiatannya sendiri melihat-lihat dan memilih buku. Dengan kata lain, dicuekin sebagian orang.

Singkat cerita, setelah 'sukses' memprovokasi TB Gramedia (ini kata teman-teman saya lho) karena saya berfokus dan bersyukur kepada mereka yang duduk di hadapan saya dan berdiri mengelilingi saya, daripada mengkhawatirkan mereka yang mencueki saya, maka saya beristirahat sejenak di samping tumpukan dus buku. Sambil minum teh kotak, saya tanya kepada Nong yang sudah survey tempat di foodcourt.

"Nong, tempatnya ada kursi khusus kayak di toko buku ini atau benar-benar audience duduk di tempat masing-masing sambil makan ?", tanya saya.

"Di tempat masing-masing sambil makan", jawab Nong.

Eng ing eng ... wajah saya langsung serius. Saya sedang mempersiapkan mental yang lebih teguh lagi.

Benar saja. Begitu datang, saya menemukan stage-nya kecil di antara meja kursi makan seperti biasa. Sound system kurang power dan hanya satu speaker, bukan dipasang mengelilingi ruangan. Saya langsung menurunkan harapan saya atas reaksi audience. Ketika announcer atau host acara itu memulai pengantarnya, saya perhatikan seluruh audience asyik dengan makanan masing-masing atau asyik ngobrol dengan pasangan atau teman-temannya. Ketika mic berada di tangan saya, saya membayangkan seolah-olah seluruh audience memperhatikan saya. Saya gunakan juga kalimat-kalimat pacing-leading, seperti, "Sambil anda menyantap makanan anda dan menghirup minuman anda, anda dapat mendengarkan saya menyampaikan ... bla bla bla ...", sekedar untuk meningkatkan 'sedikit' sugesti.

Alhasil, memang ada beberapa orang yang sewaktu-waktu melemparkan perhatian kepada saya, tapi mereka kemudian meneruskan kegiatan pribadinya itu. Sayapun, sesekali mempersilakan mereka sambil makan. Yang mengejutkan, awalnya saya tidak berharap ada yang merespon ocehan saya di sessi tanya-jawab, tau-tau ada juga yang mengacungkan tangan. Bapak ini kemudian berkata melalui mic, "Saya baru kali ini menemukan ada orang ceramah jualan buku di depan orang yang sedang makan di foodcourt ..... ".

Menanggapi statement Bapak ini, saya kemudian menjelaskan, "Kalau dihitung dengan kalkulasi matematis manusia, mungkin saya dibilang gila, kok mau-maunya ngomong sendirian dicuekin sama banyak orang. Tapi saya sedang menjalankan tugas (dari manajemen BSM). Niatnya adalah membagi ilmu, dan kalkulasinya esoteris. Saya tidak menyerahkan kuasa kepada perilaku para pengunjung foodcourt ini untuk menentukan semangat dan performance saya untuk tetap membagi ilmu ini, meskipun hanya satu orang yang memperhatikan. Tugas saya bicara, dan saya sedang menjalankan tugas saya dengan sebaik-baiknya." Bapak itupun tersenyum mengangguk-angguk.

Ketika sessi saya berakhir dan saya berpamitan pulang, Nong bergumam,"Good job ...!".***

Rabu, Oktober 15, 2008

Dedikasi Seorang Guru (1)


Bermula dari brosur penawaran clinical hypnotherapy workshop, saya mengenal dr. Arya Hasanuddin, SH, SpKJ. Ia adalah ketua Indonesian Society of Hypnosis. Awalnya saya penasaran mengapa workshop hypnotherapy I sehari biayanya cukup tinggi. Setelah dijelaskan, rupanya biaya itu adalah untuk pembimbingan dr. Arya selama dua tahun. Dr. Arya menjelaskan, ia terpaksa 'turun gunung' untuk melatih hypnotherapy kepada non-dokter dan psikiater karena ia prihatin maraknya penawaran workshop hypnotherapy yang "sehari langsung jadi". Ia lalu menayangkan iklan hypnotherapy yang sering dimuat di Kompas yang menampilkan pula instrukturnya berpakaian hitam. Kata dr. Arya, iklan inilah yang membuatnya geram.

Terapi hipnosis ini menyangkut pikiran dan jiwa manusia, jadi kalau ditangani secara serampangan, bisa fatal akibatnya. Ia menemukan seorang 'bekas' pasien hypnotherapy yang akhirnya malah harus ditangani secara psikiatri karena mendapat hypnotherapy yang menurut dr. Arya salah blas. Hypnotherapy haruslah memenuhi kaidah-kaidah sebuah terapi klinis, dimana perlu dilakukan assessment dan diagnosis mendalam terhadap masalah, lalu teknik terapi yang sesuai, dan treatment pasca terapi. Hypnotherapist juga harus menguasai tentang otak dan fungsinya, serta tipe-tipe kepribadian dan ciri-cirinya. Setelah hypnotherapist melakukan assessment dan diagnosis, maka baru dilakukan proses terapi yang disesuaikan dengan kasus/masalah dan tipe kepribadian klien. Jadi, hypnotherapy tidak bisa diajarkan hanya sehari lalu dilepas. Itulah sebabnya, dr. Arya akan membimbing peserta workshop ini selama dua tahun.

Saya termasuk orang yang beruntung mendapat bimbingan dr. Arya. Menurut beliau, dari belasan 'murid', hanya saya yang 'jadi'. Katanya saya punya bakat dan kemampuan yang baik. Bahkan, beliau sempat 'menurunkan' kepada saya sebuah teknik khusus yang beliau berpesan 'jangan dikasih tau orang lain, itu hanya untuk kita'. Kalau dipandang dari sudut bisnis, jangan-jangan ibarat CocaCola, itu adalah rahasia 'sirup' yang menjadi inti produk minuman berkarbonat itu. Tapi saya menafsirkan jangan sampai teknik itu jatuh kepada orang yang salah. Setelah teknik itu saya terapkan kepada dua orang klien, ternyata memang 'ampuh'.

Bersama dr. Arya pulalah, saya mengetahui bahwa banyak mitos, klenik dan praktek perdukunan yang hanya 'tipu daya'. Urusan dukun adalah urusan sugesti. Banyak dukun pakai ilmu sulap. Bahkan di Kompas sempat diulas bagaimana teknik memasukkan jarum ke dalam telur. Tidak ada yang namanya kesurupan itu roh jahat masuk, karena yang terjadi adalah fenomena traditional hypnosis yang terang secara ilmiah. Masih banyak tabir yang dibuka oleh dr. Arya yang ujung-ujungnya memintarkan masyarakat.

Maka, ketika membuka harian Kompas yang memberitakan dr. Arya tewas bersama sopirnya di sebuah hotel di Semarang, saya kaget bukan kepalang. Innalillaahi wa inna ilaihi rojiun. Saya ingat, konsultasi terakhir saya adalah ketika saya bertanya bagaimana mengatasi problem Kyla -- puteri Ira Maya Sopha -- yang ketakutan dihantui 'suatu bayangan' di rumahnya. Pertemuan terakhir dengan beliau adalah pertemuan tidak sengaja di bandara Soekarno Hatta sebulan sebelum berita Kompas itu muncul. Waktu itu saya dan isteri mau ke Semarang, beliau juga, tapi lain flight. Itulah kali pertama dan terakhir isteri saya bertemu dengan dr. Arya.

Cerita latar terbunuhnya dr. Arya macam-macam. Ada yang bilang urusan bisnis, urusan klenik, urusan politik (beliau adalah anggota tim pemeriksa kejiwaan caleg di Semarang). Latar belakang itu kemudian mengerucut kepada satu berita : dr. Arya minta didatangkan jin oleh dua orang 'ahli'. Kalau berhasil orang itu akan dibayar 40 juta. (lihat "Dedikasi Seorang Guru 2"). Sebagian orang bingung, kok dr. Arya yang sangat ilmiah dan rasional itu main-main soal klenik ?. Ada teman yang bilang, jangan percaya pada pengakuan pembunuh. Ada juga teman saya Pak Widyarso yang 'membuka' kemungkinan memang dr. Arya bertransaksi jin. Saya katakan, saya membuka celah untuk semua kemungkinan, termasuk split personality yang dilemparkan skenarionya oleh Pak Wid.

Tapi semua itu masih map, belum reality. Selama reality-nya belum terungkap, karena saya tahu konteks yang dibuat beliau (setidaknya kepada saya), maka lebih bermanfaat jika saya memilih pemahaman : Itulah dedikasi dr. Arya sehingga ia ingin mengeksplorasi lebih dalam soal klenik dan membuktikan bahwa 'ahli' mendatangkan jin itu cuma tipu daya saja meski usaha beliau ini harus dibayar dengan nyawanya sendiri...***

Dedikasi Seorang Guru (2)

http://health.groups.yahoo.com/ group/pdskji_sub/message/137

SEMARANG- Setelah mengejar secara intensif, tewasnya dokter Arya Hasanuddin (44) dan sopirnya, Sudarto (27), dapat diungkap petugas gabungan Resmob Polwiltabes Semarang dan Polresta Semarang Selatan. Dua orang tersangka ditangkap di dua tempat terpisah.

