Bertahun-tahun menyapu dan mengepel, membuat saya tahu bagaimana syarat dan metode menyapu dan mengepel yang memberikan hasil paling bagus. Berapa kali usapan yang harus dilakukan ke depan, belakang, kiri, atau kanan yang pas. Jenis alat pel (mop) yang seperti apa yang enak dipakai dan memberikan hasil. Merek cairan pembersih lantai mana yang paling bagus untuk jenis lantai tertentu.
Awalnya, mengepel lantai tidaklah mudah. Kotoran di lantai tidak hilang hanya dengan dua-tiga kali usapan. Dibutuhkan minimal tujuh kali usapan ke arah yang sama untuk membuat kotoran yang melekat hilang. Saya bisa berada di satu spot cukup lama untuk mengerjakan puluhan kali usapan ke arah depan-belakang, kiri-kanan, diagonal, dan kadang-kadang gerakan memutar. Namun jika hal itu dilakukan setiap hari, lama-kelamaan cukup dengan 2-3 usapan lantai sudah bersih dan mengkilap, dan waktu kerja saya menjadi lebih singkat. Tetapi jika seminggu saja tidak mengepel lantai karena tugas ke luar kota, kembali saya membutuhkan waktu dan tenaga ekstra untuk memulai mengepel lagi.
Karena bebas bereksperimen dengan penuh ketekunan bertahun-tahun, saya lantas punya ’feeling’ yang’sensitif’ untuk mengenali ada remah kotoran jatuh ke lantai atau terlewatkan oleh sapuan mop. Setelah mengepel saya biasanya duduk sejenak untuk menikmati kilapnya lantai hasil kerja saya. Pekerjaan ini saja bisa membuat saya bahagia. Jika ayah-ibu dan para tetamu saya tampak ’ridho’ dan senang dengan kilap dan bersih lantai rumah, kebahagiaan saya bertambah.
Membersihkan hati mirip dengan mengepel lantai tadi. Pada awalnya terasa berat. Kotoran sombong, pamer, takabur, iri, dengki, tamak, terasa begitu susah hilangnya. Tidak cukup hanya istighfar. Diperlukan tobat yang besar dalam waktu yang tidak singkat. Tapi jika membersihkan hati itu dilakukan setiap hari, setiap waktu, dengan kemauan keras dan ketekunan, lama-kelamaan hati akan menjadi bening. Cahaya Ilahi di pusat hati dapat memancar sempurna melewati dinding bening hati, mengalir keluar tubuh bersama aura kedamaian, keteduhan, kebijakan, integritas, dan kharisma diri. Kita menjadi tahu adanya kotoran kecil yang menempel di dinding hati, dan dengan lebih mudah untuk melenyapkannya. Tapi jika pekerjaan ’mengepel’ hati berhenti beberapa hari saja, bisa jadi kita harus bekerja keras lagi untuk membersihkan hati yang sudah mulai kotor.
Seseorang bercerita kepada saya, suatu hari Gus Dur dikunjungi pejabat pemerintah. Ketika akan dijamu minuman, sang tamu pejabat tadi berujar, "Terimakasih Gus, saya sedang puasa. Gus Dur tidak puasa ?", Jawab Gus Dur, "Tidak..". Tamu itu menyambung lagi, "Kenapa Gus?", Gus Dur menjawab, "Takut lapar ...".
Buat mereka yang penafsiran berhenti pada tataran simbolis dan permukaan, tentu mereka akan menghujat Gus Dur. Mosok kiyai ngomong gitu ? Tipis banget imannya ... Tapi buat mereka yang meneruskan perjalanan penafsiran sampai ke tempat paling dalam akan paham bahwa itulah cara Gus Dur memberi pelajaran kepada tamu pejabat itu, bahwa kesalehan tidak usah dipamerkan. Bahwa akhlak menghormati kunjungan silaturahmi antar manusia semestinya di atas kepentingan pribadi (puasa sunnah). Meskipun bisa saja ditimpali lagi oleh kelompok lain : ... yang sombong tamu pejabat itu atau Gus Dur ? .....
3 komentar:
hai Mas
numpang lewat dulu ya Mas
(adjie -
Terinspirasi dari waktu main kerumah ya Pap...(maklum belum dipel selama 3 hari, jadi perlu 20 kali gosokan tiap pelnya..hehehe)
"bisa saja ditimpali lagi oleh kelompok lain" : kalau kesalehan tak usah dipamerkan utk apa masuk agama? Perhatikan "masuk" perkataan ini, karena ada agama yg bisa berfungsi tanpa penganutnya masuk, yakni: unorganized religion (agama yg tidak terorganisir). Agama yg semacam inilah yg sepanjang zaman tak pernah terlibat dlm sectarian violence, Inquisition, you name it...
Posting Komentar