Selasa, Oktober 30, 2007

Siapa Guru Siapa ...

Pembicaraan dengan sopir taksi di suatu Jumat sore itu terus mengisi kemacetan lalulintas di sepanjang Sudirman menuju Senayan. Mulai dari masalah kemandulan hukum, keberingasan politik, sampai merembet ke perempuan-perempuan berpakaian ketat di sepanjang sisi jalan dan pengaruhnya bagi pembentukan generasi bangsa yang bermoral. Saya pikir Pak Sopir ini lumayan juga wawasannya.


Memasuki bundaran Semanggi, Pak Sopir saya ‘suruh’ cerita tentang dirinya. Dia berkisah sudah empat tahun ini memegang taksi “C”, dan ia mengibaratkan dirinya sebagai pohon yang telah tumbuh besar. Ia merasa tidak perlu lagi diawasi secara ketat oleh manajemen karena termasuk dalam jajaran ‘senior’. Dengan uang setoran yang cuma 70 ribu perak setiap hari dibandingkan taksi ‘tarif baru’ yang harus menyetor hampir duaratus ribuan, ia bisa leluasa mengatur waktu dalam kesehariannya.

Ketika saya tanya, kenapa kok manajemen tidak banyak melakukan pengawasan ketat kepada Bapak ? Dalam pikiran saya, tadinya saya menduga Pak Sopir akan menjawab dengan bangga : “karena saya selalu bisa memenuhi target setoran”. Alih-alih menjawab begitu, Ia malah menjawab : “Karena saya sudah banyak dibimbing oleh penumpang …”.

Jawabannya membuat saya termangu. Belum pernah saya mendengar jawaban seperti itu. Ia melanjutkan bahwa penumpanglah yang memberikan ‘pelajaran’ kepadanya melalui komplain, saran, bahkan hanya dengan ekspresi tanpa senyum. Melalui masalah-masalah yang ia hadapi dalam ‘perjalanannya’ menghantarkan jasa kepada penumpang, ia maknai secara positif sebagai ‘guru’ yang menjadi sarana untuk membuat dirinya lebih ‘profesional’. Dan semua itu yang membuatnya menjadi sopir taksi yang ‘besar’.

Meminjam program berpikir sang sopir yang pas dengan program berpikir saya, itu berarti gurunya dokter adalah pasien. Gurunya penjual adalah pembeli. Gurunya pemasar adalah customer. Gurunya pemimpin adalah anak buahnya. Gurunya pemerintah adalah rakyatnya. Gurunya dosen adalah mahasiswanya. Gurunya guru adalah muridnya ...

Kepada guru, tentu kita menghormati dan menyayangi. Jadi kita menghormati, menyayangi, dan berterimakasih kepada pasien, pembeli, customer, anak buah, rakyat, mahasiswa, murid ..... Jadi siapa guru sejati ?

2 komentar:

Digma mengatakan...

Menurut saya, hal ini ada sebagian orang yang "beruntung" dan sebagian orang lagi "tidak beruntung".
Bagi orang yang beruntung, mereka selalu dapat belajar dari kejadian apapun...termasuk dari orang bodoh.

Orang bijak berkata: "orang yang melakukan kesalahan yang sama dua kali adalah orang bodoh".
Orang beruntung berkata:"orang bodoh adalah orang yang melakukan kesalahan yang sama dengan yang dilakukan orang lain".

SILVIANI SRI RAHAYU mengatakan...

Good, saya juga setuju. Saya juga belajar dari pembantu di rumah, belajar dari psien kelas 3 (bangsal) bukan pasien vip yang dikit-dikit complain