Sabtu, November 05, 2011

Masih Tidak Mau Bertanggungjawab ?


Akhir-akhir ini saya belajar lebih sering mendengar suara hati untuk mulai lebih hidup dalam kebenaran daripada pembenaran. Namanya juga belajar, kadang berhasil, kadang gagal. Inipun sebenarnya sebuah pembenaran melalui permintaan permakluman atas nama 'belajar'. 

Suatu Jumat, saya duduk terkantuk-kantuk di antara ratusan jemaah khotbah Jumat. Saya tidak ingat apa-apa, hingga tersadar sudah doa khutbah kedua. Kalau saja malaikat melakukan UAK (Ujian Akhir Khutbah) terhadap saya, pasti ponten saya nol besar, karena tak satupun apa yang dibicarakan oleh khotibnyangkut di memori saya. Kalau pakai teori asal-asalan gelombang otak, maka tadi itu saya dalam keadaan trance dan masuk gelombang theta. Konon, itu saat paling baik diberi sugesti. Masalahnya, ada satu syarat sugesti itu tertanam langsung ke bawah sadar : fokus. Dan fokus saya saat itu sama sekali bukan ke khotbah.

Saya merekayasa sebuah perbincangan introspektif di bioskop mental saya. Saya mulai dengan melihat sang Khotib. Saya mulai menyadari bahwa Sang Khotib menggunakan intonasi monoton, irama standar, dan gaya yang sama dengan 'template' khotbah jumat kebanyakan. Isinya ? Ya saya tidak tahu. Wong dari mulai melantunkan kalimat pembuka khotbah saja sudah tidak menarik perhatian dan pendengaran saya. 

"Khotib model begini mana bisa kasih pengaruh ke umat dengan khotbahnya. Irama hipnotiknya bikin gue ngantuk !", begitu sesosok ego state yang bernama si penyalah muncul dalam bioskop mental diri saya.  Di drama mental itu, saya sedang menghardik sang Khotib, "Hei Pak Khotib, mengapa cara khotbah ente bikin sebagian besar jemaah tertidur ?".  Sang Khotib-pun menjawab, "Karena mereka kurang beriman dan setan telah meniup mata mereka sehingga mereka mengantuk !". Saya balas dengan hardikan yang lebih keras, "Oh Tidak !!! ... itu cuma pembelaan ente ! Itu cuma pembenaran. Kebenarannya, ente kurang terampil menyampaikan khotbah yang menarik !". Sang Khotib-pun terdiam.  Wajahnya galau.

Sesosok ego state yang bernama si Sombong lantas mengambil alih pembicaraan. Ia menarik sebuah kisah pengalaman saya dari lemari memori. Nih, saya dulu pernah dimarahi oleh seorang jema'ah sholat Jumat ketika memberi khotbah hingga 50 menit lamanya. Tapi saya dibela oleh jemaah lain yang menyatakan khotbah saya bagus dan menarik.  Saya tidak tahu, dalam hitungan sepersekian detik, sebuah tangan imajiner melayang menampar pipi saya. "PLAKKK!!". Saya terkejut. Tangan yang saya duga berasal dari suara hati itu kemudian berkata, "Bodoh kamu !. Itu bukan prestasi !. Itu kebodohan. Kamu tidak sadar lingkungan waktu itu. Itu kan mesjid perkantoran. Jangan samakan dengan forum training ! ... Goblok kok sombong !!!".

Dalam keadaan 'keliyengan' tertampar tangan imajiner, muncul sesosok ego state Sang Evaluator Diri. "Hai Prass !! ... mengapa kamu bersama sebagian besar jemaah lain tertidur saat Khotib sedang memberi khotbah ??".  Merasa memiliki pengalaman menghardik Sang Khotib tadi,  saya lalu menjawab, "Cara khotib berkhotbah tidak menarik, monoton, klise, sehingga membuat kami mengantuk !"....

"PLAKKK!!!", kembali tangan imajiner mendarat di pipi saya. "Itu pembenaran !!! ... Kebenarannya, kamu  tidak benar-benar berniat mendengarkan khotbah, dan kamu memutuskan untuk membiarkan matamu mengantuk ! ... Masih mau nggak bertanggungjawab ???!!!.

Kali ini saya terdiam. Galau. *** 

Tidak ada komentar: