Andai saya koruptor di sebuah perusahaan, dan berhasil menjaring uang hasil korupsi 'kecil-kecilan' sebesar 250 miliar rupiah -- sebuah angka yang pada posisi saya sekarang sangatlah besar -- maka apa yang akan saya lakukan dengan uang itu ?... Lagipula, angka ini adalah angka yang paling feasible saya dapat dari perusahaan swasta, bukan dari uang rakyat.
Eits, sebentar, saya kasih tau dulu cara saya korupsi : mark-up anggaran proyek dan menyiapkan bukti-bukti pendukung yang saya rekayasa ; mark-up pengadaan barang ; meminta komisi dari para vendor dan supplier yang memasukkan barang atau mendapatkan pekerjaan dari Perusahaan tempat saya bekerja ; memperlama proses kerja agar diberikan uang pelicin ; membuat berbagai perusahaan sendiri lantas semua procurement dan pekerjaan di perusahaan harus lewat perusahaan saya itu ; minta 'bagian' dari penempatan dana investasi perusahaan ke penyelenggara outlet investasi ; menerima 'upeti' dari orang-orang yang ingin naik pangkat dan jabatan ; minta komisi kepada pihak pembeli atas penjualan aset-aset Perusahaan, seperti tanah, mobil, bangunan ; dan sederet modus operandi lainnya yang konvensional maupun yang supercanggih.
Uang Rp 250 miliar itu saya gunakan untuk :
- Membeli rumah seharga 20 miliar, tanah, dan properti lain untuk disewakan dan menjadi passive income.
- Membeli kendaraan-kendaraan kelas atas sebesar 5 miliar untuk mendongkrak derajat dan martabat saya.
- Memperganteng penampilan saya sehari-hari dengan pakaian bermerek dan mahal, sehingga lebih mentereng dan keren. Mulai bergaul di kalangan 'sosialita' agar makin 'dipandang'.
- Tidak lupa melakukan spiritual money laundring dengan menyumbang sebagaian harta ke mesjid dan panti-panti asuhan.
- Melakukan risk management dengan cara mengalokasikan premi 50 miliar untuk proses hukum dan biaya hidup di lembaga pemasyarakatan untuk mengantisipasi jika suatu saat tertangkap.
Itulah visi saya yang saya sadari terlalu 'sederhana' bagi seorang koruptor bersahaja.
Cukup bahagiakah saya dengan keadaan itu ?. Saya juga tidak yakin, karena jika dengan pendapatan yang hari ini saya terima saja saya merasa belum cukup, maka pada saat pendapatan saya sudah mencapai ratusan miliar itu kemungkinan saya juga belum merasa cukup. Lha wong biaya hidup juga melonjak.
Apa tujuannya saya punya visi kehidupan koruptor seperti itu ?. Supaya saya merasa 'enak' hidup di tengah lantai dan perabot kinclong, disiapkan segala kebutuhan oleh para pembantu saya. Supaya saya merasa 'enak' dianggap, dihormati, di-VIP-kan, dan disanjung-sanjung oleh orang-orang. Supaya saya merasa enak tidak perlu repot-repot kerja yang bikin capek. Supaya saya merasa 'enak' bisa jalan-jalan semaunya, makan enak semaunya. Supaya saya merasa 'enak'. Merasa enak. Selamanya.
Sebentar. Apa iya selamanya ?. Bagaimana kalau seluruh makanan sudah pernah saya cicipi ? Bagaimana kalau seluruh tempat sudah saya kunjungi ? Bagaimana kalau seluruh kendaraan sudah saya tumpangi ?. Apa iya masih terasa enak yang sama ?. Jadi semua itu hanya untuk memenuhi kepuasan jasmani dan emosi semata ?. Bagaimana dengan kepuasan rohani ?.
Saya belum memperhitungkan betapa malunya dan terpukulnya jiwa ibu dan isteri saya begitu saya di penjara. Masyarakat mencibir mereka. Saya belum memperhitungkan jika saya di penjara, tidak dapat menemani ibu saya di saat-saat akhir usianya. Saya belum memperhitungkan efek kepada anak-anak saya nantinya ketika mereka ke sekolah. Kenikmatan buat saya harus dibayar dengan kesengsaraan kepada orang-orang yang saya kasihi. Belum kalau akibat uang haram, darah keluarga saya tercemar, dan akibatnya kena penyakit fisik dan jiwa. Durhaka, narkoba, pergaulan bebas.
Jadi saya cuma ingin enak sendiri, enak jangka pendek, enak sebentar, dan enak jasmani dan emosi. Padahal jasmani dan emosi adalah kendaraan untuk saya hidup. Ibarat kata, saya cari duit cuma buat mengurusi dan mempercantik kendaraan saya, tapi saya lupa kendaraan saya itu mau saya bawa mengantarkan saya kemana ...
Mungkin koruptor sejati yang membaca tulisan ini akan menertawakan saya, karena saya ini cuma menghayal saja. "Sok tau lu !", begitu kata mereka lantas menyindir saya dengan mengatakan, "Jangan percaya dengan apa yang kamu hayalkan sebelum membuktikannya sendiri...". Saya tidak tahu, apakah itu ajakan kepada saya untuk benar-benar merasakan hidup enak sebagai koruptor, atau sebaliknya ...***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar