Minggu, Juli 31, 2011

Kecil Berbalas Besar

Tiba-tiba saja saya mendapat SMS dari Bank Mandiri yang mengabari adanya uang masuk ke rekening saya. Tidak ada satu menit, datang lagi SMS dari seorang yang saya kenal, sebut saja namanya Dewi.

"Pak Prass, saya baru aja transfer cicilan hutang yg ke-4. Tolong dicek ya... Makasih banyak ...".

Dewi adalah orang yang pertamakali meng-organize saya untuk mengadakan public training. Awal saya berkenalan dengan Dewi adalah ketika saya 'menyusul' isteri saya join di sebuah klub kebugaran untuk menyehatkan badan saya, sekaligus memundurkan kemajuan perut saya. Saat itu terjadi insiden dimana personal trainer saya -- Pingkan -- hampir dikeluarkan oleh pihak manajemen fitness center. Karena alasan PHK tersebut tidak masuk akal, maka seluruh klien Pingkan di fitness center itu bersatu padu untuk melakukan advokasi. Dewi adalah inisiator awal perjuangan tersebut.

Setelah berhasil mempertahankan Pingkan di fitness center tersebut, para klien Pingkan menjadi akrab. Ketika tahu kebisaan saya di bidang pemberdayaan diri, Dewi lantas tertarik untuk 'menjual' saya. Kebetulan saat itu perusahaan tempat dia bekerja membutuhkan diversifikasi jasa untuk menambah pundi-pundi perusahaannya.

"Tarif Pak Prass kalo ngajar sehari berapa ?", tanya Dewi di tempat duduk istirahat fitness center. Saat itu tarif saya masih belasan juta sehari.

"Kalau begitu, Pak Prass saya bayar segitu, dan saya privat sehari dengan Pak Prass, " Katanya mantap.

Saya kaget bukan kepalang. Edan ini orang, begitu pikir saya. Ibarat dia mengundang grup musik untuk dinikmati sendiri. Ketika saya tanya mengapa maunya begitu, Dewi menjawab, "Saya perlu tahu dan menguasai ilmu ini dulu sebelum saya menjual Pak Prass".

Pikiran mendidik saya muncul. Sebenarnya ia bisa saja mengunduh ilmu saya dengan hanya membayar 1-2 juta rupiah jika ikut kelas publik saya. Untuk  Saya biarkan saja Dewi membayar saya dengan tarif in-house training, lalu saya akan memberi bonus sehari lagi plus dua kali follow-up session, dan akhirnya akan saya berikan coaching session. Pembayaranpun beres, tapi saya yang wanprestasi untuk melakukan follow-up session.

Namun karena Dewi merasa apa yang didapat dari saya sangat membantunya, ia melanjutkan rencananya untuk menjual saya secara publik. Tekadnya begitu kuat. Ia merencanakan sebuah public training bagi saya. Di sinilah asal muasal hutang itu muncul. Target peserta tidak tercapai. Saat itu Dewi hanya mampu membayar saya sepersekian.

Sebenarnya saat itu saya sudah menerima dibayar sepersekian itu tanpa mau menagih sisanya, karena begitu kagum dengan apa yang dilakukan Dewi, sekaligus mengkompensasi wanprestasi saya untuk follow-up session yang tidak sempat ia nikmati.

Rupanya tidak demikian buat Dewi. Dewi terus mencatat hutang itu, sampai suatu ketika ia telah menjelma menjadi instruktur pilates profesional. Seperti yang pernah saya ceritakan di siaran PROVOKASI Smart FM, hari Senin saya memberi santunan kepada kelompok pendidikan anak-anak kurang mampu, esoknya Mbak Dewi telepon dan menyatakan akan membayar hutangnya. Saya katakan saya sudah tidak mencatatnya sebagai hutang, tapi Dewi tetap memaksa akan mencicilnya setiap bulan. Saya kaget, kagum, dan haru.

Hari itu, saya membalas SMS Dewi, "Mbak Dewi, bagaimana jika saya memberi diskon harga kepada mbak Dewi sehingga saya nyatakan hutang mbak Dewi telah lunas ?".

Agak lama, iapun membalas, "Waduuh, gimana ya ? ... Saya sudah menyatakan punya utangnya XX juta dan udah dicatet ama malaikat. Utang dunia kudu dibayar di dunia. Kalo ga lunas di dunia, ditagih di akherat, repot saya gimana bayarnya :-)"

Saya membalas lagi, "Itu kan kalau krediturnya mencatat dan mengakui kalau ada utang. Lha ini sudah saya hapus utangnya. Gimana, ikhlas kan ?"

Dewi : "Saya mau tanya, kenapa pak Prass mau menghapus utang saya ?"

Saya : "Karena saya mau begitu...".

Dewi : "Waduuuhh jadi gini ya perasaan office boy studio waktu saya bilang utangnya ke saya gak perlu dibayar tapi dia nolak ... now i understand him .. :-)."

SMS lanjutan Dewi : "Ok. Makasih banyak ya atas kebaikan Pak Prass. Semoga Allah membalasnya dengan kemudahan rezeki di masa depan ..."

Saya termenung sebentar, lalu membalas : "Hehehe, terimakasih doanya mbak. Btw, jangan-jangan karena mbak Dewi membebaskan utang office boy, maka Allah menggerakkan hati saya untuk membebaskan utang Mbak Dewi, karena saya juga nggak tau tiba-tiba memutuskan untuk menghapus utang mbak Dewi. No other reason kecuali ingin berbuat baik meringankan hidup orang lain. Hmmm, satu lagi bukti kebesaranNya. Saya kok malah dapat pelajaran dari sini ya ....".

Dewi : "Mungkin kali ya ... Beda nominal utangnya jauuuuh! Beda 10 juta ! Tapi saya gak tau cara Allah bekerja :-)".

Saya bermenung. Selain makin meyakini sistem Allah bekerja, dimana kebaikan akan berbuah kebaikan yang lebih besar, satu lagi keinsyafan yang saya dapat dari peristiwa ini : bahwa sebuah kebaikan bukan cuma dinikmati diri sendiri, tetapi akan berefek domino kepada kebaikan orang lain. Dewi telah membebaskan utang dan meringankan hidup office boy studionya, dan dia sendiri terbebaskan dari utang yang jauh lebih besar. Dengan terbebaskannya dari utang, dia dapat membuat kebaikan lebih banyak kepada orang lain. Saya sendiri meyakini setelah ini Insya Allah rezeki saya semakin besar, sehingga orang-orang sekeliling saya kebagian manfaat dari rezeki tadi. Pamrih ?. Efek sedekah tetap bekerja kok meskipun pamrih, tidak ikhlas, atau riya. Tidak percaya ?. Memang jangan percaya sebelum anda membuktikannya sendiri.

Itulah yang membuat saya dengan yakin meng 'quote tweet' sebuah tweet sahabat saya Arin di twitter. Arin menawarkan siapa yang mau ikutan sarapan berbagi. Lalu ada temannya yang reply, "nanti kalau ada rezeki". Lantas saya nimbrung dan menulis, "Cara ampuh memanggil rezeki adalah sedekah". ***

Sabtu, Juli 30, 2011

Andai ...

Andai saya koruptor di sebuah perusahaan, dan berhasil menjaring uang hasil korupsi 'kecil-kecilan' sebesar 250 miliar rupiah -- sebuah angka yang pada posisi saya sekarang sangatlah besar -- maka apa yang akan saya lakukan dengan uang itu ?... Lagipula, angka ini adalah angka yang paling feasible saya dapat dari perusahaan swasta, bukan dari uang rakyat.

Eits, sebentar, saya kasih tau dulu cara saya korupsi : mark-up anggaran proyek dan menyiapkan bukti-bukti pendukung yang saya rekayasa ; mark-up pengadaan barang ; meminta komisi dari para vendor dan supplier yang memasukkan barang atau mendapatkan pekerjaan dari Perusahaan tempat saya bekerja ; memperlama proses kerja agar diberikan uang pelicin ; membuat berbagai perusahaan sendiri lantas semua procurement dan pekerjaan di perusahaan harus lewat perusahaan saya itu ; minta 'bagian' dari penempatan dana investasi perusahaan ke penyelenggara outlet investasi ; menerima 'upeti' dari orang-orang yang ingin naik pangkat dan jabatan ; minta komisi kepada pihak pembeli atas penjualan aset-aset Perusahaan, seperti tanah, mobil, bangunan ; dan sederet modus operandi lainnya yang konvensional maupun yang supercanggih.

Uang Rp 250 miliar itu saya gunakan untuk :

- Membeli rumah seharga 20 miliar, tanah, dan properti lain untuk disewakan dan menjadi passive income.
- Membeli kendaraan-kendaraan kelas atas sebesar 5 miliar untuk mendongkrak derajat dan martabat saya.
- Memperganteng penampilan saya sehari-hari dengan pakaian bermerek dan mahal, sehingga lebih mentereng dan keren. Mulai bergaul di kalangan 'sosialita' agar makin 'dipandang'.
- Tidak lupa melakukan spiritual money laundring dengan menyumbang sebagaian harta ke mesjid dan panti-panti asuhan.
- Melakukan risk management dengan cara mengalokasikan premi 50 miliar untuk proses hukum dan biaya hidup di lembaga pemasyarakatan untuk mengantisipasi jika suatu saat tertangkap.

Itulah visi saya yang saya sadari terlalu 'sederhana' bagi seorang koruptor bersahaja.

Cukup bahagiakah saya dengan keadaan itu ?. Saya juga tidak yakin, karena jika dengan pendapatan yang hari ini saya terima saja saya merasa belum cukup, maka pada saat pendapatan saya sudah mencapai ratusan miliar itu kemungkinan saya juga belum merasa cukup. Lha wong biaya hidup juga melonjak.

Apa tujuannya saya punya visi kehidupan koruptor seperti itu ?. Supaya saya merasa 'enak' hidup di tengah lantai dan perabot kinclong, disiapkan segala kebutuhan oleh para pembantu saya. Supaya saya merasa 'enak' dianggap, dihormati, di-VIP-kan, dan disanjung-sanjung oleh orang-orang. Supaya saya merasa enak tidak perlu repot-repot kerja yang bikin capek. Supaya saya merasa 'enak' bisa jalan-jalan semaunya, makan enak semaunya. Supaya saya merasa 'enak'. Merasa enak. Selamanya.

Sebentar. Apa iya selamanya ?. Bagaimana kalau seluruh makanan sudah pernah saya cicipi ? Bagaimana kalau seluruh tempat sudah saya kunjungi ? Bagaimana kalau seluruh kendaraan sudah saya tumpangi ?. Apa iya masih terasa enak yang sama ?. Jadi semua itu hanya untuk memenuhi kepuasan jasmani dan emosi semata ?. Bagaimana dengan kepuasan rohani ?.

Saya belum memperhitungkan betapa malunya dan terpukulnya jiwa ibu dan isteri saya begitu saya di penjara. Masyarakat mencibir mereka. Saya belum memperhitungkan jika saya di penjara, tidak dapat menemani ibu saya di saat-saat akhir usianya. Saya belum memperhitungkan efek kepada anak-anak saya nantinya ketika mereka ke sekolah. Kenikmatan buat saya harus dibayar dengan kesengsaraan kepada orang-orang yang saya kasihi. Belum kalau akibat uang haram, darah keluarga saya tercemar, dan akibatnya kena penyakit fisik dan jiwa. Durhaka, narkoba, pergaulan bebas.

Jadi saya cuma ingin enak sendiri, enak jangka pendek, enak sebentar, dan enak jasmani dan emosi. Padahal jasmani dan emosi adalah kendaraan untuk saya hidup. Ibarat kata, saya cari duit cuma buat mengurusi dan mempercantik kendaraan saya, tapi saya lupa kendaraan saya itu mau saya bawa mengantarkan saya kemana ...

Mungkin koruptor sejati yang membaca tulisan ini akan menertawakan saya, karena saya ini cuma menghayal saja. "Sok tau lu !", begitu kata mereka lantas menyindir saya dengan mengatakan, "Jangan percaya dengan apa yang kamu hayalkan sebelum membuktikannya sendiri...".  Saya tidak tahu, apakah itu ajakan kepada saya untuk benar-benar merasakan hidup enak sebagai koruptor, atau sebaliknya ...***

Kesialanmu hanya untukmu sendiri

Setelah selesai urusan merawat mobil di sebuah bengkel di dekat rumah, saya segera mengajak kendaraan saya itu meluncur di atas aspal menuju ke suatu tempat yang setengah jam sebelumnya bersemayam di pikiran saya. Karena memang sudah waktunya makan siang, tadi saat di ruang tunggu bengkel, sang lambung memberi suatu pesan kepada otak saya yang membuat sang otak  memanggil jenis makanan apa yang sedang ingin diajak berkencan oleh sang selera. Di pikiran saya ada dua makanan yang --- 'pluk'.... --- nongol, yaitu bebek goreng plus kepala ayam di Pasar Bintaro sektor 2, dan soto betawi H. Usman.  Setelah saya melakukan analisis kinestetik tanpa menggunakan metode AHP, muncullah bebek goreng yang memiliki preferensi lebih tinggi.

Namun begitu, karena selama ini saya menyantap bebek goreng itu malam hari, sementara saat itu siang hari, maka saya menurunkan level of confidence menjadi separuhnya. Maksudnya, kalau ternyata warungnya belum buka, saya sudah punya contigency plan dengan opsi kedua, yaitu soto betawi H. Usman. 

Benar saja. Opsi pertama gugur, karena realitasnya warung itu memang belum buka. Orang lain menyebutnya masih tutup. Dengan mudah saya segera acceptance dengan kondisi tersebut, lantas menghilangkan semua atribut pikiran yang berhubungan dengan bebek goreng, dan -- 'pluk' -- soto betawi H. Usman-pun segera hadir dalam layar bioskop pikiran saya. Selanjutnya atribut-atribut yang berhubungan dengan soto betawi tersebut muncul. Semangkok soto betawi plus nasi putih, kecap, sambel, dan jeruk limau. Temperatur warung yang sedikit panas dihalau dengan kipas angin yang berputar di langit-langit,  membuat keringat keluar ketika sampai pada suapan ketiga. Semua sudah begitu jelas di pikiran, sampai saya 'lupa' melakukan risk management berupa kemungkinan risiko lain yang menghalangi saya mendapatkan apa yang saya bayangkan tadi. 

Seratus meter menjelang warung soto betawi H. Usman, visual dan kinestetik saya semakin kuat. Indikatornya adalah antusiasme saya dalam menekan gas mobil serta menguatnya sensasi rasa tertentu di mulut. Begitu mobil akan dibelokkan ke arah halaman warung, tiba-tiba "Gubrakkk". Itu bukan suara saya jatuh atau mobil saya ditabrak sesuatu. Itu adalah istilah anak muda sekarang kalau mereka kaget tidak menyangka. Sang tukang parkir melambai-lambaikan tangan tanda sotonya habis. "Sial !", kata saya dalam hati. 

Tanpa perlu nggrundel panjang, saya segera berputar arah pulang, sambil mencari-cari tempat makan apa yang menarik selera. Tepat di halaman mesjid Al-Istiqomah tempat biasa saya dan beberapa sahabat penggiat pemberdayaan diri berkumpul, saya melihat ada warung kecil dengan tulisan "Gado-gado". Selera saya langsung terbit. Apalagi saya memang sedang butuh makanan yang banyak unsur sayurnya. Inipun sebuah pembenaran karena nyatanya dua mantan kandidat makanan sebelumnya miskin unsur sayuran. 

Saya segera menepikan kendaraan, dan dengan penuh percaya diri mendekati warung gado-gado tadi. "Mas, satu ya ...". Mas penjual gado-gado melihat ke arah kaca depan. Sayapun ikut-ikutan melihat ke arah yang dilihat si mas penjual. "Maaf pak, habis". Sayapun melihat di tempat bahan baku gado-gado tinggal sebiji timun. Tidak ada apa-apa lagi.

"Sial !", kata saya dalam hati sambil beranjak ke arah mobil lagi. Tiba-tiba, "PLAKKKKK!!!", ada sebuah tangan imajiner menampar pipi saya .... PLAKK! PLAKK! PLAKKK! ... lagi-lagi pipi saya tertampar. Sesosok ego state saya muncul dan langsung berkacak pinggang di hadapan saya, lantas berkata, "Hei Prass ... apa tadi kamu bilang ? ... Sial ??" ... 

Saya menjawab dengan deg-degan, "Iya ...". 

"PLAKKKK!" ... sekali lagi pipiku tertampar tangan imajiner. 

Dengan suara yang lebih keras, si ego state berkata, "Hei ! ... dasar kamu egois ! ... semestinya kamu mengucapkan "ALHAMDULILLAH", bukan malah "Sial" ...."

"Kok ?... ", tanyaku protes.

"Dasar guoblokkk! ... kalau soto betawi dan gado-gado itu siang-siang sudah habis, itu tandanya kan dagangan mereka laku keras.  Bukankah itu yang menjadi salah satu tujuan mereka berdagang ?. Mereka  itu berarti sedang menerima rezeki jatahnya dari Tuhan. Kalau kamu sedang menyaksikan sebuah peristiwa dimana Tuhan sedang memberikan anugerah kepada hambaNya hari itu, mengapa kamu tidak ikut bersyukur dengan peristiwa ini ?? .... Alih-alih mengagumi peristiwa ini dengan ucapan Allahu Akbar, Subhanallah, dan Alhamdulillah, kamu malah sibuk dengan memperhatikan kepentingan kendaraan hidupmu sendiri yang bernama perut itu, dan malah menamakan peristiwa ini sebagai sial ...!". Tiba-tiba sang ego state menghilang. 

"Astaghfirullah ....", ujarku lemas. Sejenak kemudian aku berdoa, "Ya Allah, berikanlah aku keberuntungan yang bukan merupakan kesialan orang lain ...***