Senin, Juni 30, 2008

Terfitnah

Tiba-tiba saja seorang perempuan yang saya kenal ketika ia mengikuti pelatihan saya merasa terganggu ketika ia tahu isteri saya sedang ada di Jakarta. Saya memang tidak memberitahu dia sebelumnya kalau isteri saya mau liburan ke Indonesia. Lagipula, apa perlunya saya memberitahu?

Di pesan ponsel, perempuan yang biasa saya sapa 'mbak' itu bilang, teganya ada yang mempermainkan hati dia. katanya, informasi tentang isteri tidak harus memancing emosi bukan ?. Lalu dia juga bilang masih menyimpan sms 'misterius' beberapa bulan yang lalu. Ia bilang sms 'misterius' itu berasal dari saya.

Saya kaget dan merasa ada 'something wrong' dengan situasi ini. Saya lalu minta dia mengirimkan beberapa sms 'misterius' itu. Wowwww ... pantas. SMS itu berisi pujian dan rayuan 'maut' yang pantas kalau bikin dia klepek-klepek. Tapi tentu saja saya agak risih juga dengan bahasa SMS itu karena 'bukan gue banget'.

Setelah menerima beberapa SMS 'misterius' itu, saya membalas menyatakan SMS itu bukan dari saya. Ia tidak terima. Ia tetap ngotot SMS itu dari saya sambil memberi sejumlah argumen yang bagi saya sangat dipaksakan. Kalau awalnya saya merasa geli, sekarang merasa agak kesal bercampur kasihan kepada si Mbak. Ada satu SMS dari seseorang misterius itu yang memang tendensius. Rupanya ketika si Mbak tanya kepada pengirim SMS apakah mereka pernah bertemu, si pengirim SMS menjawab pernah. Lalu ketika si Mbak minta identitas si pengirim SMS, si pengirim SMS menyebutkan ciri-ciri : kulit bersih, tinggi gagah, pakai kacamata, sekilas jaim tapi nggak, njawani, santun, dan sederet ciri yang semuanya memang wajar jika si mbak mengarah kepada sosok saya.

Ia tanya apa saya punya nomor Esia ? Saya bilang nggak, saya cuma punya Telkomsel dan Fren. Saya bilang, kenapa selama ini dia tidak mengkonfirmasi atau cross-check SMS-SMS itu ke HP saya yang Telkomsel ? Ia tidak menjawab. Saya menduga, dalam pemahaman dia, nomor Esia adalah nomor 'khusus' saya dengan dia.Setelah satu persatu SMS itu saya beri catatan dari sisi bahasa, struktur kalimat, dan isi yang 'nggak gue banget' dan saya kirim kembali kepada si Mbak, keyakinannya mulai runtuh. Memang tidak mudah. Akhirnya ia minta maaf.

Si Mbak selama berbulan-bulan hidup, bertindak, berperasaan, digerakkan oleh 'kenyataan internal' dalam pikirannya, bahwa saya mencintai dia dan 'akhirnya' diapun 'naksir' saya dalam imajinasinya. Atau bisa juga terbalik, ia menyukai saya, dan 'saya'-pun membalasnya. Tetapi ternyata 'kenyataan internal' (peta) dalam pikirannya, tidaklah sama dengan 'kenyataan eksternal' (wilayah). Kenyataan eksternalnya, saya memang tidak punya perasaan apapun kepada si Mbak kecuali menghormati dia sebagai teman. Peta bukanlah wilayah. The map is not the territory.

Saya tidak ingin memperdalam kisah ini dengan berbagai kemungkinan skenario seperti pembunuhan karakter si pengirim SMS terhadap saya karena tidak bermanfaat lagi. Si Mbak sudah 'sadar' dan minta maaf. Saya cuma berpikir, kalau kejadian ini bisa menimpa saya yang belum jadi selebriti -- dimana saya disangka dan dipercaya oleh si Mbak naksir dia, padahal kenyataannya tidak -- maka berapa juta orang yang 'terfitnah' oleh tayangan gosip di sejumlah stasiun televisi ? Berapa besar energi : waktu, tenaga, dana masyarakat terbuang karena mempercayai sebuah kisah gosip yang ternyata apa yang mereka percayai itu tidaklah sama dengan kenyataan yang sebenarnya ? Bukan cuma selebriti yang terfitnah, hakikinya masyarakat juga terfitnah.

Kalau anda adalah bagian dari masyarakat, tidak usah menyalahkan televisi. Salahkan diri sendiri saja ...***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

The map is not the territory..
Setelah ratusan kali dikatakan oleh pakde Prass, baru ngertiiiiii bangetnya ya pas kejadian Terfitnah ini..

Terkaget-kaget..tapi akhirnya bisa mengambil hikmah dari pengalaman orang lain. Memang, kita bisa belajar dari orang lain kan..

Pasti..
Dan, bener ..
The Map is not the Territory..

-nong-