Kamis, Desember 27, 2012

Makna Anti Lebay

"Atas dasar apa seseorang memutuskan menikah, Ayah?", itulah kalimat pertama dari seseorang di blackberry messenger saya.

Namanya Yaya. Ia tinggal di Banjarmasin. Ia memanggil saya 'Ayah' bukan karena ia anak kandung saya. Ia telah menganggap saya sebagai ayahnya. Pernah ia terbang dari Banjarmasin ke Jakarta dan menginap di rumah saya untuk mengikuti sebuah acara. Perkenalan pertama kami lewat twitter dan berlanjut ia membeli kedua buku saya.

"Hahahahahaa!", balas saya.

"Yaaah, diketawain .. Ya sudah deh, nyari jawaban sendiri aja", jawabnya.

"Lha tiap orang 'kan masing-masing beda dong...", jawab saya.

"Kalau buat saya sih, dasar seseorang memutuskan menikah adalah SIAP", imbuh saya.

Segera saya menjelaskan lebih lanjut, "Siap itu berarti termasuk siap menerima risiko dan menjalani keadaan terburuk karena ada faktor yang belum siap".

"Kalau begitu saya belum siap...", katanya.

"Mengapa?", tanya saya.

"Baru kenal sebulan diajak married... Takuuuuut", jawabnya.

"Hmmm, takut itu 'kan dapat disebabkan oleh 'sungguhan', bisa juga oleh 'anggapan'...", jawab saya.

"Dia wartawan, nasabahku...". Yaya memang bekerja di sebuah bank BUMN.

"Kalau kata hati belum siap, ya ikuti saja...", jawab saya.

"Yaya boleh latihan memberi 'meaning' yang sederhana dulu. Contohnya, waktu saya jatuh ke kolam, sempat bikin 'meaning' : wah, ini tandanya akan mendapat keberuntungan karena orang Jawa kalau mau menikah 'kan pakai siraman, mau puasa pakai 'padhusan', semua yang berhubungan dengan air. Jatuhku ke kolam ini juga berarti memberi kegembiraan buat teman-teman yang menertawakan saya. Kejadian ini juga sebagai cara Tuhan menegur saya supaya introspeksi jangan-jangan 'kesialan' ini akibat saya kurang amal, kuran sedekah, atau karena sombong... Saya akhirnya sampai pada penyederhanaan makna, bahwa jatuhnya saya ke kolam itu adalah karena saya tidak hati-hati. Titik. Nggak jadi lebay...", imbuh saya ditutup dengan simbol smiley.

Saya melanjutkan. "Jadi, kalau Yaya takut artinya belum siap. Butuh waktu untuk menyiapkan diri. Titik"

"Bagaimana dengan sebuah pengalaman atau peristiwa yang kuat di ingatan sebagai pengalaman buruk? Jadi kayak mental block gitu ya?. Mengubah maknanya 'kan susah karena sudah telanjur terbentuk sebagai pengalaman yang buruk", tanya ia lagi.

"Susah itu karena belum tahu caranya, belum terlatih. Mental block itu bermanfaat untuk lebih berhati-hati dan melakukan persiapan lebih matang."

"Sama kayak sakit yaaa...? Positifnya adalah cobaan Tuhan ... ujian supaya bisa bersabar dapat pahala, dan lupa bertanggungjawab untuk sehat kembali ...:-)) ... Pahaaaaam". Muncul tanda jempol dari Yaya.***


Minggu, Juli 29, 2012

Rokok Bukti Cinta?

Entah dari mana mulainya, tahu-tahu pembicaraan menyentuh kata 'rokok'. Saya kemudian bertanya kepada salah seorang kawan berjenis kelamin perempuan yang duduk di depan saya. "Eh, cowok baru kamu yang sekarang ngerokok nggak?".

"Iya...", katanya.

Setahu saya, cowok sebelumnya dari teman saya ini tidak merokok.

"Terus, kalau cowok kamu yang sekarang ngerokok, gimana perasaanmu?".

"Ya sebenernya aku pengennya dia nggak ngerokok. Tapi kan aku jadian sama dia udah dalam keadaan dia ngerokok, ya aku terima dia apa adanya...", jawab dia.

"Lalu, apa keinginanmu yang terdalam?", tanyaku.

"Ya pengennya dia nggak ngerokok...".

"Aku pengen tahu apa yang ada di pikiranmu tentang bahayanya merokok..."

"Merokok merusak kesehatan. Bisa membahayakan jantung dan janin."

"Mengapa kamu pengen dia nggak merokok?"

"Kehidupan yang lebih sehat sekarang dan di masa depan nanti, terutama kalau udah punya anak"

"Yakin?"

"Yakin !"

"Orang ngerokok hidupnya berkah nggak?"

"Selama tidak mengganggu orang lain kan hidupnya berkah"

"Orang ngerokok mengganggu orang lain nggak?"

"Hmmm ... Ya iya sih ..."

"Apa yang dicari orang ngerokok?"

"Kenikmatan kali..."

"Kenikmatan buat siapa?"

"Ya buat dirinya ..."

"Kenikmatan juga buat orang yang ada di dekatnya?"

"Ya pasti nggak lah ... keganggu sama bau dan asap..."

"Berarti orang yang merokok peduli dengan orang lain? Trus kalau orang nggak peduli sama orang lain namanya apa?"

"Egois .... Hmm, tapi kan dia bisa merokok di tempat lain atau smoking area?"

"Apakah orang merokok itu mencintai tubuh yang diamanahkan Tuhan?"

"Hmmm ... menurutku tidak..."

"Mengapa?"

"Karena dia sudah meracuni tubuhnya sendiri...Tapi dia sudah kecanduan, susah dihentikan..."

"Dia kecanduan rokok, atau kecanduan perasaan yang ditimbulkan akibat merokok?"

"Maksudmu? Aku belum ngerti..."

"Apa yang dia dapatkan dari merokok?"

"Ya itu, kenikmatan, kesenangan, ketenangan.."

"Tapi dia tahu dampak dan bahaya merokok?"

"Ya tau lah..."

"Dia tahu bahayanya merokok terhadap perokok pasif, kamu, anak-anakmu nanti?"

"Sepertinya tau lah ..."

"Berarti yang dia cari dan kejar kenikmatan rasanya itu kan? Dan itu dia lakukan dengan cara meracuni tubuhnya sendiri. Dia lebih ngebela perasaannya daripada pikirannya.  Itu bukan mendzalimi diri sendiri ya?"

"Hmmm ... "

"Bagaimana mungkin dia akan mencintai kamu kalau sama dirinya sendiri nggak mencintai?"

"Trus, aku musti gimana dong?"

"Kamu maunya dia ngerokok nggak?"

"Ya pengennya nggak ngerokok..."

"Ya minta aja dia nggak ngerokok..."

"Nanti dia marah..."

"Dia mencintai kamu?"

"Iya..."

"Kalau dia mencintaimu, kok dia akan marah dengan permintaanmu? Kalau dia sampai marah dengan keinginanmu ini, artinya dia mencintai kamu, atau mencintai nafsunya sendiri?"

"..............."

"Kamu siap dan bersedia hidup dengan orang seperti itu?"

"................"

"Kalau kamu membiarkan dia merokok, sementara kamu inginnya dia tidak merokok demi kebaikan semuanya sekarang dan masa depan, lalu karena kamu takut dia marah kamu tidak mau menyampaikan permintaanmu itu, itu berarti kamu telah memutuskan untuk diam, maka nanti kalau ada apa-apa kamu bertanggungjawab juga. Ciri orang bertanggungjawab adalah tidak mengeluh setelah keputusan itu, dan kamu tinggal pertanggungjawabkan saja keputusanmu itu di hadapanNya nanti...".

"..............." ***

Senin, Maret 05, 2012

I Hate That Smile

Tahu-tahu saya sudah berada di tengah perbincangan beberapa teman mengenai seseorang. Saya sadar berada dalam pusaran gosip. Mereka membicarakan orang yang sama.

A : "Dulu gue pernah berantem sama dia gara-gara dia ngomong bla...bla...bla...
B : "Gue pertama kali ketemu dia bawaannya udah nggak cocok. Kemistri-nya lain"
C : "Maunya menang sendiri, pinter sendiri..."
D : "Ngeliat senyumnya aja bawaannya udah nyebelin dan bikin sepet mata...".
A, B, C : "Hahahaaa, benerrrr....".

Saya juga mengenal orang yang dibicarakan ini. Saya bukannya tidak paham apa yang mereka pikirkan dan rasakan, karena saya pernah punya pikiran dan perasaan yang sama. Hahaha. Dalam satu waktu, saya pernah membicarakan kebaikan orang ini dan justru malah mendapat komentar sinis dari beberapa orang yang punya 'bad experience' dengan orang ini. 

Ketika cerita non-fiksi ini saya jadikan status facebook : "Ada orang yang dari senyumnya saja sudah nyebelin dan bikin mata sepet... tapi perhatikan lebih dalam... dialah yang akan memberimu lebih banyak pelajaran...", beragam komentar dan reply berdatangan, antara lain :

"Pelajaran agar tidak menjadi orang yang nyebelin kayak orang itu ya pak ?"

"Gimana memperhatikan lebih dalam? Ngeliatnya aja sudah bikin sebel..."

"Pelajaran tentang arti sebuah kesabaran..."

"Semakin dalam semakin sebel tau pak..."

"Kata Azis Gagap, jangan liat casingnya, tapi liat kemampuannya :-D"

Ada komentar lucu dari teman saya Nandra F. Piliang, "Semakin dalam semakin mau tak gampar mas..". Saya lantas menimpali, "Nah, nanti kan akan semakin dapat pelajaran ... coba aja mas". Dia lalu membalas, "Bukan pelajaran mas, tapi malah dia menghajar balik...". Saya bilang, "Lha ya itu maksud saya, dia memberi pelajaran...". Nandra : "Asem...".

Komentar dari teman muda Krisna Dwipayana cukup tajam : ".. atau jangan-jangan orang itu mirip kita, Pak? Bisa aja 'kan kita nggak sadar sedang 'bercermin' pas melihat orang itu? Atau mungkin juga 'persepsi' kita saja kalau orang tersebut mukanya kayak gitu. Apalagi kalau misal kita membawa 'emosi' dalam melihat orang itu...". Komentar ini menarik karena sepertinya ia mengerti tentang cara manusia memberi penilaian. Sayapun membalas, "itulah pelajaran besar dari melihat orang itu, bukan?... Ternyata yang mendapat manfaat adalah diri sendiri karena tahu pelajaran untuk berubah memperbaiki diri lebih baik lagi..."

Ketika ada yang berkomentar, "Gimana mau memperhatikan lebih dalam? Ngeliatnya aja sudah bikin sebel...", saya membalas : "Makin sebel berarti makin dapat feedback tentang kualitas emosi kita sendiri bukan?. Dari situ kita mendapat cermin untuk bertumbuh, bukan?".

Ketika kita suka atau tidak suka kepada seseorang, sebenarnya yang kita sukai atau tidak sukai bukan orang itu sebagai realitas, melainkan gambaran pikiran kita mengenai orang itulah yang membuat kita suka atau tidak suka. Gambaran dalam pikiran tersusun dari serangkaian gambar-suara-rasa, yang ketika berada di layar pikiran saja sudah mengalami bias akibat kondisi panca indera dan filter mental yang bernama distorsi, generalisasi, dan penghapusan. Pemberian arti terhadap apa yang hadir dalam layar pikiran kita berdasarkan referensi kita terhadap nilai-nilai yang kita anut sebelumnya, dan pengalaman masa lalu yang sama atau mirip-mirip, yang dihubung-hubungkan. Padahal masa lalu itu komponen manusia yang terlibat, durasi waktu, tempat dan suasananya sudah berbeda dengan kejadian yang ada di depan kita saat ini.  Dengan demikian penilaian terhadap seseorang sebenarnya tidak menggambarkan 'nilai' orang itu, melainkan 'kemampuan' kita dalam memberi nilai. 

Jelasnya, jika seseorang mengatakan orang lain 'jelek' kepada wajah kita, maka bukan wajah kita yang jelek, melainkan kompetensi orang itu menyebabkan proses berpikir di dalam kepalanya menghasilkan gambaran wajah kita yang dalam layar pikirannya dikategorikan sebagai 'jelek'. Lebih jelas lagi begini. Tuhan itu Maha Sempurna, menciptakan dengan cara yang sempurna, dan ciptaannya pasti sempurna. Jika wajah anda yang sempurna ini dibilang jelek oleh seseorang, maka jelek itu menggambarkan kemampuan orang itu dalam 'melihat' ciptaan Tuhan. Jadi anda tenang saja. Tapi kalau wajah atau senyum kita sampai menimbulkan emosi negatif pada seseorang, misalnya sebel, marah, bete, maka kita perlu waspada, jangan-jangan ada kelakuan kita di masa lalu yang dihubungkan oleh orang itu dalam pikirannya dengan wajah atau senyum kita. Meskipun tidak menutup kemungkinan orang itu sedang menghubungkan gambaran wajah atau senyum kita dengan kelakuan orang lain yang memiliki kemiripan atribut dengan kita, tetapi tetap bermanfaat jika kita introspeksi, jangan-jangan ada hal-hal yang kita lakukan menyinggung dan menganiaya orang lain.  

Tanpa dinyana, sahabat saya Nong membuat note yang isinya 'menjawab' alias meluaskan lagi sudut pandang dengan mengatakan : sebetulnya, menurut saya, senyum yang bikin BETE itu awalnya dari hati yang selalu BETE.

Tetapi yang paling indah saat ini adalah saya mendapat hipotesis adanya hubungan antara cara berpikir, kelakuan, dan cara senyum. Bikin penasaran saja. Sementara saya belum mendapat kebenaran empiriknya, lebih baik saya mulai menjaga perkataan dan kelakuan biar orang lain tidak berbuat dosa karena ngerumpi-in hal-hal buruk tentang saya. "Kalau senyum saya bagaimana Pak?", tanya seorang teman facebook yang cantik. Keganjenan saya langsung terbit dan menjawab, "Senyummu bikin pria galau...".***

Selasa, Januari 10, 2012

Salah Benci

Bermula dari status yang saya tulis di facebook "Yang kamu benci itu dirinya atau perbuatannya?", tidak berapa lama seorang sahabat memberi komentar, "dua-duanya".


Saya lantas menimpali, "Mengapa dirimu membenci dirinya ?... Bukankah kamu pernah menyukainya, dan nanti mungkin saja menyukainya lagi jika ia minta maaf dan mengubah perbuatannya... sementara perbuatannya mungkin tidak akan pernah kamu sukai selamanya... :))".


Komentar berikutnya muncul dari sahabat 'setia' saya di facebook -- sebut saja namanya Eka. Katanya "Pertama benci pada perbuatannya... Setelah dia minta maaf untuk yang pertama kali, saya masih benci perbuatannya, bukan orangnya. Terulang lagi, dia minta maaf lagi utk yang kedua kalinya, sayapun masih membenci perbuatannya, belum orangnya. Terulang untuk yang ketiga kalinya, dia minta maaf untuk yang ketiga kalinya juga, saya tetap membenci perbuatannya dan tidak bisa membenci orangnya. Terulang untuk yang keempat kalinya, dia minta maaf untuk yg keempat kalinya, lagi-lagi saya benci pada perbuatannya, dan saya akhirnya benci... pada diri saya sendiri!".

Selanjutnya, terjadilah dialog antara saya dan Eka.

Saya : "Mbak Eka, apa yang diperbuat oleh diri sendiri sehingga mbak Eka membenci diri sendiri ?".

Eka : "Karena untuk masalah yang satu ini saya tidak bisa berpikir objektif... Diri saya terlalu menggunakan perasaan dalam merenungkan permasalahan... sampai akhirnya tembus ke angka empat kali kesempatan tadi. Empat kali kesempatan berarti sakitnya jg empat kali lipat.  Seandainya saya lebih banyak menggunakan logika pasti tidak sampai di angka empat. Mungkin hanya sampai angka dua atau dua setengah.   Inilah kelemahan saya yag membuat saya jadi benci pada diri sendiri."

Saya : "Jadi karena mbak Eka terlalu pakai perasaan ya?... memang sih, masalah itu kalau mau selesai bukan dirasain, tapi dipikirin, seperti kata mbak eka 'pakai logika'... Nah, Mbak Eka mengatakan ini sebagai kelemahan mbak Eka, lantas yang mbak Eka benci itu diri mbak Eka atau kelemahan mbak eka ?"

Eka : "Lha, masalahnya kelemahan itu ada dalam diri saya. Kepriben...?"

Saya : "Mbak Eka itu sebenarnya membenci diri sendiri, atau membenci kelemahan mbak eka ? ... Apa yang terjadi ketika kita membenci diri sendiri ? ... mungkinkah orang lain akan menyukai diri kita sementara kita sendiri membenci diri sendiri ? ... Jadi ini masalah diri mbak Eka, atau hanya masalah kemampuan atau kompetensi saja? Siapa yang dapat mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan? ... bukankah diri mbak Eka? .. Lalu kalau diri mbak Eka punya potensi untuk mengubah kelemahan menjadi kekuatan, mengapa mbak Eka membenci diri mbak Eka ? ... Untuk tujuan apa mbak Eka membenci diri mbak Eka sendiri ?"

Jeda sejenak.

Eka : "Intisarinya (halah) saya perlu lebih mengeksplor potensi diri untuk merubah kelemahan menjadi kekuatan agar perasaan benci pada diri sendiri pergi jauh-jauh dari diri saya. Gitu ya, Pak Pras... :)"

Saya : "Dengan pengetahuan ini, apa yg akan mbak Eka lakukan? Apa keputusan mbak Eka?"

Eka : "Ehmmm... Saya memutuskan, saya tidak akan membenci diri sendiri lagi dan (berusaha) mensyukuri kelemahan saya sebagai anugrah karena kelemahan ini bisa diubah menjadi kekuatan. Ini keputusan saya, Pak Pras... :))". Matur sembah nuwun ingkang katah untuk "terapi diri" kilatnya, Pak Pras. Saya akan selalu ingat pelajaran singkat yang sangat berarti dari Pak Pras ini."

