Minggu, Juli 13, 2008

Buat Apa Sedih ?


Memang belum pernah terjadi (setidaknya yang saya tahu), isteri saya tidak lulus suatu mata kuliah. Sejak kecil ia juara kelas. Kalaupun tidak nomer satu, ya masuk tiga besar lah. Kalau ketemu dengan teman-teman SMA atau kuliah dia, sering reputasinya itu disebut-sebut. Karena 'disibukkan' oleh saya, disertasi doktoralnya menjadi tertunda lama. Ketika saya nikahi, ia sudah lulus preliminary exam untuk S3, padahal waktu itu ia cuma mendapatkan beasiswa S2 di University of California-Davis. Sempat pula mendaftar di FE-UI untuk menulis disertasi, namun sekali lagi 'kesibukannya' menyebabkan tulisan tidak lahir-lahir.

Sekarang ia mendapat beasiswa Australian Leadership Award untuk melanjutkan Ph.D di Australian National University -- perguruan paling 'top' di Australia. Di sinilah, ia mendapat pengalaman itu. Ia tidak lulus mata kuliah Ekonomi Mikro. Padahal, ia pernah mengajar mata kuliah itu di Indonesia.

Seorang temannya terheran-heran, karena begitu hasil ujian diumumkan dan isteri saya tidak lulus, isteri saya tenang-tenang saja, bahkan cengengesan, tertawa-tawa, bercanda seperti biasa.

"Ti, kok eloe nggak lulus malah ketawa-tawa sih ?", ujarnya kepada isteri saya.

"Yahhh ... sekarang kalo gue sedih, tetep aja gue nggak lulus kan ?. Gue malah bersyukur karena berarti masih bisa belajar Ekonomi Mikro sampai tahun depan. Itu berarti penguasaan gue bisa makin dalem ...", jawab isteri saya.

Sebagai manusia biasa, sudah tentu setiap orang merasa kecewa tidak 'langsung' lulus ujian. Ini wajar dan normal-normal saja. Kalau seseorang tidak 'sadar', maka alam bawah sadarnya (emosi) akan mengambil alih peran pikiran sadar. Ini disebut dengan pembajakan emosi atau pembajakan amigdala. Tergantung pengalaman masa lalu dia dan cara berpikirnya, bisa saja ia melabel dirinya gagal. Padahal yang terjadi adalah apa yang ia kerjakan hasilnya belum sesuai harapan saja. Dirinya bukan gagal. We are more than our behavior.

Kalau sudah menyadari adanya kemungkinan sabotase dari emosi, toh kalaupun sedih dan menangis meraung-raung juga tidak mengubah keadaan, maka seseorang yang sudah terprogram otomatis untuk melihat ke depan akan menafsirkan pengalamannya itu sebagai keadaan yang percuma untuk diratapi, sekaligus merupakan feedback untuk tidak melakukan hal yang sama karena akan menghasilkan hal yang sama juga. Ia tidak mau dikendalikan oleh emosi. Ialah yang mengendalikan emosi. Ia kemudian berpikir, bagaimana caranya ke depan mencapai seperti yang diharapkan.

Sekarang gantian saya sedang akan dibajak amigdala, karena isteri saya tinggal seminggu lagi berada di Jakarta. Minggu depan ia kembali ke Canberra untuk menempuh pendidikan selama tiga setengah tahun lagi ... Seandainya sahabat saya Ira Maya tahu emosi saya saat ini, ia akan mengulangi nasihat saya kepadanya : Acceptance ... ***

Siasati Pikiran Raih Keberuntungan (2)


Saya menjadi semakin yakin, ketika kita melakukan sesuatu untuk suatu niat yang lebih mulia, transendental, menempatkan kepentingan Tuhan dan masyarakat sebelum kepentingan privacy, kemudian yakin akan direspon oleh Tuhan dan alam semesta, lantas acceptance -- pasrah dan bersyukur, maka keberuntungan-keberuntungan itu akan menghampiri.

Di ujung acara launching buku "PROVOKASI, Menyiasati Pikiran Meraih Keberuntungan", Pak Fachri Muhammad, CEO Smart Network yang mengelola Stasiun Radio Smart FM 95.9, meminta Riri, salah seorang anchor di radio itu untuk membuat 'kapsul' bagi saya. Riri gembira. Memang terbersit di kepalanya buku ini menjadi kapsul. Kapsul adalah monolog sekitar lima menit yang berisi tips dan inspirasi. Smart FM memang radio terkemuka dalam bidang inspirasi. Bukan cuma itu, Pak Fachri juga berencana membuat acara khusus bernama "Provokasi", dan merencanakan saya sebagai host. Namanya juga rencana, bisa terwujud bisa juga tidak. Namun begitu, baru rencana saja saya sudah amat bersyukur dan menghargai niat Pak Fachri. Kalau di wacana agama, Pak Fachri sudah mendapat satu point pahala.

Di tengah-tengah proses pembuatan kapsul, saya sempat juga dua kali 'manggung' sebagai narasumber di D-FM, 103,4. Kali ini berkat 'campur tangan' Pak Vincent dari Gramedia dan Bang Andrias Harefa Sang Manusia Pembelajar.

Dibantu oleh Riri yang sangat bersemangat kapsul ini jadi, singkat cerita, akhirnya kapsul-pun diproduksi dan diberi sentuhan voice over dan musik oleh Mas Ariel sang editor dan Mas Dedi sang produser. Ketika saya diminta mendengarkan dummy, narasi pengantar kapsul itu berbunyi : ".... oleh Prasetya M. Brata, mind provocateur dan penulis buku best-seller PROVOKASI ...". Saya segera menyela, "Mas ... saya belum dapat konfirmasi dari Gramedia lho, apakah buku saya best-seller atau tidak". Tapi kata Mas Dedi, tidak apa-apa, anggap saja sebagai intention (niat).

Senin, 14 Juli, pagi-pagi sebelum jam 7, Riri menelepon saya dengan riang gembira mengabarkan kalau kapsul PROVOKASI siap tayang hari itu Pk. 09.50, 14.50, dan sekitar jam 8-9 malam. Sekitar dua jam kemudian Pak Wandi S. Brata dari Gramedia menelepon dan memberitahu dengan gembira pula, bahwa buku saya akan dicetak ulang. Itu berarti intention Mas Dedi dan Riri hari itu terwujud bersamaan ... Segala puji bagi Allah pengatur alam...***

Siasati Pikiran Raih Keberuntungan (1)


Bulan Maret 2008 di laptop saya ada program yang bernama Intention Activator. Hanya program sederhana, yaitu kita menulis apa yang kita inginkan sebagai cita-cita, lalu jika icon program di klik, akan muncul running text bertuliskan cita-cita kita itu. Di program itu saya tulis ”Buku Provokasi terbit paling lambat 23 April 2008”. Mengapa 23 April 2008 ? Karena itu hari ulang tahun saya. Mungkin saya agak ’gendeng’ karena saya menetapkan keinginan buku terbit hanya satu bulan ke depan, padahal waktu itu saya belum mendapat penerbit.

Saya mengirimkan naskah ke empat penerbit. Salah satu penerbit merespon dengan cepat, sekitar hampir 2 minggu kemudian. Mereka mengajak bertemu dan membicarakan marketing plan. Saya naksir dengan rencana mereka yang proaktif dalam pemasaran. Dia mengirimkan draft kontrak. Keesokan harinya penerbit besar lainnya mengirimkan email yang berisi ketertarikan dewan redaksinya untuk menerbitkan buku saya. Saya bingung.

Tanggal 25 Maret 2008 saya menelepon salah satu penerbit di bawah kelompok Gramedia setelah mendapat rekomendasi seorang senior yang bukunya juga diterbitkan penerbit itu. Seorang ibu di ujung telepon berkata, ”Silakan dikirimkan naskahnya pak, nanti kami review 2-3 bulan. Kalau diputuskan untuk diterbitkan, kami akan hubungi, kalau tidak naskahnya kami kembalikan”. 2-3 bulan ? ... berarti buku ini saya perkirakan terbit sekitar Juli-Agustus. lama ya ? ya sudah lah. Mungkin memang bukan dengan Gramedia Group. Saya memang alergi dengan keputusan-keputusan yang lama.

Bang Andrias Harefa tiba-tiba menelepon dan mengajak ketemu. Ia ingin berbincang-bincang. Kami lalu bertemu di Chopstick Cilandak Town Square hari Jumat sore. Di ujung perbincangan, jam 7 kurang sedikit, Bang Andrias menelpon seseorang di Gramedia. Lalu saya diberi nomor telepon orang itu – namanya Pak Wandi S. Brata. Setelah gagal janjian di hari Minggu dan Senin, Pak Wandi minta dikirim saja naskahnya lewat kurir.

Selasa, 1 April, Pak Iman supir dinas saya, saya minta untuk mengantarkan dummy buku. Jam 10 diterima oleh Pak Wandi, jam 12 beliau telepon, tapi saya tidak bisa mengangkat karena masih berada di kelas kursus persiapan IELTS – salah satu syarat untuk melanjutkan studi ke Australia. Jam 15.30 saya telepon beliau dan beliau bilang sedang membaca buku saya sampai tulisan yang berjudul ’Ngeyel’. Beliaupun memberitahu bahwa buku saya akan diterbitkan oleh Gramedia. Belum hilang kekagetan saya, Pak Wandi malah bertanya apakah ada waktu khusus yang dikejar dimana buku itu harus terbit ?. Saya bilang, saya akan ada reuni SMP tanggal 3 Mei. Kata Pak Wandi, oke. Gembira dan bingung bercampur satu.

Seminggu kemudian Pak Wandi minta saya datang ke kantornya untuk menandatangani kontrak. Selama seminggu kami berkomunikasi lewat email, antara lain untuk menentukan sub judul. Awalnya, di dummy buku, judul buku itu saya tulis ”PROVOKASI, Memaknai Peristiwa Kehidupan Sehari-hari”. Pak Wandi dengan intuisinya memandang perlu untuk diganti karena kurang ’marketable’. Usul Pak Wandi yang akhirnya saya setujui adalah ”Menyiasati Pikiran, Meraih Keberuntungan”.

Dari kontrak penerbitan buku, saya tahu nama panjang Pak Wandi adalah Suwandi S. Brata. Tapi beliau lebih suka dengan nama Wandi S. Brata. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan karena nama belakang saya dan Pak Wandi sama, yaitu Brata. Beliau memang lulusan filsafat, saya menyukai filsafat. Beliau ulang tahun tanggal 22 April, saya 23 April. Beliau menulis buku berjudul ”Bo Wero, Tips Mbeling Menyiasati Hidup” yang bangunan isinya hampir sama dengan tulisan saya, hanya tulisan beliau jauh lebih menghujam dalam. Kalau di dunia persilatan, buku Bo Wero adalah guru, buku saya adalah murid. Salah satu SMS Pak Wandi tentang saya dan beliau adalah ”Dua orang sejenis ketemu di jalan”. Kalau salah satu hukum alam yang bernama the law of attraction berbunyi ”like attract like” – bahwa sesuatu akan menarik sesuatu yang sejenis lainnya – saya pun tidak tahu apakah fenomena ini suatu buktinya – Brata dipertemukan dengan Brata.

Selesai menandatangani kontrak, saya bilang ke Pak Wandi bahwa saya akan memberi training pada tanggal 18 dan 25 April. Tanpa menunggu saya berkata lebih lanjut, Pak Wandi bilang, ”Kalau tanggal 18 rasanya belum sempat, kalau tanggal 25 .... hmmm ... kalau begitu tanggal 24 bukunya kami kirim Pak”. Luar biasa, saya pikir. Di kontrak tertulis tanggal 3 Mei buku itu terbit, tapi Pak Wandi berjanji tanggal 24 April terbit. Pada pelatihan tanggal 18 April saya menceritakan kisah ini, sambil menunjukkan ke laptop intention tertulis saya. Saya bilang, Alhamdulillah buku itu terbit hanya sehari bedanya dengan intention tertulis saya.

Selasa, 22 April, saya SMS pak Wandi, apakah bukunya bisa diambil hari Kamis (tanggal 24 April). Jawaban Pak Wandi, bukunya bisa diambil besok setelah jam 12, yang berarti itu adalah tanggal 23 April 2008 PERSIS seperti apa yang saya tulis di laptop.

Perjalanan buku ini sendiri mengisahkan tentang bukti dari apa yang ditulis di dalamnya. Buku ini ’walk the talk’. Ia membuktikan sendiri sebuah keinginan dan niat akan terwujud. Bahwa ketika pikiran membayangkan suatu impian yang nyata, berbatas waktu, tertulis, lalu ikhlas – acceptance – terhadap kejadian apapun sesudahnya – ternyata Tuhan mengirimkan orang-orang, kesempatan-kesempatan, dan kejadian-kejadian untuk mewujudkannya. Ketika pikiran selalu melihat keberuntungan-keberuntungan, dan kemudian disyukuri, keberuntungan-keberuntungan berikutnya datang.

Bukti lainnya, jumat malam 2 Mei 2008 pada hari Pendidikan Nasional, Pak Vincent Tuadi dari Gramedia menelepon. Ia memberi tahu ada penulis yang dijadwalkan hari Selasa, 6 Mei, berhalangan untuk on air bedah buku di SMART FM 95.9. Ia minta saya menggantikannya. Padahal, sebelumnya saya dijadwalkan oleh Pak Vincent on air sekitar bulan Juli karena ’antri’. Suatu keberuntungan ’mendadak’.

Orang-orang hadir ketika saya membutuhkannya. Saat saya butuh revisi tulisan, hadir Peni dan Cepi. Ketika buku itu butuh kemasan, hadir Defitra dan Danny Tumbelaka. Ketika saya butuh buku ini diberi nuansa otoritas, hadir Kang Jalal, Andrias Harefa, Rhenald Kasali, Miranty Abidin, Adiwarman Karim, dan sederet nama-nama ’beken’ lainnya. Ketika saya butuh penerbit, hadir Andrias Harefa dan Pak Wandi S. Brata. Ketika saya butuh buku ini dikenal, hadir Ira Maya Sopha, Pak Vincent Tuadi, Agung Suharto, Pak Fachri, Riri, dan sahabat-sahabat yang punya segudang ide. Ketika saya butuh orang yang bisa mengkoordinasikan media, hadir Rina Suci. Bukan hanya orang yang saya sebutkan namanya, mereka yang belum saya sebutkan namanya, muncul dan menjadi bagian dari ’skenario besar’ alam yang merespon idealisme saya : menjadikan negeri ini menjadi tempat yang jauh lebih baik untuk hidup.***

Sabtu, Juli 12, 2008

Bangga karena apa ?


Seorang petinggi yang mencapai posisi atas di sebuah perusahaan memberi sambutan dalam sebuah acara pembukaan pendidikan bagi pegawai entry level.

"Contohnya saya sendiri. Ketika masuk saya juga seperti anda, berangkat dari posisi paling bawah. Sekarang saya sudah mencapai posisi seperti ini. Bagi saya ini sungguh membanggakan ....", katanya.

Saya memilih memaknai sambutan petinggi ini sebagai pemberian inspirasi agar para peserta pendidikan memiliki semangat tinggi dalam belajar, karena mereka berpeluang untuk mencapai posisi top management. Namun begitu, saya juga sekaligus melakukan 'pertahanan diri' terhadap pemaknaan yang bisa-bisa membuat saya terjebak pada manusia 'permukaan'. Maksudnya ?

Sepanjang pengalaman dan pengamatan saya, orang tidak lagi peduli apakah pemegang jabatan itu dulunya orang hebat, penuh prestasi masa lalu. Lingkungan dan Perusahaan lebih melihat, saat itu, apa yang telah diperbuat oleh pemegang jabatan itu bagi Perusahaan ? Nilai tambah apa yang telah ia berikan kepada Perusahaan selama ia menjabat ? Sama dengan Tuhan tidak akan memberi ponten terhadap berapa harta yang telah kita kumpulkan. Tetapi dari mana harta itu diperoleh, dan digunakan untuk apa harta yang diperoleh itu.

Saya sendiri punya modal terjebak pada kebanggaan akan posisi, bukan kontribusi. Di setiap level jabatan, saya selalu menjadi pejabat 'termuda'. Mulai dari asisten kepala bagian termuda, hingga pimpinan anak perusahaan termuda ketika baru menjabat. Namun begitu, saya sadar, seluruh kecepatan perjalanan karier saya, seluruh pendidikan yang telah saya tempuh, seluruh 'kehebatan' prestasi masa lalu, sama sekali tidak berguna saat ini untuk disebut-sebut, ditonjol-tonjolkan, bahkan dibangga-banggakan. Yang dinilai dan dihargai adalah, bagaimana jabatan itu sampai dipercayakan (bukan dihadiahkan) kepada saya, dan apa yang telah saya perbuat pada jabatan dan posisi saat ini bagi perusahaan dan lingkungan. Kalau kelakuan saya dan hasil kerja nol besar, atau bahkan minus, maka keberadaan saya adalah musibah bagi Perusahaan dan lingkungan. Saya katakan seperti itupun bisa anda bilang : "Prass, kamu sedang pamer 'kerendahan hati ?" ...

Mudah-mudahan Bapak petinggi itu merasa bangga karena apa yang telah ia perbuat sehingga ia mencapai posisi itu, bukan bangga karena posisinya. Banyak orang di seputar saya yang bangga mencapai karier yang tinggi, tapi lingkungan seperti tidak menaruh respek, bahkan menertawakan dia. Mengapa ? Karena ia mencapai posisi itu lebih memberdayakan kompetensi 'politik' untuk 'merapat' dan 'menempel' kepada 'anchor' yang dia berhasil 'jilat'. Kompetensi profesional ? .. Nol besar. Indikatornya biasanya cibiran orang-orang sekitar yang melemparkan pertanyaan :"mana prestasi kerja orang itu ?".

Kalau badan anda masih kerempeng, lalu minta baju yang lebih besar, kira-kira begitu dipakai bagaimana reaksi orang-orang sekitar anda ? Apakah mereka tidak 'membatin' anda karena anda memakai baju kedodoran ? Sepanjang pengalaman saya, sekaligus menjadi keyakinan saya saat ini, daripada mengejar jabatan, lebih penting bagi saya untuk memperbesar otot-otot kompetensi profesional seperti pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kebiasaan yang diperlukan oleh fisik, mental, emosional, dan spiritual untuk menjawab tantangan dan persoalan saat ini dan masa depan. Nanti kalau otot-otot saya sudah besar, saya yakin, pasti Tuhan melalui tangan 'manajemen' akan memberi 'baju' (jabatan) yang 'pas' dengan ukuran tubuh saya.

Kalau saya memaksakan diri untuk mengejar jabatan, tapi sesungguhnya kompetensi saya belum cukup, itu sama saja seperti saya baru punya otot yang mampu mengangkat beban 50 kg, tapi minta beban 200 kg. Bukannya ketenangan dalam menjalankan peran dan tanggungjawab, yang ada malah penderitaan yang amat sangat.

Sekali lagi, mungkin saja ada orang yang bilang ke saya, "Ahhh .. berarti kamu takut menderita dong ? ... ***

Minggu, Juli 06, 2008

Salah Sendiri Tidak Tanggungjawab

Di dalam sebuah cafe di Bandara Adisucipto Yogyakarta, TV di depan saya menayangkan acara FANS, dimana seseorang difasilitasi untuk bertemu dengan idolanya. Seorang ABG dari Pulau Dewata diskenariokan untuk bertemu dengan dMasiv, grup band yang sedang kondang. Singkat cerita, setelah pertemuan yang mengharukan, mereka menyanyikan hits kelompok band ini.

Kau membuat kuberantakan ...
Kau membuat ku tak karuan ...

Kau membuat ku tak berdaya

Kau menolak ku, acuhkan diriku


Bagaimana caranya untuk

meruntuhkan kerasnya hatimu

Kusadari, kutak sempurna

Ku tak seperti yang kau inginkan


Kau hancurkan aku dengan sikapmu ...

Tak sadarkah kau telah menyakitiku ..

Lelah hati ini meyakinkanmu ..

Cinta ini membunuhku ...


Kebetulan lirik lagu ini ditampilkan di layar televisi. Saya menyimak satu persatu, dan seketika merasa miris. Dari kacamata pengetahuan saya tentang sugesti-pikiran-perasaan-tindakan-nasib, seandainya seseorang menghayati betul lagu ini, sampai menangis-nangis (saya pernah lihat seorang presenter/host kondang meleleh airmatanya menyanyikan lagu ini), bukannya keberuntungan yang akan didapat, melainkan kesengsaraan yang lebih dalam lagi yang bakal diterimanya.

Saya berimajinasi, seandainya 'bocah-bocah' dMasiv itu datang kepada saya dan seolah-olah mereka 'curhat' dengan lagu itu kepada saya, maka jawaban saya berupa pertanyaan-pertanyaan adalah seperti ini :

Ooo ... kamu menyerahkan kuasa kepada perilaku atau sikap dia untuk bikin kamu berantakan ? membuat kamu nggak karuan ? membuat kamu hancur ? sakit ? bahkan terbunuh ? Kamu biarkan 'sikap dia' bikin kamu menderita kayak gitu ?

Bukankah itu berarti kamu kalah oleh perilaku dia dan perasaan kamu sendiri ? Kamu mau membiarkan dia mengendalikan kamu ? bukan kamu yang mengendalikan diri kamu sendiri (dan dia) ?


Dengan perasaan seperti ini, apakah kamu bisa menarik simpati dia lagi ? Apa bukannya dia makin ogah sama kamu?
bukankah itu berarti kamu menunjukkan diri sedang lemah oleh kejadian ini ? Ada nggak sih cewek yang suka apalagi mau sama cowok yang lemah dan cengeng ? Emang dengan cara begini kerasnya hatinya jadi runtuh seperti apa yang kamu harapkan ?

Kamu ingin dia mengasihanimu ? (bukan memberi kasih ?). Kamu benar-benar ingin hidup bersamanya di bawah rasa kasihan dia ? Kalau kamu sadar kamu tak sempurna dan tidak seperti yang dia inginkan, kamu mau hidup dengan orang yang tidak menginginkanmu ? Itukah yang disebut cinta ?

Kalau dengan cara selama ini dia nggak yakin sama kamu, sampai kamu lelah, lalu kamu masih pakai cara-cara yang sama untuk meyakinkan dia ?

Kalau kamu berharap dia berubah seperti yang kamu mau, lalu apakah kamu mau dan bisa berubah seperti yang dia inginkan ? Mengapa harus dia dulu yang berubah ? .. Mengapa bukan kamu dulu yang berubah jadi orang yang meyakinkan dia ? yang meluluhkan hati dia ? itu kalo kamu masih mau sama dia lhoooo .....

Nikmatilah lagu ini. Belilah kaset dan CD (asli) nya. Musikalitasnya bagus dan enak didengar. Tapi hati-hati, pikiran tidak bisa membedakan mana yang kenyataan, mana yang imajinasi, mana sugesti yang positif, dan mana sugesti yang negatif. Meskipun saya akan memberi saran jangan hayati liriknya, dan saya agak pesimis anda tidak terpengaruh ...***