Selasa, Oktober 30, 2007

Gw pilih kekayaan daripada kebijaksanaan


Tidak ada semenit ketika kalimat di atas menjadi judul status saya di Yahoo Messenger, seorang sahabat langsung mengirim pesan : "kenapa ?". Maksudnya, mengapa saya menulis seperti itu, kok saya lebih memilih kekayaan daripada kebijaksanaan.

Sejenak saya merasakan 'kenikmatan' karena gotcha ... teman saya kena provokasi. Sebenarnya itu bukan murni buah pikir saya. Beberapa tahun lalu saya membaca sebuah buku yang mengisahkan, di zaman Nasrudin Hoja ada seorang hakim yang populer. Nasrudin lalu ingin menguji sang hakim. Ia mendatangi hakim dan bertanya : 'Tuan Hakim, anda adalah orang yang dihormati di negeri ini. Seandainya boleh memilih antara kekayaan dan kebijaksanaan, Tuan pilih mana ?

Mendapat pertanyaan bernada sinis, sang Hakim langsung menjawab : 'Ya tentu saja saya pilih kebijaksanaan ...'. Ia melanjutkan, "Nah, sekarang saya balik tanya, anda sendiri pilih mana, kekayaan atau kebijaksanaan ?".

Nasrudin diam sejenak lalu menjawab, "Kalau saya pilih kekayaan ..."
Sang hakim senang karena seperti mendapat sasaran tembak. "Lho ? Anda ini bagaimana sih ? .. sebagai kaum cerdik cendikia, kenapa justru anda pilih kekayaan, bukannya kebijaksanaan ?"

Dengan tenang Nasrudin menjawab : "Nah, terbukti kan ... seseorang memilih apa yang belum dimilikinya ..."

Kisah itu langsung menerbangkan selubung pikiran saya. Nasrudin begitu sederhana menjelaskan motif di balik perilaku seseorang. Bagi saya, ini semacam konsep yang menyederhanakan berbagai teori motivasi, mulai dari teori motivasi sejuta umat Abraham Maslow, Frederick Herzberg, XYZ, dan puluhan teori motivasi lainnya. Apa yang kita kejar dan usahakan selama ini, memang sesuatu yang belum kita miliki. Terlepas dari apakah yang kita kejar itu dapat atau tidak.

Temuan 'baru' kalangan pencari rahasia (the secret) akhir-akhir ini mengatakan, untuk mendapat apa yang kita kejar, kita perlu ask - believe - receive. Fokus pikiran pada keinginan, yakin, dan bersyukur. Katanya pula, perasaan bersyukur didapat dengan berterimakasih terhadap apa yang SUDAH kita miliki. Rupanya manusia butuh 14 abad untuk membuktikan the secret-nya Tuhan dalam kitabNya : "mintalah kepadaKu, niscaya akan Kuberi". "Kalau kamu bersyukur, Kutambahkan nikmatKu. Kalau nggak, ingat, siksaKu amat pedih (alias kita malah menderita)" ...

So, kalau anda diminta memilih kekayaan atau kebijaksanaan, anda pilih mana ? ...

Siapa Guru Siapa ...

Pembicaraan dengan sopir taksi di suatu Jumat sore itu terus mengisi kemacetan lalulintas di sepanjang Sudirman menuju Senayan. Mulai dari masalah kemandulan hukum, keberingasan politik, sampai merembet ke perempuan-perempuan berpakaian ketat di sepanjang sisi jalan dan pengaruhnya bagi pembentukan generasi bangsa yang bermoral. Saya pikir Pak Sopir ini lumayan juga wawasannya.


Memasuki bundaran Semanggi, Pak Sopir saya ‘suruh’ cerita tentang dirinya. Dia berkisah sudah empat tahun ini memegang taksi “C”, dan ia mengibaratkan dirinya sebagai pohon yang telah tumbuh besar. Ia merasa tidak perlu lagi diawasi secara ketat oleh manajemen karena termasuk dalam jajaran ‘senior’. Dengan uang setoran yang cuma 70 ribu perak setiap hari dibandingkan taksi ‘tarif baru’ yang harus menyetor hampir duaratus ribuan, ia bisa leluasa mengatur waktu dalam kesehariannya.

Ketika saya tanya, kenapa kok manajemen tidak banyak melakukan pengawasan ketat kepada Bapak ? Dalam pikiran saya, tadinya saya menduga Pak Sopir akan menjawab dengan bangga : “karena saya selalu bisa memenuhi target setoran”. Alih-alih menjawab begitu, Ia malah menjawab : “Karena saya sudah banyak dibimbing oleh penumpang …”.

Jawabannya membuat saya termangu. Belum pernah saya mendengar jawaban seperti itu. Ia melanjutkan bahwa penumpanglah yang memberikan ‘pelajaran’ kepadanya melalui komplain, saran, bahkan hanya dengan ekspresi tanpa senyum. Melalui masalah-masalah yang ia hadapi dalam ‘perjalanannya’ menghantarkan jasa kepada penumpang, ia maknai secara positif sebagai ‘guru’ yang menjadi sarana untuk membuat dirinya lebih ‘profesional’. Dan semua itu yang membuatnya menjadi sopir taksi yang ‘besar’.

Meminjam program berpikir sang sopir yang pas dengan program berpikir saya, itu berarti gurunya dokter adalah pasien. Gurunya penjual adalah pembeli. Gurunya pemasar adalah customer. Gurunya pemimpin adalah anak buahnya. Gurunya pemerintah adalah rakyatnya. Gurunya dosen adalah mahasiswanya. Gurunya guru adalah muridnya ...

Kepada guru, tentu kita menghormati dan menyayangi. Jadi kita menghormati, menyayangi, dan berterimakasih kepada pasien, pembeli, customer, anak buah, rakyat, mahasiswa, murid ..... Jadi siapa guru sejati ?

Kesombongan Kesalehan ...

Sewaktu kecil sampai menjelang menikah, saya kebagian tugas menyapu dan mengepel lantai. Adik-adik ada yang membersihkan ‘bagian atas’ (mengelap meja, kursi, lemari), ada yang menyikat kamar mandi, dan ada yang menyapu halaman.

Bertahun-tahun menyapu dan mengepel, membuat saya tahu bagaimana syarat dan metode menyapu dan mengepel yang memberikan hasil paling bagus. Berapa kali usapan yang harus dilakukan ke depan, belakang, kiri, atau kanan yang pas. Jenis alat pel (mop) yang seperti apa yang enak dipakai dan memberikan hasil. Merek cairan pembersih lantai mana yang paling bagus untuk jenis lantai tertentu.

Awalnya, mengepel lantai tidaklah mudah. Kotoran di lantai tidak hilang hanya dengan dua-tiga kali usapan. Dibutuhkan minimal tujuh kali usapan ke arah yang sama untuk membuat kotoran yang melekat hilang. Saya bisa berada di satu spot cukup lama untuk mengerjakan puluhan kali usapan ke arah depan-belakang, kiri-kanan, diagonal, dan kadang-kadang gerakan memutar. Namun jika hal itu dilakukan setiap hari, lama-kelamaan cukup dengan 2-3 usapan lantai sudah bersih dan mengkilap, dan waktu kerja saya menjadi lebih singkat. Tetapi jika seminggu saja tidak mengepel lantai karena tugas ke luar kota, kembali saya membutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk memulai mengepel lagi.

