Selasa, Januari 29, 2008

Pertolongan Datang Setelah Bertindak

Di Yahoo Messenger, sahabat saya Pak Widyarso mengatakan sudah tidak sabar ingin membaca buku perdana saya. Ia bertanya, sejak kapan saya menulisnya. Saya bilang, sejak akhir Oktober 2007. Kata dia, lumayan cepat juga prosesnya. Sayapun sebenarnya tidak menyangka bisa secepat ini. Meskipun saya yakin banyak penulis yang lebih senior dan lebih bagus dari saya berhasil menulis dan menerbitkan dalam hitungan kurang dari bulan, bahkan kurang dari sebulan.

Kalau menengok sejenak proses penulisan buku ini, awalnya saya cuma berniat membuat buku. Begitu mulai menuliskan kata pertama di microsoft word (sebelumnya di web blog), sepertinya saya dituntun ke jalan-jalan baru menuju penerbitan. Ketika tulisan sudah mulai banyak, saya fotokopi dan jilid, lalu saya ’jual’ (maksudnya sekedar pengganti ongkos fotocopy) kepada peserta pelatihan. Ternyata laku, dan bahkan ada beberapa dari mereka minta tandatangan. Wah, kayak selebriti saja pikir saya. Bersama dengan komentar-komentar di blog, tanggapan positif atas buku fotokopian saya menjadi energi pendorong untuk menulis lebih banyak lagi.

Sembari menulis, saya lalu diminta menjadi panitia pernikahan Dewi Pravitasari, puteri mantan boss saya yang ternyata baru saja menerbitkan buku. Darinya saya mendapat informasi tentang penerbitan buku, bahkan nama penerbit yang bisa dihubungi. Lalu, saya bertemu lagi dengan Peni, teman SMA yang dulu mengaku tidak suka dengan polah saya. Awalnya saya hanya ingin memesan diet catering dari perusahaan miliknya. Belakangan, dia malah yang ’semangat 45’ memberi saran-saran terhadap isi tulisan saya, bahkan skenario pemasarannya. Ia sengaja survey ke toko buku untuk mengecek apakah ada buku dengan konsep yang sama dengan buku saya. Ia lalu mempertemukan saya dengan Danny, teman SMP dan SMA saya yang sudah 20 tahun tidak bertemu. Ternyata Danny punya ’frekuensi’ pikiran yang sama dengan saya, bahkan dia yang membuatkan cover buku ini. Satu persatu orang-orang yang membantu terbitnya buku ini muncul dalam kehidupan saya. Belum lagi sahabat-sahabat saya lain yang gencar memberi kritik, saran, pujian, namun belum ada makian.

Saya pernah menonton film Cast Away yang dibintangi Tom Hanks yang mengisahkan seseorang yang terdampar di sebuah pulau terpencil. Tidak ada orang lain di pulau itu selain dirinya. Suatu ketika ia ingin membelah buah kelapa untuk disantap isinya. Karena tidak ada pisau atau golok, ia membanting-banting kelapa tadi ke bebatuan. Lama sekali ia membentur-benturkan sang kelapa, namun tidak kunjung terbelah juga. Hingga suatu saat, tiba-tiba justru batunya yang pecah. Tapi apa terjadi ? Ia melihat batu yang terbelah itu pinggirnya tajam. Jadilah batu itu ’kampak’ untuk membelah kelapa. Akhirnya ia bisa meminum air kelapa dan menyantap dagingnya.

Film itu memberi pelajaran, bahwa keajaiban datang setelah kita berusaha – setelah kita action. Pertolongan datang setelah kita bertindak.

Pak Wid lalu berkata, ”Ajari saya menulis buku dong...”.

Saya sendiri juga baru jadi penulis pemula. Buku ini adalah karya perdana. Saya katakan kepadanya, ”Pasang niat, duduk di depan laptop, baca ’Bismillah’, lalu ketik huruf pertama, nanti kan jadi buku ...” ***

Ketidaktahuan Bukan Berarti Kebodohan

Jalan menuju Gunung Bromo ditutupi kabut. Jarak pandang ke depan hanya 20-30 meteran. Di tengah hujan rintik, dibantu dengan pengetahuan safety driving, saya mengemudi mobil tenang. Saya mengejar waktu untuk segera sampai di Hotel Bromo Permai I untuk memberi pelatihan subconscious mind programming. Ketika melihat ke arah ke kiri dan kanan, saya tidak bisa melihat pemandangan selain kabut putih. Serasa sedang meluncur di atas awan.

Keesokan paginya, saya meninggalkan hotel dengan cuaca yang bersahabat. Udara dan cahaya sama-sama bening. Sempat dua kali saya berhenti untuk memotret pemandangan dinding dan puncak gunung yang diselimuti pepohonan hijau segar. Tiba-tiba jantung saya berdegup kencang saat melintasi jalan yang kemarin saya lewati. Ternyata ada ruas jalan yang sempit, dan di kiri-kanannya jurang yang dalam. Seketika, saya langsung memperlambat laju kendaraan, dan berkonsentrasi penuh dengan manuver yang saya lakukan.

Yang membuat saya berkeringat dingin bukanlah apa yang saya hadapi sekarang, tapi membayangkan apa yang telah saya lakukan kemarin. Seandainya saya tahu di kiri dan kanan jalan ada jurang yang dalam, tentu saya tidak bermanuver dan melaju dengan kecepatan seperti kemarin. Ketenangan saya kemarin dibantu oleh ketidaktahuan saya akan adanya jurang dalam tersebut.

Seorang sahabat menemukan file foto-foto ’heboh’ suaminya dengan selingkuhannya. Foto-foto itu ditemukan setelah skandal ini terkuak beberapa bulan sebelumnya. Saat foto-foto itu ditemukan, ia dan suaminya sedang melewati masa recovery. Sang suami telah menyatakan keinsyafannya.

Temuan itu membuat luka lamanya terkuak kembali. Dengan suara bergetar menahan emosi, ia meminta pendapat saya, apakah perlu menanyakan kepada suaminya tentang foto-foto itu. Saya menjawab, ”Memangnya kalau kamu bertanya kepada suamimu, ada dampak positifnya pada proses recovery rumah tanggamu ? Akan mengubah sejarah ?”.

”Tidak sih”, katanya.

”Menurutmu, itu foto baru-baru ini, atau foto lama waktu dia masih lengket sama selingkuhannya ?”, tanya saya lagi.

”Kelihatannya foto waktu dulu belum ketahuan”, jawabnya.

”Seandainya suami kamu cerita tentang foto itu, apakah keadaannya makin baik, atau justru tersedot lagi ke penderitaan masa lalu ? Bukankah foto-foto itu adalah kejadian sebelum dia mengaku insyaf ?”, giring saya.

”Iya sih, jadi sebaiknya tidak usah tanya ya ?”, tanya dia lagi.

Saya jadi ingat ada firman Tuhan yang berbunyi ”Janganlah kamu menanyakan sesuatu yang sekiranya jawabannya dibukakan bagimu, kamu akan mengalami kesusahan” (QS 5 : 101). Kabut di Gunung Bromo telah menutup informasi mengenai keadaan wilayah yang sesungguhnya. Namun ketiadaan informasi itu justru membuat saya lebih tenang berkendara kemarin.

Namun begitu, masalah ’kabut’ ini tidak sembarangan diterapkan dalam semua situasi. Konteksnya adalah menyangkut bagaimana kita mengelola informasi. Informasi yang tidak perlu karena tidak bermanfaat terhadap pencapaian tujuan bisa tidak perlu diketahui supaya hidup kita menjadi lebih efisien. Dalam kasus saya, saya melihat jalan yang akan saya lewati dan kemampuan saya dalam mengemudi secara safe. Itu sudah cukup. Dalam kasus sahabat saya tadi, ia telah menaruh fokus perhatian kepada ’what next’, yaitu bagaimana membangun kembali rumahtangga mereka dengan pakem dan skenario baru, sehingga informasi masa lalu tidak perlu lagi dikorek-korek. Mubazir.

Danny sahabat lama saya meluncurkan kalimat yang ’manis’ tentang masalah ini, ”Ketidaktahuan bukan berarti kebodohan. Ketidaktahuan kadang menyelamatkan kita” .***

Minggu, Januari 13, 2008

Tanggungjawab Siapa ? (2)

Di suatu diskusi, Bu Mariani Ng, guru neurosemantics NLP Indonesia, mencontohkan dialog bagaimana cara berkomunikasi dengan anak. Saat itu kami sedang membahas pacing, yaitu proses menyesuaikan diri dengan lawan bicara untuk membangun rapport (hubungan baik) agar memperoleh kepercayaan (trust). Trust adalah dasar bagi interaksi dua pihak secara enak dan efektif.

Anak : ”Ma, aku males sekolah. Bete sama pelajarannya, banyak PR...”

Ibu : ”Emang ya .. kalau banyak PR bikin bete ...”

Sampai di sini diharapkan si anak merasa si Ibu memahami dirinya dan merasa ‘sependapat’. Si Ibu bisa meneruskan proses menyamakan diri dengan perasaan, aspirasi, bahkan gerak tubuh si anak. Setelah anak tampak dipahami, barulah si Ibu melanjutkan pada tahap leading (memimpin), yaitu menyampaikan persuasinya.

Ibu : “ehhh .. ngomong-ngomong, dulu mama juga seperti kamu lho. Bete banget. Tapi akhirnya mama bersyukur lho. Coba kalau tidak banyak PR dan tugas-tugas yang bikin mama makin pinter, mungkin mama nggak seperti ini. Mungkin mama nggak bisa kasih kamu apa-apa seperti sekarang ini ...”.

Pada tahap ini, karena anak sudah trust kepada Ibu, maka saran dari Ibu dengan ‘enteng’ diikuti.

Seorang bapak kemudian bercerita, dia tidak sabar untuk segera menasihati anaknya. Kalau anaknya punya masalah, ditanya-tanya, lalu langsung ingin mengubah perilaku anaknya itu. Hal ini dia lakukan karena dia didorong oleh tanggungjawab atas apa yang dilakukan anaknya. Dia ingin anaknya pinter dan bener.

Karena saat itu juga sedang membahas masalah coaching, maka Bu Mariani menyarankan agar solusi atas permasalahan anak sebaiknya muncul dari diri anak sendiri. Kalau solusi berasal dari diri si anak, maka komitmennya lebih kuat dibandingkan solusi yang disodorkan oleh orang lain, meskipun orang itu ayah ibunya sendiri. Kata Bu Mariani, kita tidak selalu harus bertanggungjawab atas diri orang lain.

Dalam konteks si anak sudah dewasa (akil baligh) saya setuju. Kalau anak masih kecil dan dalam pengasuhan orang tua, tentu tingkat ketergantungan anak kepada orang lain masih tinggi (dependent). Masih dibutuhkan tanggungjawab orang tua untuk keperluan si anak yang lebih luas, termasuk memberi solusi atau intervensi. Tapi itu kalau terpaksa saja. Saya setuju sejak kecil seorang anak dilatih untuk mengambil keputusan sendiri, dengan 'giringan' dari orang tuanya.

Saya ingat sebuah kisah tentang Nabi Nuh. Ketika Nabi Nuh diberi tahu oleh Tuhan akan ada banjir besar dan diminta menyiapkan kapal, Nabi Nuh lalu membuat kapal dan mengajak seluruh mahluk untuk naik ke kapalnya. Isteri dan anak Nabi Nuh juga termasuk yang diajak naik, namun mereka menolak. Dengan persuasi berkali-kali (baca : dakwah), isteri dan anaknya tetap bergeming. Akhirnya ketika banjir benar-benar datang, isteri dan anak Nabi Nuh tenggelam.

Sepintas, sepertinya Nabi Nuh adalah orang tua yang gagal. Ia tidak berhasil mendidik isteri dan anaknya untuk mengikuti perintahnya. Tetapi tafsir atas kejadian itu tidak berhenti sampai disitu. Nabi Nuh telah bertanggungjawab (responsible to) melakukan hal-hal yang perlu dilakukan dengan baik, yaitu memberi peringatan dan mengajak. Selanjutnya, keputusan tergantung dari individu yang diberi peringatan dan diajak. Seseorang bertanggungjawab sendiri atas keputusan dan tindakannya. Maka, kalau isteri dan anaknya tidak mau naik ke kapal, itu tanggungjawab mereka sendiri. Nabi Nuh sudah melakukan tugasnya. Di sini tampak bahwa responsible to adalah masalah proses.

Itulah sebabnya dalam suatu konteks, saya kurang sependapat kalau dikatakan : tidak ada anak buah yang salah, yang ada adalah komandan yang salah. Seringkali atasan sudah memberi bimbingan dan pemberdayaan yang memadai, tetapi memang si anak buah yang tidak bertanggungjawab. Atasan mencontohkan integritas, bawahan tetap mencari-cari peluang untuk korupsi.
Di dalam wilayah hukum ada yang dikenal dengan istilah due dilligent. Artinya, kalau seorang pejabat sudah menjalankan tugas dengan niat dan cara yang sesuai prosedur yang benar, kalau ada masalah dengan perusahaan yang dilakukan oleh atasannya lagi, atau anak buahnya, maka ia terbebas dari tuntutan hukum. Persis seperti Nabi Nuh tadi.

Saya pernah bertemu dengan seorang ayah teman yang menggerutu terus, ”Pusing saya .. gimana sih ini masyarakat, gimana sih ini pemerintah .. kok keadaan kita makin kacau saja ...”. Rasanya kita tidak bisa bertanggungjawab atas (responsible for) semua ’kekacauan’ ini. Ini tanggungjawab bersama. Tanggungjawab kita sebatas (responsible to) melakukan langkah-langkah yang berada pada kendali diri kita sendiri, misalnya memperbaiki diri sendiri, dari hal-hal kecil, dan lakukan sekarang juga (saya pinjam formula perubahan dari Aa Gym). Yakinlah, apapun yang kita lakukan meskipun kecil, selama bertujuan untuk memperbaiki keadaan, tidak akan sia-sia. ***

Kamis, Januari 10, 2008

Malingsia

Seorang sahabat mengirimkan surat keprihatinan dan kegeraman terhadap situs blog yang dibuat oleh orang Malaysia bernama http://ihateindon.blogspot.com. Di situs blog itu, semua tulisan menghujat dan menjelek-jelekkan Indon - sebutan untuk orang Indonesia.

Ketika saya buka situs blog tadi, saya paham 'panas'nya hati sahabat saya itu. Malaysia sudah 'merampas' kekayaan budaya Indonesia seperti angklung, batik, reog, lagu daerah melalui pengakuan kepemilikan, namun masih juga menyiksa TKI dan membuat blog semacam itu. Sahabat saya lalu mengajak kalau mau berlibur jangan ke Malingsia (plesetan dari 'Malaysia 'karena perbuatan mereka 'mencuri' kekayaan budaya kita itu). Kalau mau berlibur, keluarkan duit untuk ke Bali, Jogja, Danau Toba, Batam, Bunaken.

Ketika kami bertemu di Yahoo Messenger, dia menyapa dan bertanya komentar saya soal Malingsia itu. Saya jawab, sejujurnya pertama, saya berterimakasih kepada pembuat dan penulis blog itu karena sudah mengurangi dosa2 orang indonesia dengan memaki2 kita. Sahabat saya itu tertawa. Saya melanjutkan, kita tidak pernah punya pilihan untuk menjadi orang Indonesia ... kehendak Allah-lah kita lahir di sini ... kalau mereka memaki dan menghina kita, mereka menghujat pencipta kita ..

Kedua, kita jadi tahu siapa Malingsia itu ... ibarat teko, kita bisa tahu isi teko itu dari air yang tercurah dari mulut teko .. Jadi, kalau penulis blog ini omongan, bahasa, tulisannya seperti itu ... itu berarti menggambarkan pikiran, karakter, watak, mental dan jiwa mereka yang sesungguhnya. Kalau yang keluar dari teko itu air kopi, berarti isi teko kopi .... kalau tulisan blog mereka 'berwarna dan berbau comberan', boleh kan kalau dikatakan mental dan jiwa merekapun 'comberan' ... Apakah ada orang dengan hati dan jiwa yang mulia tapi omongannya seperti di blog tersebut ? Rasanya tidak ada bukan ?

Ketiga, .... ada tulisan mereka yang berjudul '10 things I hate about indon' ... nah, ini yang saya suka .... Mari kita pisahkan antara orang dengan perilaku .. ketika orang lain bicara tentang perilaku kita, itulah saat kita introspeksi karena sebagian dari ten things itu benar adanya.... Sebut saja soal korupsi, kemiskinan, biaya pendidikan mahal, bis kota yang memprihatinkan, dan seterusnya.

Keempat, seandainya blog itu dibuat untuk menyakiti kita, saya tidak akan pernah sakit hati. Kalau saya sakit hati, berarti mereka yang menang ...kita kalah .. So, kalau kita tenang2 aja maka mereka yang kalah ... tujuan mereka tidak tercapai .. mereka gagal total. Kalau kita balik menghujat mereka (membalas) , mungkin kita sama juga level berpikirnya dengan mereka. Sekarang ini yang penting adalah bagaimana mengembalikan citra kita menjadi bangsa yang BENAR2 .. (bukan kelihatannya) mulia ... ya mulai dari akhlak/etika keseharian kita ..

Sahabat saya lalu bertanya : "Ngomong2 bener ngga orang indonesia di Australia juga "direndahkan"?. Kebetulan isteri saya sedang berada di Canberra-Australia untuk menyelesaikan Ph.D.-nya. Saya jawab belum tahu karena belum ada laporan dari isteri. Tapi ada yang menarik dari pengalaman isteri saya. Bahwa, bagaimana orang lain memandang kita, itu sangat tergantung dari kita sendiri. Kenyataannya, waktu kerja isteri saya bekerja di kedubes AS, dia malah jadi 'bintang' dan menerima banyak award. Padahal isteri saya berjilbab. Isteri saya pernah jadi jadi ketua semacam serikat karyawan, tapi orang AS nggak alergi .. Waktu isteri saya ke Kuala Lumpur, dia diajak ngomong oleh orang Malaysia, lalu dia menjawabnya dengan Bahasa Inggris dengan sikap sebagai customer, dan dia diperlakukan dengan hormat.

Jadi, kuncinya memang kembali kepada bagaimana diri kita sendiri meningkatkan kemampuan dan membangun mindset tentang diri kita di hadapan orang lain. Kalau kita menganggap diri kita rendah, maka kemungkinan besar orang lain juga akan memperlakukan kita rendah. Kalau kita menganggap diri kita sejajar, bermitra, satu kaliber dengan orang lain itu ... ya mereka juga akan begitu terhadap kita. Kita diperlakukan sesuai dengan apa yang kita pikirkan tentang diri kita sendiri. Saya sendiri juga sudah membuktikan. Dulu waktu saya menunduk-nunduk terhadap atasan, saya malah merasa disepelekan .. Begitu saya mengubah mindset, dengan menganggap diri partner bahkan konsultan bagi atasan, interaksi saya dengan atasan menjadi sangat kondusif. Atasan lalu sering memberi kepercayaan dan tanggungjawab yang besar.

Oh ya, di atas saya menulis 'pembuat' dan 'penulis blog', karena saya tidak ingin membuat generalisasi bahwa semua orang Malaysia punya aspirasi sama dengan blog tersebut. Soalnya -- yang jadi pertanyaan saya -- kalau mereka (orang Malaysia) benar semuanya membenci Indon, kenapa kok beberapa artis penyanyi kita menempati tangga lagu teratas di malaysia ? ***

Jumat, Januari 04, 2008

Untuk Tuhan atau untuk diri sendiri ?

Di sebuah mesjid, antrian di depan keran wudhu begitu panjang. Dari tujuh keran, hanya bisa dibuka tiga keran karena airnya kecil. Saya berada di urutan ketiga. Seorang laki-laki mulai membasuh tangannya dengan perlahan dan telaten. Ia mulai berkumur. Ia tampung kucuran air dengan tangannya hingga penuh, lalu dia masukkan ke mulutnya. Ia berkumur lama. Ia lakukan tiga kali. Begitu juga ketika memasukkan air ke hidungnya. Ketika ia membasuh wajahnya, orang yang wudhu di sebelahnya sudah sampai membasuh kaki. Air semakin menipis. Saya rasakan orang di belakang saya gelisah.

Saya anggap orang yang sedang wudhu itu belum terprogram suatu nilai bahwa memperhatikan, membantu, dan melayani orang lain adalah ibadah untuk Tuhan yang sebenarnya. Saya ingat sebuah kisah Tuhan bertanya kepada Nabi Musa.

Tuhan : "Mana ibadah untukKu ?"
Musa : "Bukankah aku selama ini sudah sembahyang dan berpuasa untukMu ?"
Tuhan : "Bukan..., itu adalah ibadah untukmu sendiri. Itu untuk kepentinganmu sendiri (mendapat pahala). Ibadahmu untukKu yang sebenarnya adalah ketika engkau menolong orang lain ..."

Kalau saya jadi orang yang sedang wudhu, maka saya akan mempercepat wudhu saya dengan tetap khusyu'. Karena airnya makin lama makin sedikit, agar orang di belakang saya kebagian -- apalagi antriannya begitu panjang ---, maka kalau perlu saya hanya membasuh yang wajib-wajib saja, dan itupun hanya sekali usap. Yang penting apa yang dianggap sah wudhunya, -- yaitu seluruh bidang yang harus dibasuh terkena air -- terpenuhi. Saya akan lakukan itu dalam konteks agar orang lain juga kebagian wudhu.

Lain soal kalau saya mempercepat wudhu, membasuh bidang yang wajib-wajib saja, dan hanya sekali usap, dalam keadaan air melimpah dan tidak ada antrian. Anda boleh bilang saya bokis.

Bukan cuma urusan wudhu. Ketika antri makanan, perlulah kita melihat konteks, yaitu keadaan lingkungan yang terjadi pada saat itu. Kalau makanan masih melimpah, boleh ambil yang disuka. Tapi kalau makanan terbatas, sementara yang antri banyak, boleh jadi kita perlu menahan diri untuk mengambil secukupnya, bahkan kalau perlu dengan takaran yang sedikit saja, agar orang lain yang antri di belakang kita juga kebagian.

Saya pernah mampir ke rest area di tol Cikampek. Saya dan seorang ibu tiba bersamaan di sebuah konter tahu sumedang. Kelihatannya tahu yang ada adalah tahu terakhir. Si Penjual tidak lagi menyalakan kompor dan tidak tampak lagi tahu mentah di situ. Saya berdiri di samping ibu itu dan membiarkan ibu tadi duluan memesan. Saya lihat ibu itu melirik saya, dan tiba-tiba berkata kepada si penjual, "Bang, saya ambil semua ...". Ibu tadi mendapat 23 potong tahu goreng, dan bergegas meninggalkan saya yang menatap kepergian ibu tadi sambil bertanya-tanya dalam hati, apa yang ada di peta pikiran ibu tadi sehingga saya tidak mendapat beberapa potong tahu ? ...***