Kamis, Desember 20, 2007

Orang rumah

Dari metodologi penelitian sederhana yang saya lakukan melalui observasi, wawancara, eksperimen, ditambah experience, diperoleh kesimpulan tiga penyebab utama mengapa pembantu rumah tangga dan atau sopir keluar atau mengundurkan diri dalam waktu singkat, alias tidak betah.

Penyebab pertama adalah majikan cerewet. Mendengar kata 'cerewet', ini tidak usah didefinisikan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kita definisikan secara liar saja, yaitu perintah atau bicara dengan topik berulang-ulang, atau memberi komentar atas sesuatu yang tidak perlu atau sudah tidak perlu diberi komentar lagi. Lalu bagaimana kalau sudah diberitahu berkali-kali tapi pembantu tetap tidak bisa ? Itu berarti kita perlu kreatif mencari cara lain untuk membuat mereka tertantang untuk mau bisa dan menjadi bisa.

Penyebab kedua adalah pembantu atau sopir tidak diberi kesempatan berprestasi dan berkembang kompetensinya. Kalau pekerjaannya dianggap oleh majikan belum memenuhi harapan, yang terjadi adalah majikan langsung kudeta dan mengerjakan sendiri pekerjaan pembantu tadi (tanpa kehadiran sang pembantu), atau dimarahi, dihakimi, dikomentari, diomeli, tapi tidak diberi petunjuk atau contoh atau demo cara dan hasil yang diharapkan.

Lalu, kalau pembantu atau sopir berbuat kesalahan, kalimat yang muncul pertama kali dari majikan adalah 'kok' ditambah 'sih'. 'Kok' setrikaannya nggak rapih begitu sih ? Apalagi waktu mengucapkannya disertai ekspresi menyalahkan. Lalu bagaimana sebaiknya ? Sebaiknya nyatakan kinerja dia menurut harapan kita, misalnya 'baju ini masih kusut'. Jangan berhenti sampai di situ. Beritahu apa yang perlu dia lakukan. "tolong diperhalus lagi ya ...". Kalau masih belum halus juga, tunjukkan cara mengerjakannya. Kalau hasil pekerjaan sesuai dengan harapan, akui dan beri penghargaan dengan mengucapkan, "Ya, ini sudah halus. Bagus sekali. Nanti kalau menyeterika seperti ini ya ... Makasih ya ..".

Ketiga, kurang diperhatikan hajat hidupnya, terutama makan, pakaian, dan alat kebersihannya. Makan adalah simbol utama hajat hidup manusia sebagai mahluk. Umumnya pembantu makan setelah majikan makan, dan mendapat 'sisa'. Kalau majikan telat makan, pembantu akan lebih telat lagi. Padahal, makan adalah modal mereka mendapatkan kekuatan untuk melakukan pekerjaan yang bersifat fisik. Bisakah mereka makan tepat waktu tanpa tergantung dari apakah majikan sudah makan atau belum ?

Yang lebih mendasar dari semua itu adalah, bagaimana kita memandang pembantu rumah tangga dan sopir ? Mitra binaan ? Mitra kerja ? memiliki derajat yang sama dengan kita ? Atau memang di bawah sadar kita mereka adalah 'alat' kepentingan kita dan derajatnya di bawah kita ? Kita melihat mereka sebagai 'fisik' atau lebih dari itu, bahwa mereka punya 'otak', 'perasaan', dan 'jiwa' ? ***

1 komentar:

SILVIANI SRI RAHAYU mengatakan...

PAk Prass, yang anda katakan setelah saya renungkan benaaaaarrrr, sekali. Sering kali kita melakukan pekerjaan rumah karena kesal pembantu tidak becus. Dia tidak lama kemudian keluar