Rabu, November 14, 2007

Kutukupret

Sahabat saya -- Dokter Silviani, kedatangan serombongan keluarga masuk ke ruang prakteknya mengantarkan seorang pasien diperiksa. Setelah pasien tadi selesai diperiksa, satu di antara mereka minta sekalian diperiksakan ibu dan anaknya. Karena melihat 'potongan' orang-orang tadi belum bisa dikategorikan gakin (keluarga miskin), maka sahabat saya itu minta mereka mendaftar dulu untuk dibuatkan status. Bukan apa-apa, selain dokter perlu catatan medis, menurut intuisi sahabat saya, mereka cuma ingin 'paket hemat'. Ibarat naik bajaj, diisi sebanyak-banyaknya penumpang, toh bayarnya sama.

Mirip dengan pengalaman saya 'sering' melihat ada satu-dua orang nyamper seseorang yang telah mengantri mengambil makan di sebuah resepsi pernikahan. Kebetulan orang yang disamper itu sudah berada pada posisi depan. Sang penyamper biasanya basa-basi ngobrol sebentar, lalu nyelip di belakang si orang yang disamper tadi. Tujuannya, mereka tidak perlu antri dari belakang.

Kekesalan juga biasanya muncul saat antrian kendaraan sudah bagus teratur satu jalur, eeh, tau-tau mobil di belakang keluar antrian, ambil jalur kiri, mempet pinggir badan jalan, kucluk-kucluk-kucluk, langsung ke depan, dan masuk lagi antrian gara-gara terhambat batu besar atau mobil parkir. Akibatnya, kendaraan yang antri harus berhenti karena si mobil kutukupret tadi minta jalan. Lebih buruk lagi, kelakuan mobil kutukupret tadi diikuti oleh kutukupret lainnya (sebenarnya yang kutukupret pengemudinya, bukan mobilnya). Dalam neuroscience, diketahui ada syaraf di otak yang disebut mirror-neuron, yang menyebabkan adanya perilaku seseorang yang cenderung mengikuti perilaku orang lain. Oh ya, cap 'kutukupret' ini hanya berlaku buat mobil yang motifnya ingin 'ambil untung' tadi, bukan karena dia dalam keadaan darurat harus ke rumah sakit.

Tapi yang ingin saya ambil dari kisah di atas bukanlah soal ikut-mengikut perilaku orang lain. Bahwa ketiga contoh perilaku di atas mencerminkan betapa (sebagian) masyarakat tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Sikap ini dipicu oleh scarcity mentality -- mental kekurangan. Ini mental orang miskin.

Buat orang yang berselancar di atas realitas -- kira-kira bisa disebut oportunis -- , mungkin kegundahan saya ini akan ditanggapi : "Aduh bow, sistemnya emang kayak gini, kalo nggak pinter-pinter cari celah dan peluang, ntar mati sendiri, rugi sendiri, kagak kebagian. Emang gw pikirin, wong pemerintah aja nggak mikirin ?" .....

1 komentar:

SILVIANI SRI RAHAYU mengatakan...

Bangsa ini rakyatnya banyak yang sudah "SAKIT".Republik "ANARKI" mungkin lebih pantas bukannya Republik indonesia.Sebaiknya khotbah jum'at lebih membumi, maksudnya mengingatkan tertib lalu lintas, mau antri makan di resepsi, juga bagian dari iman.