Saya : "Hehehe ... sama-sama mbak. Bagaimana perasaan mbak Eka setelah memutuskan hal tersebut? Sekarang tinggal memikirkan bagaimana CARA mengubah kelemahan itu lalu MEMBANGUN kekuatan untuk tidak lagi tidak berdaya, tetapi menjadi BERDAYA, sehingga mbak Eka mampu menentukan dan menjalankan apa yang diinginkan."


Eka : "Jujur aja ada rasa plong di hati saya, Pak Pras.  Untuk saat ini cara yang terpikir adalah : dalam menghadapi permasalahan, untuk hal-hal tertentu, saya harus menyeimbangkan antara perasaan dan logika. Mudah-mudahan cara ini bisa membantu saya mengubah kelemahan menjadi sebuah kekuatan diri, dan membuat saya mampu menentukan serta menjalankan suatu keputusan yang bisa saya pertanggungjawabkan pada diri sendiri.


Saya : "Jadi kejadian empat kali ini ada manfaatnya kah?"


Eka : "Sangat, Pak Pras... Setidaknya empat kali ini menjadi salah satu guru kehidupan saya..... Empat kali ini memberi saya banyak pelajaran hidup yang belum tentu didapat oleh orang lain.  Saya bisa menarik benang merah dari kejadian empat kali ini, bahwa dengan niat dan potensi yang ada pada diri, sebuah kelemahan bisa diubah menjadi kekuatan diri. Matur sembah nuwun sekali lagi, P. Pras."


Saya : "Terimakasih sama-sama mbak. Wah, saya malah yang banyak belajar dari sini ..." ***


Minggu, November 06, 2011

Siapa Sesungguhnya Penguasa Pikiran ?


Masih soal berlatih mendengar suara hati, yang kadang berhasil, kadang gagal. Saat membuka mata di pagi hari tanggal 5 November 2011, selesai menunaikan kebutuhan berkomunikasi dengan Tuhan, saya mengingat-ingat apakah hari itu ada 'acara keluar'. Saya segera membuka agenda elektronik yang menyatu di BB saya, dan memeriksa tumpukan surat undangan. Seorang alumni sekolah tinggi dimana saya pernah menjadi ketua yayasan menikah pada hari itu.

Undangan itu sudah ada beberapa hari lalu di tumpukan itu disertai dengan rasa senang karena masih 'diingat' oleh seseorang yang bahkan tidak sering bersapa saat di kampus. Hari itu saya punya rencana seharian 'ngutak-atik' materi pelatihan publik yang akan saya fasilitasi minggu depan. Saya juga sudah lebih dari tiga minggu tidak berkencan dengan ibu mertua saya.  

Pagi itu saya mencoba mendengar apa saran suara hati. Pagi bikin materi, sore ke rumah mertua, malam ke kondangan, itu suara yang muncul. Singkat cerita, kemalasan yang bersarang di subconscious-mind membajak hidup saya hari itu. Pembenarannya itu hari Sabtu. Saya baru mulai membuat materi pelatihan menjelang Ashar setelah mandi 'pagi' jam setengah dua siang. Itu juga karena terbangun dari tidur lagi. Rasa 'tanggung' -- persisnya rasa malas berhenti dan memulai lagi -- menyebabkan saya mengorbankan rencana untuk pergi ke rumah ibu mertua saya. Pembenarannya, besok 'kan Idul Adha, jadi sekalian berlebaran haji ke ibu mertua. Toh, cuma beda sehari. Tidak apa-apa 'kan.  

Angka jam di sudut laptop menunjukkan menjelang jam 6 sore. Adzan maghrib baru saja berlalu. Takbir di mesjid mulai terdengar sayup-sayup. Rasa tanggung -- persisnya rasa malas berhenti -- masih memborgol. Isteri saya lewat BBM-nya sudah bertanya apakah saya jadi pergi atau tidak. Pertanyaan itu membuat saya berhenti sejenak dari aktivitas saya, dan kembali hening untuk mendengar suara hati. Suara hati tetap konsisten : datang ke kondangan.

Saya masih membutuhkan waktu sekitar 10 menit bertengkar dengan sub-conscious mind saya yang memprovokasi diri saya merasakan kondisi tubuh. Saya saat itu juga merasa 'kurang enak badan'. Saya juga diminta membuka denah lokasi gedung dan menemukan tempatnya cukup jauh dari rumah saya, yaitu Cililitan. Alasan lain, toh saya dapat memakai 'rasa' yang saya ciptakan itu untuk menjadi pembenaran ketidakhadiran saya di kondangan. Saya dapat mem-BBM, atau meninggalkan pesan di inbox FB yang meminta permakluman saya tidak hadir, sambil basa-basi memberi restu untuknya.

Saya sudah banyak kalah hari itu dengan pembenaran, masak saya kalah total hari itu? Kali ini suara hati saya harus menang !. Saya terima seluruh rasa 'tidak enak badan' itu, saya rangkul si rasa malas, dan saya ucapkan terimakasih kepada mereka sudah membuat saya nyaman beristirahat di rumah, lantas saya ajak mereka mendukung saya menjalankan misi hidup dengan cara memenuhi undangan perkawinan.  Menjalani misi hidup memang tidak enak. Saya terima tidak enaknya, lalu saya mulai menggunakan pikiran dengan membuka peta di Ipad. Dari peta itu, saya mulai menemukan jalan tercepat menuju Cililitan, yang tadinya tidak terpikir.  

Hanya dalam hitungan 45 menit, saya sudah sampai ke lokasi dari rumah saya di bilangan Ciputat.  Di sana, saya gembira menyambut dan disambut teman-teman alumni dan mahasiswa yang saya kenal. Kejutan terjadi saat mengantri salaman, tiba-tiba seorang panitia menyetop antrian di belakang saya, dan menyilakan saya untuk nanti berfoto bersama mempelai dan digiring ke tempat VIP makan. Yang bikin saya kaget saat itu bukan 'perlakuan khusus'-nya karena menjadi tamu VIP bukan kali yang pertama buat saya, namun saya tidak menyangka karena saya sudah 'mantan' ketua yayasan. Ternyata saya bukan undangan biasa. 

Sesaat sebelum blitz kamera menyala, Agnes, sang mempelai wanita kembali berbisik mengucapkan terimakasih banyak saya telah hadir.  Saya tidak tahu apa arti diri saya untuk Agnes, tapi wajah dan nada suaranya menyiratkan kebahagiaan. Justru  kata-kata Agnes ini yang seketika itu membuat saya merinding sekaligus bersyukur karena dapat membuat wajah Agnes tersenyum. 

Di mobil menjelang saya meninggalkan gedung resepsi, saya sempatkan melapor kepada isteri saya, hari ini saya bahagia karena telah berhasil memenuhi harapan seseorang.  Isteri saya berkomentar melalui BBM : "Pantes hati nuranimu menyuruhmu pergi :-)". ***

Sabtu, November 05, 2011

Masih Tidak Mau Bertanggungjawab ?


Akhir-akhir ini saya belajar lebih sering mendengar suara hati untuk mulai lebih hidup dalam kebenaran daripada pembenaran. Namanya juga belajar, kadang berhasil, kadang gagal. Inipun sebenarnya sebuah pembenaran melalui permintaan permakluman atas nama 'belajar'. 

Suatu Jumat, saya duduk terkantuk-kantuk di antara ratusan jemaah khotbah Jumat. Saya tidak ingat apa-apa, hingga tersadar sudah doa khutbah kedua. Kalau saja malaikat melakukan UAK (Ujian Akhir Khutbah) terhadap saya, pasti ponten saya nol besar, karena tak satupun apa yang dibicarakan oleh khotibnyangkut di memori saya. Kalau pakai teori asal-asalan gelombang otak, maka tadi itu saya dalam keadaan trance dan masuk gelombang theta. Konon, itu saat paling baik diberi sugesti. Masalahnya, ada satu syarat sugesti itu tertanam langsung ke bawah sadar : fokus. Dan fokus saya saat itu sama sekali bukan ke khotbah.

Saya merekayasa sebuah perbincangan introspektif di bioskop mental saya. Saya mulai dengan melihat sang Khotib. Saya mulai menyadari bahwa Sang Khotib menggunakan intonasi monoton, irama standar, dan gaya yang sama dengan 'template' khotbah jumat kebanyakan. Isinya ? Ya saya tidak tahu. Wong dari mulai melantunkan kalimat pembuka khotbah saja sudah tidak menarik perhatian dan pendengaran saya. 

"Khotib model begini mana bisa kasih pengaruh ke umat dengan khotbahnya. Irama hipnotiknya bikin gue ngantuk !", begitu sesosok ego state yang bernama si penyalah muncul dalam bioskop mental diri saya.  Di drama mental itu, saya sedang menghardik sang Khotib, "Hei Pak Khotib, mengapa cara khotbah ente bikin sebagian besar jemaah tertidur ?".  Sang Khotib-pun menjawab, "Karena mereka kurang beriman dan setan telah meniup mata mereka sehingga mereka mengantuk !". Saya balas dengan hardikan yang lebih keras, "Oh Tidak !!! ... itu cuma pembelaan ente ! Itu cuma pembenaran. Kebenarannya, ente kurang terampil menyampaikan khotbah yang menarik !". Sang Khotib-pun terdiam.  Wajahnya galau.

Sesosok ego state yang bernama si Sombong lantas mengambil alih pembicaraan. Ia menarik sebuah kisah pengalaman saya dari lemari memori. Nih, saya dulu pernah dimarahi oleh seorang jema'ah sholat Jumat ketika memberi khotbah hingga 50 menit lamanya. Tapi saya dibela oleh jemaah lain yang menyatakan khotbah saya bagus dan menarik.  Saya tidak tahu, dalam hitungan sepersekian detik, sebuah tangan imajiner melayang menampar pipi saya. "PLAKKK!!". Saya terkejut. Tangan yang saya duga berasal dari suara hati itu kemudian berkata, "Bodoh kamu !. Itu bukan prestasi !. Itu kebodohan. Kamu tidak sadar lingkungan waktu itu. Itu kan mesjid perkantoran. Jangan samakan dengan forum training ! ... Goblok kok sombong !!!".

Dalam keadaan 'keliyengan' tertampar tangan imajiner, muncul sesosok ego state Sang Evaluator Diri. "Hai Prass !! ... mengapa kamu bersama sebagian besar jemaah lain tertidur saat Khotib sedang memberi khotbah ??".  Merasa memiliki pengalaman menghardik Sang Khotib tadi,  saya lalu menjawab, "Cara khotib berkhotbah tidak menarik, monoton, klise, sehingga membuat kami mengantuk !"....

"PLAKKK!!!", kembali tangan imajiner mendarat di pipi saya. "Itu pembenaran !!! ... Kebenarannya, kamu  tidak benar-benar berniat mendengarkan khotbah, dan kamu memutuskan untuk membiarkan matamu mengantuk ! ... Masih mau nggak bertanggungjawab ???!!!.

Kali ini saya terdiam. Galau. *** 

Selasa, November 01, 2011

Dimulai Dari Arti


Anda mungkin sudah pernah mendengar cerita klasik mengenai tiga orang tukang batu yang sedang membangun sebuah kuil. Sebut saja nama mereka si Kumis, si Gondrong, dan si Botak. Ketiga orang ini sama-sama sedang menyusun bata-bata menjadi dinding sebuah bangunan. Bedanya, wajah si Kumis tanpa senyum dan sesekali mengeluh jika menemui kesulitan. Dengan mood yang tidak stabil itu, akibatnya pekerjaannya asal-asalan. Wajah si Gondrong juga hampir tanpa senyum, namun ia diam saja. Wajah si Botak lebih ceria dan sesekali bersenandung. Si Botak lebih cepat bekeja dan hasilnya lebih banyak dibandingkan kedua rekannya.

Saat sore menjelang, Sang Mandor memanggil mereka untuk diberikan upah. Si Mandor yang ternyata memperhatikan mereka sejak pagi lantas bertanya kepada mereka satu persatu.

“Hai Kumis, mengapa seharian ini wajahmu kucel dan mengeluh saja ?”, Tanya si Mandor.

“Apa pedulimu ? Aku kerja untuk mendapat upah. Yang penting bata-bata itu sudah tersusun jadi dinding dan aku dibayar”, jawab si Kumis.

“Hai Gondrong, kamu juga jarang senyum dan diam saja, “ ujar si Mandor.

“Aku berusaha konsentrasi mengikuti aturan agar dinding yang kubuat kuat dan bagus,” jawab si Gondrong.

“Nah, Botak. Kamu mengapa bekerja begitu ceria ?, padahal upahmu sama dengan yang lain, ” tanya si Mandor.

“Aku senang bisa ikut dalam sejarah membangun tempat ibadah ini. Aku membayangkan setelah bangunan ini jadi, orang-orang akan mengagumi bangunan ini, dan akan aman dan senang berada di kuil ini, maka aku kerjakan dengan sebaik-baiknya …” jawab si Botak.

Seandainya anda jadi si Mandor, kira-kira siapa tukang yang anda sukai ? Siapa tukang yang akan anda percayai untuk dipakai seterusnya ? Kalau anda dipromosi menjadi Kepala Proyek, siapa yang akan anda tunjuk sebagai Mandor menggantikan anda ? Siapa yang nasibnya akan cepat berubah menjadi lebih baik ?

Ketiga tukang bangunan tadi telah memberi ARTI kepada pekerjaan dan tempat bekerja mereka berbeda-beda. ARTI yang mereka berikan kepada pekerjaan dan tempat bekerjanya itu menentukan PIKIRAN dan PERASAAN mereka, lalu menentukan KEPUTUSAN yang mereka untuk bertindak, lalu menentukan TINDAKAN yang mereka lakukan, lantas menentukan HASIL perbuatan/pekerjaan mereka, dan akhirnya menentukan NASIB mereka sendiri.

Memang bukan cuma soal ARTI. Dibutuhkan pula KOMPETENSI agar kita siap dan mampu memberi hasil kerja yang terbaik. Seandainya si Botak bekerja hanya mengandalkan wajah ceria dan kedekatan dengan Anda selaku Mandor, tapi ia tidak terampil dan hasil kerjanya tidak berkualitas, apakah anda selaku Mandor akan mempercayainya jadi pengganti anda dengan risiko merusak reputasi anda sendiri ?

Kalau sekarang anda merasa NASIB anda belum memuaskan anda, masih begitu-begitu saja, atau sebaliknya justru anda tengah gembira dengan NASIB anda, maka silakan periksa dahulu apa ARTI yang anda berikan kepada pekerjaan, jabatan, dan Perusahaan tempat anda bekerja selama ini ?

So, apa ARTI pekerjaan, jabatan, dan Perusahaan tempat anda bekerja bagi anda ? …

Minggu, Oktober 09, 2011

DETERJEN LANGITAN

Aku punya DETERJEN yang aku sukai dan aku yakini membersihkan paling bersih. Bahkan deterjen itu aku tenteng kemana-mana dengan bangga. Apalagi kalau ketemu orang yang menenteng deterjen yang sama, makin senang dan bergairahlah aku membicarakan kehebatan deterjen kami. Semua orang kalau bisa kuanjurkan pakai merek deterjen yang kubawa. Dulu aku kurang suka pada deterjen merek lain, sekarang sih berpegang pada 'bagiku deterjenku bagimu deterjenmu'.  

Begitu petang datang, saatnya pulang. Aku terkejut, pakaianku kotor sekali. Padahal rumahku tempat yang suci. Setiap orang yang pulang ke rumah itu haruslah berpakaian bersih. Aku menyesal, karena kerjaku sepanjang hari hanya membicarakan dan mengajak orang lain pakai merek deterjen yang kubawa, tapi aku lupa memakai deterjen itu untuk mencuci pakaianku sendiri ...***



Sabtu, Agustus 13, 2011

Hormati Orang Yang Berpuasa


Di koridor mall, satu  jam sebelum waktu berbuka puasa, saya baru saja menyelesaikan hajat potong rambut. Saat sedang melihat-lihat isi toko dari luar, tiba-tiba saya disalib oleh seorang perempuan. Dalam sepersekian detik dalam hati saya langsung berucap "astaghfirullah". Dalam sepersekian detik pula saya langsung berhenti melangkah dan mengambil blackberry saya untuk memeriksa apakah ada pesan baru hanya untuk mengalihkan jendela kamera visual saya dari objek tadi. Mengapa objek tadi begitu dahsyatnya mem-break perilaku saya ?. Karena sekelebat sosoknya ia berambut panjang lurus, berbadan seksi, berkulit putih dan hanya mengenakan tank-top plus celana pendek super mini ketat. Lho ? bukankah itu pemandangan yang biasa di mal-mal sekarang ini ?. Ya ... Tapi sore itu adalah bulan Ramadhan.

Lantas memangnya ada apa dengan bulan Ramadhan ?. Memangnya selain bulan ramadhan anda  bereaksi berbeda ?, mungkin begitu tanya anda kepada saya.  

Memang, ukuran untuk sebuah kepantasan berpakaian dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Konon, di era 50-60-an, ada betis perempuan tersingkap di film atau di majalah dapat membuat dada lelaki 'serrrrrr'. Di era 80-an, kalau cuma betis sih belum 'nendang'. Makin lama area tertutup di tubuh perempuan menjadi menyempit. Kelakar jayusnya, makin lama perempuan makin 'kurang bahan'.  Ini terjadi akibat mekanisme pikiran, dimana suatu peristiwa yang menimbulkan gambar-suara-rasa tertentu akan disimpan di dalam memori dan menjadi acuan atau referensi bagi pengalaman selanjutnya. Kalau kemarin melihat gadis memakai rok mini bikin 'serrr', kalau pengalaman itu terjadi berulang-ulang sudah tidak menimbulkan rasa 'serrrr' lagi, karena sang rasa sudah diterima. Ada ekonomi ada the law of diminishing return. Jangankan soal ini. Hal yang salah jika dialami berulang-ulang lama-lama dianggap sebagai suatu yang benar. Korupsi yang dulunya salah, di kelompok tertentu justru dianggap sebagai kelaziman yang berlaku. 

Itulah sebabnya, mengapa kita diminta oleh ajaran agama untuk menjaga pandangan mata, supaya tidak sempat 'mematikan' perasaan yang jati diri awalnya adalah early warning system bagi diri kita. Jujur saya akui, sangat sulit untuk menghindarkan mata dari menangkap sosok perempuan-perempuan 'kurang bahan' itu di public area. Hanya saja yang membedakan, ada yang mempertahankan kualitas dan durasi tatapan untuk menikmati kinestetik berupa rasa 'serrrrr', ada juga yang tersadar dan segera mengalihkan sensory-nya ke arah lain agar visual di layar bioskop pikiran berubah sehingga rasa (kinestetik)-pun ikut berubah menjadi lebih netral.  Kalau saya sedang 'khilaf', maka titik 'kesadaran' saya agak 'lemot'. Sadar sih sadar, tapi durasi 'tidak sadar'-nya agak lama.

Keberkahan bulan ramadhan dan ibadah puasa adalah kesempatan saya berlatih untuk lebih sering dan lebih lama berada di 'kesadaran'. Maka, reaksi 'astaghfirullah' saya saat itu benar-benar muncul dari pikiran 'mengurangi nilai puasa' dan perasaan 'takut'. Beberapa waktu sebelumnya di status facebook, beberapa kali saya menyindir perempuan-perempuan berpakaian mini-ketat atas-bawah berkeliaran di area publik. Tentu saja perempuan-perempuan itu kemungkinan besar tidak tahu sindiran saya, tetapi saya berharap status-status saya menjadi provokasi bagi sahabat-sahabat facebook saya. Bahwa kalau ada mata jelalatan ke arah kita, introspeksi dulu, jangan-jangan kita memang menyediakan diri alias menjadikan diri kita layak dan pantas untuk dijelalati.

Kalau saya pernah menulis artikel berjudul 'Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa', apakah itu termasuk menghormati perempuan-perempuan berpakaian mini-ketat ?. Saya jawab tegas : TIDAK... Karena perempuan-perempuan itu tidak menghormati konteks event ramadhan. Lho, tidak konsisten dong ?. Di sinilah konteks bermain. Ritual ibadah agama seyogyanya tidak menyusahkan orang lain. Maka ketika ramadhan, umat non-muslim yang biasanya makan di tempat 'biasa' menjadi ikut-ikutan 'menahan' atau sembunyi-sembunyi. Pedagang kecil penjaja makanan kehilangan pendapatan jika harus ditutup. Kalau itu MENYUSAHKAN mereka, maka silakan mereka menjalankan aktivitas untuk memenuhi KEBUTUHANnya seperti sedia kala. 'Kan yang dilatih tangguh dan saleh adalah yang berpuasa. Dalam prakteknya, saya yakin kedua pihak SALING menghormati, karena kedua pihak considerate (peduli terhadap kepentingan pihak lain). Bahasa NLP-nya 'ecological check' alias cek ekologis, yaitu apakah perilaku dan outcome kita selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan sekitar kita ?. 

Soal pakaian yang dikenakan perempuan tadi bagaimana ?.  Kalau dia considerate  dan ekologis, lalu tidak mengenakan pakaian seperti itu dan mengenakan pakaian lain yang lebih 'tertutup' secara wajar dan menyimbolkan penghormatan kepada suasana ibadah puasa, apakah mampu dia lakukan ? ... Kalau mau dibawa ke soal HAM, apakah atas nama 'hak azasi manusia' boleh melakukan apa saja tanpa memperhatikan kepentingan orang lain?... Seandainya saja bisikan lembut saya sampai ke hati mereka : "Mbak, saya senang mbak berpakaian lebih tertutup untuk menghormati orang yang berpuasa, bukan untuk  yang berpuasa, tapi lebih agar mbak juga dihormati, demi kemuliaan mbak, demi kemuliaan perempuan sendiri dan kemuliaan bangsa kita...***

Rabu, Agustus 03, 2011

Dari Visi Jadi Aksi


Anda mungkin pernah melakukan apa yang disebut dengan ‘resolusi’. Tentu Ini bukan sejenis resolusi Dewan Keamanan PBB soal isu dunia. Ini soal trend – kalau tidak mau disebut ‘latah’ – dimana setiap menjelang akhir tahun berbagai media menyinggung-nyinggung hal-hal yang ingin anda raih atau lakukan pada tahun depan. Impian atau rencana inilah yang anda sebut sebagai resolusi.

Dari daftar hal-hal yang menjadi resolusi anda, berapa persen yang berhasil dilaksanakan dan berhasil ?. Lebih banyak yang dilaksanakan, atau yang tidak dilaksanakan ?. Jika lebih banyak yang dilaksanakan, saya ingin sekali belajar bagaimana hal itu dapat terjadi. Jika lebih banyak yang tidak dilaksanakan, apakah hal-hal yang tidak terlaksana tadi anda ‘tabung’ lagi untuk resolusi tahun berikutnya, atau anda buang dari daftar resolusi ?. Atau anda sudah tidak lagi membuat resolusi karena anda telah berhasil membuat resolusi anda gagal ?.

Anda tentu sudah mafhum atas rahasia umum bahwa  segelintir ataupun seabrek rencana pribadi, hanya sekian persen yang terimplementasi. Kalaupun sudah terimplementasi, tidak memberi hasil yang diharapkan. Kalau sudah begini, biasanya ritual resolusi pribadi menjadi alat perbincangan untuk meramaikan suasana pertemuan-pertemuan sosial saja.

Apakah ‘kegagalan’ anda mengeksekusi rencana pribadi anda disebabkan oleh beberapa hal seperti : membuat rencana hanya ikut-ikutan ? anda belum dapat menguasai dan memimpin diri anda sendiri termasuk emosi dan kebiasaan hidup anda ? Anda belum mampu membedakan mana kebutuhan mana keinginan ? Rencana anda merupakan pemenuhan terhadap keinginan, tetapi keinginan itu bukan merupakan kebutuhan ? Tujuan dan rencana tidak jelas di dalam pikiran anda ? Punya tujuan tapi belum dibuat rencananya dengan rinci step by step untuk mewujudkannya ? Anda masih dikuasai dan diborgol oleh kebiasaan-kebiasaan berpikir dan bertindak yang tidak mengarah kepada pencapaian tujuan anda ? misalnya masih suka ‘malas-malasan’, tidak mau susah, mau hasil instan ? Anda  belum mampu merasakan dalam pikiran anda konsekuensi dari keberhasilan atau kegagalan rencana anda ?

Kalau anda ingin tahu bagaimana caranya agar hal-hal yang ingin anda capai dapat terlaksana dengan baik, maka silakan anda membayangkan saya sedang duduk di samping anda. Saya adalah sahabat anda yang antusias dengan rencana anda, dan dengan penasaran ingin tahu isi pikiran anda mengenai cita-cita dan rencana anda. Bayangkan saya mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini kepada anda secara berurutan, dan anda menjawabnya dengan detail dan penuh semangat.

-       Saya ingin tahu, dari hal-hal yang masuk ke dalam daftar resolusi tersebut, mengapa hal-hal itu yang anda tulis ?.  
-       Bahkan yang lebih penting lagi, saya ingin tahu mengapa anda membuat resolusi ?
-       Bagaimana gambaran hal-hal yang menjadi resolusi anda itu di dalam pikiran anda ?
-       Apakah demikian penting bagi anda ?
-       Seberapa penting ?.
-       Kalau tidak anda masukkan ke dalam daftar resolusi anda, so what gitu loh ?.
-       Apakah anda  yakin hal itu penting ?.
-       Seberapa yakin hal itu penting ?.
-       Kalau ada skala satu sampai sepuluh, keyakinan anda di angka berapa ?
-       Apa artinya angka itu ?
-       Apakah tingkat keyakinan itu cukup untuk membuat anda melaksanakan rencana anda dan mewujudkan tujuan anda ?
-       Dari mana anda belajar keyakinan bahwa hal-hal yang anda masukkan ke dalam daftar resolusi itu demikian penting ?. 
-       Seberapa besar keyakinan anda terhadap keyakinan anda tadi ?
-       Lantas, apa arti dari masing-masing hal yang anda resolusikan itu bagi anda ?.
-       Apa tujuan anda memasukkan hal-hal tadi ke dalam daftar resolusi anda ?.
-       Apa arti dari tujuan anda tersebut bagi diri anda ?
-       Apakah tujuan anda dan hal-hal yang akan anda laksanakan di dalam daftar resolusi itu mencerminkan misi hidup anda ?
-       Lantas mencerminkan identitas yang anda bangun ?. 
-       Apakah hal-hal yang akan anda laksanakan tersebut bermanfaat bagi anda ?
-       Bermanfaat bagi orang lain ?
-       Apakah merugikan mereka ?
-       Apa yang tidak terjadi pada diri anda jika tercapai ?,
-       dan apa yang tidak terjadi pada diri anda jika tidak tercapai ?
-       Apakah hal-hal yang akan anda capai ini menarik bagi anda ?
-       Mengapa hal ini menarik ?
-       Kapan tujuan-tujuan anda itu tercapai ?
-       Dimana masing-masing hal yang ingin anda capai itu terwujud ?
-       Bersama siapa anda mencapainya ?
-       Apa yang perlu atau harus anda lakukan untuk mencapai goal anda ini ?
-       Bagaimana langkah-langkahnya secara berurutan ?Apa langkah pertama ?
-       Bagaimana langkah-langkah itu persisnya anda lakukan ?
-       Jika belum tahu, bagaimana cara anda mencari tahu ?
-       Jika belum tahu, siapa orang yang akan anda hubungi agar anda tahu ?
-       Kapan setiap langkah-langkah itu akan dilakukan ?
-       Apakah anda mempunyai resources (sumber daya) internal untuk mencapai tujuan anda tersebut ? Apa saja ?
-       Apa saja resources eksternal yang anda akan gunakan untuk mencapai tujuan anda ?
-       Apakah anda mampu melakukannya ?
-       Jika belum atau ragu-ragu, apa yang akan anda lakukan agar anda mampu melakukannya ?
-       Apa yang terjadi pada diri anda kalau tujuan anda tercapai ?. Apa yang terlihat ? terdengar ? seperti apa rasanya ? Tunjukkan kepada saya seperti apa rasanya, saya ingin tahu seolah-olah tujuan itu tercapai dan sedang anda alami saat ini.
-       Apa yang terjadi pada diri anda kalau tidak tercapai ?.  Apa yang terlihat ? terdengar ? seperti apa rasanya ? Tunjukkan kepada saya seperti apa rasanya, saya ingin tahu seolah-olah tujuan itu tidak tercapai dan sedang anda alami saat ini.
-       Setelah tujuan dan rencana itu terjalani dan terwujud, dan bayangkan terjadi seolah-olah saat ini juga, maka siapakah anda saat ini ?
-       Anda menamakan diri anda sebagai apa saat ini ?
-       Kalau ada simbol atau metafora, anda akan mengibaratkan diri anda siapa atau apa ?
-       Mengapa ?
-       Apa wujud syukur anda saat tujuan dan rencana anda terwujud ?
-       Apa wujud penyesalan anda jika tujuan dan rencana anda tidak terwujud ?
-       Setelah tujuan dan rencana ini terwujud, dapatkah anda melihat diri anda di masa depan ? Seperti apa diri anda ?
-       Itu semua yang anda mau ?
-       Anda siap dengan harga yang perlu anda bayar untuk mencapainya ?
-       Anda menerima segala rasa yang muncul dalam proses dan perjalanan anda mencapainya ?
-       Anda siap menerima kebahagiaan dari tujuan dan rencana anda ini ?
-       Seperti apa rasanya ? Tunjukkan kepada saya rasa bahagia itu.

Saat anda sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan saya tadi, sekarang apakah anda merasa ada bedanya dengan apa yang telah anda lakukan di tahun-tahun sebelumnya ? ***