Keduanya adalah Srigogo Anggoro (41), warga Kampung Cerewet, Kelurahan Duren Jaya, Bekasi Timur, dan Achmad Sukandar (47). Warga Wisma Jaya Jalan Kusuma Selatan Aren Jaya, RT 8 RW 3, Bekasi Timur.

Tersangka Anggoro terpaksa ditembak kaki kirinya karena berusaha kabur dalam sebuah penggerebekan yang dipimpin Kanit Resmob Polwiltabes Semarang AKP Yahya R Lihu, di rumahnya, Kamis (4/9) sekitar pukul 03.30.

Penangkapan tersangka utama yang merencanakan dan membunuh psikiater kondang dan sopirnya itu, setelah polisi membekuk Achmad Sukandar.

Sukandar dibekuk petugas yang terdiri atas dua tim yakni Aiptu Janadi, Bripka Sugeng, Briptu Andik, Iptu Hengki, Aiptu Suherman, Bripka Hariyanto, dan Briptu Dwi Yudi, di Tasikmalaya, Jawa Barat, Rabu (3/9) sekitar pukul 23.30.

Keduanya lantas dibawa ke Semarang untuk menjalani pemeriksaan. Mereka tiba di Mapolwiltabes Semarang sekitar pukul 21.00. Kepada polisi, Sukandar dan Anggoro menuturkan, pembunuhan itu lantaran keduanya ingin menguasai harta korban.

Kejadian itu berlangsung di kamar 902 Hotel sAlam Indah Semarang. Kali pertama, pelaku menghabisi Sudarto dengan cara menjerat leher dengan kawat. Selanjutnya, pelaku membekap dokter Arya dengan bantal hingga korban kehabisan napas.

Sebelum melakukan aksi tersebut, pelaku memberikan minuman kopi yang telah dicampur dengan obat antimabuk. Sebanyak 20 butir obat antimabuk di masukan ke dalam minuman tersebut.

”Dari hasil pemeriksaan sementara, tersangka mengaku telah mengambil barang-barang milik korban dengan cara kekerasan. Tindak kejahatan itu dilatarbelakangi masalah ekonomi,” ungkap Kasat Reskrim Polwiltabes Semarang AKBP Agus Rohmat SIK SH MHum didampingi Kapolresta Semarang Selatan AKBP Drs Guruh Ahmad Fadiyanto MH saat menggelar pengungkapan kasus tersebut, Kamis (4/9).

Membagi Hasil

Uang sebanyak Rp 60 juta, sebuah cincin emas, dua ponsel, sebuah handycam, pulpen, dan tas milik korban disikat tersangka. Keduanya membagi hasil kejahatan itu. Sukandar mendapatkan bagian Rp 37 juta, handycam, pulpen, dan tas. Sedangkan Anggoro memperoleh Rp 23 juta, dua cincin emas, dan dua ponsel.

Hasil kejahatan itu, oleh Anggoro dibelikan sebuah mobil Daihatsu Feroza B-1166-ZQ, yang kini disita polisi sebagai barang bukti.
Dituturkan oleh Agus Rohmat, tersangka menjanjikan dapat mendatangkan jin dalam sebuah transaksi ritual di Hotel Alam Indah.

”Dokter Arya meminta bantuan tersangka untuk memanggil jin. Untuk transaksi ritual tersebut, tersangka meminta bayaran Rp 70 juta. Namun korban menawar dan disepakati menjadi Rp 40 juta. Pada saat peristiwa pembunuhan itu, korban membawa uang Rp 60 juta.''

Setelah terjadi kesepakatan, mereka lantas bertemu pada 30 Agustus. Kedua tersangka meluncur ke Semarang dari Bekasi. Setelah berpindah penginapan karena gagal melakukan ritual memanggil jin, mereka pindah ke Hotel Alam Indah.

Di situlah korban dibunuh dengan cara diberi minuman yang dicampur obat antimabuk dan dibekap hingga tewas. ”Saya jengkel karena dia (Arya-red) menghina dan akan menginjak-injak saya kalau tidak bisa mendatangkan jin. Bahkan dia mengancam akan memotong alat kelamin saya,” ujar Anggoro. (H21,H40, H23-60)

Senin, Oktober 13, 2008

Diprovokasi Sama Kambing


Pak Wandi S. Brata, Pimpinan Gramedia Pustaka Utama tempat buku saya diterbitkan, memang grand-masternya provokasi pikiran. Bagaimana tidak, sampai sekarang saya masih saja memikirkan 'tantangan' dari Pak Wandi berupa sebuah pertanyaan yang meskipun Pak Wandi saya kira tidak menunggu jawaban saya, tapi saya perlu mencari jawabannya untuk saya sendiri.

Pak Wandi mendatangi kehidupan saya dengan menumpang hukum daya tarik -- the law of attraction -- yang menurut penyumbang definisi hukum ini dirumuskan sebagai 'like attract like' -- bahwa sesuatu itu akan menarik sesuatu yang serupa dengannya. Gara-gara intention saya untuk bisa menerbitkan buku di Gramedia (itupun diprovokasi oleh Andrias Harefa juga), saya dipertemukan atas inisiatif Bang Andri kepada Pak Wandi. Pak Wandi-lah yang memutuskan buku ini terbit hanya dalam 2 (dua) jam. Jadi dimana 'like attract like'-nya ?

Pertama, Pak Wandi dan saya punya nama belakang yang sama, yaitu Brata. Kalau ada orang yang baca perjanjian penerbitan buku antara saya dengan Gramedia, di halaman terakhir ditandatangani oleh Wandi S. Brata dan Prasetya M. Brata, sehingga bisa-bisa orang menuduh Pak Wandi mengikat kontrak dengan 'sedulur'-nya sendiri. Kedua, saya menyukai filsafat, Pak Wandi pendidikan masternya filsafat. Ketiga, Pak Wandi juga menerbitkan buku yang bangunan, gaya, dan isinya mirip buku saya, tapi bukunya jauh lebih dalam. Ibarat kata, konsep bangunan saya minimalis, Pak Wandi aristokrat, tapi bentuk bangunan dan kandungan perabotnya mirip.

What a small world ..., begitu yang sering diucapkan isteri saya kalau bertemu dengan kenalan baru yang kenal dengan orang dekatnya. Begitu juga ketika saya ngobrol dengan sahabat lama saya Fransiscus Herbayu, dia kenal baik dengan Pak Wandi. Ternyata Pak Wandi adalah pamongnya waktu sekolah di sekolah kepasturan. Belakangan, Bayu dan Pak Wandi check-out dari dunia kepasturan dan sekarang menjadi 'orang biasa'.

Lalu provokasinya bagaimana ?. Begini, menurut Riri Artakusuma, penyiar Radio Smart 95.9 FM, ada dua kapsul saya yang menjadi favorit smart listeners. Judulnya "Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa" dan "Ismail dan Ishaq".

Ceritanya, Pak Wandi pas mendengar kapsul "Ismail dan Ishaq". Di Islam yang akan disembelih oleh Nabi Ibrahim adalah Ismail. Di Kristen yang akan disembelih oleh Ibrahim adalah Ishaq. Ketika ditanyakan kepada Gus Dur mana yang benar, Gus Dur menjawab, "Gitu aja kok repot, yang penting dua-duanya selamat". Selesai mendengar kapsul ini, Pak Wandi lalu meng-SMS saya. Ia bilang baru saja mendengar kapsul saya di radio. Lalu ia mengirimkan SMS lanjutan, "Coba berpikir ke tingkat yang lebih tinggi lagi, gara-gara Ismail dan Ishaq selamat, sekarang kambing dan keturunannya jadi korban".

SMS ini menghantui saya selama dua bulanan ini. Pada kesempatan bersilaturahmi ke rumah Prof. Jalaluddin Rakhmat di bilangan Jeruk Purut, saya lalu minta 'bocoran' jawaban kepada Kang Jalal. Kang Jalal terkekeh dan menjawab, "Kambing yang dipelihara itu nasibnya hampir semua berakhir dengan disembelih. Nah, lebih baik disembelih untuk qurban daripada untuk yang lain ...".

Sewaktu saya menelpon Pak Wandi untuk memberi jawaban ini (tentu saja Pak Wandi tidak menyangka saya masih mengalami 'gangguan pikiran' akibat pertanyaannya), Pak Wandi cuma ketawa tulus. Ia tidak membenarkan apapun, sehingga saya juga tidak tahu apakah jawaban ini sama dengan jawaban yang telah ada di perpustakaan wisdom Pak Wandi ... Mendingan saya bertanya langsung saja kepada kambing, apakah ia ikhlas atau tidak jadi korban. Ini juga sudah tanda-tanda saya mengalami gangguan pikiran berlanjut .. ***