Selasa, Oktober 30, 2007

Hayoo, Salah Siapa ?

Saya meng-klik slideshow di laptop. Di depan saya ada 24 orang guru TK Alifa & TK Bunyan. Semuanya berjilbab. Saya akan menayangkan potongan-potongan gambar. Setiap slide tampil, mereka saya minta menebak gambar apa itu. Dada agak berdegup kencang karena apa yang akan saya tampilkan ini berisiko tinggi. Pada slide ke-4 potongan gambar 'sangat' mengarahkan pikiran audience ke sebuah gambar 'porno'. Ada gambar seperti jemari wanita menyentuh pangkal paha. Itu karena di slide sebelumnya mereka menebak itu gambar kaki. Kalau audience-nya mahasiswa atau para salesperson mungkin menjadi hiburan. Tapi ini para guru TK yang seluruhnya berjilbab.

Benar saja, pada gambar ke-4 tak satupun mereka berani menyebut gambar apa itu. Saya tersenyum sambil berujar, "Saya berisiko tinggi menampilkan gambar ini. Tapi dari kalibrasi saya, saya tau apa yang ibu-ibu pikirkan". Segera saya tekan tuts laptop untuk ke slide berikut. Seketika gambar utuh muncul dengan posisi dibalik sehingga jelas itu gambar seorang wanita aristokrat sedang minum dengan jemari tangan menyentuh pangkal bahu. Seluruh tafsir audience pada slide sebelumnya berubah sama sekali. Tampak wajah merekapun lega.

"Jadi, masalahnya terletak di gambar ini atau pikiran anda sendiri ?", tanya saya. Mereka menjawab serempak, "Pikiran kita Pak".
"Yak, masalahnya adalah ada pada tafsir ibu-ibu terhadap gambar ini". Jadi kalau waktu melihat slide ke-4 ibu menjadi tegang, malu, bahkan mungkin marah, itu salah siapa?" tanya saya lagi
"Ya salah kita sendiri pak", sahut mereka.

"Ternyata respon ibu-ibu kan bukan karena gambarnya, bukan ? Tapi karena di pikiran ibu, gambar tadi ditafsirkan jadi gambar 'porno' bukan ? ... Padahal kenyataannya gambar tadi gambar wanita aristokrat sedang minum," tambah saya.

Begitu juga, kalau kita kesal karena dimarahi atasan. Kekesalan kita berasal dari arti yang kita berikan terhadap kejadian dimarahi atasan tadi. Mengapa tidak ditafsirkan bahwa dimarahi atasan itu berarti ia memperhatikan kita. Ia ingin kita lebih baik lagi. Kalau anda harus memilih, lebih baik dicuekin atasan atau dimarahi atasan ?

Kalau kita sedih karena diputusin pacar, itu karena kita mengartikan kejadian itu sebagai musibah. Mengapa tidak ditafsirkan bahwa kita sedang diselamatkan ? Siapa tahu kalau tetap jadi malah punya problem rumah tangga yang maha berat. Malah kita akan diberi hadiah olehNya karena akan diberi pengganti calon pasangan hidup yang jauh lebih baik...?

Tidak ada komentar: