Kamis, Januari 22, 2009

Sebaliknya ...


Umumnya pelatihan angkatan kedua akan lebih dari angkatan pertama. Pengalaman menyelenggarakan pelatihan angkatan pertama memberi pelajaran dan koreksi. Entah lebih padat materinya, lebih baik metodenya, lebih berkualitas training delivery-nya, lebih baik penyelenggaraannya. Tapi kali ini manajemen klien memutuskan pelatihan kaderisasi tingkat pegawai dikurangi waktunya cukup banyak, sehingga kalau batch pertama 14 hari, angkatan kedua hanya 10 hari, atas nama efisiensi. Akibatnya, ada materi yang diterima oleh angkatan pertama, tapi tidak diterima oleh angkatan kedua. Maklum, pejabat yang memutuskan pendidikan angkatan kedua baru.

Saya kemudian menghentikan mempermasalahkan keputusan ini, karena ini keputusan klien yang harus dihormati dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Tugas saya adalah menyelenggarakan rencana dan program pendidikan ini dengan usaha terbaik dalam lingkup batasan dan sumber daya yang tersedia. Masalahnya, peserta pendidikan angkatan kedua sudah banyak berinteraksi dengan alumni pendidikan angkatan pertama. Peserta angkatan kedua sudah 'panas' dikompori oleh alumni angkatan pertama dengan cerita-cerita keseruan diklat angkatan pertama. Mereka mengalami ini dan itu yang langsung jadi referensi sekaligus membangun ekspektasi di kalangan peserta angkatan kedua.

Ketika memimpin sessi induksi, tanda-tanda 'protes' mulai muncul dari angkatan kedua. Mereka melihat jadwal pelatihan dan mempertanyakan mengapa mereka tidak menerima materi ini dan itu, dan mengapa angkatan mereka 'cuma' sekian hari. Saya tahu materi yang 'hilang' justru amat powerful membentuk perilaku mereka karena menggunakan metode tutorial --- tapi justru dihilangkan oleh klien. Saat itu saya tentu tidak mungkin menyalahkan manajemen klien dan ikut mempertanyakan hal itu di forum tadi. Jelas tidak etis. Saya cuma bilang, "Kalau angkatan pertama 14 hari, lalu angkatan anda cuma 10 hari tapi dituntut punya kualitas seperti angkatan pertama, lalu siapa sebenarnya yang lebih baik ? Siapa yang lebih tangguh ?". Mereka saat itu lantas tampak tenang dengan 'pencerahan' yang saya lemparkan lewat pertanyaan tadi. Saya tidak tahu apakah ini pencerahan, atau manipulasi persepsi. Saya juga tidak tahu apakah mereka mendapat 'insight', atau hanya nrimo karena mereka mafhum lembaga saya cuma menyelenggarakan dan tidak bisa memutuskan mengubah program.

Saya dan tim-pun tetap melaksanakan program pendidikan kaderisasi tadi dengan semangat 'liat aja nanti .. nanti juga nyesel'. Benar saja ... masukan dan saran dari saya, tim, dan peserta sendiri kepada manajemen klien akhirnya membuat klien memutuskan memperpanjang waktu pendidikan. Akhirnya angkatan pertama dan angkatan kedua seimbang juga. Rupanya melihat sisi positif dan manfaat dari situasi yang tidak sama dengan harapan, acceptance, lalu khlas dalam perjalanannya, ternyata justru mendekatkan kepada apa yang menjadi intensi awal saya.

"Aku tadi berhasil memprovokasi Galuh", kata isteri saya saat chatting di YM.

Galuh adalah teman isteri saya yang saat ini sama-sama belajar di Canberra.

"Kenapa ?", tanya saya.

"Tadinya dia masih ngerasa minder sama mahasiswa yang sekolah dengan biaya sendiri, bukan beasiswa. Aku bilang aja justru kita yang dapat beasiswa harusnya bangga, karena kemampuan kitalah sehingga ada yang percaya dan berani investasi AUS$ 200,000 ke diri kita", kata isteri saya.

"Terus, respon Galuh ?", tanya saya.

"Dia bilang, i never think that way ...".

Dalam hati saya mengagumi soulmate saya itu dalam memberi arti. Dia bisa menunjukkan wilayah blankspot pikiran temannya.

Sebaliknya, seandainya saya berada pada posisi mahasiswa yang dibiayai orang tua, maka saya akan bilang, "Saya bukannya tidak mampu mendapat beasiswa. Saya bangga, saya bisa memberi kesempatan kepada orang lain untuk mendapat beasiswa yang jatahnya memang terbatas itu. Saya bangga kepada orang tua saya yang berkorban begitu besar untuk kesuksesan saya ..."

Dari manapun berasal, semua itu rejeki dari Allah. Ujungnya, kita mendapat pendidikan. Jadi, buat apa merasa kalah, kecil, kurang, atau justru menang, besar, lebih terhadap keadaan orang lain yang berbeda dengan kita...yang penting nantinya bekal pendidikan itu mau dipakai buat apa.

Peserta pendidikan angkatan pertama mendapat pahala karena memberi pengalaman kepada penyelenggara sehingga memperbaiki penyelenggaraan angkatan kedua. Mahasiswa yang membayar sekolah sendiri memberi pahala kepada penerima beasiswa melalui pemberian kesempatan -- kalau semua keadaan diterima dan ditujukan untuk mencari keridhoanNya. Kita mendapat apa yang kita niatkan, dengan catatan : asal dilakukan.***


***


...***

Minggu, Januari 18, 2009

Alfie


"Ya Allah, saat kami menengadahkan tangan, menundukkan kepala dan hati kami, kami segera menyadari bahwa kami ini makhluk yang lemah di hadapanMu yang memerlukan pertolongan senantiasa dariMu.

Kami segera menyadari, kami berada pada tempat dan waktu yg atas izinMulah ini semua terwujud. Engkau berikan kami kebahagiaan karena salah satu dari kerabat kami, Alfie Hujiansyah dan Poppy Purbasari telah Kau persatukan dalam bahtera rumah tangga. Ini menyadarkan kami juga bahwa dua keluarga besar telah Engkau persatukan untuk saling bersilaturahim, berbagi, memberi nilai dan mendukung satu sama lain.

Untuk itu tidak ada hal yangg dapat kami ungkapkan kecuali bersyukur dan berterimakasih kepadaMu ya Allah.

Ya Allah ya Tuhan yang Maha Segala... Alfie dan Poppy memiliki cita-cita menjadikan rumahtangga mereka sakinah, mawaddah, dan rahmah. Namun untuk menuju ke cita-cita itu, mereka harus memperjuangkannya. Untuk itu kami memohon kiranya Engkau berikan kesadaran dan kekuatan dalam perjalanan mereka mencapai cita-cita mereka, dan kekuatan dalam ikhlas dan mensyukuri setiap keadaan yang Kau berikan kepada mereka, sehingga bukan hanya mereka bahagia saat mencapai cita-citanya, tetapi lebih dari itu, mereka bahagia dalam perjalanannya. Mereka mencapai cita-cita DENGAN bahagia.

Ya Allah, mohon kuatkan dan beri petunjuk kepada kami dalam menafsirkan, memaknai, mengartikan segala masalah yang kami hadapi dengan arti yang Engkau harapkan, bahwa masalah adalah anugerah dariMu untuk menjadikan otot mental, emosi, dan jiwa kami menjadi kuat dan besar. Ujian menjadikan kami naik ke kelas yang lebih tinggi lagi.

Bantulah kami menjadi diri yang berkuasa atas tubuh, pikiran, perasaan, tindakan dan nasib kami. Kami sadar bahwa nasib kami saat ini adalah hasil pilihan kami di masa lalu, dan nasib kami di masa depan adalah hasil dari pilihan kami saat ini. Sebagaimana Engkau telah sabdakan, Engkau tidak akan mengubah nasib kami kecuali kami sendiri yang mengubahnya. Untuk itu bantulah kami dengan petunjukMu ketika kami perlu memilih pikiran dan tindakan kami, agar senantiasa selaras dan sebangun dengan peta kehidupan yang telah Engkau tetapkan dalam ayat-ayatMu

Mohon beri petunjuk agar kami terhindar dari nada-nada yang membawa perpecahan, dan suara-suara yang mengakibatkan perselisihan, baik pada diri kami, keluarga kami, bangsa kami dan seluruh bangsa-bangsa di dunia ini senantiasa dalam damai.

Ampunilah kami, orang tua kami, dan pemimpin-pemimpin kami. Semoga seluruh tindakan kami selama ini Engkau ampuni jika salah, dan Engkau ridhoi jika menurutMu benar.

Akhirnya serahkan diri kami, keluarga kami dan bangsa kami kpdMu untuk kau limpahi rahmat" ...

Ini adalah penggalan doa yang saya tulis di blackberry dan saya lantunkan di resepsi pernikahan adik ipar saya, Alfie -- dengan Poppy. Script itu saya buat hanya 10 menit sebelum resepsi dimulai, padahal request Alfie ke saya tiga hari yang lalu.

Ketika Ruri adik isteri saya anfal beberapa hari sebelum wafatnya, di kamar perawatan di hadapan kerabat-kerabat, Alfie menangis. Ia tidak tega melihat penderitaan Ruri. Jarang sekali saya melihat seorang suami menangisi isterinya. Ketika Ruri akhirnya menghadap Sang Khalik, dalam beberapa kesempatan Alfie rajin mengunjungi makam Ruri.

Beberapa kali isteri saya mem-forward surat-surat elektronik Alfie yang menceritakan perkembangan kehidupannya beserta dua puterinya yang masih anak-anak dan batita. Sebagian besar berisi kerisauan, kebingungan, 'penderitaan' dia dalam mengatur hidupnya yang berubah itu. Ia harus pergi keluar kota selama beberapa hari, sementara anak-anaknya perlu diurus ini-itu, supir keluar, kenangan-kenangan bersama Ruri yang muncul, dan seabrek persoalan lain. Sementara oleh kantornya, beberapa waktu mendatang ada kemungkinan ia ditempatkan di luar negeri dalam kurun waktu yang lama.

Empat bulan berlalu, akhirnya ia dihubungkan oleh staf kantornya kepada seseorang yang bernama Poppy. Yang menarik, setelah Poppy nyambung dengan anak-anak Alfie, Poppy kemudian diperkenalkan pertama kali justru kepada keluarga kami. Ia dibawa ke rumah ibu mertua saya, dan mengajak kakak ipar dan saya dan isteri berkenalan.

Ketika acara lamaran, Ibu mertua dan kami juga diajak. Selesai acara lamaran, Alfie dan anak-anak langsung mendatangi makam Ruri. Saya lihat Alfie menangis di depan makam Ruri. Saya tidak tahu benar atau tidak, tapi dalam pikiran saya, seolah-olah Alfie berkata dalam hati, "Bun .. alhamdulillah sudah ada yang meneruskan perjuanganmu .. ada yang ikhlas mau mengasihi anak-anak kita .. kamu tetap ada di hati kami sampai kapanpun ..."

Akhirnya Alfie menikah dengan Poppy hampir lima bulan setelah wafatnya Ruri. Yang mendampingi Alfie saat berada di pelaminan adalah ayahnya dan ibu mertua saya, bukan isteri ayahnya (ibu kandung Alfie sudah wafat).

"Denger-denger Alfie udah nikah lagi ya ? ... cepet banget ya ? ... belom juga kering tanah makamnya Ruri ...", begitu sebuah komentar dari seorang teman yang kenal dengan Ruri. Saya memang sudah merasa pertanyaan ini bakal muncul entah dari siapa.

Saya pikir, seandainya orang itu berada pada posisi Alfie, maka empat bulan hidup dalam kesendirian dengan berbagai kepelikan untuk mempertahankan hidup lahir batin seperti yang dialami Alfie, bukanlah waktu yang singkat. Tidak ada alasan untuk menunda hadirnya ibu pengganti untuk Abit dan Fira -- anak Alfie -- keponakan saya -- untuk mendapatkan kasih sayang seorang bunda, karena saya merasa keluaga yang baru ini tidak akan menghapus keberadaan Ruri dalam sejarah kehidupan mereka. Ruri adalah hal yang terbaik buat Alfie dan anak-anaknya, dan Poppy adalah hal yang terbaik berikutnya untuk mereka. Life must go on.

Di ujung resepsi pernikahan, seorang sepupu ipar berbisik kepada saya, "Saya banyak belajar dari keluarga Soejachmoen. Ibu begitu tegar (waktu Ruri meninggal, dan waktu mendampingi Alfie di pelaminan). Saya lihat ia menyeka pipinya. Matanya berlinang.***

Kamis, Januari 15, 2009

Jangan cuma menuntut dosen enak


"Kecuali anda, anda, dan anda -- saya menunjuk ke tiga orang mahasiswa karena sedari tadi mereka aktif menjawab dan bertanya -- saya ingin bertanya kepada yang lain", ujar saya.

"Bagaimana pendapat Anda mengenai (bla bla bla) ...... ?"
".............................", hening.
"Anda (saya menatap kepada seorang mahasiswi) ... bagaimana menurut anda ?"
" ...........................", sepi.
"Anda (saya mempersilakan mahasiswi lainnya) .. bagaimana menurut anda ?"
" ............................", sunyi.

"Apakah anda paham dengan maksud pertanyaan saya ?"

Para mahasiswa sebagian besar mengangguk.

"Kalau begitu saya bertanya dengan cara lain. Kalau ....(bla bla bla) .. bagaimana tindakan anda ?".
" ...................................", hening.

Saya segera mengakhiri sessi tadi karena memang waktu pelajaran habis. Emosi saya membajak pikiran saya. Saya perlu mengumpulkan power untuk kembali berkuasa atas perasaan saya sendiri.

Cukup lama saya duduk terdiam sambil introspeksi, apa yang membuat kali itu mahasiswa tidak menunjukkan keaktifan sama sekali. Apakah cara saya menerangkan yang 'ketinggian', atau justru 'terlalu cetek', atau ada 'pengkondisian' sedemikian rupa oleh pengajar dan metode belajar materi lain sehingga mahasiswa terprogram menjadi enggan bicara ? ... Sewaktu saya menjelaskan materi sih mereka 'trance' dan dari kalibrasi saya cukup 'menikmati'. Tapi pas ditanya, ibarat menggali sumur, saya ketemu dengan bebatuan cadas.

"Lha, supaya jelas tanya dong kepada mereka kenapa mereka begitu ?". Sebuah suara terdengar di telinga mental. Yaa bagaimana saya tahu apa yang ada di pikiran mereka, lha wong waktu saya tanya "apa yang terjadi yang anda rasakan yang membuat anda tidak menjawab pertanyaan saya ?", itu saja mereka diam.

Dalam beberapa kesempatan, saya sering dicurhati mahasiswa, kalau dosen ini atau dosen itu mengajarnya tidak enak. Yang kurang ini lah, yang terlalu itu lah. Biasanya, saya meneruskan informasi ini kepada pihak yang berwenang untuk mengevaluasi kinerja dosen.

Kalau mahasiswa punya tempat dan saluran untuk komplain dosennya tidak enak, lalu sekarang kalau saya mau komplain mahasiswanya tidak enak, saya harus kemana ?

"Lho, ya mahasiswa kan sudah membayar, jadi dosen yang tanggungjawab untuk melayani mereka mendapat ilmu dengan cara yang mereka senangi. Kan mereka customer ..", mungkin seseorang menyanggah saya seperti itu. Kalau ibarat dosen itu penjual dan mahasiswa adalah pembeli, 'kan W. Clement Stone sudah bilang, "Penjualan itu tergantung pada sikap penjualnya, bukan pada sikap prospek".

Hehehe, saya cuma berpikir, itu cara pandang jual beli -- transaksional. Customer model seperti itu tujuannya untuk 'mengkonsumsi' barang yang kita jual. Saya memilih pemahaman bahwa belajar bukanlah mengkonsumsi. Belajar adalah memproduksi. Belajar adalah transformasi. Belajar adalah berubah. Mereka datang ke kampus untuk mendapat ilmu bukan untuk dikonsumsi -- apalagi sampai tuwok kata orang Jawa --, melainkan untuk direproduksi menjadi pengetahuan, gagasan, dan rencana tindakan. Lebih jauh lagi, mereka belajar untuk menjadi apa dan bagaimana. Dosen tugasnya memfasilitasi mereka memproduksi apa yang mereka butuhkan dan bertransformasi menjadi apa yang mereka inginkan. Jadi, kalau mereka tidak mau difasilitasi, ya sudah, itu tanggungjawab mereka sendiri.

Kalau saya jadi mahasiswa, kalau saya menuntut harus mendapat dosen yang enak, maka saya juga mengharuskan diri saya sendiri menjadi menjadi mahasiswa yang enak.

"Alaaah, pakai sok proaktif ala seven habits. Emang dulu waktu kamu masih mahasiswa, mikirnya kayak gitu ? Itu kan karena sekarang kamu lagi bete gara-gara kelakuan mahasiswa itu tadi kan. Lagipula, mereka sadar nggak tujuan mereka belajar?. Mereka paham nggak kalau belajar itu mereproduksi dan bertransformasi ?", sang suara bilang begitu.

Keengganan atau penolakan seseorang, penyebabnya pasti karena belum terciptanya 'hubungan' yang baik. Saya menduga, masalahnya adalah mereka masih tidak merasa nyaman untuk bicara. Kalau saja saya bisa menciptakan suasana dan 'cuaca' yang membuat mereka nyaman bicara, tentu kejadiannya tidak seperti yang saya alami tadi. "Resistance indicates the lack of rapport", begitu Judith de Lozier mengajarkan.

Yang pasti di ujung perenungan, saya menetapkan yang salah adalah cara komunikasi saya yang tidak manjur untuk membuat para mahasiswa 'bicara', lalu memutuskan yang perlu memperbaiki diri adalah diri saya sendiri, dengan menemukan cara jitu bagaimana membuat mereka nanti mau 'bicara'. Satu lagi, saya berasumsi para mahasiswa itu hanya belum terbiasa saja. Maklum, mungkin selama SMA, ibarat koper, isi otak mereka diisi oleh tumpukan-tumpukan materi yang dijejalkan oleh pekerja pendidikan yang sedang mengejar pemenuhan target silabus. Saya bilang 'pekerja pendidikan' karena di kacamata saya berbeda dengan 'guru'. Sama dengan saya membedakan pekerja seni dan seniman. Saya bisa merasakan mana yang transaksional, dan mana yang transformasional.

Lamunan saya pecah karena sekretaris saya Inna masuk ruangan membawa segelas kopi ginseng panas.

"Pap, kopi ... dari Bang Daus ..."
"Sruuppppp ..... hmmm .... makasih, Na."...***

Selasa, Januari 06, 2009

Pelan-pelan lah ...

Sebagai biker baru, kalau ada yang mengajak touring, saya langsung sambut dengan gumbira (tidak sekedar gembira). Saking getolnya, saya ikut memprovokasi teman-teman kantor untuk ikut touring.

"Lu, ikut nggak ke Ujung Genteng ?", tanya saya kepada Lulu.
"Nggak, Pak..", jawab Lulu.

Teman saya Supri dan Defit langsung teriak, "Nhaaaaa .... kita tanya-tanya Pak ...". Defit adalah orang yang pernah jadi 'korban' provokasi saya sehingga dia akhirnya ikut touring ke Sumedang walaupun awalnya tidak mau ikut.

"Apa yang membuat Lulu nggak ikut ?", kejar saya.
"Nggak berani, Pak", kata Lulu.
"Nggak berani karena apa ?", tanya saya lagi.
"Karena belum pernah naik motor jauh ..", kata Lulu memelas.
"Jadi nggak berani karena belum pernah naik motor jauh ? Kalau begitu, begitu nanti pernah naik motor jauh, jadinya berani kan ?"
Lulu diam saja, sambil mikir jawaban untuk 'ngeles', tapi tidak dapat-dapat.

Berikutnya Viva mendekat mengambil air minum di dispenser.

"Va .. ikut touring ke Ujung Genteng ?", tanya saya.

Viva agak 'bengong' sebentar kebingungan saya tanya begitu. "Nhaaaa, sini deh kita ngobrol-ngobrol dulu ..."

Supri dan Defit cengengesan.

"Ikut kan ?", tanya saya.
"Asik sih ya ? .. tapi ... Nggak ahhhh .. takut ...", kata dia
"Sekarang kalau ada skala dari 1 sampai 10, maka skor kemungkinan loe ikut touring ada di angka brapa ?", tanya saya.
"Lima ...", jawab Viva.
"Takut apa ?", kejar saya lagi
"Ngebut ...", kata dia dengan muka merinding.
"Artinya kalau kita tidak ngebut, Viva ikut ?", tanya saya.
"Kita nggak ngebut kok, cuma jalan dengan kecepatan sama ..." jelas Supri dan Defit.
"Jalannya siang ya ? ... item panas matahari ...", sergah Viva.
Saya lalu nyamber, "Ehhh .. eloe kan liat gue nggak item abis dari Sumedang ? .. Soalnya pake sunblock 50'... Kalau ada pelindung sinar matahari yang mujarab kayak ini, eloe ikut ?"
"Ntar tidurnya dimane ?", katanya dengan logat sedikit Arab.
"Ya kita nanti sewa cottage tidur rame-rame ...".

Saya lalu menunjukkan daftar nama yang cukup panjang yang rencananya akan ikut touring. Sementara Supri membuka internet, lalu memperlihatkan foto-foto lokasi Ujung Genteng hasil pencarian google gambar.

"Tuhhh, liat .. eloe bakal liat ini pemandangan bagus banget ... sunset dan sunrise di pantai .. pokoknya asik dehhh", kata Supri.

Saya lihat Viva sudah lebih 'positif'. Saya tanya dia, "Va, sekarang dari 1 sampai 10, angka kemungkinan loe ikut di brapa ?"
"Tujuh ...", kata Viva.
"Apa yang diperlukan sehingga angkanya jadi 9 ?", tanya saya
"Izin orang tua ?", tanya Viva.
"Gampang laaaah, kan nanti bisa ada surat dari Pak Prass ..", kata Supri.
"Yo'i"... kata saya.

Keesokannya, saya tanya Viva, angkanya ternyata masih tetap tujuh. Sementara itu, angka Lulu terakhir yang tadinya 5 sekarang 6. Tidak apa-apa, wong masih dua minggu lagi, masih banyak kesempatan memprovokasi mereka. Optimis kok, soalnya kata Supri, Viva sudah mulai tanya-tanya kalau touring musti bawa baju berapa ...***