Selain emosi, belief, blueprint mental, yang ada di subconscious mind -- pikiran bawah sadar -- adalah kebiasaan. Pikiran bawah sadar hampir 9x lebih kuat daripada pikiran sadar, makanya seringkali menang kalau harus konflik dengan bawah sadar.
Dulu, sewaktu saya pindah dari Samarinda ke Jakarta tahun 77 saya bingung melihat kloset yang ada di rumah baru. Di Samarinda kloset di rumah saya kloset jongkok. Kalau mau buang hajat ya jongkok. Di Jakarta klosetnya model duduk. Waktu itu saya kesusahan untuk 'mengendarainya'. Akhirnya yang terjadi adalah : saya jongkok di kloset duduk. Sekarang, saya malah agak sedikit 'canggung' kalau nongkrong di kloset jongkok. Disamping karena di rumah dan di kantor klosetnya duduk, rupanya kondisi fisik juga berpengaruh. Jongkok sedikit sudah gampang capek. Untung, fleksibilitas penggunaan kloset duduk dan jongkok ini ditopang oleh pengalaman saya sebagai Pramuka di masa remaja yang 'berkloset' dimana saja, mulai dari WC umum, sumur penduduk setempat, sungai, rawa, dan sebagainya.
Ketika membaca buku "7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif" tahun 93, saya terkagum dengan cara Stephen Covey menjelaskan soal paradigma dan kebiasaan. Tapi rupanya 'penyadaran' terhadap arti suatu perilaku atau kejadian (baca : mengubah paradigma) belumlah cukup membentuk kebiasaan 'baru' saya. Meskipun saya jadi mudah memahami dan menempatkan posisi pada suatu konflik, mudah empati, tapi tetap saya masih sering bangun kesiangan kalau pas libur (masak sholat subuh jam 6 pagi ?), sulit berolahraga teratur, menaruh barang di sembarang tempat, Kebiasaan 'berpikir' sudah lumayan terbentuk, tapi kebiasaan 'fisik' belum.
Sampai suatu ketika saya menikah. Isteri saya tumbuh di keluarga yang sangat memperhatikan 'standar operating procedure' kehidupan. Kalau saya menaruh barang bukan di tempatnya, kalau saya lupa menjemur handuk sehabis mandi, kalau saya bikin berantakan, niscaya isteri saya tidak segan-segan menjadi satpol PP di rumah. Mulanya saya jengkel -- 'ahh, cerewet amat sih nih bini' -- tapi lama-lama terbiasa juga. Tapi saya memang akhirnya berubah. Di situlah saya mendapat pelajaran. Mengubah paradigma saja tidak cukup. Memahami filosofi, manfaat, dan kerugian dari berbuat ini dan itu saja tidak cukup. Itu ada di wilayah pikiran sadar. Pikiran bawah sadar yang di dalamnya ada kebiasaan-lah yang seringkali menang. Bahwa, seringkali kalau 'emosi' terhadap keinginan perubahan kurang kuat, perlu ada satu lagi instrumen : kontrol dan pemaksaan -- setidaknya dalam konteks pengalaman saya di Indonesia saat ini.
Kontrol berarti pelaku perubahan mendapatkan feedback, dan diberi konsekuensi yang 'dirasakan' akibat perilaku tadi. Lebih baik kontrol dan 'pemaksaan' dari 'luar' tadi dilakukan oleh lingkungan. "Penguasa" yang menciptakan mekanisme itu berjalan dan sesekali 'terjun langsung' jika diperlukan.
Itulah yang menyebabkan saya seringkali 'kecewa' setelah gembira. Saya gembira menyambut peraturan pemerintah daerah tentang pengaturan kawasan bebas rokok, kawasan disiplin lalu lintas, jalur motor sebelah kiri, penggunaan helm, penggunaan sabuk pengaman, jalur busway. Semua akan membangun masyarakat dengan peradaban yang lebih tinggi. Namun, mekanisme pemaksaaan dan kontrol kurang berjalan mulus. Polisi -- dan masyarakat sendiri -- membiarkan pengendara motor melaju tanpa helm, berhenti di depan marka, membiarkan badan jalan dipakai berkendara, ketika macet motor-motor dan angkot mengambil sisi badan jalan berlawanan. Petugas restoran membiarkan pengunjung merokok padahal jelas-jelas terpampang tanda larangan merokok. Ujung-ujungnya, ya sudah .. saya terapkan untuk diri sendiri saja.
1 komentar:
Mas Prass ini sudah baca 7 habit th 93? buseeettt... Aku juga sudah baca tapi ga bisa njalaninnya ha..ha.. Di gunung kidul, kelurahan paliyan, klosetnya cuman lobang ditutup seng. Kita buang air bunyi tiuuuunnnggg plung... menggema. banyak binatang lalat kecil2, enjoy ajaaaa... drpd sakit perut. Ini salah satu kondisi yg terpaksa dilakoni, ga ada yg lain sih
Posting Komentar