Rabu, November 07, 2007

Ana & Kompetensi Inti

Saya sering dibuat terkagum-kagum oleh tulisan-tulisan rekan sekerja saya, Ana Mustamin. Di era 80-an dan awal 90-an, hampir setiap penggemar cerpen dan karya sastra di pelosok wilayah Timur Indonesia mengenalnya. Ana sepertinya punya rekening deposito yang besar untuk menyimpan kata-kata. Pemakaian kata dalam tulisan-tulisannya --- di cerpen, puisi, makalah, atau laporan --- begitu kuat seperti saya menyaksikan aliran sungai yang deras. Emosi saya pernah larut dalam sebuah cerpen hasil karyanya yang berjudul “Sepanjang Braga’, sampai-sampai mata saya berkaca-kaca.

Ana punya landasan akademis yang kuat untuk menopang dunianya. S1 dan S2-nya bidang komunikasi. Dengan bakat, pengalaman, dan pendidikan yang sebangun, ia menjadi manusia unggul di dunia sastra dan komunikasi tulisan. Wilayah yang saya kira sulit dimasuki orang lain di perusahaan tempat saya dan dia bekerja saat ini. Dia punya core competence.

Gary Hamel dan C.K. Prahalad yang disebut sebagai dewa strategi 90-an melihat core competence sebagai akar. Batang dan cabangnya adalah bisnis dan kelompok bisnis yang dimilikinya, yang mampu menyajikan buah (produk dan pelayanan) yang selalu mampu memuaskan dan menyenangkan customer. Blue Bird mempunyai sistem pelayanan transportasi dan SDM yang handal. Kemampuan mereka sulit ditiru oleh pesaingnya. Mereka malah bisa mendikte pasar dan persaingan melalui produk dan jasanya.

Agak berbeda titik berangkatnya dengan konsep Michael E. Porter yang dianggap sebagai dewa strategi 80-an, yang mendasarkan keunggulan bersaingnya pada daya tarik pasar (yaitu hasil kajian simultan terhadap tingkat rivalitas dalam industri, kekuatan pemasok, kekuatan pembeli, hambatan masuk, dan produk pengganti). Siapa yang paling kuat dan duluan merebut peluang, dengan memberi nilai kepada customer melalui harga yang unggul, atau diferensiasi, atau fokus, dialah yang akan menang. Tapi bersiaplah bila nilai yang menjadi keunggulan bersaing itu ditiru pesaing, atau tiba-tiba menyadari bahwa yang menjadi pesaing bukanlah perusahaan dalam industri dimana dia bergerak.

Saya tidak ingin mempertentangkan kedua mazhab strategi bersaing ini, sebab itu sama saja dengan mempersoalkan mana yang duluan : perumusan visi-misi atau SWOT analysis. Yang penting, kedua mazhab ini terbukti memberikan keberhasilan bagi pengikutnya. Dengan kedua kutub konsep itu, justru kita perlu berpikir pada peluang pasar sekaligus pada kompetensi. Menjadi buldozer yang mendobrak sana-sini guna menangkap peluang pasar, kalau tidak diikuti oleh pembangunan sumber daya dan kapabilitas, akhirnya akan ngos-ngosan dan loyo. Lantas, semua peluang malah bisa lepas dari genggaman. Sebaliknya, jika hanya berfokus pada pembangunan otot dan stamina teknologi dan SDM, tetapi tidak mendapatkan akses ke pasar, juga percuma.

Ana punya sumber daya, yaitu bakat, pengalaman, pengetahuan, dan reputasi. Ia juga punya kapabilitas, yaitu kemampuan meruntut pemikiran sekaligus menuangkannya ke dalam kolam kata-kata tanpa batas. Perusahaanpun membutuhkan ahli komunikasi yang handal. Dengan begitu, komplit sudah keunggulan Ana.

“Pekerjaan-pekerjaan di kantor hampir membunuh dunia saya …”, ujar Ana suatu ketika.

Saya bilang, “Apakah kamu akan membiarkan dunia kamu terbunuh ?” …. Dia cuma mengela nafas. Saya tahu dia jauh lebih cerdas untuk sekadar menjawab pertanyaan saya.

Tidak ada komentar: