Mendengar dokter mengatakan saya tidak boleh makan pedes dan asem, sepersekian detik kemudian benak saya bilang, "hmm .. okeyyyyy....". Sepertinya saya mulai terbiasa -- bahasa keren-nya "unconscious competence" -- untuk menerima segala keadaan yang tidak diharapkan yang saya beri muatan perasaan 'tidak menyenangkan'.
Akibat dilatih oleh pengalaman berkali-kali, maka sewaktu menghadapi situasi yang tidak saya harapkan, dimana situasi itu tidak akan berubah sedikitpun karena sudah menjadi sejarah masa lalu -- meskipun baru berlangsung sekian detik yang lalu --, saya langsung acceptance dan langsung loncat kepada pertanyaan "bagaimana selanjutnya?", lantas memilih sebuah jawaban yang mengarahkan saya ke arah tujuan, kemudian bertindak menelusuri jawaban itu. Semua itu berlangsung sangat cepat dalam pikiran saya.
Misalnya saat mengajar tiba-tiba listrik padam dan mic mati, saya 'langsung' meletakkan mic dan melanjutkan bicara dengan lebih keras tanpa membuang-buang waktu menunggu panitia bertindak. Tentu saja jika saya bicara di hadapan 100 orang peserta. Mungkin beda ceritanya jika saya bicara di stadion olahraga dengan lebih dari 2000 peserta, maka bukan cuma saya yang acceptance, pesertapun ujian acceptance.
Ketika LCD mati saya segera mendayagunakan sumber daya yang tersedia di ruangan, seperti flipchart dan spidol, atau whiteboard untuk menulis atau menggambar sesuatu. Semua saya lakukan tanpa saya bertanya kepada panitia "Kok begini sih ?", "Kenapa nih ?", apalagi sampai menggerutu, "Bagaimana sih nihh ?". Saya pikir, pertanyaan-pertanyaan reaktif dan berorientasi kepada masa lalu tadi disamping tidak produktif karena menghabiskan waktu tanpa nilai tambah, juga bikin suasana jadi tambah dramatis ruwet, yang berisiko mengganggu 'state' saya untuk memberi nilai tambah yang terbaik untuk audience dan klien.
Bukan cuma soal 'remeh' semacam itu. Ketika terkena bell's palsy -- kelumpuhan separuh wajah akibat terganggungnya syaraf ke-7 -- saya segera acceptance dan dengan ringan membatalkan beberapa job pelatihan. Bahkan ketika dokter kandungan memberitahu saya bahwa jabang bayi yang sudah hidup tujuh bulan dalam rahim isteri saya dinyatakan meninggal dan harus dikeluarkan -- saya langsung acceptance. "Okeyyyy", kata benak terdalam saya. Ikhlas karena memang sudah terjadi. Saya baru menangis setelah mendengar suara kesedihan ayah saya di ujung telepon saat memberitahu berita ini.
Lalu apakah itu berarti saya tidak pernah marah atas suatu kondisi yang melenceng dari yang diharapkan ?. Tentu ... Namun setelah dilatih oleh pengalaman dan program berpikir 'acceptance' dan 'lihat ke depan' itu, marahnya merupakan pilihan, keputusan, dan mengandung niat baik untuk memperbaiki keadaan, bukan marah akibat 'korban' keadaan. Marah konstruktif, bukan marah destruktif.
Kembali ke soal 'pedes-asem' tadi. Ujian keberhasilan saya atas konsep 'acceptance' datang saat bubur bikinan Rina sang asisten di rumah terhidang di meja makan. Tidak ada sambal. Untung di rumah masih ada 'kerupuk kampung' dan abon sapi. Saya suka rasa manis juga. Saya kembali melakukan prosesi 'acceptance' dengan mengatakan dalam benak 'okeyyyy'. Lantas saya racik asesori non-pedes-asem ke dalam mangkok bubur. Saya hilangkan referensi rasa, tampilan, dan aroma bubur yang biasa saya makan di masa lalu. Saya lihat wujud bubur itu apa adanya. Saya lihat apa yang terlihat. Saya cium aroma bubur sebagaimana adanya. Saya cium apa yang tercium. Lalu saya suapkan bubur ke dalam mulut saya. Saya merasakan apa yang terasa. Saya perkuat rasa manis dari abon sapi kesukaan saya. Saya kunyah pelan dan saya terima apa yang saya rasakan, lalu saya beritahu pikiran saya "inilah makanan yang enak". Ajaib ! ... bubur yang di masa lalu saya cemooh dalam pikiran saya, yang saya hujat sebagai 'bubur apaan tuh ?', yang saya vonis sebagai bubur tidak enak, saat itu juga berubah menjadi enak.
Selesai makan bubur, sayapun bisa minum obat, karena obatnya harus diminum setelah makan. Nyatanya, bubur adalah kebutuhan saya, bukan keinginan saya. Tetapi setelah saya melihat 'kebutuhan' saya, nyatanya enak-enak saja. Buktinya, beberapa menit setelah makan, perut saya kenyang. Kenyang yang sama dengan jika saya makan sop buntut 'Cut Meutia' yang ditambahi dua sendok sambal plus perasan jeruk limau. Sekarang ketika saya disodori baso, bakwan, dan sop-sop-an, sudah bisa menikmatinya tanpa sambel dan jeruk nipis.
Rupanya selama ini saya dibuat menderita oleh keinginan-keinginan yang gagal dicapai padahal kebutuhan saya sudah terpenuhi. Waktu kecil ibu sudah memasakkan nasi-sayur bayam-tempe-tahu, tapi saya ogah menyantapnya gara-gara ingin ayam goreng. Saya ngambek dan bikin ibu jengkel gara-gara saya mengejar keinginan saya, bukannya kebutuhan yang sudah tersedia. Saya tidak tahu, apakah sungkem saya kepada ibu setiap lebaran sudah berhasil menghapuskan dosa-dosa kedurhakaan saya kepada ibu saya itu. Saya berharap demikian.
Kalau saya akhirnya bisa menikmati makanan yang sebelumnya tidak saya 'anggap' bahkan saya bilang 'tidak enak' setelah melalui proses 'menerima', 'menghapus referensi rasa masa lalu', 'merasakan apa yang terasa saja', 'mensyukuri apa yang dibutuhkan (bukan yang diinginkan) telah tersedia'. Itu berarti, dengan struktur pengalaman yang sama, maka di semua keadaan -- bahkan yang kita namakan sebagai kesialan, musibah, menyakitkan, penderitaan -- bisa kita rasakan nikmat ? ....***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar