Selasa, Januari 11, 2011

Kabar Buruk benar-benar Buruk ?

"Tingggggg!", blackberry saya berbunyi.

"Hallo Mas Prass ... mau nanya sesuatu nih .. boleh ?", begitu tulisan berita blackberry messenger  dari sahabat di Pekanbaru yang berprofesi sebagai dokter.

"Boleeeehhh...", jawab saya singkat.

"Bagaimana cara yang efektif menyampaikan kabar buruk tanpa menjatuhkan mental orang yang menerima kabar buruk tersebut mas ? Karena kabar kali ini adalah kabar buruk kedua lainnya yang bakal dia terima kenyataannya, yaitu dia tidak lulus untuk memperoleh kursi sebagai calon pegawai negeri sipil ...", tanya dr. Abi, sahabat saya itu.

Kali itu 'mood' saya untuk memprovokasi sedang bagus.

"Yang menamakan hal itu 'kabar buruk' siapa ya ?", tanya saya.

"Secara umum, memang kabar itu 'kabar buruk' karena yang disampaikan nggak ada bagus-bagusnya ..", jawabnya. "Hmmm .. mas Prass mau menggiring saya ke arah 'negative motivation' ya ?", lanjutnya.

"Apa bagusnya tidak lulus CPNS ?", tanya saya.

"Bagusnya .. ? .. ya bisa mencoba peluang lain ...", jawabnya.

"Saya punya teman yang ketinggalan pesawat ... Dia bilang kabar buruk !. Dua jam kemudian pesawat itu jatuh di Berastagi. Semua penumpangnya tewas. Dua jam kemudian 'kabar buruk' itu menjadi 'kabar baik'. Dia sangka musibah, ternyata penyelamatan ... Ini real story ...", ujar saya.

"Iya mas ... saya juga membaca kisah itu di buku PROVOKASI mas Prass ...", jawabnya.

"Mas menyangka tidak lulus CPNS itu kabar buruk. Siapa tahu itu sebenarnya kabar baik ?", pancing saya. "Jangan-jangan misi hidup dia yang sesungguhnya bukan menjadi CPNS ?"

"Jadi sebaiknya bagaimana cara menyampaikannya ?", tanya dia lagi.

Saya sebenarnya ingin 'mengacak-acak' dulu mindset dia terlebih dahulu karena justru teman saya itu yang duluan menamakan berita itu sebagai 'kabar buruk'.

"Tidak ada orang yang suka mendengar kabar buruk. Lha, kalau mas Abi sendiri sudah bilang itu kabar buruk, lantas mau dibungkus apapun, tetap saja yang sampai adalah 'kabar buruk' dan tidak disukai ..", jawab saya. "Yang membikin buruk itu 'kan arti yang diberikan sendiri oleh yang mendengar berita itu. Jadi biarkan dia bertanggungjawab atas arti yang dia berikan sendiri kepada sebuah berita dan peristiwa,  juga bertanggungjawab atas perasaan-perasaan yang muncul akibat arti yang ia berikan sendiri tersebut .."

"Lantas yang 'ideal' dilakukan saat sekarang apa dong mas ?", kejar dia.

"Tanyakan saja dulu, seandainya dia nggak lulus CPNS, bagaimana sikap dia ... Dari situ 'kan mas Abi akan paham apa arti yang ia berikan kepada berita itu  ... Barulah setelah itu mas Abi bisa tahu cara menyampaikan yang lebih netral dan membangun dirinya itu yang bagaimana ...", jawab saya.

"Iya juga ... Nggak terpikirkan sama saya ... that's something new for me ...", jawabnya.

"Jadi tadi mas Abi kan bermain dengan pikiran sendiri ? ... hehehe ...", ledek saya.

"Iyaaaa ... mungkin kabar buruk itu saya sendiri yang menciptakannya, karena saya sebenarnya berharap besar dia lulus CPNS. Jadi sebenarnya saya yang menciptakan aura dan suasana seperti itu dan seolah-olah dia juga menanggapi dengan cara yang serupa ...", jawabnya. "Maklum mas, terbawa cara menyampaikan prognosis ke pasien tentang penyakitnya  ...".

"Hehehehe ...", respon saya.

"Mas Prass angkat saja topik "kabar buruk apakah benar-benar buruk?" di siaran PROVOKASI. Pasti seru !. Nanti saya ikut SMS menanyakan yang aneh-aneh biar mas Prass berat mikirnya ..", jawabnya.

"Hehehee ... maksudnya 'berat' buat anda 'kan ?", kilik saya.

"Wkwkwkwk ... i'm playing with my own thought again ....", jawabnya ***

Senin, Januari 10, 2011

Makna Ikhlas

Saya menyapa kolega saya, direktur sebuah perusahaan jasa investasi. Sebulan sebelumnya saya baru saja memfasilitasi pelatihan dua hari mengenai personal mastery dan hypnotic selling skill. Saya ingin tahu bagaimana dampak pelatihan yang saya fasilitasi terhadap perubahan perilaku dan kinerja mereka karena saya akan bertemu lagi dengan peserta untuk follow-up class. Jawabannya mengejutkan : sebulan setelah dilakukan pelatihan, sales menurun !.

"Apa yang membuat sales itu turun mbak ?", tanya saya.

"Lha ya itu, mereka sekarang pasrah. Alasannya, 'kan diajarin Pak Prass pakai the law of attraction. Kalau sudah membayangkan dengan jelas apa yang diinginkan dan minta dalam doa, terus yakin, terus ikhlas siap menerima apapun jalannya. Jadi kalau mereka mau prospek terus hujan deres, atau nggak dapat janji, ya sudah terima saja ... ikhlas ..", jelas kolega saya.

"Hahaha .... ! Salah kaprah .... Kalau begitu, kita kumpulkan mereka lebih cepat saja, mbak ..", pinta saya.

Di pelatihan sebelumnya, saya memang menjelaskan sedikit soal the law attraction yang sedang menjadi 'selebriti' dan digandrungi oleh para pencari ilmu kesuksesan hidup saat itu. Karena saya hanya menyinggung sedikit dan 'kulit'nya saja, saya menjadi mafhum mengapa oleh peserta ditangkap, dicerna, dan diartikan sebagaimana yang diceritakan kolega saya itu.

Di hadapan para peserta yang telah dikumpulkan, saya lantas menggali dulu pemahaman mereka soal materi pelatihan yang telah mereka ikuti, khususnya soal the law of attraction yang rumusnya ask-believe-receive.

"Teman-teman, memang banyak yang 'meleset' di pemahaman soal ask-believe-receive.  Minta dalam doa dengan visualisasi yang jelas - yakin Tuhan dan alam merespon untuk mewujudkan keinginan kita itu - lantas siap menerima dengan ikhlas apapun jalannya. Tetapi banyak yang keliru dalam implementasinya. Mereka menyangka hanya dengan visualisasi dan yakin, nanti apa yang diminta akan datang sendiri. Hasil diraih dengan tindakan...", buka saya.

Peserta masih menunggu penjelasan lebih lanjut.

"Jadi, kalau anda sudah punya impian yang jelas dan yakin dapat meraihnya, lalu paham dan sadar untuk mencapai target anda perlu berangkat menemui calon klien untuk prospecting, maka prospecting-lah dengan menerima perasaan apapun saat prospecting. Kalau saat mau prospecting tiba-tiba hujan deras, kemudian anda tidak berangkat, membatalkan janji, dan mengatakan 'ikhlas menerima pembatalan', maka itu bukan ikhlas namanya. Yang namanya ikhlas itu adalah ... anda sadar perlu melakukan kunjungan sebagai syarat untuk terjadi closing, kemudian ketika hujan lebat atau macet anda tetap berangkat menemui calon klien dengan menembus hujan dan macet, dan MENERIMA rasa berat dan susah selama saat menembus hujan dan macet itu dengan ikhlas ! ...".

Saya melihat para peserta 'kesetrum'.

Lain waktu, alam menyediakan keadaan dimana saya diminta untuk mempraktekkan apa yang saya ajarkan sendiri. Di suatu malam larut Ibu saya tiba-tiba bilang, "Aku pengen martabak, Prass". Malam itu hujan lebat. Mobil baru dicuci sore harinya.

Karena ibu saya sudah ahli soal ikhlas, saya bisa saja mengatakan, "Bu, ini 'kan hujan deres, ikhlas aja dulu ya malam ini nggak makan martabak ... ". Tapi manuver 'politik ikhlas' itu akan membuat saya kehilangan kesempatan untuk membahagiakan dan membalas budi ibu saya, dan saya tahu apa yang dapat saya katakan itu hanyalah sebuah 'akal-akalan' alias pembenaran atas kemalasan saya.

Malam itu, saya tembus hujan dan menerima segala 'rasa' yang muncul dalam perjalanan mencari tukang martabak. Tindakan 'ikhlas' saya berbuah manis. Malam itu saya amat bahagia melihat ibu saya melahap martabak impiannya... ***