Jumat, Februari 20, 2009

Anak Nakal

Seorang pendengar Smart FM mengirimkan email dan curhat, bahwa ia sewaktu kecil sangat dikekang oleh orang tua. Ia menderita bronchitis, tapi sekarang sudah sembuh. Oleh orangtuanya ia dilarang kemana-mana. Bahkan hanya untuk ke warung yang jaraknya empat blok dari rumahnya. Karena terkekang, akhirnya ia 'sengaja' berontak. Ia sudah merokok kelas 4 SD, dan minum minuman keras sepulang sekolah waktu SMP. Ia menamai dirinya anak nakal (ia menuliskannya dengan tegas, bahwa "sekarang saya nakal"). Ia lantas mengeluh kenapa orangtuanya begitu. Cara orangtuanya mendidik itulah yang membuat ia menjadi seperti ini. Ia bilang tidak akan nakal lagi kalau orang tuanya juga mengubah gaya mendidiknya.

Ayah Edy sang narasumber yang pakar pendidikan anak dan kecerdasan holistik itu menerangkan bahwa motif orangtua mendidik si anak ini sudah benar. Hanya memang orangtua perlulah mengikuti perkembangan zaman untuk menyesuaikan cara dan pendekatan kepada anak dalam mendidiknya. Lumayan dapat inspirasi untuk bekal saya jika menghadapi situasi serupa.

Di dalam mobil, saya berkhayal, seandainya anak itu bertanya kepada saya, maka saya akan memulai 'provokasi' saya dengan bertanya : "Apa maksud baik dari orangtuanya melarang sana-sini ?". Ini sama dengan Ayah Edy.

"Menurut 'bunga' (nama samaran yang saya pinjam dari koran Warta Kota atau Pos Kota kalau menyamarkan nama seorang perempuan) apa maksud baik orang tua melarang Bunga ke sana-sini ?"

"Apa artinya maksud baik itu buat Bunga ?"

"Dengan tujuan baik itu, apa yang akan terjadi terhadap bunga ?"

"Kira-kira apa yang akan Bunga lakukan seandainya tujuan baik itu benar-benar terjadi ? Apakah Bunga akan marah kepada orang tua Bunga ? atau berterimakasih ?"

"Ternyata Bunga punya keinginan sendiri bukan ? Apa yang sudah Bunga lakukan agar orang tua tahu, memahami, dan mendukung keinginan Bunga ?"

"Dengan cara yang sudah pernah Bunga lakukan, orang tua tidak setuju ? .. Lalu, apa yang belum pernah Bunga lakukan untuk membuat orang tua setuju dengan ikhlas ?"

"Kalau Bunga menyebut diri 'nakal', memangnya yang disebut 'nakal' itu seperti apa ?

"Lalu bagi Bunga, yang disebut "baik" itu seperti apa ?"

"Kalau sekarang ini Bunga menjadi apa yang Bunga sebut sebagai 'nakal', apakah ini keputusan Bunga sendiri atau keputusan orang tua Bunga sehingga Bunga menjadi 'nakal' ?

"Kalau ini akibat orang tua, sekarang seandainya orang tua Bunga sudah tiada ... mereka sudah meninggal, sehingga mereka tidak bisa melarang-larang Bunga lagi, apakah Bunga tetap memutuskan untuk 'nakal' seperti saat ini ? ... Apakah 'nakal' ini yang benar-benar Bunga mau ?

"Jadi 'nakal'nya Bunga itu keputusan Bunga atau orangtua Bunga ? Mereka yang memutuskan atau yang mempengaruhi ?"

"Jadi yang memutuskan Bunga bukan ?"

"Berarti, Bunga jugalah yang punya kuasa untuk memutuskan Bunga menjadi anak 'baik' ?"

"Dengan nakalnya Bunga seperti saat ini, kira-kira tiga tahun lagi Bunga menjadi orang yang seperti apa ? .. Lima tahun lagi seperti apa ? ... Apakah itu yang Bunga mau ?

"Kalau Bunga menganggap masalahnya dimulai dari orang tua .. okelah ... berarti mereka bermasalah .. mereka tentu butuh bantuan untuk memecahkan masalah mereka bukan ? .. Siapa yang bisa menolong masalah mereka ? ...

"Kalau Bunga menganggap mereka sendirilah yang bisa menolong dirinya sendiri, maka mereka juga melihat Bunga bermasalah dengan 'nakal'nya Bunga saat ini, sehingga mereka menganggap Bungalah yang bisa menyelesaikan masalah Bunga sendiri, bukan ?"

"Okelah, kalaupun Bunga tetap menganggap mereka bermasalah, maka nyatanya mereka sampai sekarang tetap belum bisa berubah ... berarti masalah mereka tetap ada sampai sekarang ... So, maukah Bunga menolong mereka memecahkan masalah mereka ? " ...

"Menurut Bunga, apa yang Bunga perlu lakukan untuk menolong mereka agar mengubah gaya mendidik mereka sehingga apa yang Bunga inginkan terwujud ?"

"Apakah orang yang bermasalah bisa ditolong oleh orang yang bermasalah juga ? Bisakah maling disadarkan dan diubah perilakunya oleh maling juga ?"

"Berarti, supaya Bunga bisa menolong mereka yang bermasalah, Bunga perlu jadi seperti apa?"

"Lalu, apa saja yang perlu Bunga lakukan agar Bunga sanggup untuk menolong orang tua Bunga yang bermasalah itu ?"

Wah, ... namanya juga menghayal, bisa susah disetop pertanyaan-pertanyaan lanjutannya ...***

Gratisan bisa sukses ?


"Bozz ... seminar ente ada biayanya nggak ?", salah seorang kawan bertanya.
"Ya ada lah ...", jawab saya.
"Wahhh ... ntar aja kalo udah gratis yeee", katanya.

Seorang kawan lainnya juga bilang dalam sms-nya, "Ama temen gratis dong ...".
"Diskon 100% ya bro' ..", sms lainnya masuk.

Itu adalah sebagian dari lebih banyak lagi orang yang saya kenal berharap (dan meminta) mereka bisa mengikuti workshop saya tanpa bayar.

Sebagai binatang ekonomi, permintaan-permintaan itu tentu wajar-wajar saja. Doktrin pelajaran Ekop (Ekonomi dan Koperasi) masa SMP dan SMA adalah 'manfaat maksimal, pengorbanan minimal'. Kalau teman-teman saya tadi malah 'pengorbanan maksimal, tanpa pengorbanan sama sekali'. Bagi saya lebih wajar lagi karena dalam kamus saya, itulah ciri-ciri orang yang tidak sukses.


Buat mereka yang menyadari adanya keinginan sukses (dan apa yang ada dalam alam pikir bawah sadarnya, itu yang akan mewujud menjadi kenyataan), mereka juga tahu menyadari akan keikhlasan untuk berkorban. Sukses itu dengan pengorbanan. Jer basuki mowo beo. Tidak ada suatu sukses-pun tanpa pengorbanan.

Ketika issue peminta gratis ini saya bincangkan dengan Pak Hari Subagya, trainer yang saat itu ilmunya sedang saya 'download', Pak Hari biasanya mengatakan "Bayar aja penuh dulu, nanti saya kembalikan 100%".

Saya bilang ke Pak Hari, bahwa saya telah menjawab permintaan gratis itu dengan, "Saya bukannya tidak bisa memberi gratis, tapi tidak mau. Kalau saya mau beri gratis, saya akan beri karena saya mau, bukan karena ada yang minta. Saya ingin anda sukses. Ada nggak sih orang sukses tanpa pengorbanan ?. Uang yang anda bayarkan untuk mendapat ilmu itu hanyalah simbol dari besarnya pengorbanan anda. Makin kuat keinginan anda sukses, makin sanggup anda membayar harganya. Kalau anda membayar, maka proses menanam ada dalam genggaman anda. Buah sukses yang dihasilkan sepenuhnya hak anda. Tapi kalau anda ingin buah tapi tidak mau menanam, maka pohon kesuksesan tidak berada di genggaman anda. Kesuksesan tidak berada dalam kontrol anda. Anda menunggu belas kasihan dari orang lain yang punya buah agar mau berbagi untuk anda". Panjang bukan khotbah saya lewat sms ini ?

Lain waktu, saya berbalas comment di facebook dengan provokator bangkotan Prie GS. Yang saya sukai dari Mas Prie adalah bahasanya yang benar-benar lugas dan mantap. Pernah ia menulis status, dia menyukai sambal buatan sang isteri karena pedasnya brutal. Ia menamakan sambal itu dengan 'sambal iblis'.

"Mas, mbok aku dikirimi bukunya, biar pinter", katanya.

Saya yang sudah lama mengagumi Mas Prie lalu memanfaatkan momen ini untuk melakukan manuver politik agar bisa bertemu langsung dengan beliau dan tukar-tukar pendapat (siapa tau bisa juga tukar pendapatan). Tapi pelajaran yang saya dapat adalah bahwa politik praktis yang rumit-rumit itu kalah oleh kesederhanaan esensial. Saya menjawab :

"Wah, lha wong saya ini justru belajar dari Mas Prie. Pak Fachri saja bilang kalau saya ini Mas Prie versi muda (mohon kata 'muda' ini diterima dengan ikhlas). Jadi siapa sebenarnya yang jadi gurunya ? Sebaiknya ijab kabul penyerahan buku ini pas Mas Prie lagi di Jakarta saja, sambil kongkow-kongkow minum teh (karena saya tidak ngopi)".
Mas Prie langsung membalas lagi, "Alahhh, sampeyan itu cuma diminta ngirim buku kok banyak alasan .." ***

Sabtu, Februari 07, 2009

Terampil itu menghindarkan dosa


Saya memberi tanda lampu dim kepada mobil di depan yang berjalan sangat lambat. Jalan dua jalur itu justru sebelah kiri lebih cepat daripada kanan. Padahal, kelaziman etika berlalu lintas, jalur kanan mustinya lebih cepat karena dipakai untuk menyalib. Karena sudah telanjur menyandang 'gelar' sebagai 'Mind Provocateur', sekalian saja saya jalankan 'identitas' saya itu.

Saya masih mengambil posisi di belakang sedan silver tadi. Beberapa mobil di belakang saya sudah dari tadi pindah ke jalur kiri dan tancap gas mendahului kami. Kembali jari tengah dan telunjuk saya menekan gagang lampu dim. Berkali-kali saya dim tetap tidak mau minggir. "Gila nih orang, kagak ngarti apa kalo jalur kanan buat cepat ?", kata saya dalam hati. Kalimat itu langsung diproses oleh otak saya dengan menghubungkannya ke memori yang berisi image pengalaman dan hal-hal yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif. Dalam sepersekian detik, respon yang muncul tanpa intervensi kesadaran saya itu adalah makian 'geblekkkk', tapi dalam hati.

Saya melongok ke arah lebih depan. Jarak antara sedan ini dengan mobil depannya sangat jauh. "Busetttt .. orang ini bisa nyetir nggak sih ??" ... Gambaran dan kata-kata ini memicu kembali munculnya berbagai perasaan jengkel, lantas terakumulasi. Saya menekan klakson beberapa kali. Pada tekanan klakson terakhir, bunyi klakson mobil saya sudah ada muatan emosi marah. Bukan bunyi klakson persahabatan lagi. Sesuai dengan prosedur defense driving, setelah 'puas' mengintimidasi pengemudi sedan silver itu (persisnya hopeless), saya menoleh ke spion dalam, menghidupkan lampu sein kiri, melihat ke arah spion kiri, dan menyalib sedan silver itu dari kiri dan bergegas meninggalkan mobil 'terkutuk' itu. Saya melihat dari spion, jarak saya dengan mobil itu semakin jauh. Di belakang mobil itu masih banyak 'korban' kelambanan mobil itu.

Apakah saya berhasil memprovokasi mobil itu ? ... Sama sekali tidak. Mobil itu tidak beringsut sedikitpun baik jalur maupun kecepatannya. Yang terprovokasi adalah saya sendiri. Kemungkinan besar saya berdosa karena 'kalah' terbajak oleh emosi, sehingga melontarkan makian-makian dalam pikiran saya sendiri. Saya mengalami 'mental disorder' tadi.

Tapi apakah kekalahan saya itu merugikan ? .. Tidak bermanfaat ?. Kalau saya diam-diam saja, saya tentu saja rugi total. Maka, saya share kepada anda, bahwa berjalan di jalur paling kanan dengan kecepatan yang lebih lambat dari jalur kiri amat sangat menyusahkan orang lain.

"Sebentar .. anda harus tahu dong masalahnya kenapa orang itu ada di jalur kanan ..., nggak boleh berprasangka apa-apa dulu ... siapa tau dia mengira orang bisa bebas menyalib dia dari jalur kiri. Atau dia belum terampil mengemudi, jadi takut ngebut, atau dia bawa anak kecil sehingga jalannya pelan-pelan, atau apapun itu ... Lagipula kamu maki dia juga dia nggak dengar .. kamunya bisa berdosa memaki orang lain ... ?", mungkin anda bilang begitu.

Ooo .. jadi maksudnya saya disuruh 'biarin aja' ? .. Hmmm ... mungkin sekali saya berdosa ... Tapi buat apa saya perlu tahu kenapa orang itu lambat di jalur kanan ? Sama dengan buat apa saya perlu tahu kenapa seseorang korupsi. Kalaupun sudah dapat alasannya, tetap saja orang itu korupsi. Korupsi itu salah. Berjalan lambat di jalur kanan dalam konteks keadaan lalulintas yang seperti saya alami tadi itu salah.

Jadi dengan berusaha memahami, berempati -- atau kalau orang-orang NLP bilang perlu dilakukan reframing --, itu membuat saya jadi permisif dengan perilaku berkendara tadi ? Lain kali kalau ada kejadian serupa, saya cuekin mobil itu dan salib saja dari kiri. .... Kalau semua orang permisif, membiarkan perilaku seperti itu, kapan negeri ini jadi tertib dan berkah ?

Seandainya dia ternyata tidak tahu bahwa berjalan lambat di jalur kanan itu salah, pertanyaan saya, bagaimana caranya dia dapat SIM ? Bukankah sebelum ujian SIM seharusnya dia sudah baca-baca buku aturan dan etika berlalu lintas ? Kalau dia tidak tahu, itu sendiri sudah salah. SIM 'nembak' ? ... Ya mbok kalau 'nembak' -- yang berarti berhutang kompetensi -- dibayar dengan cara belajar lalu lintas setelah 'nembak' itu. Ngono yo ngono, ning ojo ngono orang Jawa bilang. Tidak terampil mengemudi kendaraan ? Pengemudi baru ? ...

Saya jadi dapat insight baru, bahwa ternyata kalau saya menerampilkan diri dalam hal apapun, selain saya 'selamat' mencapai tujuan, juga tidak mengganggu orang lain. Bayangkan kalau saya ini seekor kuda yang menarik sebuah kereta kencana bersama-sama sembilan teman-teman kuda lainnya, maka kecepatan kereta kencana bukan ditentukan oleh kuda yang paling cepat, tapi oleh kuda yang paling lambat. Nah, kalau kalau yang paling lambat itu saya, berarti gara-gara saya, kecepatan kereta kencana jadi lambat. Kuda yang harusnya cepat jadi frustrasi harus menyesuaikan kecepatannya dengan kemampuan berlari saya. Sebaliknya, kalau kesembilan kuda lainnya terampil berlari cepat, memaksa untuk berlari cepat dan mengabaikan saya, maka saya akhirnya seperti 'terseret-seret' dan 'numpang' power kuda-kuda lain. Bisa-bisa saya mati terseret. Apapun itu, ujung-ujungnya kecepatan kereta kencana tidak optimal. Inilah yang mungkin mendasari ajaran di defense driving, bahwa kalau kita mengemudi kendaraan di jalan yang lebarnya sulit untuk membuat mobil lain menyalib, maka hendaknya kecepatan mobil kita sama dengan kecepatan rata-rata kendaraan-kendaraan di depan. Jangan karena egois merasa punya power yang bersumber dari apapun, atau memakai 'name tag' sunday driver, lalu mengorbankan kepentingan orang lain.

Ya ya ya ... Rupanya, kalau saya terampil mengemudi, maka saya telah berjasa juga menghindarkan orang lain terjerumus dalam dosa karena memaki saya ...***