Karena bebas bereksperimen dengan penuh ketekunan bertahun-tahun, saya lantas punya ’feeling’ yang’sensitif’ untuk mengenali ada remah kotoran jatuh ke lantai atau terlewatkan oleh sapuan mop. Setelah mengepel saya biasanya duduk sejenak untuk menikmati kilapnya lantai hasil kerja saya. Pekerjaan ini saja bisa membuat saya bahagia. Jika ayah-ibu dan para tetamu saya tampak ’ridho’ dan senang dengan kilap dan bersih lantai rumah, kebahagiaan saya bertambah.

Membersihkan hati mirip dengan mengepel lantai tadi. Pada awalnya terasa berat. Kotoran sombong, pamer, takabur, iri, dengki, tamak, terasa begitu susah hilangnya. Tidak cukup hanya istighfar. Diperlukan tobat yang besar dalam waktu yang tidak singkat. Tapi jika membersihkan hati itu dilakukan setiap hari, setiap waktu, dengan kemauan keras dan ketekunan, lama-kelamaan hati akan menjadi bening. Cahaya Ilahi di pusat hati dapat memancar sempurna melewati dinding bening hati, mengalir keluar tubuh bersama aura kedamaian, keteduhan, kebijakan, integritas, dan kharisma diri. Kita menjadi tahu adanya kotoran kecil yang menempel di dinding hati, dan dengan lebih mudah untuk melenyapkannya. Tapi jika pekerjaan ’mengepel’ hati berhenti beberapa hari saja, bisa jadi kita harus bekerja keras lagi untuk membersihkan hati yang sudah mulai kotor.

Sombong adalah kotoran yang paling banyak dan paling mudah menempel. Kesombonganlah penyebab Iblis keluar dari surga dan dilaknat Tuhan selamanya. Kesombongan pula yang menyebabkan peristiwa pembunuhan pertama kali oleh manusia. Dari beragam kesombongan, kesombongan akan kesalehan-lah yang paling berbahaya. Ketika kita mendapatkan pencerahan atau keinsyafan -- jika tidak hati-hati -- tanpa sadar kita menganggap diri kita lebih baik dari orang lain.

Seseorang bercerita kepada saya, suatu hari Gus Dur dikunjungi pejabat pemerintah. Ketika akan dijamu minuman, sang tamu pejabat tadi berujar, "Terimakasih Gus, saya sedang puasa. Gus Dur tidak puasa ?", Jawab Gus Dur, "Tidak..". Tamu itu menyambung lagi, "Kenapa Gus?", Gus Dur menjawab, "Takut lapar ...".

Buat mereka yang penafsiran berhenti pada tataran simbolis dan permukaan, tentu mereka akan menghujat Gus Dur. Mosok kiyai ngomong gitu ? Tipis banget imannya ... Tapi buat mereka yang meneruskan perjalanan penafsiran sampai ke tempat paling dalam akan paham bahwa itulah cara Gus Dur memberi pelajaran kepada tamu pejabat itu, bahwa kesalehan tidak usah dipamerkan. Bahwa akhlak menghormati kunjungan silaturahmi antar manusia semestinya di atas kepentingan pribadi (puasa sunnah). Meskipun bisa saja ditimpali lagi oleh kelompok lain : ... yang sombong tamu pejabat itu atau Gus Dur ? .....

Prasangka ...

Cewek bule dan cowok ‘lokal’ itu lalu persis duduk di depan saya. Kemeja coklat muda digerai begitu saja menutupi kulit sawo matangnya, lengan baju digulung, rambut lurus sepangkal leher, celana hitam lusuh dan sandal gunung yang tidak baru lagi. Belum lagi kacamata hitam yang di-tongkrong-kan di kepalanya. Sorot matanya tidak berisi, namun dipaksakan. Gaya cowok seperti itu sering saya lihat di pusat pertokoan ‘pinggiran’ kalau malam minggu. Sementara itu si cewek lebih mirip selebriti dengan gaya bicara yang nampak cerdas.

“Eh buset … Apa nggak buta itu cewek ? … Masak ngelaba cowok kayak gitu ? … Cewek itu pasti nggak bisa bedain cowok Indonesia yang oke sama yang nggak. Jangan-jangan cowok itu ……....”

Ketika bakso yang saya pesan datang, saat itulah saya tersadar. Saya merasa bersalah dan beristighfar. Saya telah menghujat orang dalam pikiran saya. Saya menghujat berdasarkan ‘pengadilan’ yang saya ciptakan sendiri dalam pikiran saya. Saya menjatuhkan vonis bahwa cewek itu ‘bodoh’, dan cowok itu ‘nggak bener’. Padahal, siapa tahu mereka memang suami isteri. Siapa tahu cowok ‘kumal’ tadi sebenarnya orang hebat. Saya tidak akan pernah tahu persis sampai saya tanya langsung kepada kedua orang itu.

Rupanya ini yang disebut prasangka. Prasangka memang bisa berbahaya. Orang mengerjakan sesuatu (what you do) tergantung dari bagaimana ia memandang sesuatu itu (what you see). What you see’ atau populer dengan ‘paradigma’ dibentuk oleh informasi-informasi yang dirangkai sehingga bermakna. Paradigma seperti peta. Kita menelusuri wilayah yang sebenarnya (realitas) dengan peta itu. Pembuat peta itu adalah kita sendiri.

Kita membuat peta itu dengan menggambarkan sebuah wilayah berbatas, seperti peta buta. Lalu kita mendapatkan atau mencari informasi tentang gunung, lembah, sungai, hutan, sawah, jalan, tebing, untuk kita letakkan di peta buta itu. Semakin persis peta itu dengan wilayah yang sebenarnya, semakin benar peta itu, dan semakin kita yakin perjalanan kita bakal lancar. Persoalannya adalah, pandangan kita terkadang terbatas atau pandangan kita terhalang. Seperti ada awan yang menutupi. Akibatnya, tidak semua wilayah bisa terlihat.

Karena informasi dari ‘wilayah yang sebenarnya’ (realitas/fakta) terbatas, sementara kita butuh fakta-fakta di depan kita untuk memperjelas peta, maka akhirnya kita memproduksi informasi dengan bahan baku yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman masa lalu kita sendiri. Bahasa lugasnya “mengira-ngira”. Kalau seumur hidup kita cuma tahu Jakarta lalu kita menggambar peta wilayah Papua, maka mengira-ngira berdasarkan pengalaman geografis di Jakarta mungkin menjadi tidak berguna.

Belum lagi jika ada bias penglihatan. Dasar kolam yang dalam tampak terlihat dangkal. Benda ’mati’ kasat mata saja bisa tampak bias, apalagi manusia.

Peta yang saya buat untuk memandang perilaku cewek bule dan cowok lokal tadi, jelas berasal dari pengalaman saya di masa lalu, dan belum tentu sama dengan realitasnya. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh kita untuk menjauhi kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu ternyata bisa membawa kita kepada dosa. Kalau kita bertindak didasari oleh prasangka, lalu ternyata realitasnya berbeda, sementara akibat tindakan kita ada pihak lain maupun diri sendiri teraniaya, berdosalah kita.

Saya jadi ingat cerita salah seorang dosen saya, Pak Muchlis Alimin. Ada seorang pria kaya di sebuah desa yang ingin tampil beda. Ia ingin punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Ia lalu beli mobil cadillac merah --- mobil yang belum pernah ia lihat ada di daerahnya. Ketika mobilnya dipacu kencang di jalan yang membelah perkebunan di perbukitan, tiba-tiba muncul dari sebuah kelokan seorang gadis manis juga memacu cadillac merah ke arah berlawanan. Si pria menjadi ‘panas’. Ia tidak menyangka, sekaligus tidak suka, ada cadillac lain menyaingi kepunyaannya. Begitu perpapasan, si gadis sambil melihat ke arah pria itu berteriak : “babi !!!!”. Si pria terkejut dan marah diteriaki babi. Dengan emosi tinggi, ia menengok ke arah gadis, mengangkat jari tengahnya, dan berteriak membalas : “babi jugaaa !!!” …. Dalam hitungan detik, tiba-tiba cadillac merah si pria itu menabrak serombongan babi yang menggerombol menyeberang jalan. Mobil itu terjungkang ke jurang ……

“Mari mas, ke Dagadu – langsung grosirnya, pulang balik dua ribu …..” Tawaran seorang tukang becak memecah lamunan saya. Saya melanjutkan langkah menyusuri trotoar Malioboro... Tenggelam di lamunan lainnya ...

Pohon Tumbang

Brukkkk!!! Pohon kelapa itu tiba-tiba roboh. Seseorang yang memegang kampak kemudian memetik buah kelapa yang masih menempel di tongkrongan-nya. Ketika ditanya kenapa menebang pohon itu, orang itu menjawab, “Saya disuruh majikanku mengambil buah kelapa….”

"Kenapa tidak memanjat saja?"

Orang itu menjawab lagi, ”Saya tidak bisa memanjat, jadi saya tebang saja pohonnya supaya saya dapat buahnya ….”

"Besok kalau kamu disuruh mengambil buah kelapa lagi, bagaimana?"

Orang itu terdiam. Matanya menyiratkan kebingungan.

Cerita tadi mirip dengan fabel dalam buku “7 Habits of Highly Effective People” yang terkenal. Dikisahkan seorang petani miskin menemukan seekor angsa. Angsa itu lalu dipelihara hingga besar. Suatu hari ia menemukan sebutir telur emas di kandang angsa. Rupanya angsa itu bertelur sebutir emas setiap harinya. Tak lama petani itu menjadi kaya raya. Saking nafsunya ingin mendapat tidak cuma sebutir sehari, tetapi lebih dari itu, ia memotong angsanya. Ia tidak menemukan apa-apa. Tidak ada telur emas lagi. Petani itu kemudian miskin lagi.

Petani miskin ataupun penebang pohon di atas, adalah simbol dari pelanggaran hukum keseimbangan antara kapasitas produksi (pohon, angsa) dengan hasil (buah, telur). Ada banyak kapasitas produksi di sekeliling kita. Tubuh adalah kapasitas produksi yang menghasilkan kemampuan bekerja dan produktivitas. Tubuh menghasilkan gerak. Uang menghasilkan laba investasi. Anak buah menghasilkan pencapaian tujuan unit kerja. Customer menghasilkan sumber pendapatan perusahaan. Hati menghasilkan iman. Cinta menghasilkan kebahagiaan (jelas di sini bahwa cinta adalah kata kerja, bukan kata benda).

Lebih mementingkan hasil adalah sama dengan menebang pohon atau membunuh angsa. Bekerja keras siang malam dengan mengabaikan istirahat cukup dan olah raga untuk mengejar uang atau karier mengakibatkan tubuh menjadi sakit. Jadinya malah tidak produktif sama sekali.

Karena takut target produksi tidak tercapai, anak buah ‘diperas’ dan ‘dicambuki’. Kita sering melihat sebagian teman atau atasan kita yang menjelang ujian, terus sibuk dengan kesenangannya, dan tidak sempat belajar. Pada saat ujian, mereka cukup membawa contekan’ atau mengatur posisi dekat dengan ‘narasumber’, atau kalau perlu keluar duit buat menyewa joki. Hasilnya ? kalau kita tanyakan

kembali kepada mereka pelajaran yang diujikan, mungkin kita ‘kecele’ mendengar jawabannya.

Terlalu mementingkan kapasitas produksi pun tidak baik. Itu sama dengan kita istirahat dan berolah raga terus tapi kurang bekerja. Angsa menjadi manja. Dengan demikian efektivitas terletak pada keseimbangan antara pohon dan buah serta antara angsa dan telur.

Pohon dan angsa mempunyai ciri yang sama : harus dirawat. Tanpa dirawat, dikembangkan dan disehatkan, maka ia tidak mampu memberi hasil yang paling baik. Tanpa dilatih, dikembangkan, dihargai, dan disejahterakan, karyawan dan agen tidak akan memberi ‘yang terbaik’ buat customer dan perusahaan. Tanpa istirahat, nutrisi dan olah raga yang cukup, tubuh tidak akan mampu bekerja dengan optimal. Tanpa membaca, menulis, berpikir dan berimajinasi, tidak akan ada improvement. Tanpa menolong, memaafkan, jujur dan amanah, hubungan yang baik tidak akan terjalin. Tanpa sholat, puasa, dzikir, merenung, sedekah, makanan dan harta yang halal, maka spirit kita tidak akan memancarkan kedamaian dan kebenaran.

“…Dan aku tinggikan langit, dan aku letakkan mizan, supaya kamu jangan melampaui batas tentang mizan itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi mizan itu …”

(Ar-Rahman 7)

Mizan adalah neraca. Neraca berarti keseimbangan. Ia telah menjadi hukum alam yang universal yang diset-up Allah agar dunia dan isinya dapat ‘hidup’. Ketika keseimbangan ini dicabut, planet-planet dan bintang berbenturan, lahar bermuntahan, makhluk saling membinasakan, dan akhirnya kehidupan tidak ada lagi. Itulah saatnya kiamat …

No pain no gain

Ada dua pohon. Yang satu tumbuh di pinggir sungai yang airnya mengalir tenang. Yang satu lagi tumbuh lebih ke tengah daratan. Yang tumbuh di pinggir sungai itu berdaun lebih lebat dan cepat berbuah, karena tanah di sekitarnya selalu basah dan gembur, menyediakan segala jenis makanan yang dibutuhkannya. Sementara pohon yang berdiri tegak lebih ke tengah daratan tumbuh dengan lebih lambat. Keadaan ternyata tidak selamanya begitu. Suatu ketika, tiba-tiba datang badai dan banjir bandang. Seluruh tanaman di tepi sungai tersapu air bah yang mengalir deras. Hampir semua tumbuhan habis ‘terbabat’ --- termasuk pohon yang di pinggir tepi sungai tadi Satu-satunya pohon yang masih berdiri tegak adalah pohon yang lebih ke tengah daratan dan jauh dari sungai itu. Ketika tanah di bawah pohon itu terkuak tersibak badai , tampaklah akar pohon itu tertancap dalam dan lebar. Akar itu kelihatan besar.

Ketika keadaan masih ‘tenteram’, pohon yang ada di daratan tadi sulit mendapatkan sumber-sumber makanan yang butuhkan karena tanahnya keras dan kering dan posisinya yang jauh dari air sungai. Untuk terus hidup, ia berusaha keras menjulurkan akarnya, menembus kerasnya tanah, untuk mencapai sungai agar mendapatkan air dan sumber makanan. Akibatnya, akar pohon itu menjadi panjang, dalam, dan besar. Ketika badai datang menyapu apa saja yang ada di permukaan tanah, akarpun menjadi pencengkeram dan penahan pohon itu agar tidak ikut tercerabut.

Ade Rai, binaragawan andalan Indonesia yang menghasilkan berbagai prestasi dan penghargaan untuk Indonesia -- menurut teman saya Anto Aprilianto yang satu almamater dengan Ade Rai -- ‘body’nya dulu tidak sebesar sekarang.

Saya jadi ingat dalam sebuah buku, bahwa kalau kita latihan beban, misalnya push-up atau mengangkat barbel, maka yang berguna dan yang dicari adalah hitungan saat dimana otot merasa sakit. Pada saat itu, ada serabut otot yang pecah. Setelah itu, dalam dua-tiga hari, akan ada serabut baru yang lebih kuat yang akan menggantikan otot tadi. Begitu seterusnya, hingga lama-lama otot kita akan menjadi keras dan besar. Jadi Ade Rai tidak ‘ujug-ujug’ punya badan besar dan kekar.

Kita tidak cuma punya otot fisik. Kita juga punya otot psikologis. Otot psikologis terdiri dari otot mental, otot emosional, dan otot spiritual. Semuanya punya prinsip yang sama. Kalau ingin otot-otot itu menjadi kuat dan besar, maka kita harus mengolahnya sampai merasa sakit. Itulah saat yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangan otot-otot kita.

Masalah memang menyakitkan. Tapi masalah justru anugerah. Karena kita diberi kesempatan untuk memperbesar otot-otot kita sendiri. Apalagi Allah tidak akan memberikan beban yang tidak bisa dipikul manusia. Membaca, menulis, belajar dan mengajar, mengembangkan cita-cita dan rencana, memperkuat otot mental. Menolong, memaafkan, senyum, menyayangi, mengunjungi, melayat, menjaga integritas, memperkuat otot emosional dan sosial. Tafakkur, menikmati alam, memikirkan tanda-tanda kebesaranNya, introspeksi, sholat, puasa, dzikir, memperkuat otot spiritual.

Tak ada jalan pintas. Tak ada akar yang dalam dan besar tanpa tanah yang keras dan jauh dari sumber air. Tak ada Ade Rai sang juara binaraga tanpa latihan beban dengan disiplin selama bertahun-tahun. Semuanya diperoleh dengan rasa sakit …

Visualisasi saja tidak cukup ...

Nafas tersengal hebat ... saya harus menundukkan badan dan kepala dengan konsentrasi mengatur keluar masuk oksigen ke dada. Pandangan gelap dan berkunang-kunang. Peluh dingin membanjiri tubuh. Otot sakit. Pertandingan futsal babak pertama yang cuma 10 menit baru selesai, tapi saya sudah minta diganti.

Lima menit yang lalu, dengan semangat 'menjadi muda', saya masuk ke lapangan futsal dengan gagah berani mengganti Supri yang menyerah. Tanpa pemanasan, tanpa peregangan, bahkan tanpa latihan sebelumnya, kecepatan lari saya berada pada posisi puncak, mondar-mandir mengejar bola dan menghadang lawan, gocek sana gocek sini, layaknya pemain terlatih. Tapi rupanya itu tidak lama. Tampak terlatih berbeda sama sekali dengan benar-benar terlatih.

Sebagai hypnotherapist saya menerapkan self-hypnosis dengan visualisasi sukses sehari sebelum pertandingan. Ternyata latihan mental itu tidak cukup. Fisik tetap perlu dilatih. Otot punya cara kerja sendiri. Meskipun mental sudah siap, fisik belum siap, ya dengan riang gembira saya memberikan kemenangan kepada tim lawan.

Saya jadi ingat saat-saat pertama kali ditugaskan memimpin sebuah lembaga pendidikan yang sudah berusia 45 tahun lebih. Rupanya nafas ngos-ngosan, mata kunang-kunang, keringat dingin membanjir, dan otot-otot sakit semua, itu yang dirasakan oleh anggota organisasi saya yang tergopoh-gopoh mengikuti saya yang langsung 'lari sprint'. Hingga akhirnya saya mengurangi kecepatan, mengubah mode lari menjadi maraton, melatih pikiran, mental, dan fisik mereka, mengikuti percepatan perkembangan otot-otot mereka, dengan tetap standar yang tinggi namun progresif.

Akhirnya,... dua tahun berselang, mereka semua menjadi orang-orang yang 'berani diadu' dan membanggakan ... Hidup mereka ....

Ngeyel

"Orang tua kita dulu punya anak banyak malah berhasil mendidik. Sekarang ini punya anak satu dua, tapi ngeyelan". Kira-kira begitu terjemahan nasihat perkawinan seorang ustadz desa yang disampaikan dalam bahasa Jawa halus.

Di resepsi pernikahan sepupu di sebuah desa yang baru saja bangkit dari gempa di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta, saya seperti tertampar halus. Definisi keberhasilan mendidik anak begitu simpel. Tapi di balik kesederhanaan definisi tadi justru terkuak makna hakiki. Tidak ngeyelan, itu indikator keberhasilan para orang tua (setidaknya di desa itu, setidaknya menurut kacamata pak Ustadz).

Saya tidak menilai ustadz itu tidak mendorong anak-anak untuk 'modern', menyerap berbagai ilmu dari 'luar'. Tapi kalau kita sudah 'pintar', toh, tetap bukan merupakan alasan untuk kita 'ngeyel' kepada orang tua. Saya agak sulit mendefinisikan ngeyel dalam terminologi Bahasa Indonesia secara tepat. Kira-kira artinya keras kepala campur 'denial' dalam English, tambah kadang-kadang 'ngotot', tapi tidak persis seperti itu. Ngeyel biasanya ada kejadian 'bertengkar'. Itu berarti ngeyel adalah kondisi yang dihasilkan dari cara berkomunikasi. Ngeyel bukan berarti tidak boleh berbeda pendapat, tapi lebih kepada bagaimana mengkomunikasikan pendapat yang berbeda dengan orang tua tadi. Ini adalah perilaku dan keterampilan (skill).

Jadi, kalo aku selama ini sudah 'pintar', belajar sana-sini, tahu sana-sini, bisa sana-sini, itu tetap bukan alasan untuk ngeyel kepada orang tua. Kita selalu bisa mencapai kesepahaman dan kesepakatan. Masalahnya mungkin selama ini kita belum ketemu cara yang pas saja. Cara itu bisa didapat 'mak bedunduk' (istilah Srimulat yang artinya 'spontan, mendadak, tiba-tiba') jika kita mengawali ketidaksepahaman dengan orang lain itu dengan pertanyaan : 'apa maksud positif di balik perilakunya ?', "Apa pentingnya pendapat itu untuk dirinya ?". Pahami cara berpikir dan nilai-nilai dirinya. Selanjutnya sesuaikan sikap tubuh, ekspresi, bahasa kita dengan dirinya agar nyaman. Gunakan pertanyaan-pertanyaan untuk menggiring dan memasukkan ide/pendapat/pemikiran kita ke pikirannya. Mirip dengan Aikido yang menggunakan prinsip : pinjam tenaga lawan, belokkan.

Di sebuah Desa di Kecamatan Kretek Kabupaten Bantul Yogyakarta, di bawah pohon rindang angin semilir. Orang-orang guyub. Alunan gending jawa mengantarkan lamunan. Ahh, urip iki enak tenan (hidup ini enak tenan) ....

Buat Yang Merasa Gagal ...

Sehari menjelang lebaran. Seorang sahabat dari Bandung bercerita, ia merasa kalah total puasa tahun ini ... Ia bertanya apa dia masih pantes merayakan kemenangan besok saat lebaran ? Dia begitu kecewa dan sedih.

Dear sahabatku yang merasa kalah ....

Bukannya bagus kalau sadar banyak kekurangan ? .. karena itu berarti kamu ada keinginan untuk memperbaiki diri kan ? ... Banyak orang yang cuek tidak menyadari kekurangannya ... malahan ge-er merasa menang ?

Lagian bukan 'kamu' nya yang kalah, kamu tidak kalah. kamu cuma mengalami usahamu tidak sesuai dengan apa yang kamu targetkan. Kamu kecewa dan sedih karena menamai pengalamanmu itu sebagai KALAH. Dengan perasaan kalah itu, bagaimana penampilanmu besok ? sumringah atau kucel ? cerah atau kusut ? Dengan penampilan & ekspresi seperti itu, apa yang terjadi dengan orang-orang di sekelilingmu ? apa hasilnya dan apa yang akan kamu alami besok ?..

Merasa apapun, besok pasti datang. Tak satupun orang di sekelilingmu peduli kamu kalah atau menang. Mereka ingin kamu tersenyum dan gembira bersama mereka. Besok orang-orang ingin berdekatan dengan orang menyenangkan. Lha, kalau orang tidak peduli kita sedih atau tidak, kenapa kita harus bersedih ? ....

Bagaimana kalau pengalamanmu puasa sebulan ini dinamai sebagai latihan ? Siapa yang bilang latihan tidak boleh salah ? Dalam latihan pasti ada gagal kan ? Pelatih akan menilai bukan dari gagalnya, tetapi seberapa banyak kamu dapat pelajaran dari kegagalan itu lalu bangkit. Paling tidak punya tekad untuk bangkit.

Kalau setiap kali apa yang kamu lakukan tidak sesuai harapanmu lalu kamu menamai dirimu gagal/kalah, bayangkan 5-10 tahun dari sekarang. Kamu sesukses apa jadinya ? Apakah perasaan kecewa & sedih akan membuat kamu sukses ? ... Ingat waktu kamu kecil belajar jalan ? (nggak ya ?) Setiap terjatuh, apa kamu sedih dan kecewa ? Bukankah kamu justru semakin bersemangat untuk cepat-cepat bisa berjalan ?

Welcome to the real world, dimana tidak ada yang namanya setiap orang pasti selalu berhasil 100% ... Kamu malah perlu bersyukur karena justru sekarang kamu tahu cara yang bisa menyebabkan kamu gagal lagi. Kamu sekarang malah dapat cara bagaimana supaya puasa tahun depan bisa berhasil kan ? Tuh, kamu dapat ilmu baru kan ? ... rayakan saja ilmu yang kamu dapat ini besok.

Besok hari tidak usah dinamai apa-apa. Mau dinamai hari kemenangan kek, hari lebaran kek, hari fitri kek, hari sabtu kek, yang penting besok bersilaturahmi dengan orang-orang di sekeliling kita, dan kita akan memberi kebahagiaan kepada orang-orang dalam silaturahmi itu. Kita dapat pahala. Tidak satu orangpun peduli kamu kalah atau menang. Yang mereka peduli, apakah kamu menggembirakan mereka atau tidak ...

Hayoo, Salah Siapa ?

Saya meng-klik slideshow di laptop. Di depan saya ada 24 orang guru TK Alifa & TK Bunyan. Semuanya berjilbab. Saya akan menayangkan potongan-potongan gambar. Setiap slide tampil, mereka saya minta menebak gambar apa itu. Dada agak berdegup kencang karena apa yang akan saya tampilkan ini berisiko tinggi. Pada slide ke-4 potongan gambar 'sangat' mengarahkan pikiran audience ke sebuah gambar 'porno'. Ada gambar seperti jemari wanita menyentuh pangkal paha. Itu karena di slide sebelumnya mereka menebak itu gambar kaki. Kalau audience-nya mahasiswa atau para salesperson mungkin menjadi hiburan. Tapi ini para guru TK yang seluruhnya berjilbab.

Benar saja, pada gambar ke-4 tak satupun mereka berani menyebut gambar apa itu. Saya tersenyum sambil berujar, "Saya berisiko tinggi menampilkan gambar ini. Tapi dari kalibrasi saya, saya tau apa yang ibu-ibu pikirkan". Segera saya tekan tuts laptop untuk ke slide berikut. Seketika gambar utuh muncul dengan posisi dibalik sehingga jelas itu gambar seorang wanita aristokrat sedang minum dengan jemari tangan menyentuh pangkal bahu. Seluruh tafsir audience pada slide sebelumnya berubah sama sekali. Tampak wajah merekapun lega.

"Jadi, masalahnya terletak di gambar ini atau pikiran anda sendiri ?", tanya saya. Mereka menjawab serempak, "Pikiran kita Pak".
"Yak, masalahnya adalah ada pada tafsir ibu-ibu terhadap gambar ini". Jadi kalau waktu melihat slide ke-4 ibu menjadi tegang, malu, bahkan mungkin marah, itu salah siapa?" tanya saya lagi
"Ya salah kita sendiri pak", sahut mereka.

"Ternyata respon ibu-ibu kan bukan karena gambarnya, bukan ? Tapi karena di pikiran ibu, gambar tadi ditafsirkan jadi gambar 'porno' bukan ? ... Padahal kenyataannya gambar tadi gambar wanita aristokrat sedang minum," tambah saya.

Begitu juga, kalau kita kesal karena dimarahi atasan. Kekesalan kita berasal dari arti yang kita berikan terhadap kejadian dimarahi atasan tadi. Mengapa tidak ditafsirkan bahwa dimarahi atasan itu berarti ia memperhatikan kita. Ia ingin kita lebih baik lagi. Kalau anda harus memilih, lebih baik dicuekin atasan atau dimarahi atasan ?

Kalau kita sedih karena diputusin pacar, itu karena kita mengartikan kejadian itu sebagai musibah. Mengapa tidak ditafsirkan bahwa kita sedang diselamatkan ? Siapa tahu kalau tetap jadi malah punya problem rumah tangga yang maha berat. Malah kita akan diberi hadiah olehNya karena akan diberi pengganti calon pasangan hidup yang jauh lebih baik...?

Tidak Peduli Kepentingan Orang Lain

Aku jadi ingat Kang Jalal sang guru spiritual beberapa tahun lalu pernah bercerita, ada suatu penelitian terhadap ciri-ciri suatu bangsa. Ada yang gentlemen (Inggris), menghargai waktu (Jerman), disiplin (Jepang -- kalau tidak salah), dll ... Tiba giliran orang Indonesia, ciri yang menonjol adalah : INCONSIDERATE. Artinya, tidak peduli terhadap kepentingan orang lain. Wow ? Kok jauh terbalik ya dengan doktrin para guru, orang tua teman, penatar P4 waktu aku masih sekolah ? Katanya bangsa Indonesia adalah bangsa yang ramah, santun, gotong-royong, tolong-menolong ?

Aku lantas mencari pembenaran atas hasil penelitian itu. Oooo ... pantes. Fakta-fakta di seputar kita memang mendukung. Karena menurut the law of attraction kita diminta jangan fokus memikirkan dan membicarakan hal-hal yang tidak kita inginkan, sebab akan memberi power lebih besar kepadanya untuk muncul di dunia ini -- melainkan fokus kepada hal yang kita inginkan, maka inilah yang kuinginkan :

- Di kawinan pada antri mengucapkan selamat dan mengambil makan (tidak nyerobot dari barisan tengah, supaya menzalimi tetangga yang sudah antri duluan)

- Kalau makan bersama lihat-lihat jumlah yang hadir, ambil lauk kira-kira supaya yang lain kebagian

- Di jalan pada antri rapi (tidak menyerobot dari jalur kiri/badan jalan yang bikin tambah macet, supaya tidak menzalimi tetangga yang antri duluan)

- Pakai jalur yang diperuntukkan, biarpun macet, jangan masuk jalur busway.

- Mobil yang berjalan lambat mengambil jalur kiri (tidak berjalan di jalur kanan, supaya tidak menzalimi tetangga yang ingin lebih cepat).

- Kalau di jalan sempit, kecepatan kendaraan ikut arus, jangan lambat sendiri (kecuali banyak anak-anak dan pejalan kaki), kasihan yang di belakang, apalagi kalau nyetirnya sambil sms.

- Parkir mobil di dalam line (tidak 'mengangkang' sehingga dua space parkir dimakan sendiri supaya kalau ada tetangga yang butuh parkir bisa parkir)

- Berhenti di lampu merah ya di belakang line/lampu merah. Masak mengandalkan kebisingan klakson mobil di belakangnya ?

- Siaga waktu lampu sudah berganti dari merah ke kuning mau hijau, itu berarti kita sudah siap memasukkan presneling ke gigi 1, jangan tunggu klakson di belakang.

- Wahai para pengendara motor, kalau ada mobil atau orang minta jalan ya mbok dikasih dengan cara menekan rem sedikit.

- Wahai para pengendara motor, kalau hujan silakan pakai ponco/jas hujan. Jangan parkir motor di jalan di bawah jembatan supaya jalanan tetap lancar.

- Kalau ada kecelakaan, ikut menolong. Kalau tidak mau menolong ya tetap jalan saja, jangan berhenti nonton supaya jalan tetap lancar.

- Merokok di tempat yang disediakan supaya tidak menzalimi mereka yang ada di ruang kerja, restoran, ruang AC lain & kendaraan umum

- Irit klakson. Lihat-lihat situasi apakah cukup kuat menjadi alasan untuk menekan klakson. Jangan karena mobil depan berhenti langsung diklakson, padahal dia memberi kesempatan pejalan kaki lewat.

- Membuang sampah di tempat sampah, bukan di jalan, di halaman, di pot

- Membuang tissue, pembalut, puntung rokok di tempat sampah, bukan di urinoir/toilet, supaya tetap lancar dan awet klosetnya

- Bagi pria, mau kencing dudukan WC/kloset diangkat dulu, supaya mewariskan tempat yang bebas najis kepada tetangga sesudah kita yang mau memakai dudukan WC tadi

- Mau pub di kloset duduk ya posisinya duduk tidak jongkok supaya tetangga setelah kita mendapatkan dudukan yang tetap bersih

- Kalau kencing, pub, atau buang ingus, ya disiram sampai tuntas

- Mau berhenti di pinggir jalan lihat-lihat sekeliling, jangan-jangan kalau kita berhenti bikin macet jalan dan menzalimi banyak tetangga kita

- Mematikan atau menggetarkan nada ponsel waktu rapat, nonton, seminar, ibadah, takziah, supaya tidak mengganggu tetangga dengan polusi suara.

- Kalau sedang menghadiri rapat ikuti pembicaraan, tidak bicara sendiri

- Mau nyetel kaset ayat-ayat suci AlQur'an lihat-lihat waktu. Masak jam 3 pagi nyetel speaker volume pol ? Bagaimana nasib tidurnya mereka yang sakit atau non-muslim ?

- Wudlu di tempat wudlu, bukan di wastafel, apalagi lantainya sampai banjir. Kalaupun kepepet ya seminim mungkin airnya 'ngepret' sana-sini

- Jemur pakaian di pekarangan sendiri, tidak di tembok tetangga, apalagi jemur pakaian dalam sama keset

- Mengurus sesuatu di instansi pelayanan publik tidak perlu lagi keluar uang pelicin
dan penyogok

- Bikin sinetron yang memintarkan, mencerdaskan, membijaksanakan, bukan mensugesti pemirsa jadi berani melawan orang tua, dengki, jahatin temen/ saudara/handai tolan, jatuh cinta sama atau malah takut dukun, memuja setan, takut hantu, lemah mental, malas, pesimis, hamil sebelum nikah .. semua dengan alasan : supaya pemirsa tidak seperti itu (padahal pikiran bawah sadar tidak kenal kata tidak, jangan, bukan. Apa yang di-tidak dan jangan-kan malah terbayang dalam pikiran).

- Setiap orang memeriksa keteknya masing-masing. Kalau bau, pakai deodoran.

Mau ikut menambahkan daftarnya ?

Gitu Aja Kok Repot ... Yang Penting ...

Di Islam, yang mau disembelih oleh Nabi Ibrahim a.s. adalah Ismail. Di Kristen, yang mau disembelih oleh Ibrahim adalah Ishak. Ketika masalah ini di bawa ke Gus Dur untuk menanyakan manakah yang benar, Gus Dur menjawab : "Gitu aja kok repot. Yang penting dua-duanya selamat" ....

Kisah yang diceritakan oleh Pak Gatot teman saya ini langsung bersarang di ingatan yang paling berkesan. Buat saya ini pelajaran yang luar biasa tentang kematangan berpikir. Ketika kita 'stuck' di antara pilihan-pilihan atau konflik atau masalah, naiklah ke tingkat berpikir lebih tinggi. Berorientasilah kepada masa depan, bukan berkubang lama-lama di masa lalu. Tanyakan apa pentingnya hal itu bagi kita ? So what ? Apa pengaruhnya bagi kita ? Apa tujuannya ? Apa hasilnya ?

Pola melihat masalah ala Gus Dur itu menjadi referensi saat saya menghadapi konflik dengan rekan kerja. Ketika saya tahu dan yakin saya dan dia sama-sama bicara untuk kepentingan Perusahaan, maka seketika itu saya melihat masalah yang diperdebatkan adalah masalah kecil karena berada di tataran cara, tindakan, atau perilaku. Seketika semangat menyelesaikan konflik menjadi positif.

Seringkali kita terjebak dalam melihat setting permasalahan. Bukannya membahas pemecahan atau jalan keluar dari issue dasar, kita malah terjebak pada situasi : 'karena dia berbeda pendapat dengan saya, maka dia salah. Dia sedang dalam masalah, untuk itu dia harus dikoreksi atau diluruskan dulu'. Saat target kerja baru tercapai sekian persen, yang lebih dulu kita lakukan seringkali mencari-cari dan mempertanyakan penyebab-penyebab kenapa kinerja menurun, yang kalau pikiran sudah dibajak emosi, ujung-ujungnya menyalahkan. Kalau kita dan anak buah sudah bete, apa hasilnya ?

Itulah sebabnya sekarang-sekarang ini saya mulai jarang menggunakan kata tanya 'mengapa', kecuali jika dalam suasana analisis persoalan. Saya lebih suka menggunakan kata tanya 'bagaimana'. Oke mobil itu mogok, so, bagaimana supaya jalan lagi ? Oke sudah tanggal segini tapi target sales masih 50%. So, bagaimana dalam waktu yang tersisa ini bisa mencapai 100% ? Oke, customer komplain, so, bagaimana supaya dia senang lagi dan reputasi Perusahaan selamat ? ...

Suatu hari, ibu saya berdebat dengan adik ipar saya. Ibu bilang AC di kamarnya sudah 1 tahun tidak diservice, sementara adik ipar saya mengatakan 6 bulan. Kalau tidak salah hitung, eyel-eyelan mereka berlangsung sekitar 3 menit, karena mereka masing-masing menyampaikan cerita lengkap untuk meyakinkan lawan bicara mengapa mereka mengatakan 1 tahun atau 6 bulan. Sampai suatu titik mereka mulai emosional, akhirnya saya menengahi : "Weizzzz ... gitu aja kok repot ... mau 6 bulan kek, mau 1 tahun kek, yang penting AC itu sekarang perlu diservice toh ? ... Ya udah, besok kita telpon tukang AC ...". Seketika, mereka berhenti dan tertawa ..... Case closed.

Hormatilah Orang yang TIDAK Berpuasa (2)

Sudah lama orang Islam tidak dilatih keluar dari kecengengan. Kalau ada seorang muslim pindah ke agama lain yang disalahkan adalah agama lain itu. Labelnya Kristenisasi. Mengapa kita tidak menyalahkan diri kita dan orang Islam di sekeliling orang itu kok tidak membantu dia secara ekonomi, sosial dan spiritual untuk memberi perasaan 'ada penolong dari saudara sendiri', serta memahamkan nilai & ajaran sehingga dia makin yakin dengan ajaran Islam dan 'imun' terhadap provokasi pemikiran dari keyakinan agama lain ?. Apa bedanya dengan Islamisasi ?

Kalau ada tetangga Kristen membuat kebaktian, dianggap mengganggu lingkungan dengan lagu-lagu rohaninya. Padahal kalau ada tahlilan, atau jam 3 pagi sebuah langgar di tengah pemukiman melantunkan ayat-ayat suci melalui speaker yang volumenya dipasang pol, tetangga-tetangga yang Islam adem-adem saja.

Kita mungkin pernah mengejek, ah, orang Kristen masak ibadah pake nyanyi-nyanyi bisa masuk surga ? Lalu, apa bedanya dengan bacaan sholat yang dilantunkan Imam dengan lagu hijaz, shoba, ala Mesir, ala Madinah, ala Mekah?

Ada seorang pemancing yang hanya menangkap ikan kecil saja. Kalau pas dapat ikan besar, ikan itu dikembalikan lagi ke sungai. Ketika ditanya, kok yang diambil cuma ikan kecil ? Jawabnya : "karena penggorengan saya di rumah kecil. Kalau saya bawa ikan besar, penggorengannya tidak cukup untuk memasak ikan besar tadi".

Rasanya kita musti memperbesar penggorengan dalam pikiran kita untuk menampung hal-hal yang selama ini 'tidak cukup' kita tampung dalam 'penggorengan' yang kita punyai.

Nah, jika untuk mendapat buah kita harus menanam dulu. Jika mendapat nafkah kita harus bekerja dulu. jika untuk mendapat kepercayaan dari boss kita harus membuktikan hasil kerja dulu. Maka kalau kita ingin dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, kenapa kita tidak menghormati dulu orang yang tidak berpuasa ?

Ini berandai-andai saja ... Misalnya judul di atas diubah jadi 'hormatilah orang yang sedang berpuasa', maka siapa yang lebih mulia ? Orang yang sedang tidak berpuasa, atau orang yang berpuasa ? Jawab saya, tentu orang yang tidak berpuasa itu, karena mereka menghormati kita yang berpuasa. Anda boleh berargumen, lho mulia di mata manusia kan belum tentu mulia di mata Allah. Jelas dong yang berpuasa lebih mulia daripada orang yang tidak berpuasa di mata Allah ? Jawab saya, saya tidak tahu kecuali anda tanyakan langsung kepada Allah.

Jadi, bisakah kita membuat mereka yang tidak berpuasa, baik yang karena sakit, haid, non-muslim, tetap makan dengan rasa nyaman ? tidak perlu repot sembunyi-sembunyi ? Bisakah kita membuat pencari rejeki Tuhan melalui warung makan tetap membuka warungnya di siang hari, tanpa harus tidak enak hati, tanpa kita merasa terganggu dan tetap teguh berpuasa ? Jawaban sesungguhnya bisa. Tinggal kita mau apa tidak .... ?


Hormatilah Orang yang TIDAK Berpuasa (1)

Ketika judul tadi kupasang sebagai status di Yahoo Messenger, seorang sahabat mengirimkan pesan : "Kok statusnya kayak gitu ?". "Memang nggak boleh ?" jawabku. "Nggak lazim ah ..." Katanya.

Aku senang mendapat 'protes' seperti itu. Itu berarti kesempatan buat aku memaparkan pemikiran-pemikiranku tentang judul tadi sekaligus menarik pelajaran yang mungkin kudapat.

Pelajaran pertama, memang 'kelaziman' itu seringkali kriteria hasil bentukan lingkungan sosial diprogram dalam pikiran di masa lalu. Sama dengan saat kita disodori kertas putih, lalu diminta membuat pemandangan, maka gambar yang kita buat cenderung tidak jauh dari gunung, sawah, matahari, dan burung-burung berbentuk 'm', atau pantai lengkap dengan perahu dan pohon kelapanya. Definisi atau peta mental tentang pemandangan jadi berkisar simbol-simbol itu. Ketika panca indera menangkap sesuatu yang berbeda dengan rekaman masa lalu itu, maka dianggap tidak lazim. Sampai di sini tidak masalah. Masalahnya adalah ketika perbedaan dan ketidaklaziman itu diberi arti/tafsir dengan 'tidak boleh', 'salah', 'dilarang', 'haram', 'musuh'. Lebih lagi kita tambahkan dengan perasaan 'tidak senang', 'sebel', 'marah', dst kepada arti tadi. Lengkaplah kita dipenjara oleh kenyamanan definisi masa lalu kita.

Kalau sudah begitu, bisa-bisa yang jadi masalah bukan lagi substansi judulnya, tapi bergeser jadi masalah hubungan baik dua pribadi yang terganggu. Mirip anak kecil yang berkelahi memperebutkan mainan. Mainan itu bernama tafsir. Kalau itu yang terjadi, apa hasilnya ? ...

Ada Rejeki Buat Yang Bekerja

"Jadi warung bakmi itu sudah lama mbak ?", tanya saya ke Mbak Anas sesaat keluar dari Bakmi Kadin di Yogyakarta. "Iya, sebelum bakmi Kadin seperti ini", Jawab Mbak Anas.

Warung itu cukup kecil dibandingkan Bakmi Kadin yang membuka tempat di kiri dan seberang warung itu. Bakmi Kadin sendiri terkenal di Yogyakarta. Hampir setiap saya ke Yogyakarta, entah dinas atau plesir, saya mampir ke Bakmi Kadin ini. Bakmi Kadin membuka 2 tempat yang jaraknya hanya 10 meteran. Nah, warung bakmi kecil tadi seolah 'diapit' kedua tempat Bakmi Kadin ini.

Di dalam warung bakmi tadi ada sekelompok orang yang makan. "Gila ya Mbak, yang punya warung berani juga jualan di sini", ujar saya.

"Ya, dia punya langganan sendiri Pak" jawab Mbak Anas.

Sebagai dosen marketing di MM-UI, pikiran saya langsung bergerak menganalisis panorama ini lewat kacamata konsep-konsep marketing yang biasa saya ajarkan di kelas. Meskipun jarak berdempetan, tapi warung bakmi kecil dan Bakmi Kadin punya segmen pasar dan positioning-nya sendiri-sendiri di benak konsumennya.

Tapi penjelajahan pikiran saya tidak berhenti sampai di situ. Pikiran saya terus 'naik' dan akhirnya berhenti pada satu tingkatan 'makna'. Bahwa, fenomena itu memberi sebuah pelajaran yang bernama keyakinan dan keikhlasan dalam bekerja. Yakin bahwa setiap usaha mencari nafkah dan keberhasilan akan direspon oleh alam dan diridhoi oleh Tuhan. Maka jika pemilik warung itu yakin akan hidup dari warung itu, maka hiduplah dia ....

Oh ya, saya menamakan warung tadi 'warung bakmi kecil' karena saya tidak sempat melihat nama warung itu. Pada kedatangan ke Yogya berikutnya, saya ingin mencicipinya ...

Pak Husni Tetap Bercerita

Saya menoleh ke belakang ... sebagian besar penumpang sudah memejamkan matanya. Tinggal beberapa orang yang masih terjaga. Itu juga satu-dua matanya menerawang entah kemana. Tetapi Pak Husni -- tour guide PT Eurasia Wisata-- tetap bercerita di atas roda yang membawa rombongan Yayasan Dharma Bumiputera kembali dari Tour de Yogya. Ia sedari tadi memegang mic mengantarkan cerita tentang apapun yang bisa mengisi celah pikiran penumpang dalam menempuh kilometer demi kilometer menuju Jakarta. Mulai dari sejarah cikal bakal nama suatu tempat, sampai asal muasal nama makanan. Mulai dari cerita yang benar sampai yang dipelesetkan. Ia seperti tahu betul arti pekerjaannya : menghibur.

Ia seakan tidak peduli apakah penumpang menikmati atau sekadar mendengar ceritanya. Selama masih ada mata terbuka ia tetap bercerita. Ia baru akan menutup ceritanya kalau semua penumpang sudah tampak memejamkan matanya. Ia tetap menjalankan tugasnya : bercerita. Tak peduli ketika ia bercerita orang riuh bertepuk tangan atau sepi. Ia tetap bercerita.

Memang bukan hanya ia. Saya juga sering menemui penyanyi cafe yang tetap menyanyi bahkan ketika pengunjungnya hanya satu orang. Mereka tidak menyerahkan kuasa kepada pengunjung untuk menentukan apakah ia menyanyi dengan antusias atau tidak. Ia tetap menyanyi. Sama dengan Pak Husni yang tetap bercerita dengan raut tak berubah ketika seluruh mata memandang wajahnya, atau hanya tinggal sepasang mata. Dan itulah yang tercatat dalam benak saya akan sebuah pelajaran yang bernama : dedikasi ....

Mendadak Dangdut

"Kamu menyanyi masih untuk diri sendiri. Saya menyanyi untuk orang lain. Bagaimana menghibur penonton dan membuat mereka melupakan kesusahan mereka sehari-hari, itulah tugas penyanyi dangdut", ujar Yati Asgar (Asal Garut) kepada Iis (Titi Kamal) dalam film 'Mendadak Dangdut' yang saya tonton di RCTI.

Seketika itu saya 'mendadak' mendapatkan refleksi dan introspeksi. Kalau selama ini saya bekerja, mengajar, melatih, memimpin, pertanyaaannya adalah : apakah saya melakukan itu untuk diri sendiri, atau untuk orang lain ?. Ketika mengajar atau memberi training apakah motif 'bawah sadar' saya sebelum, ketika, dan sesudah melakukannya adalah untuk 'show of force' bahwa saya pintar dan hebat? atau 'nipu mereka' alias manajemen citra diri karena apa yang saya ajarkan kepada mereka tidak saya kerjakan untuk diri sendiri -- alias omong doang?, atau dapat honor yang minimal ukuran 'lumayan' biar saya punya gaya hidup enak ? Atau memang saya mengajar untuk membuat orang lain mendapatkan pencerahan, perubahan, dan kualitas kehidupan yang lebih baik ? ...

Memang boleh melakukan sesuatu untuk kepentingan diri sendiri, tapi tempatkan itu nomor dua. Itupun judulnya adalah 'belajar'. Ya, kita mengajar agar kita belajar. Titik. Sisanya akan otomatis didapatkan tanpa kita pusingkan lagi. Reputasi dan kesejahteraan hanyalah efek samping. Karena kita mendapat dari memberi, dan kita bahagia dari memberi.

Siapa Yang Berubah Dulu ?


"Nggak tau nih, kalo sama 'XXX 'kimianya' nggak nyambung. Dulu sih masih lumayan bisa komunikasi, tapi sejak dia jadi pejabat jadinya dingin".

"Mungkin dia dapet informasi dari 'YYY' tentang kamu" (baca : terinduksi)
, kata istri saya

"Mungkin aja", kata saya

"Sebenernya aku juga agak kurang nyambung kimianya sama 'ZZZ'. Dia jaim sekarang. Pak 'XYZ' juga. Padahal dulu waktu Pak 'XYZ' jadi kepala bagian baik bener sama aku. Ngemong gitu. Nggak tau sejak dia jadi kepala departemen kok jadi kayak berpolitik gitu".

Perbincangan tadi terhenti karena mendadak saya seperti terprogram untuk introspeksi. The meaning of communication is the response you get. Pertama, kalau seseorang menilai, sebenarnya ia bukan menilai sebagaimana sesuatu atau seseorang itu apa adanya, tetapi sebagaimana ia adanya. Kedua, jangan-jangan perilaku mereka terhadap aku itu ya cerminan dari perilaku saya sendiri. Jangan-jangan saya yang terlalu tinggi egonya sehingga mengharapkan mereka yang harus berperilaku seperti yang saya inginkan. Jangan-jangan malah saya yang 'jaim' sehingga mereka merespon seperti itu. Buktinya, mereka juga punya 'lingkungan' yang menerima mereka seperti itu.

Naluri 'mind provocator' yang mulai terbentuk mengingatkan saya untuk menghentikan 'rekayasa' peta mental menurut program dan memory files sendiri, lantas hanya melihat faktanya dulu. Rupanya tantangannya adalah bagaimana saya bisa 'diterima' dan disambut hangat oleh mereka. Saya sendiri yang harus mengubah formula kimia sosial kepada mereka. Rasanya perlu jadi orang yang bisa masuk ke lingkungan manapun untuk bergaul. Jangan berharap orang lain berperilaku seperti apa yang kita harapkan. Itu berarti memaksakan 'peta mental' kita tentang pergaulan kepada orang-orang sekitar kita. Kalau itu kita lakukan, kebanyakan kita akan kecewa. Terima saja faktanya. Acceptance, itu kuncinya.

Kita tidak bisa meminta orang lain berperilaku sebagaimana kita inginkan, tapi kita bisa mempengaruhi perilaku mereka dengan mengubah perilaku kita sendiri. Mengubah yang berarti memperbaiki dan menyesuaikan, tanpa takut kehilangan jati diri dan karakter kita. Butuh tenaga dan keberanian keluar dari comfort zone untuk itu....

Soal dan Jawaban

Cobaan berat membesarkan kita. Yang membuat kita menderita adalah ingin semua sesuai dengan keinginan kita. Begitu keadaan terjadi, terima keadaannya. Belajar dari kelapa, untuk mendapatkan santan sebagai intisarinya, kelapa harus diputus dari pohonnya, jatuh, dicabut sabut-sabutnya, dipecah buah kelapanya, diparut, akhirnya baru dapat santan. Sama dengan intan tercipta dari batu biasa yang mendapatkan tekanan dan panas yang luar biasa. Atau pedang yang bagus berasal dari besi biasa yang dipanaskan dan ditempa.

Yang membuat kita lulus ujian bukan soalnya, tapi jawaban kita terhadap soal ujian tadi. Seringkali kita tidak pernah bisa memilih soal. Soal itu disodorkan begitu saja kepada kita. Yang membuat kita lulus adalah tepat tidaknya jawaban kita atas soal tadi. Dan kunci yang membesarkan peluang kita bisa menjawab soal tadi adalah persiapan. Persiapan untuk memiliki jawaban yang benar. Itulah gunanya belajar mencari ilmu. Sekali lagi belajar untuk mencari ilmu, sebab ada yang hadir belajar tidak mendapat ilmu.