Minggu, November 06, 2011

Siapa Sesungguhnya Penguasa Pikiran ?


Masih soal berlatih mendengar suara hati, yang kadang berhasil, kadang gagal. Saat membuka mata di pagi hari tanggal 5 November 2011, selesai menunaikan kebutuhan berkomunikasi dengan Tuhan, saya mengingat-ingat apakah hari itu ada 'acara keluar'. Saya segera membuka agenda elektronik yang menyatu di BB saya, dan memeriksa tumpukan surat undangan. Seorang alumni sekolah tinggi dimana saya pernah menjadi ketua yayasan menikah pada hari itu.

Undangan itu sudah ada beberapa hari lalu di tumpukan itu disertai dengan rasa senang karena masih 'diingat' oleh seseorang yang bahkan tidak sering bersapa saat di kampus. Hari itu saya punya rencana seharian 'ngutak-atik' materi pelatihan publik yang akan saya fasilitasi minggu depan. Saya juga sudah lebih dari tiga minggu tidak berkencan dengan ibu mertua saya.  

Pagi itu saya mencoba mendengar apa saran suara hati. Pagi bikin materi, sore ke rumah mertua, malam ke kondangan, itu suara yang muncul. Singkat cerita, kemalasan yang bersarang di subconscious-mind membajak hidup saya hari itu. Pembenarannya itu hari Sabtu. Saya baru mulai membuat materi pelatihan menjelang Ashar setelah mandi 'pagi' jam setengah dua siang. Itu juga karena terbangun dari tidur lagi. Rasa 'tanggung' -- persisnya rasa malas berhenti dan memulai lagi -- menyebabkan saya mengorbankan rencana untuk pergi ke rumah ibu mertua saya. Pembenarannya, besok 'kan Idul Adha, jadi sekalian berlebaran haji ke ibu mertua. Toh, cuma beda sehari. Tidak apa-apa 'kan.  

Angka jam di sudut laptop menunjukkan menjelang jam 6 sore. Adzan maghrib baru saja berlalu. Takbir di mesjid mulai terdengar sayup-sayup. Rasa tanggung -- persisnya rasa malas berhenti -- masih memborgol. Isteri saya lewat BBM-nya sudah bertanya apakah saya jadi pergi atau tidak. Pertanyaan itu membuat saya berhenti sejenak dari aktivitas saya, dan kembali hening untuk mendengar suara hati. Suara hati tetap konsisten : datang ke kondangan.

Saya masih membutuhkan waktu sekitar 10 menit bertengkar dengan sub-conscious mind saya yang memprovokasi diri saya merasakan kondisi tubuh. Saya saat itu juga merasa 'kurang enak badan'. Saya juga diminta membuka denah lokasi gedung dan menemukan tempatnya cukup jauh dari rumah saya, yaitu Cililitan. Alasan lain, toh saya dapat memakai 'rasa' yang saya ciptakan itu untuk menjadi pembenaran ketidakhadiran saya di kondangan. Saya dapat mem-BBM, atau meninggalkan pesan di inbox FB yang meminta permakluman saya tidak hadir, sambil basa-basi memberi restu untuknya.

Saya sudah banyak kalah hari itu dengan pembenaran, masak saya kalah total hari itu? Kali ini suara hati saya harus menang !. Saya terima seluruh rasa 'tidak enak badan' itu, saya rangkul si rasa malas, dan saya ucapkan terimakasih kepada mereka sudah membuat saya nyaman beristirahat di rumah, lantas saya ajak mereka mendukung saya menjalankan misi hidup dengan cara memenuhi undangan perkawinan.  Menjalani misi hidup memang tidak enak. Saya terima tidak enaknya, lalu saya mulai menggunakan pikiran dengan membuka peta di Ipad. Dari peta itu, saya mulai menemukan jalan tercepat menuju Cililitan, yang tadinya tidak terpikir.  

Hanya dalam hitungan 45 menit, saya sudah sampai ke lokasi dari rumah saya di bilangan Ciputat.  Di sana, saya gembira menyambut dan disambut teman-teman alumni dan mahasiswa yang saya kenal. Kejutan terjadi saat mengantri salaman, tiba-tiba seorang panitia menyetop antrian di belakang saya, dan menyilakan saya untuk nanti berfoto bersama mempelai dan digiring ke tempat VIP makan. Yang bikin saya kaget saat itu bukan 'perlakuan khusus'-nya karena menjadi tamu VIP bukan kali yang pertama buat saya, namun saya tidak menyangka karena saya sudah 'mantan' ketua yayasan. Ternyata saya bukan undangan biasa. 

Sesaat sebelum blitz kamera menyala, Agnes, sang mempelai wanita kembali berbisik mengucapkan terimakasih banyak saya telah hadir.  Saya tidak tahu apa arti diri saya untuk Agnes, tapi wajah dan nada suaranya menyiratkan kebahagiaan. Justru  kata-kata Agnes ini yang seketika itu membuat saya merinding sekaligus bersyukur karena dapat membuat wajah Agnes tersenyum. 

Di mobil menjelang saya meninggalkan gedung resepsi, saya sempatkan melapor kepada isteri saya, hari ini saya bahagia karena telah berhasil memenuhi harapan seseorang.  Isteri saya berkomentar melalui BBM : "Pantes hati nuranimu menyuruhmu pergi :-)". ***

Sabtu, November 05, 2011

Masih Tidak Mau Bertanggungjawab ?


Akhir-akhir ini saya belajar lebih sering mendengar suara hati untuk mulai lebih hidup dalam kebenaran daripada pembenaran. Namanya juga belajar, kadang berhasil, kadang gagal. Inipun sebenarnya sebuah pembenaran melalui permintaan permakluman atas nama 'belajar'. 

Suatu Jumat, saya duduk terkantuk-kantuk di antara ratusan jemaah khotbah Jumat. Saya tidak ingat apa-apa, hingga tersadar sudah doa khutbah kedua. Kalau saja malaikat melakukan UAK (Ujian Akhir Khutbah) terhadap saya, pasti ponten saya nol besar, karena tak satupun apa yang dibicarakan oleh khotibnyangkut di memori saya. Kalau pakai teori asal-asalan gelombang otak, maka tadi itu saya dalam keadaan trance dan masuk gelombang theta. Konon, itu saat paling baik diberi sugesti. Masalahnya, ada satu syarat sugesti itu tertanam langsung ke bawah sadar : fokus. Dan fokus saya saat itu sama sekali bukan ke khotbah.

Saya merekayasa sebuah perbincangan introspektif di bioskop mental saya. Saya mulai dengan melihat sang Khotib. Saya mulai menyadari bahwa Sang Khotib menggunakan intonasi monoton, irama standar, dan gaya yang sama dengan 'template' khotbah jumat kebanyakan. Isinya ? Ya saya tidak tahu. Wong dari mulai melantunkan kalimat pembuka khotbah saja sudah tidak menarik perhatian dan pendengaran saya. 

"Khotib model begini mana bisa kasih pengaruh ke umat dengan khotbahnya. Irama hipnotiknya bikin gue ngantuk !", begitu sesosok ego state yang bernama si penyalah muncul dalam bioskop mental diri saya.  Di drama mental itu, saya sedang menghardik sang Khotib, "Hei Pak Khotib, mengapa cara khotbah ente bikin sebagian besar jemaah tertidur ?".  Sang Khotib-pun menjawab, "Karena mereka kurang beriman dan setan telah meniup mata mereka sehingga mereka mengantuk !". Saya balas dengan hardikan yang lebih keras, "Oh Tidak !!! ... itu cuma pembelaan ente ! Itu cuma pembenaran. Kebenarannya, ente kurang terampil menyampaikan khotbah yang menarik !". Sang Khotib-pun terdiam.  Wajahnya galau.

Sesosok ego state yang bernama si Sombong lantas mengambil alih pembicaraan. Ia menarik sebuah kisah pengalaman saya dari lemari memori. Nih, saya dulu pernah dimarahi oleh seorang jema'ah sholat Jumat ketika memberi khotbah hingga 50 menit lamanya. Tapi saya dibela oleh jemaah lain yang menyatakan khotbah saya bagus dan menarik.  Saya tidak tahu, dalam hitungan sepersekian detik, sebuah tangan imajiner melayang menampar pipi saya. "PLAKKK!!". Saya terkejut. Tangan yang saya duga berasal dari suara hati itu kemudian berkata, "Bodoh kamu !. Itu bukan prestasi !. Itu kebodohan. Kamu tidak sadar lingkungan waktu itu. Itu kan mesjid perkantoran. Jangan samakan dengan forum training ! ... Goblok kok sombong !!!".

Dalam keadaan 'keliyengan' tertampar tangan imajiner, muncul sesosok ego state Sang Evaluator Diri. "Hai Prass !! ... mengapa kamu bersama sebagian besar jemaah lain tertidur saat Khotib sedang memberi khotbah ??".  Merasa memiliki pengalaman menghardik Sang Khotib tadi,  saya lalu menjawab, "Cara khotib berkhotbah tidak menarik, monoton, klise, sehingga membuat kami mengantuk !"....

"PLAKKK!!!", kembali tangan imajiner mendarat di pipi saya. "Itu pembenaran !!! ... Kebenarannya, kamu  tidak benar-benar berniat mendengarkan khotbah, dan kamu memutuskan untuk membiarkan matamu mengantuk ! ... Masih mau nggak bertanggungjawab ???!!!.

Kali ini saya terdiam. Galau. *** 

Selasa, November 01, 2011

Dimulai Dari Arti


Anda mungkin sudah pernah mendengar cerita klasik mengenai tiga orang tukang batu yang sedang membangun sebuah kuil. Sebut saja nama mereka si Kumis, si Gondrong, dan si Botak. Ketiga orang ini sama-sama sedang menyusun bata-bata menjadi dinding sebuah bangunan. Bedanya, wajah si Kumis tanpa senyum dan sesekali mengeluh jika menemui kesulitan. Dengan mood yang tidak stabil itu, akibatnya pekerjaannya asal-asalan. Wajah si Gondrong juga hampir tanpa senyum, namun ia diam saja. Wajah si Botak lebih ceria dan sesekali bersenandung. Si Botak lebih cepat bekeja dan hasilnya lebih banyak dibandingkan kedua rekannya.

Saat sore menjelang, Sang Mandor memanggil mereka untuk diberikan upah. Si Mandor yang ternyata memperhatikan mereka sejak pagi lantas bertanya kepada mereka satu persatu.

“Hai Kumis, mengapa seharian ini wajahmu kucel dan mengeluh saja ?”, Tanya si Mandor.

“Apa pedulimu ? Aku kerja untuk mendapat upah. Yang penting bata-bata itu sudah tersusun jadi dinding dan aku dibayar”, jawab si Kumis.

“Hai Gondrong, kamu juga jarang senyum dan diam saja, “ ujar si Mandor.

“Aku berusaha konsentrasi mengikuti aturan agar dinding yang kubuat kuat dan bagus,” jawab si Gondrong.

“Nah, Botak. Kamu mengapa bekerja begitu ceria ?, padahal upahmu sama dengan yang lain, ” tanya si Mandor.

“Aku senang bisa ikut dalam sejarah membangun tempat ibadah ini. Aku membayangkan setelah bangunan ini jadi, orang-orang akan mengagumi bangunan ini, dan akan aman dan senang berada di kuil ini, maka aku kerjakan dengan sebaik-baiknya …” jawab si Botak.

Seandainya anda jadi si Mandor, kira-kira siapa tukang yang anda sukai ? Siapa tukang yang akan anda percayai untuk dipakai seterusnya ? Kalau anda dipromosi menjadi Kepala Proyek, siapa yang akan anda tunjuk sebagai Mandor menggantikan anda ? Siapa yang nasibnya akan cepat berubah menjadi lebih baik ?

Ketiga tukang bangunan tadi telah memberi ARTI kepada pekerjaan dan tempat bekerja mereka berbeda-beda. ARTI yang mereka berikan kepada pekerjaan dan tempat bekerjanya itu menentukan PIKIRAN dan PERASAAN mereka, lalu menentukan KEPUTUSAN yang mereka untuk bertindak, lalu menentukan TINDAKAN yang mereka lakukan, lantas menentukan HASIL perbuatan/pekerjaan mereka, dan akhirnya menentukan NASIB mereka sendiri.

Memang bukan cuma soal ARTI. Dibutuhkan pula KOMPETENSI agar kita siap dan mampu memberi hasil kerja yang terbaik. Seandainya si Botak bekerja hanya mengandalkan wajah ceria dan kedekatan dengan Anda selaku Mandor, tapi ia tidak terampil dan hasil kerjanya tidak berkualitas, apakah anda selaku Mandor akan mempercayainya jadi pengganti anda dengan risiko merusak reputasi anda sendiri ?

Kalau sekarang anda merasa NASIB anda belum memuaskan anda, masih begitu-begitu saja, atau sebaliknya justru anda tengah gembira dengan NASIB anda, maka silakan periksa dahulu apa ARTI yang anda berikan kepada pekerjaan, jabatan, dan Perusahaan tempat anda bekerja selama ini ?

So, apa ARTI pekerjaan, jabatan, dan Perusahaan tempat anda bekerja bagi anda ? …

Minggu, Oktober 09, 2011

DETERJEN LANGITAN

Aku punya DETERJEN yang aku sukai dan aku yakini membersihkan paling bersih. Bahkan deterjen itu aku tenteng kemana-mana dengan bangga. Apalagi kalau ketemu orang yang menenteng deterjen yang sama, makin senang dan bergairahlah aku membicarakan kehebatan deterjen kami. Semua orang kalau bisa kuanjurkan pakai merek deterjen yang kubawa. Dulu aku kurang suka pada deterjen merek lain, sekarang sih berpegang pada 'bagiku deterjenku bagimu deterjenmu'.  

Begitu petang datang, saatnya pulang. Aku terkejut, pakaianku kotor sekali. Padahal rumahku tempat yang suci. Setiap orang yang pulang ke rumah itu haruslah berpakaian bersih. Aku menyesal, karena kerjaku sepanjang hari hanya membicarakan dan mengajak orang lain pakai merek deterjen yang kubawa, tapi aku lupa memakai deterjen itu untuk mencuci pakaianku sendiri ...***



Sabtu, Agustus 13, 2011

Hormati Orang Yang Berpuasa


Di koridor mall, satu  jam sebelum waktu berbuka puasa, saya baru saja menyelesaikan hajat potong rambut. Saat sedang melihat-lihat isi toko dari luar, tiba-tiba saya disalib oleh seorang perempuan. Dalam sepersekian detik dalam hati saya langsung berucap "astaghfirullah". Dalam sepersekian detik pula saya langsung berhenti melangkah dan mengambil blackberry saya untuk memeriksa apakah ada pesan baru hanya untuk mengalihkan jendela kamera visual saya dari objek tadi. Mengapa objek tadi begitu dahsyatnya mem-break perilaku saya ?. Karena sekelebat sosoknya ia berambut panjang lurus, berbadan seksi, berkulit putih dan hanya mengenakan tank-top plus celana pendek super mini ketat. Lho ? bukankah itu pemandangan yang biasa di mal-mal sekarang ini ?. Ya ... Tapi sore itu adalah bulan Ramadhan.

Lantas memangnya ada apa dengan bulan Ramadhan ?. Memangnya selain bulan ramadhan anda  bereaksi berbeda ?, mungkin begitu tanya anda kepada saya.  

Memang, ukuran untuk sebuah kepantasan berpakaian dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Konon, di era 50-60-an, ada betis perempuan tersingkap di film atau di majalah dapat membuat dada lelaki 'serrrrrr'. Di era 80-an, kalau cuma betis sih belum 'nendang'. Makin lama area tertutup di tubuh perempuan menjadi menyempit. Kelakar jayusnya, makin lama perempuan makin 'kurang bahan'.  Ini terjadi akibat mekanisme pikiran, dimana suatu peristiwa yang menimbulkan gambar-suara-rasa tertentu akan disimpan di dalam memori dan menjadi acuan atau referensi bagi pengalaman selanjutnya. Kalau kemarin melihat gadis memakai rok mini bikin 'serrr', kalau pengalaman itu terjadi berulang-ulang sudah tidak menimbulkan rasa 'serrrr' lagi, karena sang rasa sudah diterima. Ada ekonomi ada the law of diminishing return. Jangankan soal ini. Hal yang salah jika dialami berulang-ulang lama-lama dianggap sebagai suatu yang benar. Korupsi yang dulunya salah, di kelompok tertentu justru dianggap sebagai kelaziman yang berlaku. 

Itulah sebabnya, mengapa kita diminta oleh ajaran agama untuk menjaga pandangan mata, supaya tidak sempat 'mematikan' perasaan yang jati diri awalnya adalah early warning system bagi diri kita. Jujur saya akui, sangat sulit untuk menghindarkan mata dari menangkap sosok perempuan-perempuan 'kurang bahan' itu di public area. Hanya saja yang membedakan, ada yang mempertahankan kualitas dan durasi tatapan untuk menikmati kinestetik berupa rasa 'serrrrr', ada juga yang tersadar dan segera mengalihkan sensory-nya ke arah lain agar visual di layar bioskop pikiran berubah sehingga rasa (kinestetik)-pun ikut berubah menjadi lebih netral.  Kalau saya sedang 'khilaf', maka titik 'kesadaran' saya agak 'lemot'. Sadar sih sadar, tapi durasi 'tidak sadar'-nya agak lama.

Keberkahan bulan ramadhan dan ibadah puasa adalah kesempatan saya berlatih untuk lebih sering dan lebih lama berada di 'kesadaran'. Maka, reaksi 'astaghfirullah' saya saat itu benar-benar muncul dari pikiran 'mengurangi nilai puasa' dan perasaan 'takut'. Beberapa waktu sebelumnya di status facebook, beberapa kali saya menyindir perempuan-perempuan berpakaian mini-ketat atas-bawah berkeliaran di area publik. Tentu saja perempuan-perempuan itu kemungkinan besar tidak tahu sindiran saya, tetapi saya berharap status-status saya menjadi provokasi bagi sahabat-sahabat facebook saya. Bahwa kalau ada mata jelalatan ke arah kita, introspeksi dulu, jangan-jangan kita memang menyediakan diri alias menjadikan diri kita layak dan pantas untuk dijelalati.

Kalau saya pernah menulis artikel berjudul 'Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa', apakah itu termasuk menghormati perempuan-perempuan berpakaian mini-ketat ?. Saya jawab tegas : TIDAK... Karena perempuan-perempuan itu tidak menghormati konteks event ramadhan. Lho, tidak konsisten dong ?. Di sinilah konteks bermain. Ritual ibadah agama seyogyanya tidak menyusahkan orang lain. Maka ketika ramadhan, umat non-muslim yang biasanya makan di tempat 'biasa' menjadi ikut-ikutan 'menahan' atau sembunyi-sembunyi. Pedagang kecil penjaja makanan kehilangan pendapatan jika harus ditutup. Kalau itu MENYUSAHKAN mereka, maka silakan mereka menjalankan aktivitas untuk memenuhi KEBUTUHANnya seperti sedia kala. 'Kan yang dilatih tangguh dan saleh adalah yang berpuasa. Dalam prakteknya, saya yakin kedua pihak SALING menghormati, karena kedua pihak considerate (peduli terhadap kepentingan pihak lain). Bahasa NLP-nya 'ecological check' alias cek ekologis, yaitu apakah perilaku dan outcome kita selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan sekitar kita ?. 

Soal pakaian yang dikenakan perempuan tadi bagaimana ?.  Kalau dia considerate  dan ekologis, lalu tidak mengenakan pakaian seperti itu dan mengenakan pakaian lain yang lebih 'tertutup' secara wajar dan menyimbolkan penghormatan kepada suasana ibadah puasa, apakah mampu dia lakukan ? ... Kalau mau dibawa ke soal HAM, apakah atas nama 'hak azasi manusia' boleh melakukan apa saja tanpa memperhatikan kepentingan orang lain?... Seandainya saja bisikan lembut saya sampai ke hati mereka : "Mbak, saya senang mbak berpakaian lebih tertutup untuk menghormati orang yang berpuasa, bukan untuk  yang berpuasa, tapi lebih agar mbak juga dihormati, demi kemuliaan mbak, demi kemuliaan perempuan sendiri dan kemuliaan bangsa kita...***

Rabu, Agustus 03, 2011

Dari Visi Jadi Aksi


Anda mungkin pernah melakukan apa yang disebut dengan ‘resolusi’. Tentu Ini bukan sejenis resolusi Dewan Keamanan PBB soal isu dunia. Ini soal trend – kalau tidak mau disebut ‘latah’ – dimana setiap menjelang akhir tahun berbagai media menyinggung-nyinggung hal-hal yang ingin anda raih atau lakukan pada tahun depan. Impian atau rencana inilah yang anda sebut sebagai resolusi.

Dari daftar hal-hal yang menjadi resolusi anda, berapa persen yang berhasil dilaksanakan dan berhasil ?. Lebih banyak yang dilaksanakan, atau yang tidak dilaksanakan ?. Jika lebih banyak yang dilaksanakan, saya ingin sekali belajar bagaimana hal itu dapat terjadi. Jika lebih banyak yang tidak dilaksanakan, apakah hal-hal yang tidak terlaksana tadi anda ‘tabung’ lagi untuk resolusi tahun berikutnya, atau anda buang dari daftar resolusi ?. Atau anda sudah tidak lagi membuat resolusi karena anda telah berhasil membuat resolusi anda gagal ?.

Anda tentu sudah mafhum atas rahasia umum bahwa  segelintir ataupun seabrek rencana pribadi, hanya sekian persen yang terimplementasi. Kalaupun sudah terimplementasi, tidak memberi hasil yang diharapkan. Kalau sudah begini, biasanya ritual resolusi pribadi menjadi alat perbincangan untuk meramaikan suasana pertemuan-pertemuan sosial saja.

Apakah ‘kegagalan’ anda mengeksekusi rencana pribadi anda disebabkan oleh beberapa hal seperti : membuat rencana hanya ikut-ikutan ? anda belum dapat menguasai dan memimpin diri anda sendiri termasuk emosi dan kebiasaan hidup anda ? Anda belum mampu membedakan mana kebutuhan mana keinginan ? Rencana anda merupakan pemenuhan terhadap keinginan, tetapi keinginan itu bukan merupakan kebutuhan ? Tujuan dan rencana tidak jelas di dalam pikiran anda ? Punya tujuan tapi belum dibuat rencananya dengan rinci step by step untuk mewujudkannya ? Anda masih dikuasai dan diborgol oleh kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak yang tidak mengarah kepada pencapaian tujuan anda ? misalnya masih suka ‘malas-malasan’, tidak mau susah, mau hasil instan ? Anda  belum mampu merasakan dalam pikiran anda konsekuensi dari keberhasilan atau kegagalan rencana anda ?

Kalau anda ingin tahu bagaimana caranya agar hal-hal yang ingin anda capai dapat terlaksana dengan baik, maka silakan anda membayangkan saya sedang duduk di samping anda. Saya adalah sahabat anda yang antusias dengan rencana anda, dan dengan penasaran ingin tahu isi pikiran anda mengenai cita-cita dan rencana anda. Bayangkan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepada anda secara berurutan, dan anda menjawabnya dengan detail dan penuh semangat.

-       Saya ingin tahu, dari hal-hal yang masuk ke dalam daftar resolusi tersebut, mengapa hal-hal itu yang anda tulis ?.  
-       Bahkan yang lebih penting lagi, saya ingin tahu mengapa anda membuat resolusi ?
-       Bagaimana gambaran hal-hal yang menjadi resolusi anda itu di dalam pikiran anda ?
-       Apakah demikian penting bagi anda ?
-       Seberapa penting ?.
-       Kalau tidak anda masukkan ke dalam daftar resolusi anda, so what gitu loh ?.
-       Apakah anda  yakin hal itu penting ?.
-       Seberapa yakin hal itu penting ?.
-       Kalau ada skala satu sampai sepuluh, keyakinan anda di angka berapa ?
-       Apa artinya angka itu ?
-       Apakah tingkat keyakinan itu cukup untuk membuat anda melaksanakan rencana anda dan mewujudkan tujuan anda ?
-       Dari mana anda belajar keyakinan bahwa hal-hal yang anda masukkan ke dalam daftar resolusi itu demikian penting ?. 
-       Seberapa besar keyakinan anda terhadap keyakinan anda tadi ?
-       Lantas, apa arti dari masing-masing hal yang anda resolusikan itu bagi anda ?.
-       Apa tujuan anda memasukkan hal-hal tadi ke dalam daftar resolusi anda ?.
-       Apa arti dari tujuan anda tersebut bagi diri anda ?
-       Apakah tujuan anda dan hal-hal yang akan anda laksanakan di dalam daftar resolusi itu mencerminkan misi hidup anda ?
-       Lantas mencerminkan identitas yang anda bangun ?. 
-       Apakah hal-hal yang akan anda laksanakan tersebut bermanfaat bagi anda ?
-       Bermanfaat bagi orang lain ?
-       Apakah merugikan mereka ?
-       Apa yang tidak terjadi pada diri anda jika tercapai ?,
-       dan apa yang tidak terjadi pada diri anda jika tidak tercapai ?
-       Apakah hal-hal yang akan anda capai ini menarik bagi anda ?
-       Mengapa hal ini menarik ?
-       Kapan tujuan-tujuan anda itu tercapai ?
-       Dimana masing-masing hal yang ingin anda capai itu terwujud ?
-       Bersama siapa anda mencapainya ?
-       Apa yang perlu atau harus anda lakukan untuk mencapai goal anda ini ?
-       Bagaimana langkah-langkahnya secara berurutan ?Apa langkah pertama ?
-       Bagaimana langkah-langkah itu persisnya anda lakukan ?
-       Jika belum tahu, bagaimana cara anda mencari tahu ?
-       Jika belum tahu, siapa orang yang akan anda hubungi agar anda tahu ?
-       Kapan setiap langkah-langkah itu akan dilakukan ?
-       Apakah anda mempunyai resources (sumber daya) internal untuk mencapai tujuan anda tersebut ? Apa saja ?
-       Apa saja resources eksternal yang anda akan gunakan untuk mencapai tujuan anda ?
-       Apakah anda mampu melakukannya ?
-       Jika belum atau ragu-ragu, apa yang akan anda lakukan agar anda mampu melakukannya ?
-       Apa yang terjadi pada diri anda kalau tujuan anda tercapai ?. Apa yang terlihat ? terdengar ? seperti apa rasanya ? Tunjukkan kepada saya seperti apa rasanya, saya ingin tahu seolah-olah tujuan itu tercapai dan sedang anda alami saat ini.
-       Apa yang terjadi pada diri anda kalau tidak tercapai ?.  Apa yang terlihat ? terdengar ? seperti apa rasanya ? Tunjukkan kepada saya seperti apa rasanya, saya ingin tahu seolah-olah tujuan itu tidak tercapai dan sedang anda alami saat ini.
-       Setelah tujuan dan rencana itu terjalani dan terwujud, dan bayangkan terjadi seolah-olah saat ini juga, maka siapakah anda saat ini ?
-       Anda menamakan diri anda sebagai apa saat ini ?
-       Kalau ada simbol atau metafora, anda akan mengibaratkan diri anda siapa atau apa ?
-       Mengapa ?
-       Apa wujud syukur anda saat tujuan dan rencana anda terwujud ?
-       Apa wujud penyesalan anda jika tujuan dan rencana anda tidak terwujud ?
-       Setelah tujuan dan rencana ini terwujud, dapatkah anda melihat diri anda di masa depan ? Seperti apa diri anda ?
-       Itu semua yang anda mau ?
-       Anda siap dengan harga yang perlu anda bayar untuk mencapainya ?
-       Anda menerima segala rasa yang muncul dalam proses dan perjalanan anda mencapainya ?
-       Anda siap menerima kebahagiaan dari tujuan dan rencana anda ini ?
-       Seperti apa rasanya ? Tunjukkan kepada saya rasa bahagia itu.

Saat anda sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tadi, sekarang apakah anda merasa ada bedanya dengan apa yang telah anda lakukan di tahun-tahun sebelumnya ? ***

Selasa, Agustus 02, 2011

Lempar Batu Ngantongin Tangan

Sebuah sedan merambat mengikuti aliran lalulintas yang berjalan perlahan.  Jarak antara antrian mobil dengan trotoar tepi jalan memang sempit. Tiba-tiba … “ctakkk!” … “brakkkkk!” …  sebuah sepeda motor telah tergeletak disamping depan si mobil. Penumpang sepeda motor kemudian berdiri namun tidak segera mengangkat motornya, melainkan melangkah ke sisi kanan mobil dan menggedor-gedor kaca pengemudi.

Tidak terima dengan cara pengemudi motor menggedor kaca mobilnya, pria pengemudi mobil membuka kaca jendelanya dan berkata dengan keras, “Sudah tahu jalan sempit kenapa maksa lewat juga ?? .. “. Terjadilah adu mulut. Sepeda motor lain yang melintas menunjuk-nunjuk si pengemudi mobil tanda ikut menyalahkan si sedan. Semangatnya solidaritas antar bikers.

Untungnya polisi yang melintas segera melerai, dan akhirnya si biker melanjutkan perjalanannya dengan bersungut-sungut. Pengemudi sedan memeriksa spion kiri dan pintu kiri baret. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Si motor memaksa menyelip di antara trotoar dengan mobilnya. Sudah si pengemudi motor salah, malah menyalahkan korbannya. Rupanya si pengemudi sedan tidak tahu bahwa strategi ‘pre-emptive defense’ inilah yang kerap dipakai pengemudi motor yang merasa bersalah untuk membungkam dan ‘ambil posisi’ dulu terhadap mobil yang disenggolnya.

Itulah yang mendasari mengapa saya pernah memberikan pengarahan kepada pengemudi baru saya enam tahun yang lalu, jika mobil kita disenggol oleh motor, sebelum pengemudinya bangun, gertak duluan.  Saya bilang, kalau kita lihat ada motor di belakang saat jalanan macet, maka pilihan kita adalah memberi ruang bagi mereka untuk lewat, atau jangan beri kesempatan dengan memberi ruang yang tidak memungkinkan mereka lewat. Jangan posisikan mobil kita nanggung, sehingga mengundang motor untuk coba-coba masuk.

Pengemudi saya langsung paham karena ia mantan preman. Saat itu tanpa sadar sikap kamipun menjadi korban permainan ‘hukum rimba’ di jalan raya di Jakarta.

---

Seorang pengemudi motor disetop oleh seorang polisi pria yang tiba-tiba keluar dari rerimbunan pohon. Ini bukan cerita iklan rokok dimana si petugas menyamar sebagai pohon. Si pengemudi motor tidak berhenti saat lampu telah merah. Ia tetap saja membelok. Di tiang lampu lalin ada tulisan “belok kiri ikuti lampu”.

Dengan wajah perang, si pengemudi motor mengeluarkan dompet sambil ngomel. Ia protes, kenapa pak polisi bukannya berdiri di lampu merah untuk mengatur dan mengarahkan pengguna jalan, tapi malah ngumpet menunggu mangsa yang ‘sial’.

Saya jadi membuat dialog drama di dalam pikiran saya. Pertama, terlepas dari kelakuan polisi yang ngumpet, bukankah si pengemudi motor jelas-jelas melakukan pelanggaran lalu lintas ?. Rambunya jelas. Bahwa akhirnya si pengemudi motor itu tidak berhenti dan tetap membelok itu adalah keputusan dia. Kalau dia tidak membaca rambu yang jelas itu, itu juga sudah salah. 

Kedua, berharap polisi selalu setiap saat berada di persimpangan jalan untuk mengarahkan pengemudi, itu juga kebangetan sebagai sebuah tatanan sosial. Gejala-gejala ini mirip anak kecil yang manja selalu dibimbing orang lain. Pengusaha yang selalu minta proteksi tanpa mau berupaya memperbaiki kapabilitasnya agar mandiri dan mampu bersaing dengan asing. Kaum yang sedang berpuasa yang minta agar warung-warung tutup di siang hari karena takut tergoda puasanya. Kelompok buruh yang selalu menuntut naik gaji tanpa meningkatkan keterampilan menggunakan uangnya dengan bijak.

Ketiga, tuduhan bahwa pak polisi menunggu mangsa yang sial, itu seperti politik cuci tangan. Ia menamai dirinya sial. Siapa yang memanggil kesialan ?. Polisi ?. Siapa yang tidak membaca atau tidak mengindahkan rambu belok kiri ikuti lampu ?. Siapa yang memutuskan untuk terus membelokkan kendaraannya ?. Saya pernah menyaksikan infotainment di televisi ketika seorang artis berkomentar atas beredarnya video ‘porno’ dirinya dengan seorang anggota dewan, si artis itu berkata, “Kami sekeluarga sedang mendapat musibah. Kami sedang didzalimi …”. Pertanyaannya siapa yang mendatangkan musibah ? Siapa yang mendzalimi ?.

Mungkin anda mempertanyakan bagaimana dengan Pak Polisi yang memang memanfaatkan kelengahan orang untuk mengeruk keuntungan pribadi ?. Apakah itu bukan cermin mental polisi kita ?.  Saya baru mampu menjawab dengan pertanyaan, apakah maksud pertanyaan anda itu untuk membela atau mengurangi kadar kesalahan si pengemudi motor ? Jika tidak, maka mampukah kita menekan dan meminta polisi kita ‘bener’ tanpa kita sebagai masyarakat ‘bener’ dulu lantas bersatu-padu untuk ‘mendidik’ polisi ?.  Mengapa saat di Canberra dan Sydney sekitar 1.5 bulan, saya hanya tiga kali menemui sepasang polisi sedang bertugas? Di Singapore selama dua hari saya tidak menemukan satu orangpun polisi?

Bagaimana jika polisi kita tetap tidak ‘bener’ ?.
Apakah itu menjadi pembenaran untuk perilaku kita juga ‘tidak bener’ ?.
Memangnya kita ini bukan manusia  yang mampu bener dengan cara manusia dan bukan dengan cara binatang?
Masih mau pakai ‘tapi…’ ? ***

Senin, Agustus 01, 2011

(New) Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa (3)


Tulisan saya berjudul “Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa” telah membawa pro dan kontra dalam forum-forum diskusi online. Seorang teman mengabarkan bahwa di kaskus temannya sampai dihujat habis karena telah membawa tulisan ini ke forum diskusinya. Katanya, si penulis – tentu saja saya – telah melakukan menyulut propaganda perpecahan umat. Dalam konteks ini saya merasa benar-benar menjadi provokator yang bakal dicari-cari aparat.

Untung saja setelah saya telusuri satu persatu log diskusi, secara kuantitas jumlah yang mendukung tulisan saya lebih besar daripada yang menghujat. Sebagian kecil mencoba melihat tulisan saya secara netral dengan menganjurkan pembaca memasukkan unsur konteks, sehingga lebih mudah diterima.
Bukan hanya itu, dalam hitungan hari, di inbox facebook saya datang pesan dari seseorang yang saya belum kenal. Di profil facebook-nya, ia berprofesi sebagai mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta. Ia termasuk yang kontra dengan tulisan saya, dan meskipun bahasanya disopan-sopankan, tapi sangat jelas pesannya agar saya  bertobat dan memperdalam pelajaran agama saya. Tentu saja ini nasihat yang saya benarkan .

Sampai dengan menjelang bulan ramadhan ini, ketika saya menulis di grup BBM dengan kalimat “Kepada yang berpuasa, marilah kita menghormati orang yang tidak berpuasa”, masih ada yang berkata, “Bukan sebaliknya ya Pak ?”. Biasanya dengan mudah argument saya diterima oleh teman-teman segrup BBM.  Kata saya, tujuan berpuasa adalah agar orang yang berpuasa menjadi pribadi yang tangguh dan saleh. Salah satu kesalehan adalah mampu menghormati orang lain. Kalau yang berpuasa minta dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, itu ibarat sedang berlatih beban di gym ingin ototnya menjadi besar dan kuat tapi minta barbel yang ringan-ringan saja. Kalau yang berpuasa minta dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, itu yang saleh adalah yang menghormati.

“Saling menghormati”, tulis Dewi salah seorang teman di Grup BBM teman se-SMA.
“Nggak perlu minta dihormati, yang penting menghormati duluan. Lebih dari itu, kita perlu menjadikan diri layak dihormati. Kalau orang tidak menghormati kita jangan-jangan karena kita memang layak untuk tidak dihormati”, balas saya.

Dewi : “Mereka udah hormat soalnya. Makanya saling menghormati ‘kan ? Dari kitanya juga”.

Saya : “Apalagi kalau mereka SUDAH hormat ke kita, jadi tidak perlu diingatkan ‘saling’ lagi ‘kan ?. Kita yang belum hormat-lah yang mengingatkan diri sendiri, hehehe”

Dewi : “Memangnya ’saling’ itu harus dari pihak sana ? Bukankah dari pihak kita juga boleh pakai kata ‘saling’ ?. Maksud ‘saling’ di sini justru mengingatkan diri sendiri, karena mereka ‘sudah’ melakukan .. Kita belum … Nggak cocok ya ?”

Saya : “Lebih kuat mana pengaruhnya kepada action ? Pakai ‘saling’ atau tidak ?( Karena mereka sudah melakukannya). Rasa-rasain saja pakai kata ‘saling’ dengan tanpa ‘saling’ …”

Dewi : “Sebentar …”.

Dewi : “Hehehe, iya … pakai kata saling action-nya kurang terasa …” ***

Tuhan Merencanakan Manusia Menentukan


Masih ingat ‘kan cerita pematung di buku PROVOKASI Menyiasati Pikiran Meraih Keberuntungan ? Yang juga pernah menjadi kapsul Smart FM ?. Seorang pematung diminta oleh raja membuat patung raja, permaisuri, anak-anak, tokoh-tokoh dalam kerajaan, termasuk akhirnya patung si pematung sendiri. Sementara patung-patung lain ia buat dengan sangat sempurna, si pematung membuat patung dirinya sendiri dengan kualitas lebih rendah, karena menyangka patungnya akan ditaruh di luar. Ia pikir kalau bikin patung KW1 percuma, karena toh di luar istana akan kehujanan, kepanasan, berdebu, berlumut, dan akhirnya lekas rusak. Yang terjadi  yang tadinya Raja ingin meletakkan patung si pematung itu di dalam istana, malah benar-benar meletakkan patung itu di luar istana, karena jika di taruh di dalam istana kualitasnya kurang bagus dan tidak sepadan berjejer dengan patung kualitas wahid lainnya.

Nasib patung itu di taruh di luar telah ditentukan sendiri oleh si pematung sejak awal dalam pikirannya melalui kata-kata (self talk). Nasib ditentukan oleh kata-kata kita. Kalau diurut-urut, kata-kata dalam menafsirkan dan memberi arti terhadap apa yang dilihat, didengar, dicium, dikecap, diraba, (yang disebut thought atau pikiran) itu terhubung dengan system pusat syaraf menghasilkan state atau perasaan tertentu. Dengan pikiran dan perasaan lalu seseorang memutuskan. Keputusan menghasilkan tindakan, dan tindakan menghasilkan outcome, nasib, keadaan, kehidupan dirinya.

Al Baqarah ayat terakhir menyatakan, seseorang mendapatkan apa yang diusahakannya. Dengan begitu, nasib dan kehidupan kita saat ini ditentukan oleh tindakan kita. Tindakan kita berasal dari keputusan kita. Keputusan kita berasal dari pikiran dan perasaan kita. Pikiran dan perasaan kita berasal dari kata-kata yang memiliki arti tertentu. Jadi kalau di bypass, nasib kita saat ini ditentukan oleh kata-kata kita di masa lalu. Itu berarti nasib kita di masa yang akan datang, ditentukan oleh kata-kata kita hari ini, saat ini. Tidak ada hubungannya dengan masa lalu, kecuali kalau kita memang mengizinkan untuk membiarkan, bahkan seringkali malah menggunakan kata-kata kita di masa lalu untuk membentuk masa depan kita.

Kalau nasib itu ditentukan oleh kata-kata kita sendiri, lantas dimana peran Tuhan dalam pembentukan nasib kita ?.

Sebentar. Banyak orang yang bingung dan tidak dapat membedakan antara nasib dan takdir. Banyak orang sepakat, takdir adalah hal-hal yang tidak dapat diubah oleh manusia, dan nasib adalah hal-hal yang dapat diubah. Saya dan Mas Prie GS itu orang Jawa, Pak Fachry CEO Smart FM keturunan Arab, Pak Tommy Siawira dan Pak FX Haditjokrosusilo keturunan Cina, itu adalah takdir. Tidak dapat diubah lagi. Kalau makan pasti kenyang itu takdir. Tapi mau makan sate atau tempe, itu nasib, karena manusia dapat memilih dan memutuskan mau makan apa. Kalau anda lahir dalam keadaan miskin itu takdir, karena anda lahir dari orang tua yang saat itu dalam keadaan miskin. Anda tidak dapat memilih lahir dari taipan kaya di negeri ini. Tapi kalau anda mati dalam keadaan miskin, itu adalah nasib, karena anda telah membiarkan hidup anda miskin terus sampai mati, padahal anda sudah diberikan sumber daya internal dan eksternal sedemikian rupa oleh Tuhan yang dapat membuat anda kaya.

Bahkan yang lebih kontroversial, umur-pun dapat diubah. Bahwa manusia itu pasti mati itu takdir, tapi mati di usia berapa itu konon adalah sejenis takdir yang berperilaku seperti nasib . Jika di sebuah daerah yang tingkat mortalitanya tinggi, lalu dilakukan program sanitasi, penyehatan ibu dan anak, kampanye safety driving dan safety riding, pemberantasan jentik nyamuk, dan berbagai program perbaikan kesehatan dan keselamatan lainnya, mengapa kok setelah itu tingkat mortalitanya menurun ?. Bukankah hal itu menunjukkan adanya intervensi manusia dalam peristiwa yang disebut kematian ?.

Secara wacana agama, guru saya yang ahli tasawuf dari UIN Syarif Hidayatullah mengatakan, kontrak usia itu dapat diperpanjang dengan tiga cara : hidup sehat, banyak amal baik, dan silaturahmi. Misalnya soal silaturahmi. Seandainya anda tidak punya uang sama sekali untuk makan, lalu anda ketemu tetangga anda, apabila silaturahmi anda bagus, ia pasti memberi anda makan, sehingga hidup anda dapat diperpanjang. Bayangkan apa yang terjadi jika silaturahmi anda sangat buruk dengan tetangga-tetangga anda. Bisa-bisa mereka baru tahu anda wafat setelah mencium bau busuk dari rumah anda.

Bagaimana dengan memperpendek umur ?. Gampang, tiduran saja di rel kereta api yang masih aktif. Besok saya akan cari beritanya di koran.

Kembali ke soal pembentukan nasib. Jika nasib itu berasal dari kata-kata dan tindakan manusia sendiri, apakah itu berarti peran Tuhan tidak ada ?. Bukankah atom bergerak dan dedaunan jatuh itu tidak akan terjadi tanpa seizin Tuhan ?. Simak kalimat yang sangat klasik ini. Kata Allah “Aku tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaannya sendiri”. See ? Bahkan dalam pembentukan keadaan alias nasib saja Tuhan telah mendelegasikan kepada manusia. Tuhan akan mengubah keadaan atau nasib, tetapi ada sebabnya, yaitu tindakan si manusia sendiri. Selalu ada sebab, dari akibat Tuhan mengubah keadaan kita. Sebab itu kita sendiri yang memutuskan dan melakukannya.

Dengan demikian, dalam konteks tertentu jangan-jangan bunyi kata-kata mutiara bukan  “manusia berusaha, Tuhan menentukan”, tetapi “Tuhan merencanakan, manusia menentukan”.  Wah, apa ini tidak terpeleset menjadikan manusia lebih tinggi dari Tuhan ?.

Tuhan telah membuat sistem. “Aku tinggikan langit, dan Aku letakkan mizan”, begitu bunyi surat Ar-Rahman ayat 7.  Tuhan mengizinkan segala hasil itu muncul dari sistem itu. Inputnya adalah niat dan tindakan manusia. Tuhan sudah menetapkan bahwa manusia diminta bersedekah. Jika ingin hartanya bersih dan aman, sedekahkan 2.5 persen. Jika hartanya ingin bertumbuh, silakan sedekah lebih besar, misalnya 10%. Jika hartanya ingin bertumbuh lebih cepat, silakan sedekah lebih besar lagi, misalnya 20%. Nah, Tuhan sudah merencanakan tingkat pengembalian tertentu untuk anda jika mengambil skema sedekah tertentu. Sekarang anda sendirilah yang menentukan, mau ambil skema 2.5 persen, 10 persen, 20 persen, atau bahkan 0 persen. Itu sepenuhnya pilihan dan keputusan anda. 

Sehingga kalau harta anda itu tiba-tiba lenyap, ya tanggungjawab,  jangan salahkan Tuhan dan melakukan politik cuci tangan dengan mengatakan, “Tuhan sedang memberi ujian dan cobaan kepada saya”, seolah-olah hilangnya harta anda itu adalah karya Tuhan, bukan karya dirinya sendiri.***

Minggu, Juli 31, 2011

Kecil Berbalas Besar

Tiba-tiba saja saya mendapat SMS dari Bank Mandiri yang mengabari adanya uang masuk ke rekening saya. Tidak ada satu menit, datang lagi SMS dari seorang yang saya kenal, sebut saja namanya Dewi.

"Pak Prass, saya baru aja transfer cicilan hutang yg ke-4. Tolong dicek ya... Makasih banyak ...".

Dewi adalah orang yang pertamakali meng-organize saya untuk mengadakan public training. Awal saya berkenalan dengan Dewi adalah ketika saya 'menyusul' isteri saya join di sebuah klub kebugaran untuk menyehatkan badan saya, sekaligus memundurkan kemajuan perut saya. Saat itu terjadi insiden dimana personal trainer saya -- Pingkan -- hampir dikeluarkan oleh pihak manajemen fitness center. Karena alasan PHK tersebut tidak masuk akal, maka seluruh klien Pingkan di fitness center itu bersatu padu untuk melakukan advokasi. Dewi adalah inisiator awal perjuangan tersebut.

Setelah berhasil mempertahankan Pingkan di fitness center tersebut, para klien Pingkan menjadi akrab. Ketika tahu kebisaan saya di bidang pemberdayaan diri, Dewi lantas tertarik untuk 'menjual' saya. Kebetulan saat itu perusahaan tempat dia bekerja membutuhkan diversifikasi jasa untuk menambah pundi-pundi perusahaannya.

"Tarif Pak Prass kalo ngajar sehari berapa ?", tanya Dewi di tempat duduk istirahat fitness center. Saat itu tarif saya masih belasan juta sehari.

"Kalau begitu, Pak Prass saya bayar segitu, dan saya privat sehari dengan Pak Prass, " Katanya mantap.

Saya kaget bukan kepalang. Edan ini orang, begitu pikir saya. Ibarat dia mengundang grup musik untuk dinikmati sendiri. Ketika saya tanya mengapa maunya begitu, Dewi menjawab, "Saya perlu tahu dan menguasai ilmu ini dulu sebelum saya menjual Pak Prass".

Pikiran mendidik saya muncul. Sebenarnya ia bisa saja mengunduh ilmu saya dengan hanya membayar 1-2 juta rupiah jika ikut kelas publik saya. Untuk  Saya biarkan saja Dewi membayar saya dengan tarif in-house training, lalu saya akan memberi bonus sehari lagi plus dua kali follow-up session, dan akhirnya akan saya berikan coaching session. Pembayaranpun beres, tapi saya yang wanprestasi untuk melakukan follow-up session.

Namun karena Dewi merasa apa yang didapat dari saya sangat membantunya, ia melanjutkan rencananya untuk menjual saya secara publik. Tekadnya begitu kuat. Ia merencanakan sebuah public training bagi saya. Di sinilah asal muasal hutang itu muncul. Target peserta tidak tercapai. Saat itu Dewi hanya mampu membayar saya sepersekian.

Sebenarnya saat itu saya sudah menerima dibayar sepersekian itu tanpa mau menagih sisanya, karena begitu kagum dengan apa yang dilakukan Dewi, sekaligus mengkompensasi wanprestasi saya untuk follow-up session yang tidak sempat ia nikmati.

Rupanya tidak demikian buat Dewi. Dewi terus mencatat hutang itu, sampai suatu ketika ia telah menjelma menjadi instruktur pilates profesional. Seperti yang pernah saya ceritakan di siaran PROVOKASI Smart FM, hari Senin saya memberi santunan kepada kelompok pendidikan anak-anak kurang mampu, esoknya Mbak Dewi telepon dan menyatakan akan membayar hutangnya. Saya katakan saya sudah tidak mencatatnya sebagai hutang, tapi Dewi tetap memaksa akan mencicilnya setiap bulan. Saya kaget, kagum, dan haru.

Hari itu, saya membalas SMS Dewi, "Mbak Dewi, bagaimana jika saya memberi diskon harga kepada mbak Dewi sehingga saya nyatakan hutang mbak Dewi telah lunas ?".

Agak lama, iapun membalas, "Waduuh, gimana ya ? ... Saya sudah menyatakan punya utangnya XX juta dan udah dicatet ama malaikat. Utang dunia kudu dibayar di dunia. Kalo ga lunas di dunia, ditagih di akherat, repot saya gimana bayarnya :-)"

Saya membalas lagi, "Itu kan kalau krediturnya mencatat dan mengakui kalau ada utang. Lha ini sudah saya hapus utangnya. Gimana, ikhlas kan ?"

Dewi : "Saya mau tanya, kenapa pak Prass mau menghapus utang saya ?"

Saya : "Karena saya mau begitu...".

Dewi : "Waduuuhh jadi gini ya perasaan office boy studio waktu saya bilang utangnya ke saya gak perlu dibayar tapi dia nolak ... now i understand him .. :-)."

SMS lanjutan Dewi : "Ok. Makasih banyak ya atas kebaikan Pak Prass. Semoga Allah membalasnya dengan kemudahan rezeki di masa depan ..."

Saya termenung sebentar, lalu membalas : "Hehehe, terimakasih doanya mbak. Btw, jangan-jangan karena mbak Dewi membebaskan utang office boy, maka Allah menggerakkan hati saya untuk membebaskan utang Mbak Dewi, karena saya juga nggak tau tiba-tiba memutuskan untuk menghapus utang mbak Dewi. No other reason kecuali ingin berbuat baik meringankan hidup orang lain. Hmmm, satu lagi bukti kebesaranNya. Saya kok malah dapat pelajaran dari sini ya ....".

Dewi : "Mungkin kali ya ... Beda nominal utangnya jauuuuh! Beda 10 juta ! Tapi saya gak tau cara Allah bekerja :-)".

Saya bermenung. Selain makin meyakini sistem Allah bekerja, dimana kebaikan akan berbuah kebaikan yang lebih besar, satu lagi keinsyafan yang saya dapat dari peristiwa ini : bahwa sebuah kebaikan bukan cuma dinikmati diri sendiri, tetapi akan berefek domino kepada kebaikan orang lain. Dewi telah membebaskan utang dan meringankan hidup office boy studionya, dan dia sendiri terbebaskan dari utang yang jauh lebih besar. Dengan terbebaskannya dari utang, dia dapat membuat kebaikan lebih banyak kepada orang lain. Saya sendiri meyakini setelah ini Insya Allah rezeki saya semakin besar, sehingga orang-orang sekeliling saya kebagian manfaat dari rezeki tadi. Pamrih ?. Efek sedekah tetap bekerja kok meskipun pamrih, tidak ikhlas, atau riya. Tidak percaya ?. Memang jangan percaya sebelum anda membuktikannya sendiri.

Itulah yang membuat saya dengan yakin meng 'quote tweet' sebuah tweet sahabat saya Arin di twitter. Arin menawarkan siapa yang mau ikutan sarapan berbagi. Lalu ada temannya yang reply, "nanti kalau ada rezeki". Lantas saya nimbrung dan menulis, "Cara ampuh memanggil rezeki adalah sedekah". ***

Sabtu, Juli 30, 2011

Andai ...

Andai saya koruptor di sebuah perusahaan, dan berhasil menjaring uang hasil korupsi 'kecil-kecilan' sebesar 250 miliar rupiah -- sebuah angka yang pada posisi saya sekarang sangatlah besar -- maka apa yang akan saya lakukan dengan uang itu ?... Lagipula, angka ini adalah angka yang paling feasible saya dapat dari perusahaan swasta, bukan dari uang rakyat.

Eits, sebentar, saya kasih tau dulu cara saya korupsi : mark-up anggaran proyek dan menyiapkan bukti-bukti pendukung yang saya rekayasa ; mark-up pengadaan barang ; meminta komisi dari para vendor dan supplier yang memasukkan barang atau mendapatkan pekerjaan dari Perusahaan tempat saya bekerja ; memperlama proses kerja agar diberikan uang pelicin ; membuat berbagai perusahaan sendiri lantas semua procurement dan pekerjaan di perusahaan harus lewat perusahaan saya itu ; minta 'bagian' dari penempatan dana investasi perusahaan ke penyelenggara outlet investasi ; menerima 'upeti' dari orang-orang yang ingin naik pangkat dan jabatan ; minta komisi kepada pihak pembeli atas penjualan aset-aset Perusahaan, seperti tanah, mobil, bangunan ; dan sederet modus operandi lainnya yang konvensional maupun yang supercanggih.

Uang Rp 250 miliar itu saya gunakan untuk :

- Membeli rumah seharga 20 miliar, tanah, dan properti lain untuk disewakan dan menjadi passive income.
- Membeli kendaraan-kendaraan kelas atas sebesar 5 miliar untuk mendongkrak derajat dan martabat saya.
- Memperganteng penampilan saya sehari-hari dengan pakaian bermerek dan mahal, sehingga lebih mentereng dan keren. Mulai bergaul di kalangan 'sosialita' agar makin 'dipandang'.
- Tidak lupa melakukan spiritual money laundring dengan menyumbang sebagaian harta ke mesjid dan panti-panti asuhan.
- Melakukan risk management dengan cara mengalokasikan premi 50 miliar untuk proses hukum dan biaya hidup di lembaga pemasyarakatan untuk mengantisipasi jika suatu saat tertangkap.

Itulah visi saya yang saya sadari terlalu 'sederhana' bagi seorang koruptor bersahaja.

Cukup bahagiakah saya dengan keadaan itu ?. Saya juga tidak yakin, karena jika dengan pendapatan yang hari ini saya terima saja saya merasa belum cukup, maka pada saat pendapatan saya sudah mencapai ratusan miliar itu kemungkinan saya juga belum merasa cukup. Lha wong biaya hidup juga melonjak.

Apa tujuannya saya punya visi kehidupan koruptor seperti itu ?. Supaya saya merasa 'enak' hidup di tengah lantai dan perabot kinclong, disiapkan segala kebutuhan oleh para pembantu saya. Supaya saya merasa 'enak' dianggap, dihormati, di-VIP-kan, dan disanjung-sanjung oleh orang-orang. Supaya saya merasa enak tidak perlu repot-repot kerja yang bikin capek. Supaya saya merasa 'enak' bisa jalan-jalan semaunya, makan enak semaunya. Supaya saya merasa 'enak'. Merasa enak. Selamanya.

Sebentar. Apa iya selamanya ?. Bagaimana kalau seluruh makanan sudah pernah saya cicipi ? Bagaimana kalau seluruh tempat sudah saya kunjungi ? Bagaimana kalau seluruh kendaraan sudah saya tumpangi ?. Apa iya masih terasa enak yang sama ?. Jadi semua itu hanya untuk memenuhi kepuasan jasmani dan emosi semata ?. Bagaimana dengan kepuasan rohani ?.

Saya belum memperhitungkan betapa malunya dan terpukulnya jiwa ibu dan isteri saya begitu saya di penjara. Masyarakat mencibir mereka. Saya belum memperhitungkan jika saya di penjara, tidak dapat menemani ibu saya di saat-saat akhir usianya. Saya belum memperhitungkan efek kepada anak-anak saya nantinya ketika mereka ke sekolah. Kenikmatan buat saya harus dibayar dengan kesengsaraan kepada orang-orang yang saya kasihi. Belum kalau akibat uang haram, darah keluarga saya tercemar, dan akibatnya kena penyakit fisik dan jiwa. Durhaka, narkoba, pergaulan bebas.

Jadi saya cuma ingin enak sendiri, enak jangka pendek, enak sebentar, dan enak jasmani dan emosi. Padahal jasmani dan emosi adalah kendaraan untuk saya hidup. Ibarat kata, saya cari duit cuma buat mengurusi dan mempercantik kendaraan saya, tapi saya lupa kendaraan saya itu mau saya bawa mengantarkan saya kemana ...

Mungkin koruptor sejati yang membaca tulisan ini akan menertawakan saya, karena saya ini cuma menghayal saja. "Sok tau lu !", begitu kata mereka lantas menyindir saya dengan mengatakan, "Jangan percaya dengan apa yang kamu hayalkan sebelum membuktikannya sendiri...".  Saya tidak tahu, apakah itu ajakan kepada saya untuk benar-benar merasakan hidup enak sebagai koruptor, atau sebaliknya ...***

Kesialanmu hanya untukmu sendiri

Setelah selesai urusan merawat mobil di sebuah bengkel di dekat rumah, saya segera mengajak kendaraan saya itu meluncur di atas aspal menuju ke suatu tempat yang setengah jam sebelumnya bersemayam di pikiran saya. Karena memang sudah waktunya makan siang, tadi saat di ruang tunggu bengkel, sang lambung memberi suatu pesan kepada otak saya yang membuat sang otak  memanggil jenis makanan apa yang sedang ingin diajak berkencan oleh sang selera. Di pikiran saya ada dua makanan yang --- 'pluk'.... --- nongol, yaitu bebek goreng plus kepala ayam di Pasar Bintaro sektor 2, dan soto betawi H. Usman.  Setelah saya melakukan analisis kinestetik tanpa menggunakan metode AHP, muncullah bebek goreng yang memiliki preferensi lebih tinggi.

Namun begitu, karena selama ini saya menyantap bebek goreng itu malam hari, sementara saat itu siang hari, maka saya menurunkan level of confidence menjadi separuhnya. Maksudnya, kalau ternyata warungnya belum buka, saya sudah punya contigency plan dengan opsi kedua, yaitu soto betawi H. Usman. 

Benar saja. Opsi pertama gugur, karena realitasnya warung itu memang belum buka. Orang lain menyebutnya masih tutup. Dengan mudah saya segera acceptance dengan kondisi tersebut, lantas menghilangkan semua atribut pikiran yang berhubungan dengan bebek goreng, dan -- 'pluk' -- soto betawi H. Usman-pun segera hadir dalam layar bioskop pikiran saya. Selanjutnya atribut-atribut yang berhubungan dengan soto betawi tersebut muncul. Semangkok soto betawi plus nasi putih, kecap, sambel, dan jeruk limau. Temperatur warung yang sedikit panas dihalau dengan kipas angin yang berputar di langit-langit,  membuat keringat keluar ketika sampai pada suapan ketiga. Semua sudah begitu jelas di pikiran, sampai saya 'lupa' melakukan risk management berupa kemungkinan risiko lain yang menghalangi saya mendapatkan apa yang saya bayangkan tadi. 

Seratus meter menjelang warung soto betawi H. Usman, visual dan kinestetik saya semakin kuat. Indikatornya adalah antusiasme saya dalam menekan gas mobil serta menguatnya sensasi rasa tertentu di mulut. Begitu mobil akan dibelokkan ke arah halaman warung, tiba-tiba "Gubrakkk". Itu bukan suara saya jatuh atau mobil saya ditabrak sesuatu. Itu adalah istilah anak muda sekarang kalau mereka kaget tidak menyangka. Sang tukang parkir melambai-lambaikan tangan tanda sotonya habis. "Sial !", kata saya dalam hati. 

Tanpa perlu nggrundel panjang, saya segera berputar arah pulang, sambil mencari-cari tempat makan apa yang menarik selera. Tepat di halaman mesjid Al-Istiqomah tempat biasa saya dan beberapa sahabat penggiat pemberdayaan diri berkumpul, saya melihat ada warung kecil dengan tulisan "Gado-gado". Selera saya langsung terbit. Apalagi saya memang sedang butuh makanan yang banyak unsur sayurnya. Inipun sebuah pembenaran karena nyatanya dua mantan kandidat makanan sebelumnya miskin unsur sayuran. 

Saya segera menepikan kendaraan, dan dengan penuh percaya diri mendekati warung gado-gado tadi. "Mas, satu ya ...". Mas penjual gado-gado melihat ke arah kaca depan. Sayapun ikut-ikutan melihat ke arah yang dilihat si mas penjual. "Maaf pak, habis". Sayapun melihat di tempat bahan baku gado-gado tinggal sebiji timun. Tidak ada apa-apa lagi.

"Sial !", kata saya dalam hati sambil beranjak ke arah mobil lagi. Tiba-tiba, "PLAKKKKK!!!", ada sebuah tangan imajiner menampar pipi saya .... PLAKK! PLAKK! PLAKKK! ... lagi-lagi pipi saya tertampar. Sesosok ego state saya muncul dan langsung berkacak pinggang di hadapan saya, lantas berkata, "Hei Prass ... apa tadi kamu bilang ? ... Sial ??" ... 

Saya menjawab dengan deg-degan, "Iya ...". 

"PLAKKKK!" ... sekali lagi pipiku tertampar tangan imajiner. 

Dengan suara yang lebih keras, si ego state berkata, "Hei ! ... dasar kamu egois ! ... semestinya kamu mengucapkan "ALHAMDULILLAH", bukan malah "Sial" ...."

"Kok ?... ", tanyaku protes.

"Dasar guoblokkk! ... kalau soto betawi dan gado-gado itu siang-siang sudah habis, itu tandanya kan dagangan mereka laku keras.  Bukankah itu yang menjadi salah satu tujuan mereka berdagang ?. Mereka  itu berarti sedang menerima rezeki jatahnya dari Tuhan. Kalau kamu sedang menyaksikan sebuah peristiwa dimana Tuhan sedang memberikan anugerah kepada hambaNya hari itu, mengapa kamu tidak ikut bersyukur dengan peristiwa ini ?? .... Alih-alih mengagumi peristiwa ini dengan ucapan Allahu Akbar, Subhanallah, dan Alhamdulillah, kamu malah sibuk dengan memperhatikan kepentingan kendaraan hidupmu sendiri yang bernama perut itu, dan malah menamakan peristiwa ini sebagai sial ...!". Tiba-tiba sang ego state menghilang. 

"Astaghfirullah ....", ujarku lemas. Sejenak kemudian aku berdoa, "Ya Allah, berikanlah aku keberuntungan yang bukan merupakan kesialan orang lain ...***