Tulisan saya berjudul “Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa” telah membawa pro dan kontra dalam forum-forum diskusi online. Seorang teman mengabarkan bahwa di kaskus temannya sampai dihujat habis karena telah membawa tulisan ini ke forum diskusinya. Katanya, si penulis – tentu saja saya – telah melakukan menyulut propaganda perpecahan umat. Dalam konteks ini saya merasa benar-benar menjadi provokator yang bakal dicari-cari aparat.
Untung saja setelah saya telusuri satu persatu log diskusi, secara kuantitas jumlah yang mendukung tulisan saya lebih besar daripada yang menghujat. Sebagian kecil mencoba melihat tulisan saya secara netral dengan menganjurkan pembaca memasukkan unsur konteks, sehingga lebih mudah diterima.
Bukan hanya itu, dalam hitungan hari, di inbox facebook saya datang pesan dari seseorang yang saya belum kenal. Di profil facebook-nya, ia berprofesi sebagai mahasiswi sebuah perguruan tinggi swasta. Ia termasuk yang kontra dengan tulisan saya, dan meskipun bahasanya disopan-sopankan, tapi sangat jelas pesannya agar saya bertobat dan memperdalam pelajaran agama saya. Tentu saja ini nasihat yang saya benarkan .
Sampai dengan menjelang bulan ramadhan ini, ketika saya menulis di grup BBM dengan kalimat “Kepada yang berpuasa, marilah kita menghormati orang yang tidak berpuasa”, masih ada yang berkata, “Bukan sebaliknya ya Pak ?”. Biasanya dengan mudah argument saya diterima oleh teman-teman segrup BBM. Kata saya, tujuan berpuasa adalah agar orang yang berpuasa menjadi pribadi yang tangguh dan saleh. Salah satu kesalehan adalah mampu menghormati orang lain. Kalau yang berpuasa minta dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, itu ibarat sedang berlatih beban di gym ingin ototnya menjadi besar dan kuat tapi minta barbel yang ringan-ringan saja. Kalau yang berpuasa minta dihormati oleh orang yang tidak berpuasa, itu yang saleh adalah yang menghormati.
“Saling menghormati”, tulis Dewi salah seorang teman di Grup BBM teman se-SMA.
“Nggak perlu minta dihormati, yang penting menghormati duluan. Lebih dari itu, kita perlu menjadikan diri layak dihormati. Kalau orang tidak menghormati kita jangan-jangan karena kita memang layak untuk tidak dihormati”, balas saya.
Dewi : “Mereka udah hormat soalnya. Makanya saling menghormati ‘kan ? Dari kitanya juga”.
Saya : “Apalagi kalau mereka SUDAH hormat ke kita, jadi tidak perlu diingatkan ‘saling’ lagi ‘kan ?. Kita yang belum hormat-lah yang mengingatkan diri sendiri, hehehe”
Dewi : “Memangnya ’saling’ itu harus dari pihak sana ? Bukankah dari pihak kita juga boleh pakai kata ‘saling’ ?. Maksud ‘saling’ di sini justru mengingatkan diri sendiri, karena mereka ‘sudah’ melakukan .. Kita belum … Nggak cocok ya ?”
Saya : “Lebih kuat mana pengaruhnya kepada action ? Pakai ‘saling’ atau tidak ?( Karena mereka sudah melakukannya). Rasa-rasain saja pakai kata ‘saling’ dengan tanpa ‘saling’ …”
Dewi : “Sebentar …”.
Dewi : “Hehehe, iya … pakai kata saling action-nya kurang terasa …” ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar