Minggu, September 21, 2008

Bersatu kita runtuh, bercerai kita kawin lagi


Dari pengalaman 'membantu' teman-teman yang punya masalah, ada tiga orang perempuan yang berkonsultasi dengan saya soal masalah rumah tangganya. Bagaimana hasilnya ? Setelah saya 'tangani', ketiga perempuan itu cerai semua.

Ketika ini saya ceritakan kepada teman-teman alumni PATIK-UPN "Veteran" Jakarta di suatu petang menjelang buka puasa, teman-teman perempuan langsung riuh. "Waaaaah, kalau gitu jangan sampai deh kita konsultasi sama Prass .., ntar kita cerai ... hehehehehe ...".

Supaya tidak salah sangka, saya lalu menjelaskan kalau selama ini saya hanya mendengarkan, memahami, lalu 'memanjangkan' penglihatan 'klien'. Saya tidak mengarahkan mereka 'rujuk' atau 'bercerai'. Itu pilihan mereka sendiri. Saya mengatakan kita punya potensi untuk bahagia di setiap situasi. Kalau mereka bercerai, mereka punya potensi untuk bahagia. Kalau mereka tidak bercerai dan kembali membina rumah tangga lebih harmonis, mereka juga punya potensi untuk bahagia. Tapi saya juga menganjurkan mereka tidak mengatakan bahwa sudah kehendak Tuhan perceraian itu terjadi, sebagaimana yang sering kita dengar kalau ada artis cerai diwawancarai infotainment. Perceraian sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Lho, bukankah jodoh di tangan Tuhan ?.

Sekarang begini, anda sepaham bukan dengan ajaran agama yang mengatakan bahwa perceraian adalah sesuatu yang dibenci Tuhan meskipun halal ?. Nah, apakah logis Tuhan melakukan apa yang dibencinya sendiri ?. Ya saya juga tidak tahu, karena itu hak prerogatif Tuhan untuk melakukan segalanya. Tapi perceraian itu tidak ujug-ujug. Ada rentetan peristiwa dan reaksi dari peristiwa itu yang berkelanjutan, berulang, lalu tibalah pada ketidakberdayaan atau ketidakmauan masing-masing 'pelaku' menemukan arti lain (lihat tulisan sebelumnya yang berjudul "Kita sendiri yang memilih"). Bahwa, setiap masalah adalah anugerah, yaitu kesempatan untuk membesarkan otot-otot psikologis. Kesempatan untuk lebih pandai. Kesempatan untuk lebih mengenal dan memahami. Setiap masalah adalah feeback sekaligus ilmu. Memang sih sakit, tapi itu kalau kita 'tenggelam' di dalam masalah. Kalau kita 'mi'raj', keluar dari genangan masalah, naik ke atas, akan melihat masalah menjadi sepotong game puzzle -- kecil. Masalah berarti kita dipercaya Tuhan dengan soal serumit itu untuk kita cari jawabannya, daripada dikasih masalah cetek yang berarti level kita juga masih TK.

Rupanya, giringan dari saya justru membuat teman-teman perempuan saya itu makin mantap dan percaya diri untuk bercerai. Ya sudah, itu pilihan mereka, dan mereka yang akan menjalaninya.

Cerai tidak selamanya buruk. Bercerai bisa menggenapkan ilmu hidup masing-masing. Mereka menjadi lebih insyaf dan matang. Bisa juga bercerai diperlukan kalau salah satu sudah nyata-nyata terdzalimi secara fisik, atau pemimpin rumah tangga tidak bertanggungjawab menafkahi keluarganya. Selebihnya, karena saya tidak pernah bercerai dan ingin rumah tangga saya harmonis lestari, saya cukupkan khotbah ini sampai disini. Kalau diteruskan nanti ngaco. Yang jelas, dari tiga perempuan teman saya itu, dua di antaranya sudah menikah lagi, lalu cerai lagi, dan menikah lagi untuk yang ketigakalinya...***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Nah, kalo yang ini ya..top coz yang paling humanis untuk memerankan diri sebagai konselor adalah memposisikan klien sebagai manusia yang memiliki emosi, pilihan-pilihan, dan tujuan. konselor hanya membantu mengenalkan masalah dan memberikan alternatif2 dan klien sendirilah yang pada akhirnya memutuskannya. biarkan mereka bisa bahagia dengan caranya sendiri.