Selasa, Juni 17, 2008

Pisang Den ...


"Pisang den .....", tawaran seorang nenek memecah obrolan saya bersama teman-teman fasilitator pelatihan di suatu malam minggu di Batu Malang.

Guratan wajah nenek itu tampak jelas sekali. Saya memperkirakan umurnya sekitar 70-an. Ia mengenakan pakaian kebaya yang tampak rapi berkerudung sederhana, menenteng sebuah tas di tangan kiri, dan tangan kanan menenteng sesisir pisang. Ia menatap kami dengan mata berharap, lalu menjulurkan tangan kanan yang memegang sesisir pisang berwarna hijau. Rupanya ia sedang menawarkan pisang kepada kami. Entah apa yang ada di pikiran saya, tiba-tiba saya langsung membuka telapak tangan saya, tanda menolak.

"Mboten bu ....(tidak, bu)".

Ia lalu pergi ke belakang dan menawarkan pisang itu kepada pemilik warung. Jalannya tertatih-tatih. Tapi setelah berdiri sesaat di hadapan pemilik warung itu, saya melihat bayangan gelengan kepala sang pemilik warung. Pemilik warung juga menolak. Nenek itu beranjak hendak meninggalkan warung.

Tiba-tiba ada perasaan menggemuruh di dada. Saya baru saja menerima honor mengajar, dan nenek itu sedang memerlukan nafkah. Kalau malam-malam jam delapan seseorang masih menawarkan jualannya yang hanya sesisir pisang, dalam tafsir saya, ia memang sedang memerlukan uang.

Begitu nenek tadi melintas di depan saya, segera saya memanggilnya dan bertanya,

"Bu ... berapa pisangnya ?", tanya saya.

Ia menengok ke arah saya. Wajahnya menyiratkan perasaan lega ada yang memanggil dirinya. Ia bilang "pitu setengah".

Saya tanya lagi, 'berapa bu ?', karena saya tidak begitu jelas.

"Tujuh ribu limaratus", katanya lagi.

Sekelebat yang ada di kepala saya adalah : berarti nenek tadi cuma untung beberapa ribu rupiah. Apa bisa ya untuk makan di tengah harga BBM dan bahan pokok melambung tinggi?.

Seketika saya ingin memberi nenek itu rejeki lebih. Setelah mengambil pisang dari tangannya, saya mengeluarkan dompet dan memberi uang duapuluh ribuan.

"Tidak usah dikembalikan, bu", kata saya.

Mungkin karena pendengarannya kurang, atau kata-kata saya yang kurang jelas, atau memang sengaja mengabaikan kata-kata saya, ia tetap mengeluarkan dompet recehan dari tasnya dan membukanya. Saya segera mengulangi "Bu, mboten sah diwangsuli (Bu, tidak usah dikembalikan)".

Ia melihat ke arah saya sejenak, lalu tetap kembali mencari uang receh sambil berkata "Kulo wangsuli nggih ? (saya kembalikan ya ?)".

Kembali saya bilang, "oooh .. mboten sah bu .. sedoyo mawon .. (oooh, tidak usah bu, semuanya saja)".

Ia menatap saya dan tampak tidak percaya. Lalu wajahnya seperti menyiratkan rasa syukur. Kemudian ia meluncurkan kalimat yang cukup panjang dalam bahasa jawa yang intinya berterimakasih sekali dan mendoakan mudah-mudahan saya banyak rejeki.

Saya trenyuh. Nenek ini benar-benar memberi pelajaran luar biasa tentang hidup dan bekerja. Saya yakin nenek ini tidak tinggal di sekitar warung tempat saya nongkrong tadi, karena warung tadi berada di wilayah perumahan menengah dan perkantoran. Itu artinya, ia berjalan cukup jauh menyusuri jalan malam-malam. Yang ia punyai cuma sesisir pisang dan harapan akan datangnya rejeki Tuhan. Ia tidak meminta-minta. Ia malah hampir bersikeras mengembalikan uang saya karena ia menjual pisang itu dengan hanya dengan harga Rp 7.500,-.

Setelah sang nenek menghilang dari pandangan mata, pengalaman emosional ini saya ringkas dalam pesan SMS dan saya kirimkan kepada beberapa orang dekat saya. Sahabat saya Maya membalas dengan SMS "Nenek itu kaya banget ya Prass .. Lebih kaya dari presiden, pemilik microsoft, dll ..".

Saya cukup lama merenungkan pesan pendek Maya -- panggilan 'rumah' Ira Maya Sopha. Akhirnya saya mengerti bahwa yang dimaksud dengan 'kaya' oleh Maya adalah, nenek itu merasa cukup dengan harga 7.500 rupiah, sehingga ia bermaksud mengembalikan uang saya, meskipun saya minta uang itu untuknya semua. Entah karena memang jualannya cuma sesisir, atau tinggal sesisir, tapi menjual sesisir pisang yang tidak tampak 'sale-able' malam-malam dalam kacamata saya tidaklah lazim dan termasuk perbuatan 'nekat'. Kalau fenomena nenek penjual sesisir pisang ini dianalisis dengan teori-teori pemasaran yang canggih-canggih mungkin tidak 'masuk'. Nyatanya, karena sang Nenek berusaha, ia dipertemukan oleh Tuhan dengan rejeki yang menjadi jatahnya malam itu ... Sang Nenek telah menjemput rejekinya. Ia diberi rejeki bukan karena pisangnya, tapi karena usahanya.

Seseorang memprovokasi saya, "Ahh, terlalu sensitif bin melankolis kamu ... Nenek itu kan cuma iseng-iseng aja jualan pisang malem-malem. Siapa tau anak-anaknya juga udah menyokong hidup nenek itu dengan cukup ?". Bisa jadi begitu, pikir saya. Tapi dengan memilih tafsir seperti di tulisan ini, buat saya jauh lebih bermanfaat. Saya jadi punya 'ladang' amal, nenek itu jadi punya rejeki tambahan, dan kita mendapat pesan dan pelajaran hidup tentang rejeki dan usaha. Orang yang memprovokasi itu bilang : "Kita ? Eloe aja kali gua kagak ..."***

2 komentar:

Uti Brata mengatakan...

Alhamdulillah Allah masih menyediakan rumah yang hangat dan rejeki yang cukup untuk kedua ibu kita sehingga mereka tidak perlu berjuang sekeras nenek itu.....
Nikmat Allah mana lagi yang engkau dustakan????

Anonim mengatakan...

Pak Prass,

Tulisan anda yang satu ini mengingatkan pada sosok Wanita yang sangat saya agungkan. Wanita itu adalah Almarhumah Ibu saya tercinta.

Best regards,
Arif Rahman Hakim
http://arifrahmanhakim.wordpress.com
http://goresanpena-arifrahmanhakim.blogspot.com