Kalau ada tetangga Kristen membuat kebaktian, dianggap mengganggu lingkungan dengan lagu-lagu rohaninya. Padahal kalau ada tahlilan, atau jam 3 pagi sebuah langgar di tengah pemukiman melantunkan ayat-ayat suci melalui speaker yang volumenya dipasang pol, tetangga-tetangga yang Islam adem-adem saja.
Kita mungkin pernah mengejek, ah, orang Kristen masak ibadah pake nyanyi-nyanyi bisa masuk surga ? Lalu, apa bedanya dengan bacaan sholat yang dilantunkan Imam dengan lagu hijaz, shoba, ala Mesir, ala Madinah, ala Mekah?
Ada seorang pemancing yang hanya menangkap ikan kecil saja. Kalau pas dapat ikan besar, ikan itu dikembalikan lagi ke sungai. Ketika ditanya, kok yang diambil cuma ikan kecil ? Jawabnya : "karena penggorengan saya di rumah kecil. Kalau saya bawa ikan besar, penggorengannya tidak cukup untuk memasak ikan besar tadi".
Rasanya kita musti memperbesar penggorengan dalam pikiran kita untuk menampung hal-hal yang selama ini 'tidak cukup' kita tampung dalam 'penggorengan' yang kita punyai.
Nah, jika untuk mendapat buah kita harus menanam dulu. Jika mendapat nafkah kita harus bekerja dulu. jika untuk mendapat kepercayaan dari boss kita harus membuktikan hasil kerja dulu. Maka kalau kita ingin dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, kenapa kita tidak menghormati dulu orang yang tidak berpuasa ?
Ini berandai-andai saja ... Misalnya judul di atas diubah jadi 'hormatilah orang yang sedang berpuasa', maka siapa yang lebih mulia ? Orang yang sedang tidak berpuasa, atau orang yang berpuasa ? Jawab saya, tentu orang yang tidak berpuasa itu, karena mereka menghormati kita yang berpuasa. Anda boleh berargumen, lho mulia di mata manusia kan belum tentu mulia di mata Allah. Jelas dong yang berpuasa lebih mulia daripada orang yang tidak berpuasa di mata Allah ? Jawab saya, saya tidak tahu kecuali anda tanyakan langsung kepada Allah.
Jadi, bisakah kita membuat mereka yang tidak berpuasa, baik yang karena sakit, haid, non-muslim, tetap makan dengan rasa nyaman ? tidak perlu repot sembunyi-sembunyi ? Bisakah kita membuat pencari rejeki Tuhan melalui warung makan tetap membuka warungnya di siang hari, tanpa harus tidak enak hati, tanpa kita merasa terganggu dan tetap teguh berpuasa ? Jawaban sesungguhnya bisa. Tinggal kita mau apa tidak .... ?
2 komentar:
kenalkan nama saya ubay, muslim dan jawa. maaf saya tidak kenal anda sebelumnya. saya baru melihat dan membaca tulisan anda karena masuk ke dalam facebook saya yang diforward oleh teman saya. sebelum anda menuliskan artikel "hormatilah orang yang tidak berpuasa" seharusnya anda menganalisa dan melihat lebih teliti lagi tentang orang-orang muslim yang anda katakan "cengeng". kalau anda lihat dan rasakan selama ini apakah ummat muslim masih kurang toleran terhadap ummat lain ? kalau jawabannya iya, maka saya sungguh-sungguh tidak mengerti. coba anda lihat setiap minggunya hari libur yang dijadikan hari libur setiap minggunya hari apa ? apakah hari jum'at ? tentunya bukan akan tetapi hari sabtu dan minggu. seharusnya ummat muslim protes. kenapa ? karena hari jumat adalah hari ibadahnya ummat muslim sedangkan hari sabtu adalah ibadah ummat yahudi di sinagog dan ummat advent di gereja begitu pula dengan hari minggu yang adalah hari ibadah ummat katolik dan ummat kristen protestan di gereja. karena ummat muslim tidak pernah protes maka dapat anda lihat mereka pada saat melaksanakan ibadah jumat banyak yang terburu-buru baik saat pergi maupun pulang dari masjid dengan alasan setumpuk pekerjaan sudah menunggu di kantor. mereka pun tidak pernah dapat khidmat dan khusyuk mengikuti ibadah tersebut karena kelelahan akibat menumpuknya pekerjaan di kantor. coba anda bandingkan dengan hari minggu ummat katolik dan ummat kristen protestan dapat dengan khidmat dan khusyuk mengikuti peribadatan mereka karena mereka datang ke gereja tanpa rasa lelah dan tanpa perasaan diburu-buru waktu oleh pekerjaan di kantor.anak-anak mereka pun dapat mengikuti sekolah minggu dengan khusyuk. masih mengenai toleransi anda dapat lihat ummat muslim di bali pada saat perayaan nyepi baik sebelum dan sesudahnya, ummat muslim patuh mengikuti peraturan yang ada di sana, mereka pada saat menunaikan sholat tidak menggunakan loud speaker dan tidak pernah sedikitpun berbicara. ketika anda mengatakan "hormatilah orang yang tidak berpuasa", apakah anda melihat ummat muslim yang berpuasa langsung memukul ataupun menghakimi orang yang tidak berpuasa, apakah ummat muslim yang berpuasa langsung ramai-ramai membakar rumah makan yang buka pada siang hari, apakah ada ummat muslim yang berpuasa langsung menyundut orang yang merokok di siang hari saat bulan ramadhan. saya tidak pernah melihat itu dan tidak pernah mendengar kabar berita seperti itu dan tentunya anda juga tidak pernah melihat ummat muslim melakukan tindak anarki terhadap orang yang tidak berpuasa baik itu yang tidak berpuasa mengaku sebagai ummat muslim maupun ummat lainnya. dan masih banyak lagi toleransi yang sudah dilakukan oleh ummat muslim terhadap ummatlainnya baik itu kejawen, ummat yahudi, katolik, kristen protestan, kristen advent, hindu, budha, konghucu dan lain-lain. kalau zaman kemerdekaan saja ummat muslim sudah mengalah dengan mencoret dalam pembukaan UUD 1945 yaitu : "menjalankan syariat islam bagi pemeluknya" yang dikenal dengan piagam jakarta. di tanah jawa sendiri pun satu keluarga punya keyakinan yang berbeda tidak pernah ada konflik. nah kalau sudah bertumpuk-bertumpuk toleransi yang sudah dilakukan oleh ummat muslim apakah himbauan yang berupa tulisan "hormatilah orang yang berpuasa" itu sudah melanggar HAM, saya jadi tidak mengerti. coba mohon anda berpikir lagi lebih jernih sebelum anda dan kelompok anda menuliskan artikel-artikel yang bersifat provokatif ini. dan jika anda ingin indonesia yang tercinta ini damai dari konflik maka ciptakanlah tulisan-tulisan yang membangung negara dan bangsa ini menuju kejayaan dan bukan menciptakan tulisan-tulisan yang nantinya dapat menjadi pemicu konflik di masyarakat. semuanya saya kembalikan kepada anda dan teman-teman anda apakah masih ingin melihat indonesia damai dan tentram atau sebaliknya. terima kasih
Syukron wa jazakallah khairan katsir mas Ubay atas tanggapannya.
Kalau mas Ubay mendengar ulasan siaran PROVOKASI saya jam 7-8 malam tadi di Smart FM, tentu mendengar uraian saya bahwa meaning itu context dependent .. konteks itu adalah waktu, tempat, dan variabel keadaan. Contoh, seseorang yg membelai rambut itu bisa diartikan memberi kasih sayang .. tapi apakah artinya sama jika pagi hari di bus transjakarta ada seorang lelaki kekar bertato membelai rambut anda ? ... hehehehe...
Artinya pendapat saya hanya tepat dan benar di suatu konteks, dan dapat tidak 'works' di konteks lain. Apa yang saya tulis akan beda dengan jika saya bicara soal Nyepi di Bali, dan juga keadaan di Papua .. karena ada nilai budaya setempat ..
Tadi di radio saya menjelaskan ada tiga tingkatan masyarakat : dependent (tergantung/anak kecil) dengan paradigma 'kamu' .. : 'aku tidak bisa tanpa kamu, kamu begini dong biar saya berhasil', lalu tingat independen (mandiri) : 'biar kamu begitu, aku bisa kok begini', dan interdependen (sinergi, matang) : 'aku dan kamu sama-sama begini ya karena ini lebih baik bagi kita'. Nah, tulisan saya untuk memprovokasi kelompok masyarakat yang dependent menuju mandiri, sementara saya melihat konteks anda adalah kelompok masyarakat independent bahkan interdependent.
Maka saya setuju dengna tulisan tanggapan anda itu dalam konteks yang anda sampaikan.
Barakallahu fikum ...
Ilal liqo' ..
Posting Komentar