Pelajaran dibuka dengan mendengarkan siaran ABC News. Hari itu adalah minggu kedua saya berada di Canberra - Australia. Dengan tertatih-tatih, kelas akhirnya berhasil paham isi berita radio pemerintah Australia itu karena aksen penyiar yang sangat 'melelahkan' untuk didengar. Berita kali itu adalah tentang people smuggling (penyelundupan manusia) ke Australia. Pelakunya adalah orang dari Indonesia, Afghanistan, dan Srilanka. Indonesia disebut pertamakali.
Di kelas itu, guru saya orang Australia kelahiran Jerman, sementara teman-teman sekelas saya orang Cina, Jepang, Korea, dan Perancis. Orang Indonesia cuma saya sendiri.
Dalam beberapa diskusi di kelas, saya merasakan alur pembicaraan sangat fokus kepada masalah dan menghindari menilai orang. Kami membicarakan the crime, bukan the criminal (pelaku). Beda dengan sewaktu saya terlibat dalam beberapa diskusi di Indonesia, peserta mudah sekali terjebak kepada 'menghakimi' pelaku, sehingga yang muncul seringkali perdebatan siapa yang salah siapa yang benar, bukan bagaimana solusinya dan apa yang perlu diperbaiki.
Sebagai orang yang lahir, besar, hidup di Indonesia, tiba-tiba saya disergap perasaan malu. Memang sih tidak ada mata yang melihat ke arah saya ketika nama Indonesia tersebut dalam diskusi itu, tapi rasa itu muncul.
Ketika masalah ini menjadi ide status saya di facebook, seorang teman lama mengomentari, 'kenapa musti malu ?'. Awalnya saya merasa aneh dengan pertanyaan ini, karena saya merasa rasa malu itu bagian dari nilai-nilai nasionalisme saya. Saya merasa, kita diminta untuk memperbaki segala sesuatu itu dari yang terdekat. Saya merasa Indonesia adalah 'keluarga', sehingga ketika anggota keluarga melakukan perbuatan yang melanggar hak 'keluarga' lain, kita perlu peduli untuk memperbaiki 'keluarga' sendiri.
Tapi setelah memikirkan lagi komentar teman saya itu, saya lantas melihat dia juga benar. Kenapa harus merasa malu ? .. Bukankah kejahatan atau kebaikan apapun dilakukan oleh individu lintas suku, agama, ras, kebangsaan, kelompok, dan sebagainya. Perzinahan juga pernah dilakukan oleh anggota sebuah organisasi keagamaan di Indonesia yang kerap melakukan penyisiran warung remang-remang dan 'pembelaan' terhadap Islam. Hanya saja, anggota itu segera dihukum. Itu artinya, perbuatan dilakukan oleh individu, bisa dari kelompok dan bangsa apapun.
Teman saya itu juga memprovokasi mengapa di kelas saya tidak mengungkapkan 'perbuatan' orang Australia di Bali soal penyelundupan heroin, fedofilia, dan sebagainya. Tentu saja saya tidak akan mengungkapkan ini di kelas, karena itu sama saja saya mencari gara-gara dan menunjukkan 'level' reaksi saya dalam diskusi. Prinsip saya, apapun perbuatan orang berkebangsaan lain di negara kita, seyogyanya kita tidak melakukan kejahatan apapun di negeri sendiri, apalagi di negeri orang lain.
Komentar teman saya itu punya makna filosofis yang tinggi - bahwa manusia berbagai bangsa itu sama - egaliter -, dimana tidak berarti suatu kejahatan yang dilakukan seseorang serta merta merendahkan atau meninggikan bangsanya, melainkan tanggungjawab orang itu sendiri di hadapan Tuhan dan manusia lainnya -- termasuk di hadapan bangsanya sendiri.
Meski begitu, saya tetap memilih untuk malu.Teman saya Irma Renata ikut memberi komentar, "beruntunglah orang-orang yang masih memiliki rasa malu". Saya setuju dengan Irma. Bagi saya, selama ada rasa malu, masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan negeri yang saya cintai ini. Rasa malu ini memberi memberi manfaat buat saya untuk berpikir dan merencanakan apa yang perlu dilakukan di masa depan agar saya, keluarga, lingkungan dan bangsa kita benar-benar menjadi warga dunia yang baik dan mulia. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar