Selasa, Oktober 30, 2007

Prasangka ...

Cewek bule dan cowok ‘lokal’ itu lalu persis duduk di depan saya. Kemeja coklat muda digerai begitu saja menutupi kulit sawo matangnya, lengan baju digulung, rambut lurus sepangkal leher, celana hitam lusuh dan sandal gunung yang tidak baru lagi. Belum lagi kacamata hitam yang di-tongkrong-kan di kepalanya. Sorot matanya tidak berisi, namun dipaksakan. Gaya cowok seperti itu sering saya lihat di pusat pertokoan ‘pinggiran’ kalau malam minggu. Sementara itu si cewek lebih mirip selebriti dengan gaya bicara yang nampak cerdas.

“Eh buset … Apa nggak buta itu cewek ? … Masak ngelaba cowok kayak gitu ? … Cewek itu pasti nggak bisa bedain cowok Indonesia yang oke sama yang nggak. Jangan-jangan cowok itu ……....”

Ketika bakso yang saya pesan datang, saat itulah saya tersadar. Saya merasa bersalah dan beristighfar. Saya telah menghujat orang dalam pikiran saya. Saya menghujat berdasarkan ‘pengadilan’ yang saya ciptakan sendiri dalam pikiran saya. Saya menjatuhkan vonis bahwa cewek itu ‘bodoh’, dan cowok itu ‘nggak bener’. Padahal, siapa tahu mereka memang suami isteri. Siapa tahu cowok ‘kumal’ tadi sebenarnya orang hebat. Saya tidak akan pernah tahu persis sampai saya tanya langsung kepada kedua orang itu.

Rupanya ini yang disebut prasangka. Prasangka memang bisa berbahaya. Orang mengerjakan sesuatu (what you do) tergantung dari bagaimana ia memandang sesuatu itu (what you see). What you see’ atau populer dengan ‘paradigma’ dibentuk oleh informasi-informasi yang dirangkai sehingga bermakna. Paradigma seperti peta. Kita menelusuri wilayah yang sebenarnya (realitas) dengan peta itu. Pembuat peta itu adalah kita sendiri.

Kita membuat peta itu dengan menggambarkan sebuah wilayah berbatas, seperti peta buta. Lalu kita mendapatkan atau mencari informasi tentang gunung, lembah, sungai, hutan, sawah, jalan, tebing, untuk kita letakkan di peta buta itu. Semakin persis peta itu dengan wilayah yang sebenarnya, semakin benar peta itu, dan semakin kita yakin perjalanan kita bakal lancar. Persoalannya adalah, pandangan kita terkadang terbatas atau pandangan kita terhalang. Seperti ada awan yang menutupi. Akibatnya, tidak semua wilayah bisa terlihat.

Karena informasi dari ‘wilayah yang sebenarnya’ (realitas/fakta) terbatas, sementara kita butuh fakta-fakta di depan kita untuk memperjelas peta, maka akhirnya kita memproduksi informasi dengan bahan baku yang berasal dari pengetahuan dan pengalaman masa lalu kita sendiri. Bahasa lugasnya “mengira-ngira”. Kalau seumur hidup kita cuma tahu Jakarta lalu kita menggambar peta wilayah Papua, maka mengira-ngira berdasarkan pengalaman geografis di Jakarta mungkin menjadi tidak berguna.

Belum lagi jika ada bias penglihatan. Dasar kolam yang dalam tampak terlihat dangkal. Benda ’mati’ kasat mata saja bisa tampak bias, apalagi manusia.

Peta yang saya buat untuk memandang perilaku cewek bule dan cowok lokal tadi, jelas berasal dari pengalaman saya di masa lalu, dan belum tentu sama dengan realitasnya. Itulah sebabnya Tuhan menyuruh kita untuk menjauhi kebanyakan prasangka, karena sebagian prasangka itu ternyata bisa membawa kita kepada dosa. Kalau kita bertindak didasari oleh prasangka, lalu ternyata realitasnya berbeda, sementara akibat tindakan kita ada pihak lain maupun diri sendiri teraniaya, berdosalah kita.

Saya jadi ingat cerita salah seorang dosen saya, Pak Muchlis Alimin. Ada seorang pria kaya di sebuah desa yang ingin tampil beda. Ia ingin punya sesuatu yang tidak dimiliki orang lain. Ia lalu beli mobil cadillac merah --- mobil yang belum pernah ia lihat ada di daerahnya. Ketika mobilnya dipacu kencang di jalan yang membelah perkebunan di perbukitan, tiba-tiba muncul dari sebuah kelokan seorang gadis manis juga memacu cadillac merah ke arah berlawanan. Si pria menjadi ‘panas’. Ia tidak menyangka, sekaligus tidak suka, ada cadillac lain menyaingi kepunyaannya. Begitu perpapasan, si gadis sambil melihat ke arah pria itu berteriak : “babi !!!!”. Si pria terkejut dan marah diteriaki babi. Dengan emosi tinggi, ia menengok ke arah gadis, mengangkat jari tengahnya, dan berteriak membalas : “babi jugaaa !!!” …. Dalam hitungan detik, tiba-tiba cadillac merah si pria itu menabrak serombongan babi yang menggerombol menyeberang jalan. Mobil itu terjungkang ke jurang ……

“Mari mas, ke Dagadu – langsung grosirnya, pulang balik dua ribu …..” Tawaran seorang tukang becak memecah lamunan saya. Saya melanjutkan langkah menyusuri trotoar Malioboro... Tenggelam di lamunan lainnya ...

Tidak ada komentar: