Selasa, Januari 10, 2012

Salah Benci

Bermula dari status yang saya tulis di facebook "Yang kamu benci itu dirinya atau perbuatannya?", tidak berapa lama seorang sahabat memberi komentar, "dua-duanya".


Saya lantas menimpali, "Mengapa dirimu membenci dirinya ?... Bukankah kamu pernah menyukainya, dan nanti mungkin saja menyukainya lagi jika ia minta maaf dan mengubah perbuatannya... sementara perbuatannya mungkin tidak akan pernah kamu sukai selamanya... :))".


Komentar berikutnya muncul dari sahabat 'setia' saya di facebook -- sebut saja namanya Eka. Katanya "Pertama benci pada perbuatannya... Setelah dia minta maaf untuk yang pertama kali, saya masih benci perbuatannya, bukan orangnya. Terulang lagi, dia minta maaf lagi utk yang kedua kalinya, sayapun masih membenci perbuatannya, belum orangnya. Terulang untuk yang ketiga kalinya, dia minta maaf untuk yang ketiga kalinya juga, saya tetap membenci perbuatannya dan tidak bisa membenci orangnya. Terulang untuk yang keempat kalinya, dia minta maaf untuk yg keempat kalinya, lagi-lagi saya benci pada perbuatannya, dan saya akhirnya benci... pada diri saya sendiri!".

Selanjutnya, terjadilah dialog antara saya dan Eka.

Saya : "Mbak Eka, apa yang diperbuat oleh diri sendiri sehingga mbak Eka membenci diri sendiri ?".

Eka : "Karena untuk masalah yang satu ini saya tidak bisa berpikir objektif... Diri saya terlalu menggunakan perasaan dalam merenungkan permasalahan... sampai akhirnya tembus ke angka empat kali kesempatan tadi. Empat kali kesempatan berarti sakitnya jg empat kali lipat.  Seandainya saya lebih banyak menggunakan logika pasti tidak sampai di angka empat. Mungkin hanya sampai angka dua atau dua setengah.   Inilah kelemahan saya yag membuat saya jadi benci pada diri sendiri."

Saya : "Jadi karena mbak Eka terlalu pakai perasaan ya?... memang sih, masalah itu kalau mau selesai bukan dirasain, tapi dipikirin, seperti kata mbak eka 'pakai logika'... Nah, Mbak Eka mengatakan ini sebagai kelemahan mbak Eka, lantas yang mbak Eka benci itu diri mbak Eka atau kelemahan mbak eka ?"

Eka : "Lha, masalahnya kelemahan itu ada dalam diri saya. Kepriben...?"

Saya : "Mbak Eka itu sebenarnya membenci diri sendiri, atau membenci kelemahan mbak eka ? ... Apa yang terjadi ketika kita membenci diri sendiri ? ... mungkinkah orang lain akan menyukai diri kita sementara kita sendiri membenci diri sendiri ? ... Jadi ini masalah diri mbak Eka, atau hanya masalah kemampuan atau kompetensi saja? Siapa yang dapat mengubah kelemahan itu menjadi kekuatan? ... bukankah diri mbak Eka? .. Lalu kalau diri mbak Eka punya potensi untuk mengubah kelemahan menjadi kekuatan, mengapa mbak Eka membenci diri mbak Eka ? ... Untuk tujuan apa mbak Eka membenci diri mbak Eka sendiri ?"

Jeda sejenak.

Eka : "Intisarinya (halah) saya perlu lebih mengeksplor potensi diri untuk merubah kelemahan menjadi kekuatan agar perasaan benci pada diri sendiri pergi jauh-jauh dari diri saya. Gitu ya, Pak Pras... :)"

Saya : "Dengan pengetahuan ini, apa yg akan mbak Eka lakukan? Apa keputusan mbak Eka?"

Eka : "Ehmmm... Saya memutuskan, saya tidak akan membenci diri sendiri lagi dan (berusaha) mensyukuri kelemahan saya sebagai anugrah karena kelemahan ini bisa diubah menjadi kekuatan. Ini keputusan saya, Pak Pras... :))". Matur sembah nuwun ingkang katah untuk "terapi diri" kilatnya, Pak Pras. Saya akan selalu ingat pelajaran singkat yang sangat berarti dari Pak Pras ini."

Saya : "Hehehe ... sama-sama mbak. Bagaimana perasaan mbak Eka setelah memutuskan hal tersebut? Sekarang tinggal memikirkan bagaimana CARA mengubah kelemahan itu lalu MEMBANGUN kekuatan untuk tidak lagi tidak berdaya, tetapi menjadi BERDAYA, sehingga mbak Eka mampu menentukan dan menjalankan apa yang diinginkan."


Eka : "Jujur aja ada rasa plong di hati saya, Pak Pras.  Untuk saat ini cara yang terpikir adalah : dalam menghadapi permasalahan, untuk hal-hal tertentu, saya harus menyeimbangkan antara perasaan dan logika. Mudah-mudahan cara ini bisa membantu saya mengubah kelemahan menjadi sebuah kekuatan diri, dan membuat saya mampu menentukan serta menjalankan suatu keputusan yang bisa saya pertanggungjawabkan pada diri sendiri.


Saya : "Jadi kejadian empat kali ini ada manfaatnya kah?"


Eka : "Sangat, Pak Pras... Setidaknya empat kali ini menjadi salah satu guru kehidupan saya..... Empat kali ini memberi saya banyak pelajaran hidup yang belum tentu didapat oleh orang lain.  Saya bisa menarik benang merah dari kejadian empat kali ini, bahwa dengan niat dan potensi yang ada pada diri, sebuah kelemahan bisa diubah menjadi kekuatan diri. Matur sembah nuwun sekali lagi, P. Pras."


Saya : "Terimakasih sama-sama mbak. Wah, saya malah yang banyak belajar dari sini ..." ***


Tidak ada komentar: