Situasi bisa semakin rumit ketika persaingan berubah bentuk. Sebuah produk tidak hanya beradu dengan produk lain yang sejenis, melainkan bersaing dengan produk yang tidak sejenis dari industri yang secara ‘kasat mata’ berbeda. Misalnya dalam hal penyelenggaraan seminar lewat teleconference. Hotel di kota tempat penyelenggaraan seminar tidak jadi kedatangan tamu-tamu potensial luar daerah yang semestinya bisa menginap di tempat itu. Maskapai penerbangan ke arah kota tujuanpun tidak jadi mendapatkan penumpang peserta seminar, gara-gara teknologi komunikasi mengizinkan peserta seminar menikmati pembicaraan sambil ‘nongkrong’ di kota tempat tinggal masing-masing. Ini berarti hotel dan transportasi udara bersaing dengan produk teknologi komunikasi.
Memang itulah yang terjadi. Bertahun-tahun kita hidup dalam situasi semacam ini. Untuk bisa menang, orang lain harus kalah. Dampaknya, seseorang mungkin harus mengorbankan kehidupan pribadi dan keluarganya karena bekerja sampai larut malam agar perusahaannya bisa terus-menerus menguasai pangsa pasar.
Bukan hanya diterapkan dalam bisnis, model zero-sum game ini bahkan terterapkan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehingga menjelma menjadi zero-sum society. Lihat saja di sekeliling kita. Di resepsi-resepsi perkawinan di hotel sekalipun, tidak jarang orang-orang menyalib antrian yang tadinya rapi karena takut kehabisan makanan favorit. Antrian satu jalur di jalan sempit, akhirnya jadi dua jalur gara-gara satu mobil ingin cepat sampai tujuan lalu menyodok ke depan dari kiri yang lantas diikuti oleh mobil-mobil lainnya. Zero-sum game ini lahir dari paradigma dan mental kelangkaan (scarcity paradigm) yang mengatakan sumber daya itu langka sehingga harus diperebutkan.
Kemudian muncul konsep bisnis yang lebih 'damaii, co-opetition dan blue ocean strategy. Co-opetition mengajarkan kita bekerjasama (cooperation) dengan sesama pemain untuk membesarkan kue pasar, lalu saling bersaing untuk mendapatkan bagiannya. Blue ocean strategy memberi alternatif berbisnis di wilayah yang masih luas, 'tidak berdarah-darah'.
Tapi saya penasaran, kok merasakan konsep bisnis ini masih mengandung unsur 'ketakutan' akan kekurangan. Saya penasaran, apakah dulu Bill Gates, Michael Dell, bahkan pendiri AJB Bumiputera 1912 berpikir membuat usaha untuk menyaingi orang lain ?. Gates dan Dell mengembangkan kreativitas di ruang garasi untuk memberi nilai tambah. R.W. Dwidjosewojo dkk mendirikan Onderlingen Levensverzekkering Maatschapij Persatoean Goero Hindia Belanda -- yang sekarang dikenal sebagai AJB Bumiputera 1912 - dengan seperangkat cita-cita luhur mengangkat derajat kaum pribumi melalui gotong-royong ekonomi.
Hmm ... Nilai tambah. Apa yang 'lebih' kita berikan agar dirasakan oleh stakeholder. Dulu, institusi yang sekarang saya pimpin hidup dari krisis ke krisis, bertahan hidup dengan mengandalkan pendekatan guna mendapatkan order. Sekarang kami sedang berproses untuk terus memberi nilai tambah sedikit demi sedikit. Awali dengan mimpi bagus dan bekerja dengan perasaan yang bagus juga ... Kerja bagus biar hasil bagus. Biar bisa kerja bagus, ya belajar dan berlatih terus. Beri 'dampak' perubahan pada kinerja klien. Lakukan dengan tulus dan sepenuh hati. Penuh ketekunan dan kesabaran. Nanti, kepuasan, kepercayaan, dan order lebih besar lagi akan datang dengan sendirinya... Saya tidak sedang berteori. Saya bicara tentang keyakinan yang sudah mulai terbukti ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar