Senin, Juli 05, 2010

Cinta Dia atau Cinta Diri Sendiri ?

"Prass, bisa bantu terapi'in suamiku nggak ?", tanya seorang teman kepada saya.

"Kenapa suamimu ?", tanya saya balik.

"Dia masih punya rasa kemarahan dengan mantan isterinya. Dia pengen ngilangin rasa itu. Dia keganggu dengan perasaannya itu", jawabnya.

Buat teman saya ini, pernikahannya dengan suaminya yang sekarang adalah pernikahan ketiga. Saya sendiri mengikuti perkembangan kehidupan teman saya ini sejak ia akan bercerai dengan suami pertama. Selama 'kosong' ia sering gelisah dengan keadaan hidupnya. Beberapa curhatnya menyangkut kepahitan dan kepedihan menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga dan orang tua tunggal. Ia ingin segera menikah lagi sehingga masalah-masalah yang menimpanya sebagian lenyap.

"Ini yang minta terapi kamu atau suamimu ?", tanya saya untuk memastikan kemauan 'sembuh' itu datangnya dari siapa.

"Suamiku Prass ..", jawabnya

"Bener ?", tanya saya lagi.

"Beneeerr. Dia keingetan terus sama mantan-nya. Aku jealous", katanya.

Mendengar kata 'jealous', tiba-tiba saya seperti punya peluang untuk memprovokasi dia.

"Apa alasan kamu untuk jealous ? Apa akibatnya dengan suami kamu kalo kamu jealous ?", tanya saya.
"Nggak tau ... ", katanya sedikit gelagapan.

"Dia sedang bermasalah trus kamu tambahin masalah. Kamu cinta dia apa cinta dirimu sendiri ?", tanya saya.

"Kok .. ?", katanya.

"Kalo kamu cinta dia, apa yang telah kamu lakukan untuk membantu menyelesaikan masalahnya ?", tanya saya lagi.

"I love him so much. Gue pengen dia bahagia .." katanya.

"Proses perceraian suami loe itu kan alot, lama, artinya ada kemungkinan dia mengalami luka emosi cukup dalam. Lantas kamu menuntut dia sembuh dengan segera ?", cecar saya.

"Nggak ... aku nggak menuntut itu ..", katanya. Sebuah kalimat yang tidak kongruen dengan pernyataan sebelumnya tentang jealous.

"Kondisi suamimu memang tanggungjawab dia sendiri. Kalau kamu memang tidak menuntut itu, maka jealous itu tidak perlu ada ..", provoke saya.

"Jealous itu bukannya tanda cinta ?", tanya dia.

"Bukan ! .. itu tanda kamu mencintai dirimu sendiri ... Itulah kalau menyamakan cinta dengan senang, demen, suka, nafsu." kata saya.

Saya langsung melanjutkan.

"Tergantung konteksnya. Kalau kamu jealous karena suamimu 'dekat' dengan wanita lain, itu wajar. Tapi dalam konteks yang kamu alami, kalau kamu jealous karena suamimu masih keinget mantan dalam keadaan marah, apa itu namanya .. ?

"......", teman saya diam.

"Mengapa kamu cinta dia ? .. Apa yang membuat kamu cinta dia ?".

".. karena dia kasih apa yang aku harapkan dari pasangan. Tanggungjawab, sayang ke aku dan anak-anak ..", jawabnya agak mantap.

"Nah tuh kan ... kamu cinta dirimu sendiri ..", sahut saya.

"Kok ... ?", dia heran.

"Kamu cinta dia karena dia bisa memenuhi keinginanmu. Karena itu kamu cinta ... Kalau nanti sudah tidak begitu, kamu tidak cinta lagi .. ?".

Dia diam saja.

"Kalau kamu tadi pas aku tanya 'apa yang bikin kamu cinta dia', lalu kamu jawab misalnya 'aku nggak tau .. pokoknya aku cinta dia ...', kemungkinan besar kamu memang cinta dia. Cinta itu tidak ada 'karena', kecuali karena mendapatkan ridho Allah. Kalau sudah begitu cinta jadi 'walaupun'. Walaupun bagaimana, kamu tetap mencintai dia ...", cecar saya.

"Ahhh ... kamu memprovokasi aku !", jawabnya tersadar.

"Ya memang !. Biar fondasi kamu kuat. Kalau anakmu sakit, kamu bawa ke dokter untuk disuntik, dan biarpun anakmu nangis kejer-kejer, kamu tetap tega demi si anak sehat dan kuat. Begitu juga aku, biar kata kamu bete dengan kata-kata dan omonganku barusan ini, aku tegain biar kamu kuat nantinya. Biar kamu tanggungjawab sama hidup dan perasaanmu sendiri. Jangan sampai kamu kayak pernikahan yang lalu, kamu menikah untuk menghindari tanggungjawab !", cerocos saya.

Ini adalah reka ulang perbincangan di blacberry messenger. Tak lama, di BBM saya muncul icon wajah tersenyum di belakang kalimat "Terimakasih ya Prass". ***

Dunia Tidak Suka Kekosongan


Seorang sahabat yang saya kenal 'gila' karena di kartu namanya ia mencantumkan gelarnya "Ph.G" yang dia artikan 'Pengusaha Gila', menulis status di facebook : "Giving, Giving, and Giving".

Karena saya dan dia terbiasa saling memprovokasi dan saling meneror, saya lantas tergoda untuk meledek dia dengan komentar "Jangan cuma ngomong doang, buktinya mana ? ... Belum ada yang nambah di rekening gue nih ..".

"Wis, alamatnya mana ...?", balas dia lagi.

Dengan enteng saya tulis, "Warung Jati Barat 41. Rekening BCA Nomor sekian sekian ..".

Sejenak saya melanjutkan tour de facebook ke 'buku muka' teman-teman lainnya.

Tiba-tiba 'tinggggg!' ada bunyi SMS saya di blackberry. Daniel Suwandi sahabat saya tadi mengirim SMS berupa konfirmasi transfer uang sebesar 5 juta rupiah ke rekening saya !.

"Saraaaappppp!!!!!", teriak saya dalam hati.

Saya konfirmasi kembali ke Daniel untuk memastikan SMS itu bukan sandiwara. Ternyata benar !.

Saya masih geleng-geleng tidak percaya. Saya tulis lagi komen di facebook-nya soal keheranan saya atas keberanian dia nekat mengirimi saya uang hanya karena komentar saya.

Dia hanya tertawa dan menulis, 'I always do what i said..'.

Saya mengenal Daniel beberapa tahun lalu saat bertemu di sebuah pelatihan aplikatif berbasis neurosemantics. Saat itu dia termasuk pattern breaker, alias suka bikin heboh suasana dengan pikiran-pikiran dan komentar-komentarnya yang 'nyeleneh'. Meskipun begitu, ia tetap seorang pembelajar dengan metode eksperimen.

Beberapa saat kemudian saya sering kontak-kontakan dengan dia. Pembicaraannya mulai dari rencana dia berbisnis ini itu, tanya buku ini itu, seminar ini itu. Idenya kadang menembus dinding logika saya, tapi saya terus menikmati ide-ide gilanya. Sampai akhirnya ia mulai berhasil dalam bisnis dan jualannya. Di facebook ia memproklamirkan dirinya Sang Terrorist.

"Pak Prass, saya ingin jadi penjahat ..", katanya suatu ketika.

Saya tertawa kecil. Saya tahu dia sedang memprovokasi saya, atau malah sedang minta 'dukungan'.

"Apa maksud baik ente jadi penjahat ?", begitu tanya saya.

"Supaya terkenal ...", jawabnya.

"Apakah jadi penjahat satu-satunya cara untuk menjadi terkenal ..?", tanya saya lagi.

Rupanya dia sudah hafal pertanyaan-pertanyaan saya. Singkatnya, dialog inipun berlanjut sehingga berakhir saat ia mengatakan, "Kalau gitu saya tidak mau jadi penjahat".

Ketika saya menulis kisah tentang 'transfer 5 juta' dalam bentuk status facebook, Lely -seorang teman lain berkomentar : "Mas Pras berarti nggak pernah lihat pengajian ustadz Yusuf Mansyur. Yang sumbangannya rumah 1 Miliar saja ada ...".

Sepertinya teman lain itu ingin memprovokasi apa yang dilakukan Daniel masih berskala 'kecil'. Lantas, saya menimpali :

"Mbak, sepertinya teman kita ini punya keyakinannya sendiri. Maklum, dia kan mengaku belum punya agama. Dia ingin membuktikan hukum alam ini bekerja atau tidak ...".

Daniel lantas nimbrung : "Jangan cuma ngomongin sedekah doang. Praktik dong. Apalagi sedekah di kala kafir, tanpa ilusi surgawi. Jadi kafir dulu deh baru you bisa rasain bedanya".

Pernyataan ini menarik buat saya. Ia tampak percaya adanya hukum-hukum alam yang jika diikuti membawa kepada kesuksesan, tanpa dimotivasi oleh cerita-cerita mengenai surga dan neraka di alam kehidupan nanti. Saya pikir, kalau Daniel saja yang mengaku belum punya agama sudah melakukan ini, saya yang mengaku punya agama juga mustinya melakukannya bahkan bisa 'lebih' lagi, karena persepsi manfaat dan kenikmatan atau penderitaan ditarik jauh kepada nasib diri pada kehidupan selanjutnya setelah mati.

"Ada the law of vacuum", katanya. "Coba ente keluarin baju-baju yang sudah tidak ente pakai dari lemari, kasih ke orang, maka nanti kan lemari ente ada baju-baju baru lagi. Dunia tidak suka kekosongan ..".

Saya memutuskan untuk tidak segera mengirimkan uang itu kembali kepada Daniel. Saya ingin membuat 'permainan' ini menjadi serius. Tentu saja, dengan masih membawa keheranan sekaligus kekaguman atas 'kelakuan' Daniel Sang Teroris.

Lantas uang kiriman Daniel mau dibuat apa ? Kan anda bukan termasuk orang-orang yang diberi sedekah ?, mungkin itu pertanyaan anda kepada saya. Hmmmm ... saya juga sedang menunggu efek yang dialami Daniel setelah memberi uang yang saya namakan 'hibah' itu kepada saya...***

Lebih Menyesal Mana ?


Eka Raqueen, seorang Smart Listeners (pendengar radio Smart FM) 'senior -- karena ia sudah mendengarkan Smart FM sejak kuliah -- saya tawari untuk menemani siaran PROVOKASI. Saya tidak tahu bagaimana persisnya perasaan dia, tapi dari hasil kalibrasi singkat saya duga ia gembira bukan kepalang. Kamis malam itu ia sengaja datang ke Smart FM untuk menemui saya karena sudah lama ingin bertemu.

Ia gemar sekali 'menggauli' orang-orang yang ia anggap bisa dijadikan mentor kehidupannya. Menurut pengakuannya, nama saya termasuk salah satu yang ia tempel di dinding kamar untuk ditemui. Nama lainnya adalah Mario Teguh dan impian itu sudah terwujud.

Ketika ia mengabari kerabatnya pernah chatting melalui blackberry messenger dengan saya, kerabatnya itu malah tidak percaya dan mengira yang melayani Eka bukan saya, melainkan asisten saya. Saya memang pernah punya manajer, tetapi soal chatting, tidak saya serahkan kepadanya.

Saya pernah tanya, apa cita-citanya ? Ia jawab, menjadi motivator perempuan termuda. Saya mengangguk-angguk dalam hati -- tentu otomatis kepala saya juga mengangguk-angguk.

Sehari sebelum siaran, ia mengirim pesan BBM, "Pak saya takut ..., hehehe ..."

Seperti sudah otomatis, saya langsung melakukan meta model, yaitu mengurai persepsi yang ada di kepalanya karena terjadi generalisation, distortion, atau deletion saat melihat suatu perkara, yang berakibat menimbulkan perasaan takut itu.

"Takut apa ?", tanya saya.

"Takut .. kan baru pertamakali siaran pak. Takut salah bicara... Pak, Provokasi'in saya dong biar berani ...?", katanya.

Sejenak saya 'menerawang' apa yang ada di balik pikiran Eka untuk minta provokasi. Saya lihat ia tidak punya masalah apa-apa selain fenomena alamiah berupa 'grogi' untuk hal kali pertama. Apalagi di pesan pertama ia menulis 'hehehe...'.

"Lebih menyesal mana Ka, datang siaran dan salah bicara, atau tidak datang dan melewatkan kesempatan ini ?" ...

Pertanyaan saya ini memaksa ia untuk masuk ke dalam dirinya sendiri, lantas tidak lama kemudian ia menjawab : "Oke .... Saya akan gunakan kesempatan ini ... Saya tidak pernah menyangka akan hal ini saya alami ... ".

Meskipun saya melihat 'penderitaan' ia mulai saat datang ke studio dengan tangan dingin, deg-degan, tegang, tapi detik demi detik mengantarkannya kepada pengalaman yang saya lihat ia nikmati sekali. Beberapa kali ia bicara, ternyata isi bicaranya bermutu dan pas dengan content dan konsep siaran. Ternyata ia bisa.

Selesai siaran, wajahnya sumringah. "Dulu saya mendengar Smart FM, sekarang saya tidak menyangka berada di ruang studionya ...".***