Selasa, Agustus 02, 2011

Lempar Batu Ngantongin Tangan

Sebuah sedan merambat mengikuti aliran lalulintas yang berjalan perlahan.  Jarak antara antrian mobil dengan trotoar tepi jalan memang sempit. Tiba-tiba … “ctakkk!” … “brakkkkk!” …  sebuah sepeda motor telah tergeletak disamping depan si mobil. Penumpang sepeda motor kemudian berdiri namun tidak segera mengangkat motornya, melainkan melangkah ke sisi kanan mobil dan menggedor-gedor kaca pengemudi.

Tidak terima dengan cara pengemudi motor menggedor kaca mobilnya, pria pengemudi mobil membuka kaca jendelanya dan berkata dengan keras, “Sudah tahu jalan sempit kenapa maksa lewat juga ?? .. “. Terjadilah adu mulut. Sepeda motor lain yang melintas menunjuk-nunjuk si pengemudi mobil tanda ikut menyalahkan si sedan. Semangatnya solidaritas antar bikers.

Untungnya polisi yang melintas segera melerai, dan akhirnya si biker melanjutkan perjalanannya dengan bersungut-sungut. Pengemudi sedan memeriksa spion kiri dan pintu kiri baret. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Si motor memaksa menyelip di antara trotoar dengan mobilnya. Sudah si pengemudi motor salah, malah menyalahkan korbannya. Rupanya si pengemudi sedan tidak tahu bahwa strategi ‘pre-emptive defense’ inilah yang kerap dipakai pengemudi motor yang merasa bersalah untuk membungkam dan ‘ambil posisi’ dulu terhadap mobil yang disenggolnya.

Itulah yang mendasari mengapa saya pernah memberikan pengarahan kepada pengemudi baru saya enam tahun yang lalu, jika mobil kita disenggol oleh motor, sebelum pengemudinya bangun, gertak duluan.  Saya bilang, kalau kita lihat ada motor di belakang saat jalanan macet, maka pilihan kita adalah memberi ruang bagi mereka untuk lewat, atau jangan beri kesempatan dengan memberi ruang yang tidak memungkinkan mereka lewat. Jangan posisikan mobil kita nanggung, sehingga mengundang motor untuk coba-coba masuk.

Pengemudi saya langsung paham karena ia mantan preman. Saat itu tanpa sadar sikap kamipun menjadi korban permainan ‘hukum rimba’ di jalan raya di Jakarta.

---

Seorang pengemudi motor disetop oleh seorang polisi pria yang tiba-tiba keluar dari rerimbunan pohon. Ini bukan cerita iklan rokok dimana si petugas menyamar sebagai pohon. Si pengemudi motor tidak berhenti saat lampu telah merah. Ia tetap saja membelok. Di tiang lampu lalin ada tulisan “belok kiri ikuti lampu”.

Dengan wajah perang, si pengemudi motor mengeluarkan dompet sambil ngomel. Ia protes, kenapa pak polisi bukannya berdiri di lampu merah untuk mengatur dan mengarahkan pengguna jalan, tapi malah ngumpet menunggu mangsa yang ‘sial’.

Saya jadi membuat dialog drama di dalam pikiran saya. Pertama, terlepas dari kelakuan polisi yang ngumpet, bukankah si pengemudi motor jelas-jelas melakukan pelanggaran lalu lintas ?. Rambunya jelas. Bahwa akhirnya si pengemudi motor itu tidak berhenti dan tetap membelok itu adalah keputusan dia. Kalau dia tidak membaca rambu yang jelas itu, itu juga sudah salah. 

Kedua, berharap polisi selalu setiap saat berada di persimpangan jalan untuk mengarahkan pengemudi, itu juga kebangetan sebagai sebuah tatanan sosial. Gejala-gejala ini mirip anak kecil yang manja selalu dibimbing orang lain. Pengusaha yang selalu minta proteksi tanpa mau berupaya memperbaiki kapabilitasnya agar mandiri dan mampu bersaing dengan asing. Kaum yang sedang berpuasa yang minta agar warung-warung tutup di siang hari karena takut tergoda puasanya. Kelompok buruh yang selalu menuntut naik gaji tanpa meningkatkan keterampilan menggunakan uangnya dengan bijak.

Ketiga, tuduhan bahwa pak polisi menunggu mangsa yang sial, itu seperti politik cuci tangan. Ia menamai dirinya sial. Siapa yang memanggil kesialan ?. Polisi ?. Siapa yang tidak membaca atau tidak mengindahkan rambu belok kiri ikuti lampu ?. Siapa yang memutuskan untuk terus membelokkan kendaraannya ?. Saya pernah menyaksikan infotainment di televisi ketika seorang artis berkomentar atas beredarnya video ‘porno’ dirinya dengan seorang anggota dewan, si artis itu berkata, “Kami sekeluarga sedang mendapat musibah. Kami sedang didzalimi …”. Pertanyaannya siapa yang mendatangkan musibah ? Siapa yang mendzalimi ?.

Mungkin anda mempertanyakan bagaimana dengan Pak Polisi yang memang memanfaatkan kelengahan orang untuk mengeruk keuntungan pribadi ?. Apakah itu bukan cermin mental polisi kita ?.  Saya baru mampu menjawab dengan pertanyaan, apakah maksud pertanyaan anda itu untuk membela atau mengurangi kadar kesalahan si pengemudi motor ? Jika tidak, maka mampukah kita menekan dan meminta polisi kita ‘bener’ tanpa kita sebagai masyarakat ‘bener’ dulu lantas bersatu-padu untuk ‘mendidik’ polisi ?.  Mengapa saat di Canberra dan Sydney sekitar 1.5 bulan, saya hanya tiga kali menemui sepasang polisi sedang bertugas? Di Singapore selama dua hari saya tidak menemukan satu orangpun polisi?

Bagaimana jika polisi kita tetap tidak ‘bener’ ?.
Apakah itu menjadi pembenaran untuk perilaku kita juga ‘tidak bener’ ?.
Memangnya kita ini bukan manusia  yang mampu bener dengan cara manusia dan bukan dengan cara binatang?
Masih mau pakai ‘tapi…’ ? ***

Tidak ada komentar: