Namun begitu, karena selama ini saya menyantap bebek goreng itu malam hari, sementara saat itu siang hari, maka saya menurunkan level of confidence menjadi separuhnya. Maksudnya, kalau ternyata warungnya belum buka, saya sudah punya contigency plan dengan opsi kedua, yaitu soto betawi H. Usman.
Benar saja. Opsi pertama gugur, karena realitasnya warung itu memang belum buka. Orang lain menyebutnya masih tutup. Dengan mudah saya segera acceptance dengan kondisi tersebut, lantas menghilangkan semua atribut pikiran yang berhubungan dengan bebek goreng, dan -- 'pluk' -- soto betawi H. Usman-pun segera hadir dalam layar bioskop pikiran saya. Selanjutnya atribut-atribut yang berhubungan dengan soto betawi tersebut muncul. Semangkok soto betawi plus nasi putih, kecap, sambel, dan jeruk limau. Temperatur warung yang sedikit panas dihalau dengan kipas angin yang berputar di langit-langit, membuat keringat keluar ketika sampai pada suapan ketiga. Semua sudah begitu jelas di pikiran, sampai saya 'lupa' melakukan risk management berupa kemungkinan risiko lain yang menghalangi saya mendapatkan apa yang saya bayangkan tadi.
Seratus meter menjelang warung soto betawi H. Usman, visual dan kinestetik saya semakin kuat. Indikatornya adalah antusiasme saya dalam menekan gas mobil serta menguatnya sensasi rasa tertentu di mulut. Begitu mobil akan dibelokkan ke arah halaman warung, tiba-tiba "Gubrakkk". Itu bukan suara saya jatuh atau mobil saya ditabrak sesuatu. Itu adalah istilah anak muda sekarang kalau mereka kaget tidak menyangka. Sang tukang parkir melambai-lambaikan tangan tanda sotonya habis. "Sial !", kata saya dalam hati.
Tanpa perlu nggrundel panjang, saya segera berputar arah pulang, sambil mencari-cari tempat makan apa yang menarik selera. Tepat di halaman mesjid Al-Istiqomah tempat biasa saya dan beberapa sahabat penggiat pemberdayaan diri berkumpul, saya melihat ada warung kecil dengan tulisan "Gado-gado". Selera saya langsung terbit. Apalagi saya memang sedang butuh makanan yang banyak unsur sayurnya. Inipun sebuah pembenaran karena nyatanya dua mantan kandidat makanan sebelumnya miskin unsur sayuran.
Saya segera menepikan kendaraan, dan dengan penuh percaya diri mendekati warung gado-gado tadi. "Mas, satu ya ...". Mas penjual gado-gado melihat ke arah kaca depan. Sayapun ikut-ikutan melihat ke arah yang dilihat si mas penjual. "Maaf pak, habis". Sayapun melihat di tempat bahan baku gado-gado tinggal sebiji timun. Tidak ada apa-apa lagi.
"Sial !", kata saya dalam hati sambil beranjak ke arah mobil lagi. Tiba-tiba, "PLAKKKKK!!!", ada sebuah tangan imajiner menampar pipi saya .... PLAKK! PLAKK! PLAKKK! ... lagi-lagi pipi saya tertampar. Sesosok ego state saya muncul dan langsung berkacak pinggang di hadapan saya, lantas berkata, "Hei Prass ... apa tadi kamu bilang ? ... Sial ??" ...
Saya menjawab dengan deg-degan, "Iya ...".
"PLAKKKK!" ... sekali lagi pipiku tertampar tangan imajiner.
Dengan suara yang lebih keras, si ego state berkata, "Hei ! ... dasar kamu egois ! ... semestinya kamu mengucapkan "ALHAMDULILLAH", bukan malah "Sial" ...."
"Kok ?... ", tanyaku protes.
"Dasar guoblokkk! ... kalau soto betawi dan gado-gado itu siang-siang sudah habis, itu tandanya kan dagangan mereka laku keras. Bukankah itu yang menjadi salah satu tujuan mereka berdagang ?. Mereka itu berarti sedang menerima rezeki jatahnya dari Tuhan. Kalau kamu sedang menyaksikan sebuah peristiwa dimana Tuhan sedang memberikan anugerah kepada hambaNya hari itu, mengapa kamu tidak ikut bersyukur dengan peristiwa ini ?? .... Alih-alih mengagumi peristiwa ini dengan ucapan Allahu Akbar, Subhanallah, dan Alhamdulillah, kamu malah sibuk dengan memperhatikan kepentingan kendaraan hidupmu sendiri yang bernama perut itu, dan malah menamakan peristiwa ini sebagai sial ...!". Tiba-tiba sang ego state menghilang.
"Astaghfirullah ....", ujarku lemas. Sejenak kemudian aku berdoa, "Ya Allah, berikanlah aku keberuntungan yang bukan merupakan kesialan orang lain ...***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar