Minggu, Januari 13, 2008

Tanggungjawab Siapa ? (2)

Di suatu diskusi, Bu Mariani Ng, guru neurosemantics NLP Indonesia, mencontohkan dialog bagaimana cara berkomunikasi dengan anak. Saat itu kami sedang membahas pacing, yaitu proses menyesuaikan diri dengan lawan bicara untuk membangun rapport (hubungan baik) agar memperoleh kepercayaan (trust). Trust adalah dasar bagi interaksi dua pihak secara enak dan efektif.

Anak : ”Ma, aku males sekolah. Bete sama pelajarannya, banyak PR...”

Ibu : ”Emang ya .. kalau banyak PR bikin bete ...”

Sampai di sini diharapkan si anak merasa si Ibu memahami dirinya dan merasa ‘sependapat’. Si Ibu bisa meneruskan proses menyamakan diri dengan perasaan, aspirasi, bahkan gerak tubuh si anak. Setelah anak tampak dipahami, barulah si Ibu melanjutkan pada tahap leading (memimpin), yaitu menyampaikan persuasinya.

Ibu : “ehhh .. ngomong-ngomong, dulu mama juga seperti kamu lho. Bete banget. Tapi akhirnya mama bersyukur lho. Coba kalau tidak banyak PR dan tugas-tugas yang bikin mama makin pinter, mungkin mama nggak seperti ini. Mungkin mama nggak bisa kasih kamu apa-apa seperti sekarang ini ...”.

Pada tahap ini, karena anak sudah trust kepada Ibu, maka saran dari Ibu dengan ‘enteng’ diikuti.

Seorang bapak kemudian bercerita, dia tidak sabar untuk segera menasihati anaknya. Kalau anaknya punya masalah, ditanya-tanya, lalu langsung ingin mengubah perilaku anaknya itu. Hal ini dia lakukan karena dia didorong oleh tanggungjawab atas apa yang dilakukan anaknya. Dia ingin anaknya pinter dan bener.

Karena saat itu juga sedang membahas masalah coaching, maka Bu Mariani menyarankan agar solusi atas permasalahan anak sebaiknya muncul dari diri anak sendiri. Kalau solusi berasal dari diri si anak, maka komitmennya lebih kuat dibandingkan solusi yang disodorkan oleh orang lain, meskipun orang itu ayah ibunya sendiri. Kata Bu Mariani, kita tidak selalu harus bertanggungjawab atas diri orang lain.

Dalam konteks si anak sudah dewasa (akil baligh) saya setuju. Kalau anak masih kecil dan dalam pengasuhan orang tua, tentu tingkat ketergantungan anak kepada orang lain masih tinggi (dependent). Masih dibutuhkan tanggungjawab orang tua untuk keperluan si anak yang lebih luas, termasuk memberi solusi atau intervensi. Tapi itu kalau terpaksa saja. Saya setuju sejak kecil seorang anak dilatih untuk mengambil keputusan sendiri, dengan 'giringan' dari orang tuanya.

Saya ingat sebuah kisah tentang Nabi Nuh. Ketika Nabi Nuh diberi tahu oleh Tuhan akan ada banjir besar dan diminta menyiapkan kapal, Nabi Nuh lalu membuat kapal dan mengajak seluruh mahluk untuk naik ke kapalnya. Isteri dan anak Nabi Nuh juga termasuk yang diajak naik, namun mereka menolak. Dengan persuasi berkali-kali (baca : dakwah), isteri dan anaknya tetap bergeming. Akhirnya ketika banjir benar-benar datang, isteri dan anak Nabi Nuh tenggelam.

Sepintas, sepertinya Nabi Nuh adalah orang tua yang gagal. Ia tidak berhasil mendidik isteri dan anaknya untuk mengikuti perintahnya. Tetapi tafsir atas kejadian itu tidak berhenti sampai disitu. Nabi Nuh telah bertanggungjawab (responsible to) melakukan hal-hal yang perlu dilakukan dengan baik, yaitu memberi peringatan dan mengajak. Selanjutnya, keputusan tergantung dari individu yang diberi peringatan dan diajak. Seseorang bertanggungjawab sendiri atas keputusan dan tindakannya. Maka, kalau isteri dan anaknya tidak mau naik ke kapal, itu tanggungjawab mereka sendiri. Nabi Nuh sudah melakukan tugasnya. Di sini tampak bahwa responsible to adalah masalah proses.

Itulah sebabnya dalam suatu konteks, saya kurang sependapat kalau dikatakan : tidak ada anak buah yang salah, yang ada adalah komandan yang salah. Seringkali atasan sudah memberi bimbingan dan pemberdayaan yang memadai, tetapi memang si anak buah yang tidak bertanggungjawab. Atasan mencontohkan integritas, bawahan tetap mencari-cari peluang untuk korupsi.
Di dalam wilayah hukum ada yang dikenal dengan istilah due dilligent. Artinya, kalau seorang pejabat sudah menjalankan tugas dengan niat dan cara yang sesuai prosedur yang benar, kalau ada masalah dengan perusahaan yang dilakukan oleh atasannya lagi, atau anak buahnya, maka ia terbebas dari tuntutan hukum. Persis seperti Nabi Nuh tadi.

Saya pernah bertemu dengan seorang ayah teman yang menggerutu terus, ”Pusing saya .. gimana sih ini masyarakat, gimana sih ini pemerintah .. kok keadaan kita makin kacau saja ...”. Rasanya kita tidak bisa bertanggungjawab atas (responsible for) semua ’kekacauan’ ini. Ini tanggungjawab bersama. Tanggungjawab kita sebatas (responsible to) melakukan langkah-langkah yang berada pada kendali diri kita sendiri, misalnya memperbaiki diri sendiri, dari hal-hal kecil, dan lakukan sekarang juga (saya pinjam formula perubahan dari Aa Gym). Yakinlah, apapun yang kita lakukan meskipun kecil, selama bertujuan untuk memperbaiki keadaan, tidak akan sia-sia. ***

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jaaaaa gambarnya luthcuuuu