Kamis, November 29, 2007

Bu Herry tetap berkarya

Sampai sekarang saya masih terkagum-kagum dengan Bu Herry. Tahun 1991 ketika saya mengantarkan lamaran ke Bumiputera, Bu Herry adalah Kepala Bagian Pengembangan SDM yang akhirnya memanggil saya, mengetes saya, dan mewawancarai saya. Saya tahu, kalau saja waktu itu Bu Herry mengisi kolom 'tidak lulus', tidak ada yang namanya saya dalam sejarah di Bumiputera. Singkat cerita, akhirnya saya diterima bekerja sebagai clerk di Bumiputera, ditempatkan di Departemen Personalia. Meskipun saya ditempatkan di bagian lain, tapi tetap satu departemen dengan Bu Herry.

Tiga bulan berselang, terjadi restrukturisasi organisasi. Saya dan Bu Herry sama-sama dipindah ke Divisi Pemasaran II. Saya pegawai di Bagian Keagenan & Promosi, sementara Bu Herry Kepala Bagian Distribusi.

Ketika saya selesai tugas belajar 2 tahun di MM-UI, saya ditempatkan di unit yang sama lagi dengan Bu Herry. Beliau Kepala Bagian Hubungan Masyarakat, saya Asisten Kepala Bagian Hubungan Internasional. Sama-sama di bawah Sekretaris Perusahaan. Ketika saya naik pangkat lagi jadi Kepala Bagian Pengembangan SDM, bu Herry Kepala Bagian Sekretariat Direksi. Singkat cerita, akhirnya posisi saya 'agak' lebih tinggi dari Bu Herry ketika saya ditugasi menjadi pimpinan anak perusahaan di bawah Bumiputera Group.

Ketika Bu Herry pensiun dengan jabatan terakhir Pemimpin Cabang Eksekutif, Bu Herry lalu datang ke kantor saya sambil membawa lamaran. Beliau memanggil saya 'Bapak', dan ingin melamar menjadi tenaga profesional di lembaga yang saya pimpin. Meskipun saya bilang tidak usah pakai lamaran karena saya sangat tahu kualitas Bu Herry, tapi demi tertib administrasi, akhirnya lamaran itu saya terima juga.

Sekarang, Bu Herry masih sering membuat saya kikuk. Bagaimana tidak, beliau dulu yang menerima lamaran saya, sekarang saya menerima lamaran beliau. Beliau dulu memanggil saya 'Dik', sekarang memanggil saya 'Bapak' dan berkomunikasi dengan cara yang sangat santun. Satu hal yang membuat saya kagum dan selalu berguru kepada Bu Herry, yaitu semua itu beliau lakukan dengan tulus dan ikhlas. Dari dulu Bu Herry adalah orang yang bisa menempatkan diri. Bu Herry paham betul peran dan kontribusinya, dan bisa memposisikan orang lain sedemikian rupa sehingga proporsional. Di lembaga saya, Bu Herry melakukan tugas dengan 'total football', meskipun secara finansial sebenarnya jauh di bawah apa yang pernah diterima beliau pada jabatan terakhir di Bumiputera. Saya sangat terdukung dengan keberadaan beliau.

Sekarang secara formal saya memang atasan beliau. Tapi secara batin, sebenarnya saya murid beliau. Saya ingat sms Pak Mawarto, Direktur SDM AJB Bumiputera 1912 semalam yang mengirimkan sebuah ayat pendek yang sebenarnya sering saya baca dalam sholat, tapi jarang ingat artinya : ".. dan apabila kamu telah selesai dengan suatu tugas, maka lakukan tugas berikutnya ..., dan hanya kepada Allah perhatian kamu tujukan"...***

Tidak Mau Bisa

Kalau ada orang yang mengatakan kepada kita 'tidak bisa', jangan percaya. Mbak Atty, salah seorang staf Pak Suroto kolega saya, minta saya memberi training motivasi untuk timnya hari Senin pagi. Karena waktunya mendadak, hari itu hari Jumat, saya telanjur membuat rencana hari Senin ada dua pertemuan penting di kantor saya. Saya mengatakan tidak bisa dan minta maaf.

Hari Minggunya Pak Suroto secara langsung menelpon saya dan minta bantuan saya. Saya katakan, karena permintaannya mendadak saya tidak bisa. Atas permintaan beliau juga saya berjanji mencarikan speaker/trainer pengganti. Saya menelpon dua orang rekan saya, tapi semuanya berhalangan. Karena unit kerja kolega adalah almamater saya, dan saya punya hubungan baik dengan beliau, akhirnya saya minta pertimbangan teman-teman kantor saya. Mereka menyatakan dukungannya untuk saya memenuhi permintaan kolega saya itu. Akhirnya saya sampaikan ke Pak Suroto bersedia membantu. Hari Senin, menurut kabar, peserta pertemuan tersebut puas dengan materi saya. Sayapun puas bisa membantu Pak Suroto.

Jadi, kalau pada awalnya saya mengatakan 'tidak bisa', ternyata bukannya tidak bisa, tapi tidak MAU bisa. Buktinya akhirnya saya bisa.

Seandainya saya seorang salesperson lalu mengatakan kepada boss : "Maaf pak, saya sudah berusaha, tapi tetap tidak bisa memenuhi target". Itu sebenarnya saya bukannya tidak bisa, tapi tidak mau bisa. Kalau saya menolak ajakan atau undangan seseorang dan bilang tidak bisa karena ada acara lain, sebenarnya saya bukannya tidak bisa, tapi tidak mau bisa. Kalau mau, pasti bisa. Buktinya kalau detik itu saya tiba-tiba ambruk sakit, saya langsung minta diantarkan ke dokter. Acara lainnya jadi batal dan digantikan acara ke dokter bukan ?

Satu-satunya yang memang benar-benar tidak bisa adalah ketika saya minta kepada malaikat : "tolong kembalikan saya ke dunia dan beri kesempatan saya berbuat baik', lalu malaikat itu menjawab : "tidak bisa, anda sudah mati". ***

Rabu, November 28, 2007

Tidak bisa mencoba

Teman SMA saya datang ke kantor dan cerita dia baru saja bergabung dengan sebuah perusahaan sebagai 'marketing'. Sebelumnya dia seorang guru dan belum pernah kerja di bidang marketing (sebenarnya lebih tepat dalam bidang selling). Ceritanya dia direkomendasikan oleh teman SMA lainnya untuk 'belajar' ke saya tentang marketing.

"Ane mau coba sebulan ini. Kalau nggak berhasil ya ane balik jadi ngajar di tempat lama lagi .. Ane udah bilang sama pengurusnya ..", katanya kepada saya.

"Coba sebulan ?" tanya saya. Saya lalu mengambil sebuah bolpen. Lalu dia saya minta untuk mengambil bolpen dari tangan saya ini. "Coba ambil bolpen ini dari tangan saya ..". Dia menjulurkan tangannya lalu, hap, bolpen itu dia pegang.

Saya bilang, "Nahhh ... Itu namanya mengambil .. bukan mencoba mengambil .."

Dia bingung sejenak, lalu ketawa. "Sekarang, sekali lagi coba ambil bolpen ini .."
Dia menjulurkan tangannya ke tangan saya, tapi dia hanya menggapai-gapai.

Dalam beberapa kesempatan saya menganjurkan orang-orang untuk sedapat mungkin menghindari kata 'mencoba', 'berusaha', 'akan', 'harus', bahkan 'Insya Allah'. Mengapa? Sebab tubuh kita sebenarnya tidak bisa mencoba. Buktinya, teman saya itu tidak bisa mencoba mengambil bolpen dari tangan saya. Kalau anda bilang 'coba', itu berarti anda tidak terlalu yakin. Padahal keyakinan membuat fisik kita jadi 'full power'. Maka keberhasilan seringkali lebih kita capai kalau kita yakin. Maka, kalau anda ingin jadi apapun, melakukan apapun, ya tidak usah pakai kata 'coba', tapi lakukan saja. Just do it ... dengan sepenuh fokus dan keyakinan. Kalau sudah fokus & yakin, nanti kalau ada masalah kita bergairah untuk belajar. Nanti kita makin lama makin piawai di pekerjaan kita.

Kata 'akan' tidak memerintahkan bawah sadar kita untuk bertindak. Misalnya, anak buah kita telat melulu. Lalu ketika kita tegor, dia bilang, "Baik pak, baik bu, .. saya akan disiplin ..". Jangan percaya !. Pikiran bawah sadar yang menguasai 88% tindakan hanya bisa diperintah dengan kalimat present tense. Jadi mustinya kalimatnya, "Baik Pak, mulai sekarang saya disiplin..".

Bagaimana dengan harus ? Kata 'harus' memaksa pikiran kita, bahkan sampai menyentuh emosi. Kata harus sering menimbulkan perasaan kurang nyaman. Pikiran menjadi tidak rileks. Padahal, prestasi kita justru lebih optimal jika pikiran kita rileks. Daripada berkata : "Mulai sekarang anda harus memperhatikan hal ini", lebih baik diganti "Mulai sekarang anda PERLU memperhatikan hal ini".

Insya Allah ? Ini sama. Insya Allah-nya orang Indonesia belakangan ini biasanya basa-basi. "Kamu bisa datang ke undangan saya?", lalu dijawab, "Insya Allah deh .." (pakai deh lagi..), maka keyakinan si orang ini tidak 100% .. bisa-bisa cuma lip service. Kecuali kata ini diucapkan oleh mereka yang terbukti memiliki integritas (membuktikan kata dan tindakan sama). Ini PR para pendakwah untuk mengubah arti kata Insya Allah ala basa-basi di pikiran umat dengan Insya Allah versi aslinya dulu.

Ketika saya jelaskan konsep di atas dengan gaye betawi kepada teman saya yang orang Betawi tadi, dia manggut-manggut. Sorot matanya menyiratkan optimisme...***

Pingkan mencubit

ini sekedar cerita ringan pengalaman saya. Kebetulan atas 'desakan' istri, saya ikut latihan kebugaran untuk mengecilkan perut saya yang sudah tampak 'tidak indah' .. alias one pack (bukan six pack). Nama fitness center di Pondok Indah Mall 2 itu saya rahasiakan. Yang jelas di situ banyak selebriti (ini mah percuma dirahasiakan). Supaya progressnya jelas dan terukur, saya pakai personal trainer.

Tibalah waktu 'penyiksaan' itu terjadi. Di matras saya 'diolah' sedemikian rupa ... mulai disuruh angkat kaki sepuluh kali tanpa menyentuh tanah, sit up, push up, lalu angkat kaki tahan di atas, dan seterusnya, dengan modifikasi gaya yang selama ini belum pernah saya lihat dan alami.

Nahhh ... karena personal trainernya perempuan (sengaja biar semangat), gengsi rasanya kalo saya tidak bisa menuntaskan jumlah hitungan. Masalahnya, otot-otot saya sudah gemetaran. Sebagai praktisi hipnosis, saya ingat kalau kita masuk ke trance sedang kita bisa 'body catalepsy' ... Lalu saya memejamkan mata, konsentrasi, atur nafas, hitung 10 sampai 1, rileks, dan saya perintahkan diri saya untuk 'kaku' dan saya bayangkan saya seperti besi baja, sehingga kaki saya tetap bisa digerakkan atau diam dengan tanpa merasa sakit. Ehhh .. ternyata hitungannya bisa dilampaui semua, walaupun habis itu badan sakit-sakit ...

Nah .. ketika saya 'membuka rahasia' sedikit ke Pingkan -- personal trainer saya itu -- saya dimarahi. "Bapak jangan pakai hipnotis ya ... kalau memang nggak kuat hitungan kelima ambruk juga nggak apa-apa ...". Saya yakin dia bilang begitu karena belum tahu seluk-beluk hipnosis.

Sekarang, kalau pas latihan beban dia melihat saya mulai merem, dia langsung mencubit lengan saya. "Ayo, bangun Pak .. bangun .. jangan pakai hipnotis ... ". Salah seorang sahabat yang tahu cerita ini langsung komentar, "Alaaaah ... ngelesss aja loe ... bilang aja sengaja merem biar dicubit ..." ... Hehehehehee ... ketauan ..

Selasa, November 27, 2007

Kita punya pilihan

Masih soal sukses. Setelah menggiring peserta pelatihan pegawai bahwa mereka sebenarnya sudah sukses dalam hidup mereka, karena banyak sekali impian dan keinginan mereka di masa lalu telah tercapai sekarang, saya kembali meminta peserta yang merasa sukses untuk berdiri.

Ada salah seorang peserta yang tidak ikut berdiri. Setelah saya tanya, ternyata ia memiliki keyakinan -- termasuk doktrin orang tuanya -- bahwa manusia tidak boleh merasa sukses, tidak boleh merasa puas diri. Katanya, ia takut sebab kalau kita sudah merasa sukses kadang-kadang kita menjadi lupa diri.

Saya langsung menganalisis struktur kalimat yang meluncur dari peserta tersebut. Seperti biasa, saya bermain-main dengan menggunakan kata-kata dia.

"Anda takut lupa diri ? .... " tanya saya

"Ya", jawabnya.

"Bagaimana kalau anda BERANI eling ?, bisa ?" tanya saya lagi.

Ia mulai berpikir.

"Lalu anda bilang, KADANG-KADANG kalau sudah sukses jadi lupa diri. Kadang-kadang berarti TIDAK SELALU bukan ?. Berarti ada juga yang sukses, tapi tetap tidak lupa diri alias tetap eling dan rendah hati ... Ada kan orang yang sukses tapi tetap eling dan rendah hati?"

Ia mengangguk.

"Berarti di depan anda ada dua pilihan, anda takut sukses jadi lupa diri, atau anda berani sukses tapi tetap eling dan rendah hati. Anda pilih yang mana ?"

Ia bilang pilih yang berani sukses tapi eling dan rendah hati.

Lalu saya kembali bertanya ke 52 orang peserta pelatihan. "Oke, kembali saya mempersilakan anda yang merasa sukses untuk berdiri ..."

Semuanya berdiri, termasuk peserta yang saya ajak dialog tadi. ..***

Senin, November 26, 2007

Kelelawar sayapnya hitam

Saya mendengar dongeng ini dari Pak Mu'allim, mantan boss saya yang juga banyak memberi inspirasi kepada saya. Suatu ketika di dunia fauna dikuasai oleh dua bangsa binatang, yaitu bangsa mamalia dan bangsa burung. Bangsa mamalia dan bangsa burung saling bermusuhan. Mereka berperang satu sama lain. Lalu hiduplah segerombolan kelelawar. Kelelawar ini melihat di daratan yang dikuasai mamalia ada makanan berlimpah. Lalu mereka terbang masuk ke kawasan mamalia. Namun belum sampai ke tempat yang dituju, sudah dicegat oleh pasukan tentara mamalia. Mereka diusir karena dianggap sebagai bangsa burung.

"Hai kawan, aku ini bangsa mamalia ..." ujar para kelelawar ...
"Tidak mungkin, kamu kan ke sini terbang ... kalian pasti burung", jawab tentara mamalia
"Tapi aku kan punya taring seperti kalian, dan aku melahirkan dan menyusui. Jadi aku termasuk bangsa kalian ...", kata pimpinan kelelawar.

Tentara mamalia berpikir sejenak. Hmm .. iya juga ya .. pikirnya. Akhirnya mereka dipersilakan memasuki teritori bangsa mamalia.

Setelah puas menghabiskan makanan di situ, mereka lalu melihat di teritori bangsa burung terdapat makanan yang berlimpah pula. Lalu mereka pergi menuju ke wilayah bangsa burung. Ketika mendekati wilayah bangsa burung, mereka dicegat oleh tentara burung dan diusir karena dianggap anggota gerombolan mamalia.

"Lho, kami ini terbang seperti kalian .. Jadi kami ini bangsa burung ..." kata pimpinan kelelawar.

Tentara burung berpikir sejenak, dan akhirnya mempersilakan mereka bergabung dengan bangsa burung. Akhirnya para kelelawar itupun bersukacita mendapat makanan yang berlimpah.

Nasihat Pak Mu'allim : jangan jadi kelelawar, yang tidak punya integritas, bermuka dua. Ke sana iya, ke sini iya. Milikilah karakter yang jelas dan tegas. Anda termasuk bangsa mamalia, atau burung.

Pada suatu konteks, tafsir Pak Mu'allim ini saya sepakati. Pilihlah satu peran : protagonis, atau antagonis. Kalau dibawa ke dunia wayang, anda ini termasuk kelompok Pandawa, atau Kurawa. Baik, atau jahat.

Dalam konteks lain, artinya bisa kebalikan. Contohlah kelelawar. Dalam ilmu NLP, atau hipnosis yang diaplikasikan pada komunikasi atau selling, kemampuan kelelawar untuk 'matching' dengan lawan bicara dengan menyesuaikan atau menyamakan beberapa hal dengan kawan bicara, menjadi salah satu teknik untuk mempercepat mendapatkan trust dari kawan bicara (saya ogah pakai istilah 'lawan' bicara). Kalau kawan bicara sudah trust, maka saran-saran kita kemungkinan besar lebih didengarnya. Bukan cuma untuk jualan. Orang tua yang ingin nasihat atau arahannya di dengar oleh anaknya, silakan matching dulu dengan dunia anaknya, baru kemudian giring mereka pada dunia kita. Begitu juga pimpinan terhadap anak buahnya. Dokter terhadap pasiennya. Guru terhadap muridnya. Rasakan bedanya ...

Minggu, November 25, 2007

Tanggungjawab siapa ?

Saya mengambil sebuah buku yang ada di hadapan seorang peserta pelatihan -- setelah mendapat izin tentunya -- dan ..."Prakkkk!", buku itu saya lempar ke lantai.

"Tanggungjawab siapa buku ini ada di lantai ?", tanya saya sambil jari kanan menunjuk ke buku itu.

"Tanggungjawab yang melempar ..", kata beberapa peserta.

"Tanggungjawab saya ? ... Oke, katakanlah ini tanggungjawab saya, lalu anda marah, kemudian menghakimi saya, lalu mengeroyok saya sampai mati, lalu menghanyutkan badan saya di sungai, atau anda mencincang-cincang saya, atau kalau anda berbaik hati ya cuma mengucilkan dan mengasingkan saya .... Apakah masalahnya selesai ?", kata saya.

Peserta diam.

"Buku itu tetap ada di lantai, bukan ?" pancing saya.

Peserta masih diam.

"Harusnya buku ini ada dimana ?", tanya saya lagi.

"Di meja", jawab mereka serempak.

"Lalu, buku itu ada di lantai tanggungjawab siapa ?"

Ada yang masih diam, ada juga yang sudah bilang, "Saya".

"Yak, benar. Selain tanggungjawab saya yang melempar buku itu, anda juga ikut bertanggungjawab. Setidaknya anda punya dua alasan mengapa anda bertanggungjawab. Pertama, anda membiarkan saya melempar buku itu. Kedua, anda membiarkan buku itu tetap ada di sana, padahal tempatnya bukan di situ ..."

Tampak ada yang mengangguk-angguk. Malah ada salah seorang peserta langsung bangkit dari kursi dan berjalan menuju tengah kelas, lalu mengambil buku itu dan meletakkannya kembali di depan pemiliknya.

"Naaahhhhhhh... ini dia contoh nyata orang yang bertanggungjawab .... Daripada menunggu, lebih baik berinsiatif. Daripada muter-muter membahas masalah, lebih baik cari solusinya. Daripada menggerutu dalam kegelapan, lebih baik menyalakan beberapa lilin, " puji saya sambil menepuk-nepuk bahunya, lalu melanjutkan.

"Jadi, kalau kinerja perusahaan jelek, kalau teknologi yang dipakai ngadat, kalau keputusan investasi salah, kalau pembangunan sistem terbengkalai, kalau iklim kerja tidak kondusif, ... Lalu anda menyalahkan dan memaki-maki direksi dan manajer yang terlibat, atau anda demo minta mereka turun jabatan, tetap saja masalahnya tetap ada di sana. Tanggungjawab anda membiarkan hal itu terjadi, dan tanggungjawab anda membuat masalahnya tetap ada di sana tanpa anda ambil tindakan apa-apa ... Jadi, kondisi Perusahaan kita saat ini tanggungjawab siapa ?" pancing saya lagi.

"Kita semua !!", jawab mereka serempak.

Kamis, November 22, 2007

Dilatih

Beberapa hari ini saya berada pada situasi menantang. Ada beberapa 'kesialan' yang menimpa saya dan lembaga saya. Ada jadwal training yang ditunda karena belum deal dengan klien. Masih dengan klien yang sama -- saya mendapat berita dari klien yang sama, bahwa proyek pembuatan video sejarah & idealisme perusahaan yang dimulai sejak enam bulan lalu, dihentikan Direksi. Uang muka sudah diterima. Kalau yang ini gampang saja, saya tinggal minta cancellation fee cukup besar untuk menutup kerugian material dan terutama immaterial.
Masih dengan klien yang sama, ada budget/biaya yang dipotong sepihak oleh mereka. Masih dengan klien yang sama, ketika proposal training disetujui, kemudian ada perubahan mendadak di jumlah peserta yang dikirimkan.

Memang pada akhirnya seluruh 'kesialan' itu ada jalan keluarnya. Sebenarnya tim saya sudah bersahabat karib dengan perubahan-perubahan mendadak. Tapi karena ini sudah berkali-kali saya alami dengan klien yang sama, ada semacam panggilan untuk 'memberi pelajaran' melalui pemberian konsekuensi atas keputusan dan tindakan mereka, agar mereka menghargai profesionalitas dan partnership. Makanya, beberapa solusi diperoleh karena saya bersikap tegas : deal, or third alternatives, or no deal.

Di ruang kerja Mbak Nur -- Direktur Training di lembaga saya --- di ujung obrolan kami, akhirnya saya tertawa, dan bilang : "Hehehee, mbak, kita harus berterimakasih kepada mereka. Kita ini sedang dilatih .... kita sedang dilatih oleh mereka ...".***

Selasa, November 20, 2007

Prass

Tulisan : Ana Mustamin (1999)

ADA banyak hal saya sukai pada diri Prass (nama lengkapnya Prasetya Maytrea Brata – entah kenapa ia selalu menulis nama kecilnya dengan huruf “s” yang dobel) – sahabat sekaligus partner kerja saya saat dulu tergabung dalam Tim Asistensi Direksi. Bukan karena ia selalu bisa mencairkan suasana saat kami stress di bawah tekanan deadline pekerjaan (Prass hobi lho memetik gitar dan menyanyi). Tapi juga karena ia demikian murah hati membagi ilmu. Pertama kali kami bertemu dan mulai bekerja sama, Prass baru saja lulus dari program MM-UI. Otaknya masih fresh banget. Dalam banyak kesempatan, ia menggenapkan pengetahuan saya tentang strategi korporat – karena di tempat saya belajar dulu, mata kuliah berkaitan dengan itu tidak pernah diajarkan.

Tapi, saya lebih menaruh respek pada Prass karena saya merasa ia salah seorang aset SDM perusahaan kami yang baik sekali. Prass demikian memahami dan sadar akan arti kompetensi inti (core compotence). Ketika ia baru bergabung di unit kerja saya, pimpinan kami, Pak Pri – sembari bercanda –‘mengompori’, "Prass, kamu akan menghadapi banyak rival di sini!" Dan dengan kalem, Prass menjawab, "Saya telah lama meninggalkan paradigma rivalitas! Saat ini saya penganut paradigma sinergi."

Prass kemudian cerita kalau ia sempat bicara tentang keunggulan saya di depan Pak Pri (Terima kasih, Prass! Mudah-mudahan kita tidak dijangkiti penyakit megalomania). Prass bilang, ia tidak akan pernah memasuki 'wilayah' orang lain. Setiap orang memiliki keunggulan dan kelemahan. "Keunggulan saya mungkin menjadi kelemahan orang lain, dan keunggulan orang lain mungkin menjadi kelemahan saya!" katanya. Saya memang lantas merasa, sebesar apa pun semangat saya melahap buku-buku Michael E.Porter, Gary Hamel atau C.K. Prahalad, saya tidak akan sebaik Prass dalam menjelaskan strategi dan keunggulan bersaing perusahaan. Demikian pula, Prass – saya kira – tidak akan memiliki perspektif sebaik cara pandang saya dalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan disiplin ilmu dan pekerjaan saya. Ada semacam 'ideologi' membedakan – yang terbangun dan merasuk secara sadar atau tidak sadar, hasil kontemplasi antara latar kemampuan, minat, pengalaman, serta proses pembelajaran kami. Bahkan, andai saya dan Prass pun memilih jurusan sama di UI, kami pasti tidak akan pernah memiliki kompetensi inti yang sama.

Saya mengenal sebuah keluarga dimana ketiga anaknya dibekali talenta serupa, semuanya piawai menulis. Tapi si sulung berkali-kali memenangkan lomba penulisan ilmiah – ia selalu membahasakan gagasannya dengan runtut dan cermat. Sementara anak tengah memiliki kemampuan imajinasi dan kekayaan vocabulary mengagumkan – ia selalu saja menemukan terminologi atau jargon unik, jarang digunakan, namun justru memikat dalam tulisan-tulisannya. Ia dikenal sebagai cerpenis yang produktif. Adik mereka yang bontot, lebih menyukai menulis liputan tentang musik – seiring kegemarannya dalam bidang tersebut.

Orangtua mereka – yang sangat demokratis, mengaku tidak pernah mengarahkan – apalagi ‘membagi-bagi’ dunia anak-anaknya. “Ketiganya bisa menulis sama baiknya. Si sulung bukan tidak mampu menulis karya fiksi – beberapa media pernah juga memuat cerpennya. Tapi tetap saja ia merasa, adiknya akan menulis lebih baik di bidang ini. Mereka menyadari kompetensi masing-masing,” tutur sang Ayah. Ia tampak begitu bangga atas talenta ketiga anaknya, dan berupaya untuk menjaga keberbedaan mereka. Ya, kompetensi inti pada hakekatnya adalah distingtiveness, suatu keunikan.

Di perusahaan, kompetensi inti merupakan cerminan dedikasi dan disiplin pribadi yang tinggi dari karyawan untuk menguasai dan kemudian melaksanakan semua standard perusahaan. Kompetensi inti mencakup kemampuan SDM perusahaan untuk menghasilkan sinergisme jika bekerja dalam sebuah tim yang bersifat cross functional. Kompetensi inti merupakan gabungan dari semua keterampilan, pengalaman, dan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan.

Meskipun orientasi ke kompetensi inti sering dianggap cara konservatif bagi perusahaan untuk meraih dan mempertahankan keberhasilan, namun dibandingkan keunggulan lainnya, kompetensi inti tetap kunci utama. Competitive advantage yang berlandaskan kompetensi inti lebih aman dibanding harga atau mutu – karena keunggulan ini dibangun atas sejumlah kompetensi SDM. Perusahaan Amerika, AT&T, bahkan mengakui, mutu luar biasa dimulai dengan orang. Karena itu, rasa hormat kepada individu ditempatkan AT&T sebagai pilar utama dalam visi dan misi perusahaan mereka. “Kami saling memperlakukan antara satu dan lainnya dengan rasa hormat dan martabat, menghargai perbedaan … kami memberikan kepada individu wewenang menggunakan kemampuan mereka sampai sepenuh-penuhnya untuk memuaskan pelanggan. Lingkungan kami mendukung pertumbuhan pribadi dan kesempatan belajar terus-menerus bagi semua karyawan,” demikian antara lain bunyi Ikatan Bersama AT&T.

Sayang, tidak banyak individu yang mau mengakui kompetensi orang lain. Seolah-olah, jika memberikan pengakuan; ia sendiri akan kehilangan kompetensi. Apalagi jika orang tersebut sudah masuk dalam deretan pimpinan puncak. Bahwa pada akhirnya dia dituntut memahami semua persoalan organisasinya, itu tidak serta-merta membuat dia memiliki kompetensi pada semua bidang. Para manajer – sepiawai apapun, tetap membutuhkan staf dan karyawan dengan kompetensi inti berbeda-beda. Karena itu, kita perlu terus belajar menghargai perbedaan, menghargai keunggulan setiap orang – karyawan pada level paling bawah sekali pun.

Orang bijak bilang, if you live with tolerance, you learn to be patient. If you live with encouragement, you learn to be confident. If you live with praise, you learn to appreciate. Nggak percaya? Coba tanya sama Prass!***

Senin, November 19, 2007

Ada yang mengatur ?

Tahun 2000-an, di pesawat dari sebuah kota menuju Jakarta, saya duduk di sebelah pejabat Kantor Pusat yang lebih tinggi. Sedari tadi hati saya tidak tenang.

"Pak, saya tadi waktu mau pulang dikasih amplop sama Pemimpin Cabang. Kalau di tempat lain biasanya yang kasih Pemimpin Rayon dan saya selalu tolak dengan alasan sudah dibiayai Kantor Pusat. Tapi tadi Pemimpin Cabang langsung masukin amplop ini ke celana saya di depan sambil bilang tidak sempat beli'in parcel, jadi ini saja, katanya. Saya mau tolak, tapi di situ ada beberapa anak buahnya, khawatir mempermalukan dia .." kata saya.

Pejabat Kantor Pusat tadi bilang, "Ya sudah, Pak Prass. Tidak apa-apa. Toh Pak Prass ke Kantor Cabang itu kan tidak berhubungan langsung dengan tugas-tugas pemeriksaan..."

"Iya, tapi hati saya tetap tidak bisa menerimanya..."

Saya memang sejak awal selalu menolak jika berkunjung ke kantor-kantor daerah, lalu pemimpin setempat memberi 'sangu', karena saya sudah diberi biaya dan uang dinas dari Kantor Pusat. Selama ini saya selalu kuasa karena pejabat daerah tadi level-nya sama atau lebih rendah dari saya. Tapi kali ini yang memberi yang levelnya di atas saya. Saya baru mau menerima kalau ada sumbangsih nyata saya di kantor tersebut, misalnya diminta memberikan pelatihan, namun tidak diberi honor dari Kantor Pusat, hanya biaya dan uang jalan. Kalau ini fair.

Beberapa menit setelah pesawat mendarat, masih di dalam pesawat, saya membuka ponsel. Di layar ponsel ada sms baru, dan ketika saya buka bunyinya mengabarkan seorang teman meninggal dunia, dengan meninggalkan suami yang belum mendapat pekerjaan dan anak yang masih kecil.

Dari Cengkareng saya langsung meluncur ke Tanah Kusir. Usai pemakaman, saya menyerahkan amplop berisi uang yang lumayan besar untuk ukuran saya kepada suami almarhumah.

Anda bisa menjelaskan kejadian ini ?

Sabtu, November 17, 2007

Jangan Alergi Teori

Cipanas, Agustus 1985. Ada 20 orang yang ikut ujian kenaikan tingkat Bantara di Pramuka semasa SMA. Kali itu kami ujian mendirikan tenda peleton berkapasitas 20 orang. Kami terbagi menjadi lima kelompok, masing-masing empat orang. Setiap kelompok dapat jatah 15 menit untuk membuka, mendirikan, merubuhkan, dan melipat kembali tenda itu dengan rapi. Selain dianggap gagal, jika lebih dari waktu yang ditentukan, setiap kelebihan satu menit hukumannya push-up lima kali. Saya ada di kelompok terakhir. Empat kelompok lainnya telah gagal. Sekarang giliran kelompok saya.

"Saya beri anda dua pilihan. Pertama, saya kasih waktu yang sama dengan yang lain -- 15 menit. Atau kedua, saya kasih tahu teorinya, tapi waktu anda cuma 12 menit, dan setiap kelebihan satu menit, push-up 10 kali", ujar Kak Dharmawan sebagai penguji.

Setelah berunding dengan ketiga teman lainnya, kami memutuskan untuk mengambil opsi kedua. Pertimbangan kami, dengan metodologi yang sama, keempat kelompok pendahulu tidak berhasil. Kami siap ambil risiko itu.

Kak Dharmawan lalu menjelaskan teori prosedur pendirian tenda peleton. Pertama begini, lalu begitu, terus begini ....hingga selesai. Setelah paham caranya, lalu kami berunding untuk berbagi tugas. Ini-itu dikerjakan oleh siapa pada saat apa dan caranya bagaimana. Setelah selesai membuat simulasi mental, lalu ujian dimulai. Kak Dharmawan berteriak, "Mulai !".

Singkat cerita, kelompok kami akhirnya berhasil lulus dengan catatan waktu : 9 menit.

Sampai di situ, pengalaman ini seperti terlupakan begitu saja. Paling-paling yang diceritakan adalah keberhasilan kelompok kami dan terbebasnya kami dari hukuman push-up.

Tibalah di tahun 1993 saat saya ditugaskan mendampingi Pak Mu'allim Muslich merintis divisi baru di Bumiputera, yaitu Divisi Eksekutif. Tiba-tiba, pengalaman yang terekam tanpa sadar itu muncul kembali. Pengalaman mendirikan tenda peleton memberikan pelajaran besar. Selain pelajaran 'normatif' 'lain seperti kekompakan, perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, keberanian, dan sejumlah learning point lainnya, ada satu lagi yang waktu itu malah sangat jelas di benak saya : bahwa dengan tahu teorinya, pekerjaan membangun tenda bukan hanya dapat diselesaikan tepat waktu, tapi malah bisa lebih cepat.

Membangun organisasi baru ibarat membangun tenda. Untuk bisa terbangun dengan cepat, perlu belajar sana-sini untuk tahu 'ilmu'nya... Akhirnya berbagai training, seminar, lokakarya, saya ikuti. Itulah saat momentum cepatnya perkembangan karier saya di Bumiputera dibandingkan rekan seangkatan lainnya.

Jadilah majikan pikiran

Dua orang tamu saya tampak sangat ragu ketika saya minta mereka berjalan di atas beling.
"Oke, saya beri dua opsi. Bapak dan Ibu berjalan langsung di atas beling ini, atau saya bantu hipnosis supaya kaki Bapak dan Ibu kebal ...?"

Mereka minta dibantu. Selesai hipnosis singkat itu (ini juga hipnosisnya bohong-bohongan) saya persilakan salah seorang tamu saya mulai naik ke tumpukan beling.

Sebelum melangkah, beliau bertanya. "Risikonya apa ?"
"Yaa, paling luka, Pak", jawab saya. Sebenarnya jawaban itu untuk menakut-nakuti saja.

Meskipun sempat terhenti sejenak untuk mengumpulkan keberanian, akhirnya kedua tamu tersebut lolos dengan selamat berjalan di atas beling. Itu terjadi di ruang kerja saya.

Kedua tamu saya adalah assessor Badan Akreditasi Nasional yang telah selesai menjalankan tugasnya melakukan visitasi akreditasi terhadap sekolah tinggi yang berada di bawah yayasan yang saya pimpin. Yang satu profesor dari UNDIP, yang satu doktor dari UNHAS. Saya memang mengundang beliau sebagai hospitality karena saya pimpinan tuan rumah. Lagipula saya ingin menjalin hubungan jangka panjang karena kalau saya mengadakan kegiatan pendidikan & pelatihan di kota beliau, saya tidak perlu mengekspor pengajar dari Jakarta. Jadi kan lebih efisien.

Yang menarik adalah, mereka menunjukkan ciri khas akademisi yang sebelum melakukan sesuatu harus lengkap betul what dan why-nya. Semakin kritis mereka, semakin tertunda melangkah ke atas beling. Belakangan, setelah mereka melakukannya, saya memang menjelaskan secara ilmiah mengapa berjalan di atas beling tidak terluka.

Kemudian saya dorong mereka untuk mengurangi kekritisan pikiran sadar mereka untuk melangkah ke pengalaman berikutnya : mematahkan besi pompa dragon dengan tangan kosong. Salah seorang beliau sudah pernah mematahkan besi pakai koran (saya juga jelaskan bahwa dengan koran sebenarnya jauh lebih mudah daripada pakai tangan). Salah seorang beliau -- wanita -- berhasil mematahkan sebuah besi. Namun yang kedua kali gagal. Sementara yang lainnya gagal berulang-ulang, meskipun sudah saya ajarkan rahasia teknik memukul, plus demo.

Ternyata kalau kita sudah tahu tentang sesuatu, belum tentu kita bisa berhasil melakukan sesuatu. Rahasia yang saya beberkan (pengetahuan) ada di pikiran sadar. Ternyata masih ada satu lagi untuk bisa melakukan dan mencapai hasil : keyakinan dan imajinasi. Ini ada di bawah sadar. Karena bawah sadar lebih dominan, kalau ada pertentangan antara pikiran sadar dan bawah sadar, yang menang biasanya bawah sadar. Rupanya imajinasi tentang 'luka' dan 'sakit' itulah yang menang daripada pengetahuan mereka tentang teknik secara ilmiah, sehingga membuat mereka ragu dan lama sekali melangkah ke beling, atau gagal memukul besi. Jelas masalahnya ada di pikiran mereka, bukan di besinya. Pikiran mempengaruhi cara memukul.

Itulah sebabnya banyak wirausahawan bilang, kalau mau sukses berbisnis, jangan banyak banyak teori. Lakukan saja. Malah jangan ikuti jalan orang-orang yang sudah duluan. Sebaliknya, di kutub lain, teori dan pertimbangan diperlukan supaya kita bisa sanggup menanggung risiko. Yang satu pathbreaking, yang satu pathfinding, begitu istilah Hermawan Kartajaya.

Kalau saya, ya dua-duanya. Kalau melangkah tanpa teori, ada risiko bisa lama mencapai tujuan. Try and error. Meskipun ada juga peluang langka : ketemu lompatan besar menuju keberhasilan. Cari ilmunya (selain dari buku, juga perlu tanya ahlinya) supaya belajar tentang kegagalan dan keberhasilan (best practice) yang pernah terjadi sebelumnya, tapi perlu keberanian untuk melihat dan mencari jalan dan cara yang tidak sama dengan apa yang telah kita ketahui. Kuasai cara pikiran bawah sadar kita (keyakinan, imajinasi, emosi) untuk action. Akan ada keragu-raguan, bayangan kegagalan dan penderitaan, dan rasa tidak nyaman di dalam perjalanan yang akan kita lalui. Ini bukan hanya untuk berbisnis, tapi untuk berkembang dan sukses di manapun.

Kita punya dua pilihan : kita yang menguasai pikiran bawah sadar kita, atau merekalah yang menguasai kita. Pikiran bawah sadar adalah budak yang baik, tapi majikan yang buruk. Lalu, bagaimana caranya mengelola pikiran bawah sadar ? Nantikan tulisan-tulisan berikutnya, atau kalau mau lebih cepat, ketemu atau undang saya ... hehehe ... (eit, ini bukan promosi -- anda tidak percaya bukan ?)

Jumat, November 16, 2007

Terhubung

Seorang kawan merasa risih, karena beberapa kali saya menyebut-nyebut orang yang suka nyatut pembelian barang kantor dengan cara minta kuitansi kosong, lalu suka nyalib antrian lalulintas dari kiri, menabras lampu merah, suka masuk ke jalur busway padahal jalan lengang, itu orang yang punya scarcity mentallity -- mental kekurangan -- alias mental orang miskin.

"Prass, eloe jangan suka ngomong gitu lah... Kasian orang miskin, ntar kalo ada orang ketemu orang miskin terus orang itu bawaannya nggak seneng aja ke orang miskin itu ... kan nggak semua orang miskin tukang nyatut, nggak tertib lalulintas, nggak masuk ke jalur busway ... " Begitu kata kawan saya itu. Katanya saya bisa mendiskreditkan orang miskin.

Sepintas, komentar dan nasihat kawan saya itu tampak 'kurang positif'. Sepintas. Tapi buat saya ada benarnya lho. Ini terkait dengan cara pikiran bekerja, terutama bawah sadar. Pikiran bekerja dengan cara menghubung-hubungkan suatu fakta yang tertangkap panca indera dan tersimpan di memori, lalu bermakna tergantung program berpikir dan pengalaman sebelumnya. Kalau anda melihat orang pakai kacamata hitam memegang tongkat dekat WC umum, kemungkinan di pikiran anda langsung dihubungkan dengan 'orang buta'. Padahal belum tentu lho. Siapa tahu dia sedang memegang tongkat orang buta asli yang sedang masuk toilet.

Apalagi yang dihubungkan adalah perasaan ke perasaan. Maksud saya begini, ketika mendengar kata 'nyatut', 'nyodok antrian', 'curi jalan', perasaan anda bagaimana ? Ada perasaan nggak seneng ya ? (kecuali anda memang pelaku atau pelopor nyatut dan nyodok antrian). Terus kalau mendengar 'miskin', juga perasaan yang muncul bukan perasaan yang positif. Bisa kasihan, bisa trauma (terutama jika anda mantan orang melarat). Jadi perasaan-perasaan itu saya bikin simbolnya dengan kata : nyatut, nyodok, nyuri, miskin. Kalau di layar komputer namanya icon. Ketika saya hubungkan antara icon dengan icon tadi, bisa terhubunglah perasaan yang diwakili oleh kedua icon itu. Ketika saya menghubungkan antara perilaku nyatut, nyodok antrian, curi jalan, dengan mental orang miskin, boleh jadi kata 'mental' terabaikan atau tidak diperhatikan. Efeknya bisa bolak-balik. Inilah 'bodoh'nya pikiran bawah sadar .. (Btw, lain kali saya akan jelaskan pikiran bawah sadar itu sangat cerdas, sekaligus bodoh). Kalau icon itu kita klik, maka programnya bekerja. Kalau kata-kata simbolis tadi diucapkan, maka perasaan-perasaan yang ada dibalik dan di sekitar simbol itu -- baik yang terhubung langsung atau tidak langsung, akan muncul.

Inilah yang terjadi ketika saya 'merasakan' adanya perubahan sikap dari sebagian kecil kolega saya yang tiba-tiba lebih 'berhati-hati' kepada saya, gara-gara saya menerima permintaan 'lawan politik' mereka menjadi panitia pernikahan puterinya. Padahal, saya ini orang yang netral dan (merasa) profesional. Siapapun yang butuh bantuan saya, dengan senang hati saya layani semampu saya. Tapi saya sih ikhlas saja. Saya teringat pesan Covey "Siapa diri kita apa adanya berkomunikasi lebih fasih daripada apa yang kita ucapkan dan kita lakukan ...". Semua tergantung niat.

Oh ya, mari kita kembali ke wilayah 'pikiran sadar'. Saya jelaskan sedikit, mental orang miskin itu tidak ada hubungannya dengan keadaan kekurangan materi seseorang. Orang yang berkelimpahan harta bisa punya mental orang miskin kalau merasa kurang terus. Ketika kita mencap seseorang sebagai orang miskin, itu adalah orang miskin menurut ukuran kita. Tapi bisa jadi orang itu tidak merasa miskin. Justru dia merasa kaya karena merasa cukup dengan apa yang dimilikinya ... Maka orang miskin itu punya mental orang kaya ...

Kamis, November 15, 2007

Bubur ayam spesial ala Aa Gym

Rekan lama saya - Fransiscus Herbayu -- langsung mengomentari tulisan saya berjudul 'Kembali Kepada Diri Sendiri'. Karena etos kerja yang rendah, seorang mandor bangunan menyesal setengah hidup karena ternyata hasil kerjanya berupa rumah yang merupakan pesanan terakhir bossnya, diberikan untuk dirinya sebagai bekal pensiun. Bayu kemudian memprovokasi saya dengan memanjangkan skenario cerita : walau pun menyesal, masih untung juga mandor itu, lha wong gratis... ada beberapa kemungkinan setelah itu, rumah direnovasi lagi karena sudah banyak duit, atau langsung jual, atau dipakai untuk orang yg kurang mampu. kalo kita diposisi mandor itu, apa yg akan kita lakukan?

Saya pikir Bayu adalah orang yang proaktif. Dia melihat ke depan. Oke, katakanlah kita berbuat kesalahan dan kita menerima akibat dari kesalahan itu. Kita menerima hasil atau keadaan yang buruk. Daripada berlama-lama dalam kesedihan, setelah menyadari betul titik kesalahan kita, kita segera berpikir 'bagaimana supaya keadaan ini bermanfaat buat saya ?'. Maka, Bayu menawarkan beberapa alternatif tindakan : renovasi, jual, atau disumbangkan. Semuanya bermanfaat.

Saya jadi ingat cerita khas Aa Gym. Kalau nasi sudah jadi bubur, tidak usah meratap. Bubur tetaplah bubur. Yang penting kita segera cari ayam, cakwe, seledri, bawang, kacang kedelai, daun bawang, kecap manis, kecap asin, krupuk dan sambel. Jadilah bubur ayam spesial.

Proaktif, berarti pikiran dan perasaan saat ini dan masa depan tidak diringkus oleh kejadian dan emosi saat lalu. Pikiran dan perasaan kita bebas dari masa lalu, lalu diarahkan oleh pertanyaan : bagaimana supaya bermanfaat ? Tapi hati-hati. Tanpa kesadaran penuh atas apa yang benar dan apa yang salah, kita bisa nyemplung ke wilayah 'mati rasa'. Oke, kemarin saya nyolong duit perusahaan, sekarang ketahuan, dihukum, dan menyesal. Percuma saya sedih. Lebih baik saya berpikir ke depan bagaimana nyolong lagi tanpa ketahuan ...

Kembali kepada diri sendiri

Saya kerap mengisahkan cerita ini di pelatihan-pelatihan. Saya lupa sumbernya, tapi mungkin sudah pernah anda baca atau dengar sebelumnya. Di SMART FM juga pernah dikisahkan oleh seorang pembicara. Ada seorang mandor bangunan yang minta pensiun kepada bossnya setelah bekerja 20 tahun. Tabungannya sudah banyak. Ketika permohonan berhenti diajukan, bossnya menolak. "Proyek kita masih banyak, nanti gimana dong, saya susah cari orang yang kayak kamu. Kerjamu bagus". Si Mandor ngotot. Lama-lama akhirnya bossnya menyerah. "Oke, kalo itu keinginanmu, aku kabulkan dengan satu syarat. Tolong buatkan saya satu rumah lagi".

"Yaah boss, saya sudah ngebet pengen pensiun," katanya. "Alaaah, satuuu lagi saja ... cuma satu,"jawab bossnya. Akhirnya si Mandor tadi mengiyakan dengan ogah-ogahan. Ia kemudian mengerjakan pesanan satu rumah terakhirnya. Karena pikirannya sudah tidak fokus, ingin segera pensiun dan beristirahat, yang biasanya bekerja dengan penuh ketekunan, kali ini buru-buru. Pengecatan cukup sekali, yang biasanya 3x. Lantai tidak rata. Kusen kurang lurus. Tidak seperti biasanya, hasil kerjanya kali ini kurang bagus. Tapi ia tidak peduli karena yang ia pikirkan adalah segera pensiun. Toh, habis ini tidak ada tugas lagi. Titik.

Setelah selesai lebih awal dari jadwal normal, si Mandor menghadap bossnya di kantor. "Boss, pesanannya sudah jadi, silakan dilihat di lokasi". Si Boss mengambil kunci rumah yang diberikan oleh si Mandor, kemudian ia berkata kepada si Mandor, "Aku senang kamu selesai lebih cepat. Atas pengabdianmu selama 20 tahun, dan demi persahabatan kita, ini -- ambil kunci ini -- aku serahkan rumah itu buat bekal pensiunmu...." Gubrakkk! Si Mandor pingsan karena menyesal.

Segala sesuatu yang kita lakukan, akan kembali kepada kita sendiri. Kalau kita kerja dengan penuh kualitas, hasilnya akan 'penuh' pula kembali kepada kita. Kalau kita kerja bagus, maka kita juga dapat bagus. Kalau kita kerja setengah-setengah, maka kita dapat setengah-setengah juga, malah mungkin tidak sampai setengah. Kalau anda kerja culas, malas-malasan, mengakali aturan, atau malah kerja rajin, disiplin, tekun, semuanya akan kembali kepada diri anda sendiri. Makanya anda kalau mau menghormati orang tidak usah pusing dengan respon mereka, toh anda memberi penghormatan kepada orang lain itu juga sebenarnya untuk kebaikan diri anda sendiri. Kalau anda tidak mau menghormati orang lain, itu juga hasilnya akan kembali ke diri anda sendiri.

Jadi, kalau anda di ruangan ini mengantuk, melamun, ngobrol, keluar ruangan, no problemo. Silakan saja, saya tidak terganggu. Saya tidak rugi. Karena apa yang anda lakukan sesungguhnya bakal kembali kepada diri anda sendiri...

Selesai menceritakan kisah ini, biasanya, mereka yang mengantuk atau kurang perhatian, jadi bangun kembali ...

Rabu, November 14, 2007

Kutukupret

Sahabat saya -- Dokter Silviani, kedatangan serombongan keluarga masuk ke ruang prakteknya mengantarkan seorang pasien diperiksa. Setelah pasien tadi selesai diperiksa, satu di antara mereka minta sekalian diperiksakan ibu dan anaknya. Karena melihat 'potongan' orang-orang tadi belum bisa dikategorikan gakin (keluarga miskin), maka sahabat saya itu minta mereka mendaftar dulu untuk dibuatkan status. Bukan apa-apa, selain dokter perlu catatan medis, menurut intuisi sahabat saya, mereka cuma ingin 'paket hemat'. Ibarat naik bajaj, diisi sebanyak-banyaknya penumpang, toh bayarnya sama.

Mirip dengan pengalaman saya 'sering' melihat ada satu-dua orang nyamper seseorang yang telah mengantri mengambil makan di sebuah resepsi pernikahan. Kebetulan orang yang disamper itu sudah berada pada posisi depan. Sang penyamper biasanya basa-basi ngobrol sebentar, lalu nyelip di belakang si orang yang disamper tadi. Tujuannya, mereka tidak perlu antri dari belakang.

Kekesalan juga biasanya muncul saat antrian kendaraan sudah bagus teratur satu jalur, eeh, tau-tau mobil di belakang keluar antrian, ambil jalur kiri, mempet pinggir badan jalan, kucluk-kucluk-kucluk, langsung ke depan, dan masuk lagi antrian gara-gara terhambat batu besar atau mobil parkir. Akibatnya, kendaraan yang antri harus berhenti karena si mobil kutukupret tadi minta jalan. Lebih buruk lagi, kelakuan mobil kutukupret tadi diikuti oleh kutukupret lainnya (sebenarnya yang kutukupret pengemudinya, bukan mobilnya). Dalam neuroscience, diketahui ada syaraf di otak yang disebut mirror-neuron, yang menyebabkan adanya perilaku seseorang yang cenderung mengikuti perilaku orang lain. Oh ya, cap 'kutukupret' ini hanya berlaku buat mobil yang motifnya ingin 'ambil untung' tadi, bukan karena dia dalam keadaan darurat harus ke rumah sakit.

Tapi yang ingin saya ambil dari kisah di atas bukanlah soal ikut-mengikut perilaku orang lain. Bahwa ketiga contoh perilaku di atas mencerminkan betapa (sebagian) masyarakat tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Sikap ini dipicu oleh scarcity mentality -- mental kekurangan. Ini mental orang miskin.

Buat orang yang berselancar di atas realitas -- kira-kira bisa disebut oportunis -- , mungkin kegundahan saya ini akan ditanggapi : "Aduh bow, sistemnya emang kayak gini, kalo nggak pinter-pinter cari celah dan peluang, ntar mati sendiri, rugi sendiri, kagak kebagian. Emang gw pikirin, wong pemerintah aja nggak mikirin ?" .....

Pincang ...

Anda pasti sudah mafhum (ini bahasa Arab, artinya : faham) kalau manusia punya empat dimensi yang harus diseimbangkan : fisik, mental (mind), sosial emosional, spiritual. Hampir semua guru kehidupan mewejangkan hal ini. Stephen R. Covey menganjurkan pembaharuan di empat bidang ini menjadi suatu kebiasaan agar menjadi manusia efektif.

Dalam konsep pelatihan yang saya kembangkan di institusi yang saya pimpin, ramuan materi, metode, dan proses pembelajaran diupayakan menyentuh ke-empat bidang ini. Ada unsur olah fisik, olah pikir, olah rasa, dan olah batin. Dari pengalaman saya, dari ke-empat bidang ini, ada kecenderungan klien saya agak membelakangkan materi yang terkait dengan spiritualitas. Buat mereka tidak berhubungan langsung dengan tercapainya target-target pekerjaan. Mereka lebih suka materi-materi yang bikin mereka dengan cepat bisa menyelesaikan tugas. Urusan 'ibadah' urusan masing-masing.

Di sini saya merasa ada yang kurang pas ketika spiritualitas diartikan ibadah thok. Tapi saya belum ingin membahas spiritualitas lebih dalam sekarang. Saya cuma ingin katakan bahwa spiritualitas bicara tentang apa yang benar dan apa yang salah - bukan dalam relativitas.

Cerdas fisik, cedas pikir, cerdas emosi, tanpa cerdas spiritual, kira-kira inilah yang terjadi ...

Ada sekelompok orang yang bekerja sangat piawai. Mereka sehat dan kuat. Penampilan juga perlente. Mereka mengembangkan metode yang sangat efektif untuk menuntaskan pekerjaan dengan cepat, aman, dan bermutu. Mereka begitu cekatan. Hasil pekerjaannya bagus-bagus. Mereka juga sangat cerdas emosi. Mereka sanggup bersabar dalam menunggu proses pekerjaan selanjutnya. Kalau terjadi kegagalan, mereka tidak marah-marah, malah dengan cepat mengambil langkah-langkah penyelamatan dan perbaikan dengan tenang. Pengalaman kegagalan mereka dijadikan pelajaran berharga. Mereka berorientasi ke depan. Mereka bekerja dengan antusias. Pemimpin mereka memperhatikan betul kesejahteraan mereka. Solidaritas di antara mereka kuat. Mereka jujur untuk berbagi keuntungan dari hasil kerja mereka. Mereka saling tolong menolong dan saling mendukung. Mereka adalah para anggota sebuah mafia kejahatan !

Selasa, November 13, 2007

The Secret by Ade

Ditulis oleh : Renilde Orwella

Pertama kali mendengar Pak Prass cerita tentang the law of attraction, saya sudah tertarik ingin mempelajarinya. Sampai sebuah DVD ada di tangan saya dengan judul 'The Secret'. Pak Prass menyarankan saya untuk menontonnya minimal dua kali.

Pertama kali nonton DVD ini, saya belum terlalu mencermatinya. Sesekali saya tinggal ke dapur atau sibuk sms-an. Tapi inti dari The Secret ini adalah apa yang kita inginkan, maka itu akan terjadi. Setelah menonton sekali, saya sempat mempraktekkannya. Saya menulis beberapa keinginan saya dan mencoba fokus terhadap keinginan tersebut. Namun itu tidak bertahan lama. Keesokan harinya saya sudah lupa tentang the law of attraction.

Sampai empat hari kemudian, eh salah deh, seminggu kurang sehari lah, tepatnya hari Minggu, saya sakit (terkapar bow!) yang menyebabkan saya istirahat dua hari di rumah. Tepat jam 10 hari Selasa karena bosen tidur mulu, saya memutar kembali DVD The Secret. Kali ini saya menontonnya dengan serius .. Setelah nonton, saya merasa sangat ingin merubah pola pikir saya selama ini.

Hal pertama yang saya lakukan adalah saya berkeinginan untuk sembuh dari sakit yang sedang saya alami. Berkali-kali saya berkata "Saya sembuh" dan itu saya tanamkan benar di dalam pikiran saya bahwa besok saya sembuh. Dan tahukah anda, ternyata saya sekarang benar-benar sembuh. Saya tidak merasa sedikitpun bahwa saya sedang sakit (walaupun masih mengkonsumsi obat) .. hehehe ...

Tapi sedikit-banyak, ada benang merah yang dapat saya tarik dari pengalaman ini (mana benang merahnya yah ??).
  • Setiap keinginan apapun dapat tercapai dengan memintanya dan terus membayangkannya. Yakin dan fokus
  • Kita dapat menjadi apapun yang kita inginkan .. dan kita dapat memiliki apapun yang kita inginkan ...
  • Minta, yakin .. maka kita akan mendapatkannya .. apa yang kita inginkan ..
Maka jangan memikirkan sesuatu yang tidak kita inginkan .. karena akan menjadikan itu menjadi kenyataan ...

AGAR vs DENGAN

"Bagi anda yang sudah sukses, silakan berdiri ....", pinta saya kepada peserta pelatihan.

Biasanya, tidak ada satupun yang berdiri. Kalaupun ada, paling satu-dua orang. Kemudian saya tanya lagi kepada yang tidak berdiri.

Saya : "Jadi anda belum sukses ?"
Peserta : "Ya",
Saya : "Kalau begitu kapan anda sukses ?"
Peserta : "Kalau sudah mencapai apa yang saya inginkan"
Saya : "So, apa yang anda inginkan ?"
Peserta : "Ya kesejahteraan, kebahagiaan ...."
Saya : "Anda sejahtera dan bahagia kalau sudah apa ?"
Peserta : "Sudah punya cukup uang, karier, keluarga ..."
Saya : "uang berapa yang bikin anda bahagia ?"
Peserta : "hmmm ... satu milyar ! ... dan saya sudah jadi direktur" ...
Saya : Jadi anda bahagia kalau sudah punya uang satu milyar ? dan jadi direktur ?"
Peserta : "Ya"
Saya : "Kapan anda punya uang satu milyar dan jadi direktur ?"
Peserta : "Hmmm ... tidak tahu .. ya akan saya usahakan secepatnya ?"
Saya : "Kapan secepatnya itu ... ?"
Peserta : " ..................."
Saya : "Berarti masih lama .. masih nanti-nanti ? .... Jadi anda bahagianya nanti ?" ...
Peserta : "...................."
Saya : "Kalau saya ikuti definisi anda, bahwa sukses adalah bahagia karena mencapai apa yang diinginkan, sekarang saya tanya ... hari ini anda sudah mencapai apa yang pernah anda inginkan tidak ?"
Peserta : "... eh, ... hmm .. sudah ..."
Saya : "Nah, anda ingin lulus sarjana -- sudah tercapai. Anda ingin dapat pekerjaan -- sudah tercapai. Anda ingin punya pasangan -- sudah tercapai. Anda ingin punya motor -- sudah tercapai. Anda ingin punya anak -- sudah tercapai. Anda ingin punya duit -- sudah tercapai. Anda ingin sehat -- sudah tercapai. Anda ingin ikut training ini -- sudah tercapai.... Kalau mengikuti definisi sukses menurut anda tadi, berarti sekarang anda sudah sukses dong ?"

"Kalau anda baru bahagia kalau nanti sudah tercapai keinginan anda, berarti sekarang anda tidak bahagia dong ? .. Padahal katanya anda sudah sukses mencapai apa yang anda pernah inginkan ? ...

"Jadi, bukan 'mari mencapai tujuan AGAR bahagia ...', tetapi 'mari mencapai tujuan DENGAN bahagia ... So, kalau begitu kapan anda bahagia ?

"Sekarang ....!!" jawab mereka.

Saya melanjutkan, "Kalau anda merasa sudah menjadi orang sukses, maka otomatis anda akan berpikir, berperilaku, dan bertindak sebagaimana yang dilakukan orang sukses. Anda akan antusias, disiplin, gemar belajar, tough, fighting spirit tinggi, dst. Kalau anda berpikir, berperilaku, dan bertindak seperti orang sukses, otomatis nanti anda akan mendapatkan apa-apa yang didapatkan oleh orang sukses..."

"Sekarang silakan pejamkan mata dan bayangkan anda SUDAH jadi direktur. Anda bisa kan membayangkan bagaimana cara anda berpikir, berpakaian, berjalan, berbicara, memutuskan ?. Nah, nanti hasilnya akan didapatkan ..."

"Oke, sekarang saya tanya sekali lagi. Siapa yang sudah sukses, silakan berdiri ..."

Kali ini seluruh peserta berdiri .... Kalaupun ada tampak masih ragu-ragu, akhirnya ia berdiri juga ....

Senin, November 12, 2007

Mendidik pakai Jangan ?

Ketika protes atas penayangan sinetron-sinetron 'masa kini' oleh sebagian kelompok masyarakat --- atas adegan sebut saja kekerasan, hamil di luar nikah, ciuman 'maut', anak kecil memaki temannya bahkan orang yang lebih tua, anak kecil 'ngerjain' pembantu atau orang lain, intrik-intrik politik kantor yang bringas, mau naik pangkat ke dukun, balas dendam lewat monster aneh, dan masih banyak lagi -- seorang produser dan timnya dengan santai berkata : "Lho, kami ini juga mendidik masyarakat lho. Kami menayangkan adegan-adegan tadi supaya JANGAN ditiru. Supaya masyarakat kita JANGAN berperilaku seperti itu.

Percayakah anda dengan sinetron 'mendidik' ala produser tadi akan membuat masyarakat kita jadi lebih baik ? ... Saya tidak percaya. Alasannya ? Pikiran -- khususnya pikiran bawah sadar yang lebih sering dominan mengatur hidup kita -- tidak mengenal kalimat negatif. Kalau saya bilang kepada anda : "Jangan bayangkan sapi warna biru !" Eehh, justru sapi warna biru yang muncul di pikiran anda duluan bukan ? Padahal sudah saya minta jangan pikirkan itu. Makanya hati-hati kalau anda sering berteriak kepada anak anda : "Jangan nakal", "Jangan ribut", "Jangan naik-naik" ... kira-kira apa yang muncul dalam pikirannya ?

Sugesti (ide, pemikiran, perintah) dapat diprogram ke pikiran bawah sadar dengan beberapa cara : diulang-ulang, dengan muatan emosi yang besar, disampaikan oleh orang yang dipandang memiliki otoritas, identifikasi kelompok, dan dengan cara hypnosis. Hypnosis adalah keadaan fokus konsentrasi tunggal. Biasanya kondisi fisik relaks. Hypnosis kita alami setiap hari. Nonton film asyik, baca buku asyik, menulis, melukis, diskusi kelompok yang intens, pacaran (lha tidak terasa tau-tau sudah jam 11 malam), chatting, menyetir mobil di tol, bahkan ketika melihat poster 'Sale 70% .... Jadi kondisi terhipnosis pasti kita alami setiap hari.

Nah, kira-kira waktu menonton sinetron, apa yang tidak ada ? diulang-ulang (tema cerita atau adegan serupa masih muncul untuk beberapa episode), mengandung muatan emosi (anda pasti geram melihat tokoh antagonis, dan kasihan melihat tokoh protagonis), disampaikan oleh figur yang memiliki otoritas (apalagi kalau itu artis idola anda -- model bawah sadar anda), dan anda terhipnosis (kadang-kadang saking fokus dan larutnya anda sampai-sampai digigit nyamukpun tidak terasa -- bahasa Ilmiahnya sampai pada respon aenesthetic).

Jadi, sekuat apapun produser mengatakan JANGAN IKUTI cerita itu, justru apa yang jangan itulah yang masuk ke pikiran penonton. Dengan sifat pikiran yang mengabaikan kata jangan, tidak, bukan, anda sudah bisa paham kan kenapa hal-hal yang dikhawatirkan pemrotes makin hari makin banyak kasusnya .... ?

Yang terbaik dariMu

RS Pondok Indah, 16 Agustus 2000. Begitu teman-teman dan kerabat mendengar berita kalau isteri saya keguguran, mereka membezoek kami. Sebagaimana lazimnya protap (prosedur tetap), mereka bertanya kisah seputar apa terjadi. Biasanya pula, menjelang pulang, sebelum pamit, pembezoek memberi nasihat-nasihat dan penguatan.

"Jangan kecewa ya, Prass ..."
Saya mengangguk. Tapi dalam hati saya sesungguhnya berkata : Saya bersyukur ... tanpa capek-capek dan bersusah payah membesarkan anak saya ini, dia langsung masuk surga ...

"Nanti kan diberi yang lebih baik ...."
Dalam hati : Allah selalu memberi kita sesuatu yang terbaik menurut ukuranNya. Jadi dalam keyakinan saya tidak ada kamusnya Allah memberi sesuatu yang kemudian 'diralat' dengan sesuatu yang lebih baik dari sebelumnya. Anak saya ini -- yang kemudian di nisannya tertulis Raihan Iman Nugroho bin Prasetya M. Brata -- adalah yang terbaik buat saya dan isteri saat itu. Ketika diambil kembali, itu juga yang terbaik. Kalau nanti perut istri saya ada janin lagi, maka itu adalah pemberian terbaik berikutnya dari Allah --- seberapa lamapun.

"Yaah, belum rejekinya, Prass ..."
Dalam hati : Ini adalah rejeki saya. Saya sudah diberi rejeki oleh Allah kebahagiaan luar biasa selama tujuh bulan. Saya bisa menikmati setiap perkembangan ukuran perut istri saya. Saya bisa 'bermain' bersama sang janin. Dan memang Allah memberi jatah buat saya cuma tujuh bulan. Apalagi di rumah sakit dan sesaat sebelum dimakamkan saya sempat menikmati wajahnya tersenyum -- mirip ibunya dan kakeknya ...

Terimakasih teman-teman dan saudara-saudaraku ... I miss u my son ...

Musibah, atau diselamatkan ?

Pak Sukardi Pujo Hutomo, rekan sesama pimpinan anak perusahaan -- (persisnya senior saya karena sewaktu saya baru masuk Bumiputera sebagai clerk, beliau sudah Kepala Bagian) -- punya pengalaman yang mencerahkan. Sewaktu beliau menjadi Pemimpin Cabang Medan, beliau menghadiri Rapat Pimpinan di Jakarta. Setelah selesai rapim, beliau bermaksud pulang ke Medan hari itu. Entah bagaimana, rupanya terjadi miskomunikasi dengan petugas agen tiket. Tiket Garuda diterima terlambat, sehingga tidak mungkin lagi mengejar pesawat. Garuda-pun terbang ke Medan.

Saat itu Pak Sukardi sangat kecewa dan marah. Ini dianggap semacam kesialan pada hari itu. Beberapa jam kemudian terdengar berita di TV dan radio, pesawat yang harusnya ditumpangi Pak Sukardi jatuh dekat Medan dan menewaskan antara lain wartawan RCTI. Apa yang dialami semula dianggap sebagai kesialan, beberapa jam kemudian malah menjadi anugerah.

Kisah nyata ini memberi konfirmasi atas statement Allah dalam sebuah ayat, bahwa kalau kita dapat kesialan -- hal yang tidak kita inginkan, jangan buru-buru ngamuk, karena boleh jadi apa yang tidak kita suka itu sebenarnya baik untuk kita. Sebaliknya, apa yang kita benar-benar inginkan belum tentu baik buat kita.

Sial, rejeki, nasib baik, nasib buruk, itu hanya ada di peta mental yang kita reka sendiri di pikiran kita. Tapi peta bukanlah wilayah. Peta Jakarta bukanlah wilayah Jakarta. Peta cuma penggambaran dari sebentuk wilayah. Peta belum tentu tepat benar menggambarkan wilayah. Coba saja mencari suatu tempat di Jakarta dengan memakai peta Jakarta 30 tahun lalu, bisa jadi anda nyasar.

Menurut apa yang tergambar di peta mental kita anggap musibah, justru sebenarnya (wilayahnya) adalah 'penyelamatan'. Jadi kalau lama tidak dipromosi jabatan, jangan-jangan anda sedang 'diselamatkan'. Anda diberi kesempatan untuk memperbesar dan memperkuat otot-otot dan stamina kompetensi sebelum mengangkat beban yang lebih besar. Sebab, kalau anda paksakan mengangkat beban itu, yang anda alami justru musibah dan penderitaan.

Kalau saya belum diberi keturunan, bisa jadi sedang 'diselamatkan'. Boleh jadi saya masih diminta untuk menambah ilmu untuk menjadi orang tua dulu. Sebab, kalau dikasih sekarang, yang ada malah kerepotan yang teramat sangat. Proses mendidik dan membesarkan anak jadi amburadul. Anak itu tanggungjawab, bukan mainan, bukan boneka. Kalau saya sudah siap saya yakin akan diberi amanah. Kemungkinan lain, saya sedang diminta menjalankan suatu misi, yang kalau 'direcoki' dengan merawat anak, justru semuanya malah tidak tertangani. Anak pertama saya -- Raihan -- meninggal dalam usia tujuh bulan dalam kandungan. Empat bulan kemudian, ayah saya divonis menderita sirosis hati, dan selama empat tahun sebelum wafatnya ayah saya masuk rumah sakit lebih dari 20 kali. Sebagai anak tertua, saya diberi misi untuk merawat ayah saya dulu melalui sumber daya yang saya punya : tenaga, waktu, pengetahuan, dan finansial.

"Ahhh, itu kan excuse saja dari keadaan yang anda alami .. anda belum punya anak karena belum fokus saja, jadi belum sepenuhnya berusaha punya anak ...", mungkin anda mengatakan itu kepada saya. Jawab saya, "... anda mungkin benar. Tapi setidaknya cara pandang saya itu membuat saya hidup lebih tenang dan makin sayang sama Tuhan ... Terimakasih sudah mengingatkan saya untuk lebih fokus ...".

Minggu, November 11, 2007

Kebiasaan baru (1)

Selain emosi, belief, blueprint mental, yang ada di subconscious mind -- pikiran bawah sadar -- adalah kebiasaan. Pikiran bawah sadar hampir 9x lebih kuat daripada pikiran sadar, makanya seringkali menang kalau harus konflik dengan bawah sadar.

Dulu, sewaktu saya pindah dari Samarinda ke Jakarta tahun 77 saya bingung melihat kloset yang ada di rumah baru. Di Samarinda kloset di rumah saya kloset jongkok. Kalau mau buang hajat ya jongkok. Di Jakarta klosetnya model duduk. Waktu itu saya kesusahan untuk 'mengendarainya'. Akhirnya yang terjadi adalah : saya jongkok di kloset duduk. Sekarang, saya malah agak sedikit 'canggung' kalau nongkrong di kloset jongkok. Disamping karena di rumah dan di kantor klosetnya duduk, rupanya kondisi fisik juga berpengaruh. Jongkok sedikit sudah gampang capek. Untung, fleksibilitas penggunaan kloset duduk dan jongkok ini ditopang oleh pengalaman saya sebagai Pramuka di masa remaja yang 'berkloset' dimana saja, mulai dari WC umum, sumur penduduk setempat, sungai, rawa, dan sebagainya.

Ketika membaca buku "7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif" tahun 93, saya terkagum dengan cara Stephen Covey menjelaskan soal paradigma dan kebiasaan. Tapi rupanya 'penyadaran' terhadap arti suatu perilaku atau kejadian (baca : mengubah paradigma) belumlah cukup membentuk kebiasaan 'baru' saya. Meskipun saya jadi mudah memahami dan menempatkan posisi pada suatu konflik, mudah empati, tapi tetap saya masih sering bangun kesiangan kalau pas libur (masak sholat subuh jam 6 pagi ?), sulit berolahraga teratur, menaruh barang di sembarang tempat, Kebiasaan 'berpikir' sudah lumayan terbentuk, tapi kebiasaan 'fisik' belum.

Sampai suatu ketika saya menikah. Isteri saya tumbuh di keluarga yang sangat memperhatikan 'standar operating procedure' kehidupan. Kalau saya menaruh barang bukan di tempatnya, kalau saya lupa menjemur handuk sehabis mandi, kalau saya bikin berantakan, niscaya isteri saya tidak segan-segan menjadi satpol PP di rumah. Mulanya saya jengkel -- 'ahh, cerewet amat sih nih bini' -- tapi lama-lama terbiasa juga. Tapi saya memang akhirnya berubah. Di situlah saya mendapat pelajaran. Mengubah paradigma saja tidak cukup. Memahami filosofi, manfaat, dan kerugian dari berbuat ini dan itu saja tidak cukup. Itu ada di wilayah pikiran sadar. Pikiran bawah sadar yang di dalamnya ada kebiasaan-lah yang seringkali menang. Bahwa, seringkali kalau 'emosi' terhadap keinginan perubahan kurang kuat, perlu ada satu lagi instrumen : kontrol dan pemaksaan -- setidaknya dalam konteks pengalaman saya di Indonesia saat ini.

Kontrol berarti pelaku perubahan mendapatkan feedback, dan diberi konsekuensi yang 'dirasakan' akibat perilaku tadi. Lebih baik kontrol dan 'pemaksaan' dari 'luar' tadi dilakukan oleh lingkungan. "Penguasa" yang menciptakan mekanisme itu berjalan dan sesekali 'terjun langsung' jika diperlukan.

Itulah yang menyebabkan saya seringkali 'kecewa' setelah gembira. Saya gembira menyambut peraturan pemerintah daerah tentang pengaturan kawasan bebas rokok, kawasan disiplin lalu lintas, jalur motor sebelah kiri, penggunaan helm, penggunaan sabuk pengaman, jalur busway. Semua akan membangun masyarakat dengan peradaban yang lebih tinggi. Namun, mekanisme pemaksaaan dan kontrol kurang berjalan mulus. Polisi -- dan masyarakat sendiri -- membiarkan pengendara motor melaju tanpa helm, berhenti di depan marka, membiarkan badan jalan dipakai berkendara, ketika macet motor-motor dan angkot mengambil sisi badan jalan berlawanan. Petugas restoran membiarkan pengunjung merokok padahal jelas-jelas terpampang tanda larangan merokok. Ujung-ujungnya, ya sudah .. saya terapkan untuk diri sendiri saja.

Kebiasaan baru (2)

Saya aplikasikan prinsip 'pemaksaan' ini di dalam program pelatihan untuk klien Bumiputera. (namun saya tambahkan rumus : disertai penjelasan arti dan tujuan dari pemaksaaan perilaku tersebut). Dulu, pelatihan cenderung 'otak kiri', banyak yang telat masuk kelas, jalannya kelas sering terganggu oleh ulah peserta yang menerima panggilan ponsel di kelas, sering keluar kelas untuk merokok. Pelatihan sering dikeluhkan tidak membawa hasil karena tidak mengubah perilaku. Yang didapat peserta pelatihan just nice to know. Padahal mereka adalah pejabat atau pemimpin tingkat senior dan menengah.

Sekarang, dalam pendidikan yang berdurasi panjang (lebih dari 1 minggu), saya meng-hire perwira polisi atau TNI untuk menjadi pembina kesamaptaan. Peserta 'wajib' melakukan ritual setiap hari berupa bangun pagi dan olahraga pagi jam 5, apel pagi, apel malam. Kalau makan harus mulai dan berakhir sama-sama. Kalau ada yang telat datang ke tempat makan, berarti
menyebabkan seluruh peserta pelatihan tidak bisa makan. Kalau telat olahraga atau apel, menyebabkan seluruh peserta pelatihan dihukum. Sebelum mulai pelajaran, ponsel dititipkan di tempat panitia dan terkunci aman. Sewaktu-waktu ada pemeriksaan ke kamar untuk melihat kerapihan kamar dan lemari. Namun semua ini dilakukan dalam frame : menantang untuk 'mengalahkan' diri sendiri, serta dalam iklim yang fun.

Salah satu pernyataan yang sering saya lontarkan dalam sessi induksi sebelum pelatihan dimulai adalah : "Peraturan membuat kita menjadi manusia bebas". Biasanya peserta bengong dulu, lho kok diatur malah bebas ? Tidak salah ?. Setelah menunggu komentar dari peserta, lalu saya lanjutkan : "Justru dengan adanya peraturan yang tampaknya membatasi, kita menjadi manusia bebas -- bebas dari nafsu kita sendiri. Bayangkan kalau tidak diatur, maka justru kita tidak bebas -- terpenjara -- oleh nafsu-nafsu kita yang bisa merusak diri sendiri dan lingkungan ...".

Dan yang penting, aturan ini dijalankan dengan konsekuen. Yang salah ya dihukum. Yang berprestasi diberi hadiah langsung, atau koin yang akan diakumulasikan dan dihitung di akhir pelatihan. Yang terbanyak diberi penghargaan.

Tentu proses 'pembentukan' tidak hanya itu. Saya kombinasikan dengan penggunaan beragam ice-breaking, musik pengantar belajar, ritual-ritual lain yang berbeda dengan pengalaman masa lalu. Saya melakukan pemutusan pola agar mudah memasukkan sugesti-sugesti baru. Saya juga kombinasikan dengan hypnosis dan self-hypnosis untuk mereka memrogram keyakinan-keyakinan dan rencana-rencana baru. Semua bertujuan menumbuhkan keinginan dan kepercayaan perubahan dari dalam.

Kunci berikutnya di eksekusi. Rundown jelas dan dipegang setiap petugas, briefing tuntas, petugas sigap, ramah, dan terlatih, sound system clear, cahaya cukup, temperatur pas, trainer di brief sejak awal tentang arah outcome pelatihan dan metode, makanan enak, pelaksanaan tepat waktu, pembayaran tidak mundur.

Biasanya peserta merasa 'berat' hanya sekitar tiga sampai 5 hari. Setelah itu, justru mereka bersemangat hidup dalam aturan itu. Bahkan di akhir pelatihan, biasanya mereka mengaku berat meninggalkan teman-temannya. Saya kenal peserta-peserta yang pada mulanya sejak mendengar konsep program ini sampai masuk pelatihan ada yang menggerutu. Sekarang, mereka berterimakasih karena merasakan manfaat besar dari learning process semacam ini ... Alhamdulillah. Saya jelaskan, sebenarnya yang membuat pelatihan ini berhasil justru ditentukan oleh peserta sendiri. Kami hanya memfasilitasi.

Terimakasih buat teman-teman -- tim saya yang menjadikan keberhasilan eksekusi konsep ini di lapangan. You're great!.

Sabtu, November 10, 2007

Jaim

"Gimana sih Pak Boss 'X', kok nongkrong di depan sama 'anak-anak' ? Becanda seperti mereka ? Nanti itu 'anak-anak' pasti ngelunjak dan meremehkan. Mustinya jaga wibawa sebagai pimpinan dong, biar dihormati ...", ujar seorang teman mengomentari 'kelakuan' salah seorang teman kami. Teman kami itu memang seorang pimpinan senior di kantor.

Bagi saya sebenarnya tidak menjadi masalah pimpinan nongkrong dan bercanda ala anak buahnya. Selama hubungan baik tetap terjaga, pimpinan juga bisa 'menyadarkan' semua pihak akan tugas dan tanggungjawab kedinasannya, tidak terlalu berlebihan, dan yang penting hasil kerja bagus dengan proses kerja yang bagus juga. It's okey.

Boss
yang jaim (jaga image), memandang jabatannya sebagai kedudukan. Ia berada di tempat yang tinggi yang harus dihormati. Menjaga jarak dengan anak buahnya dengan alasan agar mudah mempersuasi (sebenarnya lebih tepat menyuruh-nyuruh) mereka. Biasanya ia jarang bahkan tidak pernah 'terjun' langsung 'berkubang' dalam pekerjaan yang dilakukan anak buahnya. Salah ?... Tidak, sepanjang dia tetap mengutamakan dan memperjuangkan kepentingan Perusahaan dan membawa hasil yang bagus dalam jangka panjang, wong itu sebuah pilihan gaya kepemimpinan. Tapi biasanya lho, penghormatan yang diberikan anak buahnya cuma basa-basi. Hanya ada di permukaan. Lantas kalau pimpinan nongkrong, itu benar ? Tidak juga, jika motif pimpinan itu adalah tindakan populis dan manipulatif, dan memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi. Atau, pimpinan itu tidak punya konsep kemana akan dibawa organisasinya.

Anak buah lebih suka pimpinannya 'bergabung' dengan persoalan yang tengah dihadapinya. Merasa 'senasib sepenanggungan', sehingga tidak terbersit di benak anak buahnya 'ahh, gue kerja cape-cape dia yang dapet nama dan dapet angpaonya ..'. Bergabung dengan anak buah membuat kita memahami keadaan mereka. Kita tahu apa yang ada di pikiran mereka, dan akhirnya setelah kita pacing (menyesuaikan diri), mereka trust, kita bisa 'menggiring' mind-set dan pikiran-pikiran mereka (inspiring & leading). Bukankah sugesti lebih 'masuk' dalam keadaan rileks ? Judul permainan ini adalah : keberanian, bukan ketakutan. Jangan takut mereka akan 'menuntut' ini itu, minta ini itu. Biarkan mereka mengetahui kita memikirkan nasib mereka dan memahami aspirasi mereka, tapi biarkan juga mereka tahu kita juga memikirkan kondisi dan keterbatasan Perusahaan. Biarkan mereka tahu kita berpikir dan bertindak proporsional.

Diremehkan ? .. Tidak, kalau kita juga tegas dalam peran kita. Saya pernah memarahi keras seorang staf yang selama ini dipandang oleh teman-teman lain 'sangat dekat' dengan saya, gara-gara dia membiarkan seorang mahasiswa merokok di non-smoking area di kantin. Saya memang membuat ketentuan barangsiapa ada karyawan yang melihat orang lain merokok di non-smoking area tapi tidak menegurnya, maka yang akan saya marahi adalah karyawan tersebut duluan baru orang yang merokok itu. Itu saya lakukan benar-benar. Sampai-sampai karyawan saya itu sempat 'trauma' ketemu saya karena kaget kok bisa-bisanya saya seperti itu. Tapi itu tidak lama. Saya datangi dia dalam kesempatan-kesempatan informal, termasuk chatting di Yahoo Messenger, dan melakukan reframing atas apa yang dialaminya itu. Sekarang ia sudah 'biasa' lagi. Senyumnya kepada saya sudah seperti yang dulu.

Saya terinspirasi oleh John Adair yang menulis : Pemimpin yang buruk adalah ketika anggotanya mencemo'ohkan kehadirannya. Pemimpin yang baik adalah ketika anggotanya mengelu-elukan kehadirannya. Tapi pemimpin yang PALING baik adalah ketika anggotanya TIDAK menyadari akan kehadirannya.

Mengapa ? Sang pemimpin itu sudah MEMBUAT anggotanya menjadi pemimpin atas dirinya sendiri.. Setiap orang SUDAH menjadi pemimpin ...

Ada mbah dukun (1)

"Kalau kamu sakit perut, coba ambil batu, terus genggam erat-erat, nanti kan sakit perutnya hilang ...", begitu pesan ibu, teman, dan tips di majalah Kartini waktu saya kecil. Silakan anda coba, kalau anda yakin, kemungkinan besar anda berhasil.

Seorang dukun membaca mantera di segelas air putih, lalu disodorkan kepada pasiennya "Nah, silakan diminum, nanti sakitnya akan hilang dalam dua hari". Betul juga, sang pasien dukun tadi sembuh setelah dua hari. Di tempat lain, seorang dukun memberi sebuah batu kepada pasiennya dan berkata, "Simpan ini di pinggang Pak, anda akan berwibawa dan dihormati orang".

Apa yang membuat sakit perut hilang, sakit kepala hilang, dan pasien sang dukun dihormati ? Ya, pikirannya sendiri. Kalau tidak bisa membangun peta mental dalam pikirannya sendiri, orang biasanya minta bantuan 'luar'. Ia butuh sugesti dari luar. Tubuh merespon pikiran. Kalau anda ketakutan, jantung akan berdebar, keringat dingin. Kalau anda sedih, anda tidak akan berdiri tegak dengan kepala mendongak ke depan. Anda kemungkinan akan duduk bersandar dan kalau berjalan cenderung menunduk.

Mau bukti bahwa tubuh anda merespon pikiran anda ? Coba anda lakukan ini. Rapatkan telapak tangan kanan dan kiri anda, seperti orang Sunda mau salaman. Pas-kan. Lihat ujung jari tengah anda. Panjang yang kiri ? atau kanan ? atau sama panjang ?. Sebentar lagi silakan anda pejamkan mata. Tarik dan keluarkan nafas. Buat rileks seluruh otot-otot anda, mulai dari kulit kepala, mata, mulut, wajah, leher, leher.. terus turun ke bahu, lengan, punggung, dada, perut .. turun ke pinggang, paha, betis, dan telapak kaki.

Kalau sudah rileks, jika semula yang panjang jari tengah tangan kanan, nanti bayangkan tangan kiri dengan jelas. Kalau semula yang panjang tangan kiri, nanti bayangkan tangan kanan. Kalau semula sama panjang, bayangkan salah satu, kiri atau kanan.

Nanti, dalam keadaan mata tertutup dan rileks, bayangkan tiba-tiba jari tangan yang anda sedang bayangkan memuai dan memanjang. Buat lebih panjang lagi, sekitar 1,5x ukuran semula. Lalu sambil tetap membayangkan, anda katakan dalam hati : "Saya perintahkan tangan saya untuk memanjang ..." (Sambil terus dibayangkan). Katakan 3x. Setelah terbayang dengan jelas, silakan buka mata, dan ukur kembali tangan anda.

Percobaan ini akan gagal jika anda punya masalah dengan konsentrasi, atau memikirkan dan mengkritisi apa yang saya katakan ini, atau anda menolak memberi perintah kepada tangan anda tersebut.

Penasaran ? Siap ? Ya, sekarang silakan lakukan. Bagaimana hasilnya ? Amazing ?

Ada mbah dukun (2)

Ketika anda memasuki daerah baru, kemudian melewati suatu jalan dengan pohon besar dan rimbun di pinggir jalan, anda tentu merasa biasa saja. Anda lewat begitu saja. Begitu sampai di ujung jalan, penduduk di situ bilang, "Aduh neng, ati-ati lewat situ, terutama yang pohonnya paling besar, banyak penunggunya .. angker ...wujudnya wanita berambut panjang .. ". Sorenya anda harus melewati jalan itu berjalan kaki. Bagaimana perasaan anda sekarang ? Mulai deg-degan. Leher merinding.

Sampai di ujung jalan, lagi-lagi penduduk setempat mengatakan : "Wah neng ... banyak baca-baca ya kalau lewat pohon paling besar itu .. banyak yang kesurupan ..". Esok harinya, pas magrib, anda harus melewati jalan itu lagi. Anda akan mempercepat langkah sambil mata melihat ke depan. Begitu seterusnya, penduduk setempat menceritakan keangkeran pohon besar itu. Kalau anda orang yang sangat sugestible, suatu ketika anda fokus sekali pada apa yang ada di pikiran anda saat itu, anda bisa mengalami positive visual - auditorial hallucination. Anda 'seperti' melihat wanita berambut panjang sedang 'nongkrong' di atas pohon sambil tertawa, 'hihihihihihihi.....'.

Inilah proses anda tersugesti. Pikiran bawah sadar yang menguasai 88% kita, atau efeknya hampir 9x lebih kuat, tidak mengenal realitas atau sekadar imajinasi. Bayangan yang diulang-ulang -- apalagi pas keadaan fokus -- akan cepat masuk ke pikiran bawah sadar dan dianggap sebagai kenyataan oleh pikiran. Repetisi adalah salah satu cara pemrograman pikiran bawah sadar. Ketika imajinasi anda tentang penunggu tadi diulang-ulang pada saat anda fokus memikirkannya (takut), bayangan tadi di pikiran anda menjadi seperti nyata. Apalagi anda percaya. Jadi yang anda lihat itu adalah yang ada di pikiran anda, bukan 'wujud' mahluk halus itu yang sesungguhnya.

Kok begitu ? Coba saja sebutkan macam-macam hantu ! Mungkin anda menyebut : kuntilanak, gendruwo, kalong wewe, pocong, tuyul, wewe-gombel, kolor ijo. Bisa menggambarkan bentuknya ? Tentu saja. Saya tebak anda menggambarkan wujudnya berdasarkan apa yang ditampakkan di sinetron, acara Pemburu Hantu, komik, dsb. Itu di Jawa. Coba anda ke Bali, adakah pocong ? Setan 'pribumi' mereka adalah Leak. Wujudnya ? Berbeda dengan pocong. Kalau anda ke Amrik, ada gendruwo ? Yang ada Dracula, Frankenstein, Casper, Vampire. Oh ya, Vampire Amrik sama Vampire Cina sama tidak ? ... Beda !. Vampir Cina jalannya lompat-lompat. Jadi penampakan dan penggambaran setan sangat tergantung dari 'memory files' atau 'perpustakaan memori' masyarakat setempat atau seseorang.

Bukti lainnya, kenapa ya di Indonesia kalau orang kesurupan biasanya jadi macan, monyet, Mbah Suro, dan sebangsanya ? Kok tidak pernah saya dengar ada yang kesurupan Michael Jackson (menari dengan teriakan khasnya : hihiii ..) atau Marlyn Monroe (suka angkat-angkat rok). Mau tahu rasanya kesurupan ? Coba anda tutup mata, bikin seluruh tubuh anda rileks. Lalu bayangkan anda berada di bawah pohon pepaya, lalu anda goyang-goyang keras pohon itu, lalu semut-semut yang ada di pohon itu jatuh ke kepala dan bahu anda, lalu mulai masuk ke baju anda menggeremeti badan anda. Bagaimana rasanya ? Itulah kesurupan atau kerasukan.

Sugesti cepat masuk kalau anda fokus. Nah, fokus konsentrasi tunggal inilah yang dalam hypnosis disebut trance. Dalam istilah traditional hypnosis disebut kesurupan atau kerasukan. Dalam istilah Islam disebut khusyu'. Jadi trance, khusyu, kesurupan, kerasukan, itu sami mawon. Sugesti tentu 'mengkonstruksi' pikiran. Pikiran menentukan perasaan. Perasaan mendorong perbuatan/tindakan. Tindakan menentukan hasil. Jadi, kalau mau hasil positif, pikiran harus positif, sugesti juga harus positif. Kalau mau hasil negatif, masukkan saja sugesti negatif. Misalnya, ah, aku ini kan orang miskin, bukan S1, mana mungkin aku sukses .... Insya Allah anda miskin terus...