Kamis, Februari 14, 2008

Melampiaskan kemarahan atau memperbaiki ?

Teman saya Danny Tumbelaka ingin tahu pendapat saya, haruskan perbuatan seseorang di-cap salah-benar, atau, ia berada dalam ’kuasa gelap’ atau ‘kuasa terang’ ?.

Saya bilang, ketika kita menemukan seseorang melakukan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan norma umum masyarakat, pertamakali yang perlu kita lakukan adalah tidak memberi label apapun dulu. Label akan mempengaruhi perasaan kita, dan perasaan kita membajak akal pikiran jernih. Lagipula, kalau kita beri label, itu label-nya siapa ? siapa yang antagonis dan siapa yang protagonis itu tergantung siapa yang memberi label. Lha, buat para maling, polisi itu antagonis.

Pertanyaan pertama yang perlu kita ajukan kepada perilaku ’negatif’ adalah : ’apa maksud positif di balik perilakunya ?’. (Sekali lagi, negatif di sini buat kita lho, soalnya perbuatan polisi mengejar-kejar maling adalah perbuatan negatif bagi para maling).

Katakanlah seorang maling, apa maksud positifnya ? Ia ingin memberi makan dirinya, isteri dan anaknya. Cuma saja, caranya merugikan dan tidak sesuai dengan kesepakatan umum. Saya tidak mengatakan caranya salah. Saya juga mengatakan kesepakatan umum karena norma masyarakat bersifat kontekstual. Di Jawa, seseorang yang sedang dimarahi ayahnya dianggap sopan jika menunduk. Di Padang, justru dianggap tidak sopan, karena dianggap sopan jika si anak memandang wajah ayahnya.

Seseorang mengambil pilihan terbaik pada setiap situasi yang dihadapinya saat itu. Seorang pencuri menganggap mencuri adalah pilihan terbaik pada situasi dirinya dan lingkungannya pada saat itu. Nah, disinilah tugas kita menunjukkan pilihan-pilihan lain. Kita sodorkan kepada yang bersangkutan pilihan-pilihan yang mungkin saja selama ini dia tidak lihat atau sadari. Biarlah ia sendiri yang mengambil pilihan itu. Ketika pilihan lengkap dengan konsekuensinya sudah dipilihnya, Ia lantas mengalami perpindahan jalan hidup yang tidak ditempuhnya selama ini.

Seseorang lebih ’hidup’ jika menempuh pilihan yang diambil oleh dirinya sendiri. Ia lebih memiliki komitmen. Ia memiliki ruang lebih luas untuk menerima risiko yang tidak mengenakkan sebagai dampak dari pilihannya. Ia memiliki dorongan lebih kuat untuk mencapai apa yang diinginkannya.

So, jika kita menemukan koruptor, pencopet, pembunuh, penipu, pemerkosa, dan semua ’spesies’ perilaku antagonis (antagonis ’kan menurut kita, lha buat para maling, polisi itu antagonis), lalu sebaiknya kita bagaimana ? Nah, disinilah niat kita dipertanyakan, apakah kita ingin menghukum mereka (yang berarti sakit hati dan kemarahan kita terlampiaskan), atau kita ingin mereka menempuh jalan yang sesuai dengan apa yang kita yakini benar dan bermanfaat. Sekali lagi, kalau mau memperpanjang ’urusan’ ini, silakan tanya : benar dan bermanfaat menurut siapa ? ***

Tidak ada komentar: