Selasa, Juli 14, 2009

Selesaikan berdua saja

"Kamu kok kayaknya mesra-mesra aja sama isterimu ? ... Nggak pernah konflik kayaknya ..", tanya teman saya.

"Siapa bilang ? ... pasti ada lah .. hanya saja semakin ke sini semakin mudah menyelesaikan konflik ..", jawab saya.

Cerita saya bertemu dan akhirnya menikah dengan isteri saya cukup unik -- bagi saya. Kami diperkenalkan oleh teman SMA. Saat itu saya masih kuliah di MM-UI, dan 'pas' kebetulan jomblo. Saya baru saja putus (lebih tepatnya diputusin) dengan seorang wanita yang menerima pinangan sahabat saya sendiri untuk menjadi isteri kedua sahabat saya itu.

Berbeda dengan kali sebelumnya, dimana kalau ada teman yang mau memperkenalkan saya, saya segera mengambil kuda-kuda dan persiapan yang membuat saya tampil prima. Dengan kata lain, saya akan jaim. Kali ini, saya sudah agak 'lelah' untuk jaim. Saya pikir, biarlah saya apa adanya, kalau frekuensinya atau rumus kimianya cocok, pasti terjadi reaksi. Kalau tidak, berpura-pura itu sangat melelahkan.

Kurang ajarnya, teman saya langsung meninggalkan kami berdua yang terpaku setelah saling diperkenalkan di Pasar Festival. Pandangan saya kali pertama mengirimkan gambaran yang mendorong self-talk keluar : 'hmm .. boleh juga nih ..". Setelah itu semuanya seperti mengalir begitu saja.

Seharian kami isi waktu dengan banyak berdiskusi. Hari kedua kami bertemu lagi dan obrolan kami mengarah kepada 'what if' .... Kami saling memberitahu definisi tentang cinta, hubungan, rumah tangga, masalah, konflik, dan seterusnya. Ternyata kok nyambung ... Akhirnya malam kedua kami bertemu, kami menyatakan 'jadian'. Alasannya, kalau visi sudah sama, buat apa lama-lama. Apalagi, lima hari lagi dia akan kembali ke California untuk kembali menyelesaikan masternya. Hari itu adalah minggu kedua dia liburan ke Jakarta.

Singkat cerita, long distance relationship setelah itu yang terjadi adalah mulai terkuaknya perbedaan-perbedaan, harapan-harapan, yang membuat situasi layak disebut 'konflik'. Mulai dari acceptance terhadap masa lalu kami masing-masing, menentukan konsep pertunangan dan pernikahan, sampai hal-hal kecil seperti nada yang kurang mesra karena kecapaian. Apalagi perbedaan waktu antara Indonesia dengan Amerika adalah siang dan malam.

Untung salah satu PR saya buat dia adalah "sebelum menikah, dia harus sudah khatam membaca buku Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey". Itu terjadi tahun 1997. Kami jadi melalui proses penyelesaian konflik dengan keyakinan bahwa yang terjadi adalah perbedaan paradigma dan persepsi akibat pengalaman masa lalu kami masing-masing, bermental berbagi, berusaha mengerti lebih dulu, dan sinergi kami nantinya justru akan kuat jika dibangun di atas perbedaan-perbedaan. Apa yang saya alami sesungguhnya itu memang tidak semulus kalau diceritakan di sini.

Setelah menikah, masih ada perbedaan soal kebiasaan hidup. Kadang-kadang dia ingin selalu bercerita soal masalahnya, saya pas juga punya masalah dan cenderung diam berpikir sendiri. Belum lagi kalau sms tidak cepat dibalas karena saya sedang mengerjakan sesuatu atau rapat. Anda pasti mengalaminya juga.

Proses itu kami lalui dan nikmati. Kami memrogram diri untuk tidak tergoda pada jalan pintas. Akhirnya sekarang, kami bukannya terbebas sama sekali dari masalah dan konflik, tetapi dengan cepat masalah itu kami selesaikan. Contoh yang jelas cukup 'berat' adalah ketika ia minta izin melanjutkan pendidikan S3 di Canberra Australia selama empat tahun, sementara kami belum memiliki anak, sementara usia kami sudah seputar kepala empat. Penyelesaian atas masalah itupun telah didapatkan.

Baru-baru saja, ia tiba-tiba meng-SMS saya merasa sedih setelah melihat foto yang saya upload ke facebook, dimana saya berfoto menggendong bayi seorang karyawati saya. Ia merasa saya sudah sangat menginginkan anak, tapi dia belum bisa 'memberinya'. Saya tidak membela diri atau menasehati untuk menggiring cara pandang dia (kembali) bahwa yang belum memberi kita anak bukan dia tetap Tuhan. Yang saya lakukan saat itu adalah segera menghapus kembali dan meminta maaf karena waktunya tidak tepat. Dia kebetulan memang akan menghadapi ujian terakhirnya. Saya perlu mendukungnya agar pikirannya fokus ke ujian. Itu lebih penting buat dia.

Ternyata, setelah saya runtut ke belakang, apa yang membuat kami sekarang lebih mudah saling mengerti dan cepat menyelesaikan masalah, maka jawabannya ketemu : kami selalu membicarakan masalah berdua saja, tidak ada orang lain. Memang untuk hal-hal yang berat, saya minta pendapat orang tua atau 'ahlinya'. Tapi bukan dalam semangat curhat, melainkan mencari suatu pandangan. Kami tidak melibatkan orang lain di dalam penyelesaian masalah kami. Hanya kami berdua.

Minggu, Juli 05, 2009

"L" Air Mental Fitness Center

"Mas, minta di lorong ya ..", pinta saya kepada petugas maskapai penerbangan "L" Air di konter check-in Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Suara saya yang mantap ditambah anggukan sang petugas membuat saya ayem mendapatkan posisi duduk yang saya inginkan.

Proses check-in berlangsung cepat. Saya menerima boarding pass dari secarik kertas putih dan melihat nomor kursi saya 19A, lalu langsung mengantonginya.

Waktu masih sejam lagi untuk boarding. Saya membawa buku NLP in Action karya Pak Wiwoho untuk me-refresh pengetahuan NLP saya. Sejak awal masuk ruang tunggu, saya punya feeling kali ini pesawat akan delay. Entah dari mana intuisi itu datang.

Benar ! ... Suara wanita yang lembut dan renyah mengabarkan pesawat ke Jakarta ditunda 1,5 jam. Untung buku Pak Wiwoho menemani saya. Saya segera keluar ruang tunggu, dan nongkrong di sebuah kafe sambil menyeruput teh poci.

Singkat cerita, setelah waktunya tiba, saya beranjak ke pesawat. Saya lihat label yang menempel di bagasi kabin, ternyata kursi saya ada di dekat jendela, bukan di lorong seperti yang saya minta. Meskipun sedikit kecewa, tapi karena boarding pass sudah tidak diubah lagi, saya menerima saja kenyataan ini. Sekali lagi, saya punya feeling tempat duduk saya sudah ada yang menempati. Benar ! ... Seorang bapak-bapak dengan wajah datar telah menduduki hak kursi saya.

"Bapak nomor berapa ?", tanya saya kepada bapak-bapak tadi.
"Saya di tengah, tapi saya sudah di sini, silakan ...", kata si bapak dengan wajah optimis sambil tangannya menyilakan saya duduk di posisi tengah yang seharusnya ia tempati.

Melihat adanya pelanggaran hak, amarah saya muncul. Bukannya minta izin, malah ngatur saya, begitu pikir saya. Persis seperti saya marah melihat mobil pribadi nyelonong di jalur busway dan menghalangi hak penumpang bus TransJakarta untuk cepat. Tapi kali itu ada mekanisme bawah sadar saya yang bekerja cepat memprogram saya untuk diam dan memasang wajah tidak senang saja. Hal ini karena posisi duduk pinggir jendela ataupun tengah sama-sama posisi yang tidak saya kehendaki semula. Lain halnya kalau yang direbut adalah kursi di pinggir lorong sebagaimana yang saya minta, maka saya mungkin lebih fight. Bagi bapak ini, menempati tempat saya bukanlah sesuatu yang 'masalah besar', bahkan mungkin tidak dia anggap salah. Saya bertekad, kalau bapak-bapak itu 'sok akrab', saya memutuskan akan tidak terlalu 'pacing'.

Saya kemudian tersadar untuk tidak larut dalam ketidaksenangan itu. Marah sih tetap marah, tapi ada suara yang mengatakan, siapa tahu posisi duduk di tengah itu lebih 'berkah'. Who knows? .. toh saya juga tidak memperjuangkan kursi 19A karena buat saya tidak terlalu 'worth'.

Brukkkk ! ... lha ? .. meja makan di belakang kursi depan saya terbuka. Ternyata kaitnya sudah kendor, sehingga beberapa kali saya lipat kembali tetap tidak bisa. Saya memanggil pramugari dan minta karet atau pengikat. Tunggu punya tunggu, apa yang saya minta tidak kunjung datang. Akhirnya, dengan semangat praja muda karana, dan memodel tokoh film "Mc Gyver", saya segera mencari-cari benda apa yang bisa saya gunakan untuk mengganjal meja lipat ini.

Aaaahh ..! .. saya lalu mengambil karton informasi berisi doa. Kartonnya tebal. Saya lipat tiga, lalu saya selipkan di antara kunci pengait, sehingga posisi karton terlipat itu seperti 'kepanjangan tangan' dari pengait. Problem had solved.

Sampai di Bandara Soekarno Hatta, saya berdiri di depan tempat pengambilan bagasi. Lama sekali barang-barang tidak kunjung muncul. Setelah lebih dari 15 menit, petugas "L" Air datang dan memberitahu bahwa barang masih di pesawat karena ada kesulitan membuka kompartemen. Setelah tigapuluh menit, akhirnya barang saya datang juga.

Hari itu saya sudah latihan beban di "L" Air mental fitness center. Ada rasa sakit dan lelah, tapi setelah itu mental saya merasa segar ...***