Selasa, April 19, 2011

Terpeleset Makna Spiritual

Ketika dua tahun lalu saya terkena bell’s palsy, penyakit kelumpuhan separuh wajah akibat gangguan syaraf ke-7, saya segera menulis makna ‘penghiburan’ yang kemudian menjadi bagian dari buku “Provokasi 2, MANTRA Mengubah Nasib Dengan Kata” terbitan PT Gramedia Pustaka Utama.  Saat itu saya menulis bahwa akibat terkena sakit bell’s palsy, isteri saya mempercepat kepulangannya ke Indonesia, lantas saya mendapat anugerah kunjungan dan perhatian dari teman-teman baru  yang tidak mungkin berkunjung jika saya tidak sakit, dan akhirnya sakit itu adalah doa yang dikabulkan Tuhan dengan cara elegan agar saya dan isteri mempunyai waktu penuh untuk bersama.

Saya melakukan reframing positif dengan menamakan keadaan yg saya alami bukanlah ‘sakit’, namun hanya ‘mengalami kondisi tertentu yang memerlukan treatment khusus’.  Saya juga mengutip penghiburan dari salah seorang teman facebook yang mengatakan bahwa tidak semua orang mendapat kesempatan mengalami bell’s palsy. Saya adalah orang yang dapat bercerita panjang lebar tentang bell’s palsy karena saya pernah mengalaminya.

Saat saya mengalami vertigo kambuh, terkena gastritis, dan sakit-sakit berikutnya, maka saya menganggukkan kepala sambil tersenyum ketika beberapa sahabat mengutip dogma ajaran agama  bahwa sakit itu adalah sebuah anugerah Tuhan untuk mengugurkan dosa-dosa saya. Saya terhibur.

Ketika makna-makna itu saya pasang sebagai bingkai berpikir, maka perasaan sayapun menjadi tenang dan damai. Saya dapat menjalani hari-hari penyembuhan saya dengan lebih antusias. Tuhan yang memberi penyakit, Tuhan pula yang memberi obat.

Sepintas memang makna itu bermanfaat buat diri saya. Tetapi jika saya tidak waspada, saya dapat terjerumus menjadi manusia yang tidak bertanggungjawab.  Kok bisa ? ... Karena saya menganggap penyakit ini diberikan Tuhan sebagai ujian dan cobaan, maka saya lupa bahwa segala sesuatu itu ada penyebabnya. Seringkali sebabnya diciptakan oleh manusia sendiri, tapi karena saya tidak mau disalahkan, maka saya perlu mencari kambinghitam.

Berapa banyak orang yang terkena penyakit jantung atau stroke mengatakan, “Siapa sih yang minta kena penyakit ini ? ... Saya juga tidak mau kena penyakit ini. Penyakit ini adalah bentuk kasih sayang Tuhan yang telah memberi ujian kepada saya agar saya bersabar ...”.  Pertanyaannya, siapakah yang merokok ? siapakah yang makan makanan penuh kolesterol tinggi dan nutrisi tidak seimbang ? Siapakah yang abai terhadap mengistirahatkan tubuh yang cukup ? Siapakah yang kurang olahraga ? Siapa yang tidak update dengan informasi dan pengetahuan kesehatan ? Kok lantas dengan entengnya dia menuduh Tuhan sebagai ‘sebab’ dari keadaan dirinya ?

Soal kekuasaan Tuhan dalam menjadikan segala sesuatu itu tidak perlu diperdebatkan. Tidak terbantahkan. Tetapi kalau kita ingat ayat Tuhan di segala agama yang bermakna universal : “tidak akan Tuhan ubah nasib manusia sebelum manusia itu mengubah apa-apa yang ada dalam dirinya”, maka kita akan tahu bahwa Tuhanpun mengajarkan soal sebab di wilayah kendali manusia yang memberi akibat berubahnya keadaan manusia itu sendiri.

Suatu siang saya sedang berbincang dengan seorang teman tentang keadaan perusahaannya. Katanya, atasannya berkata bahwa selamat tidaknya perusahaannya itu tergantung dari kuasa Tuhan. Sang atasan mencontohkan Briptu Norman. Jika bukan karena kehendak Tuhan, tidak mungkin dalam waktu singkat Briptu Norman terkenal.

Saya lantas menyitir budayawan Prie GS yang mengatakan bahwa kepopuleran Briptu Norman itu disebabkan oleh  adanya niat menghibur temannya yang sedang kesusahan. Saya menambahkan, jika saja Briptu Norman tidak ‘kompeten’ dalam berjoged dan lypsinc, maka kemungkinan penampilannya tidak enak dilihat. Kompetensi Briptu Norman itu merupakan hasil dari minat dan latihan yang ia lakukan bertahun-tahun. Kompetensi dan niat tulus itulah yang menjadi sebab akhirnya Tuhan ‘menjadikan’ perubahan kehidupan Briptu Norman.

Kali ini, di atas ranjang kamar perawatan sebuah rumah sakit akibat infeksi viral yang berwujud gejala tipus, saya memisahkan diri dari diri saya sendiri, kemudian membaca kembali seluruh makna yang pernah saya beri terhadap keadaan saya saat itu. Saya kemudian berkata kepada saya sendiri, “Prass, boleh saja kamu beri arti bahwa setiap sakit kamu ini sebagai kesempatan untuk menyeimbangkan hak tubuhmu dan kesempatan gugurnya dosa-dosamu .... tapi apapun makna yang kamu beri, tetap saja sekarang ini pekerjaanmu terlantar, jadwal-jadwal terkait dengan orang lain terganggu, dan banyak orang yang kepentingannya terhambat karena ketidakhadiranmu ...”.

Makna sakit yang saya gunakan berpotensi melenakan saya. Dengan makna-makna itu sakit menjadi begitu indah. Saking indahnya, saya kalau sakit lagi tinggal pakai saja makna serupa. Beres. Saya lupa, bahwa esensi sakit adalah sebuah kesadaran dan rencana tindakan agar kita tahu bagaimana menjadi sehat dengan bertindak, sehingga tidak sakit lagi. Karena kalau saya sakit, akan ada banyak orang lain yang kesusahan... ***